A. PENDAHULUAN
Hukuman
dengan cara yang berlebihan dan diikuti oleh tindakan kekerasan tidak pernah
diinginkan oleh siapapun, apa lagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya
menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga
ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan.
14 Oktober
2005, disalah satu SMPN Johar Baru-Jakarta Pusat seorang pelajar di aniaya 3
gurunya di ruangan BP. Siswa ini dihukum oleh gurunya hanya karena ketika di
ruang kelas tidak ada gurunya bersorak-sorak (WWW Di Mataram, 9 Mei 2006 lalu sedikitnya
25 siswa-siswi kelas III SDN 23 Karang Sukun dihukum karena ketika pelajaran
Matematika, siswa tidak dapat mengerjakan tugas yang diberikan dengan sempurna.[1]
Dalam periode yang tidak berselang lama, gara-gara diledek muridnya, salah
seorang guru di SD 3 Pancorang-Jakarta Selatan menghkum kedua muridnya 5
Agustus 2006 lalu dengan menghajarnya pakai tangan dan gagang sapu sampai babak
belur.[2]
Di penghujung tahun 2006 ditutup pula dengan kasus yang sama di SMP 24 Makasar.[3]
Masih
banyak lagi kasus pemberian hukuman yang berlebihan terhadap siswa, yang
ironisnya dilakukan oleh guru mereka sendiri. Niat guru ingin memberikan
hukuman agar siswa tidak melakukan kesalahan yang sama dan dapat memperbaiki
kesalahannya. Namun, cara yang digunakan sangat tidak sesuai dengan etika
sebagai guru dan pastinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai kependidikan,
khususnya Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia.
Hukuman
tidak mutlak diperlukan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah Nasih Ulwan
bahwa untuk membuat anak jera, pendidik harus berlaku bijaksanan dalam memilih
dan memakai metode yang paling sesuai.[4]
Di antara mereka ada yang cukup dengan teladan dan nasehat saja, sehingga tidak
perlu hukuman baginya. Tetapi, manusia itu tidak sama seluruhnya, diantara
mereka ada pula yang perlu dikerasi atau dihukum yaitu mereka yang berbuat
kesalahan.[5]
Asumsi
yang berkembang selama ini di masyarakat adalah setiap kesalahan harus
memperoleh hukuman; Tuhan juga menghukum setiap orang yang bersalah. Dari
satu jalur logika teori itu ada benarnya. Memang logis, setiap orang
yang bersalah harus mendapat hukuman; setiap yang berbuat baik harus mendapat
ganjaran. Sebenarnya hukuman tidak selalu harus berkonotasi negatif yang
berakibat sengsara bagi terhukum tetapi dapat juga bersifat positif.
Karena
itu, mengapa orang tidak mengambil teori yang lebih positif? Bukankah Allah
selalu mengampuni orang yang bersalah apabila dia bertaubat pada-Nya? Allah
juga lebih mendahlukan kasih-Nya dan membelakangi murka-Nya. Dalam Qs. Ali
Imran: 134 Allah memuji orang yang sanggup menahan marah dan suka memberi
maaf. Dan dalam satu hadist, nabi Muhammad Saw mengajarkan bahwa Allah
menyenangi kelembutan dalam semua persoalan (HR. Bukhari).[6]
Dengan
demikian kita bisa menyepakati bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid terkadang
pantas mendapat hukuman. Namun jenis hukuman itulah yang seharusnya disesuaikan
dengan lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, bukan
penghakiman.
Kasus-kasus
di atas akan menjadi pelajaran berharga bagi kita jika kita tidak hanya
menimpakan kesalahan kepada guru yang bersangkutan. Tapi juga kepada sekolah,
bahkan orangtua siswa. Di sini perlunya komunikasi yang baik antara orangtua
murid dengan guru, aturan yang tegas dari sekolah terhadap guru yang
bersangkutan dan yang paling penting sikap bijak seorang guru dalam menghadapi
kesalahan anak didik.
Berangkat
dari pemaparan di atas, makalah ini akan mengulas tentang pengertian hukuman,
dasar, tujuan, macam, syarat, tahapan, dan dampak negatif maupun positif
pemberian hukuman dalam pendidikan Islam.
- B. PEMBAHASAN
- 1. Pengertian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam
teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist,
hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah
tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan.[7]
Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak
diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang
bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku
yang diharapkan.
Sebagai
contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak
diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah
satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain
itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan
jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa
itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu
cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman
diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar
dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul
Mujib dan Jusuf Mdzakkir.[8]
Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman
sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman
pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat
diterapkan lagi. Hukuman tersebut data diterapkan bila anak didik telah
beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta
menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw
yang artinya
“Dari Amr
bin Syu’aib ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah
anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau
sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[9]
Paul
Chanche mengartikan hukuman adalah
“The
procedure of decreasing the likelihood of a behavior by following it with some
azersive consequence”
(Prosedur
penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif)
Decreasing
the likelihood yang dimaksud di sini adalah
penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence
adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar.
Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam
18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh
menonton TV selama 3 hari. Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di
sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan
tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai
konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV
selama 3 hari.
Jadi,
hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu
aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan
M. Arifin telah memberi pengertian hukuman adalah:
“Pemberi
rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku
anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”[10]
Pendidik
harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman
sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan
yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran
agama Islam.Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan
hati-hati, diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan
hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan
pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum
dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh
Muhammad Quthb dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.[11]
Dari
beberapa pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman
dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak
baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda
atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah
diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai.
- 2. Dasar Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pendidik
muslim harus mendasarkan hukuman yang diberikannya pada ajaran Islam, sesuai
dengan firman Allah dan sunah Rasul-Nya.
Ayat
al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa
ayat 34, yang berbunyi:
والتي
تخا فو ن نشو ز هن فعضو هن و ا هجر و هن في ا لمضا جع و ا ضر بو هن ج
قا ت ا طعتكم فلا تبغو ا عليهن سبيلا قلي
“Wanita
yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari
tempat tidur mereka dan pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan. (Q.S. An-Nisa: 34)[12]
Dalam ayat
tersebut dijelaskan bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran
atau kesalahan yang dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain
(nusyus). Tahapan paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan
pada waktu yang tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri
sudah cukup merasa bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada
juga yang tidak. Maka diberikan alternative hukuman berikutnya, yaitu dengan
bentuk ‘pengabaian’. Di mana Allah memerintahkan untuk memisahkan para isteri
yang melanggar aturan tersebut, dengan tidak mempedulikan atau mengabaikannya.
Suami hendaklah memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya secara fisik dan
membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Itulah yang dimaksud hukuman
pengabaian.
Setelah
tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke
tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir,
dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang
berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan.
Demikian
pula terhadap mendidik anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma
agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah
lembut dan menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil
maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau
mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu tidak belum juga berhasil
maka pendidik bisa menggunakan pukulan.[13]
Adapun
perintah mendidik anak, telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
عن
عمر و بن سعيب عن ا بيه عن جد ه قا ل: قا ل ر سو ل لله صلي ا لله عليه و سلم مرو ا
لا د كم با لصلاة و هم ا بنا ء سبع سنين, وا ضربو هم عليها و هم ا بنا ء عشر, و فر
قو ا بينهم فى المضا جع
“Dari Amr
bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah
anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau
sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[14]
Dari
Firman Allah Saw dan hadist Nabi Muhammad Saw, kita dapat menjadikannya sebagai
dasar hukum pemberian hukuman dalam pendidikan Islam.
- 3. Tujuan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Apa
sebenarnya tujuan orangtua dan pendidik ketika memberikan hukuman pada anak?
Ini bukanlah persoalan yang ringan, karena dari beerapa kasus di awal
pembahasan tadi, ternyata masih banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan
yang salah. Bahkan ada yang menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi
sesaat saja. Dalam kondisi ini, Irawati Istadi mengatakan bahwa tujuan
sebenarnya dari pemberian hukuman adalah menginginkan adanya penyadaran agar
anak tidak lagi melakukan kesalahan.[15]
M. Mgalim
Purwanto mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat orang
tentang teori-teori hukuman, yaitu:
- Teori Pembalasan
Menurut
teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang
telah dilakukan seseorang.
- Teori Perbaikan
Menurut
teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si
pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi.
- Teori Pelindungan
Menurut
teori ini, hukuman diadakan ntuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan
yang tidak wajar.
- Teori Ganti Kerugian
Menurut
teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah
diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu.
- Teori Menakut-nakuti
Menurut
teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si
pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu
takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap
karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi
saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain.
Sedangkan
tujuan hukuman menurut M. Arifin ada dua, yaitu:
- Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.
- Memperkuat atau memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya.
Dari
beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam
pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik
untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan
yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya.
- 4. Macam-macam Hukuman dalam Pendidikan Islam
Ada
beberapa pendapat dalam mengklasifikasikan hukuman, diantaranya adalah:
- Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim Purwanto, ada beberapa pendapat yang membedakan hukuman menjadi dua macam, yaitu:[16]
1)
Hukuman Preventiv, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau
jangan terjadi pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu
dilakukan.
2)
Hukuman Represif, yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran,
oleh adanya kesalahan yang telah diperbuat. Jadi, hukuman itu dilakukan setelah
terjadi pelanggaran.
- Sementara itu W. Stern membagi hukuman menurut tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu.[17]
1)
Hukuman Asosiatif, yaitu penderitaan akibat dari pemberian hukuman ada
kaitannya dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukannya. Dengan kata lain
hukuman itu diasosiasikan dengan pelanggarannya.
2)
Hukuman Logis, yaitu anak dihukum hingga memahami kesalahnnya. Hukuman ini
diberikan pada anak yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami bahwa ia
mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang diperbuatnya.
3)
Hukuman Normatif, bermasud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini sangat erat
hubungannya dengan pembentukan watak anak-anak.
- Ada pula yang membagi hukuman menjadi dua, yaitu:
1)
Hukuman Alam, yang dikemukakan oleh JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme
berpendapat kalau ada anak yang melakukan kesalahan jangan dihukum, biarlah
alam yang menghukumnya. Dengan kata lain, biarlah anak kapok atau jera dengan
sendirinya.
2)
Hukuman Yang Disengaja, hukuman ini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan.
- Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu membagi hukuman menjadi dua, yaitu:[18]
1)
Hukuman yang Dilarang, seperti: memukul wajah, kekerasan yang berlebihan,
perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah.
2)
Hukuman yang Mendidik dan Bermanfaat, seperti: memberikan nasehat dan
pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan kenakalannya, menyindir,
mendiamkan, teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke perut, hukuman dari
ayah, menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan.
Dari
beberapa macam hukuman di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di
antaranya hukuman preventiv dan represif, karena sebenarnya dalam ilmu
pendidikan, kedua istilah itu tidak tepat kalau hanya dihbungkan dengan
hukuman. Lebih sesuai kiranya jika kedua istilah itu dipergunakan untuk
menyifatkan alat-alat pendidikan pada umumnya.
Hukuman
Alam juga kurang tepat karena ditinjai secara pedagogis, hukuman alam itu tidak
mendidik. Walau dalam beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori
Rousseau itu ada benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat
mengetahui norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
boleh dan yang tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan
merubahnya. Kalau alam atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi
akibatnya. Karena di sini tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada
hal yang lebih baik. Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru
pendidik membiarkan dengan harapan bisa berubah dengan sendirinya.
- 5. Syarat Penggunaan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Hukuman
merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pendidikan Islam guna
mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang benar. Namun,
penggunaannya tidak boleh sewenang-wenwng tertutama dalam hukuman fisik harus
mengikuti ketentuan yang ada.
Terkadang
menunda hukuman lebih besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung.
Penundaan ini akan mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut
akan mendapatkan dua hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan
terus menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain
ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik
(pukulan).
Abdullah
Nasih Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:[19]
- Pendidik tidak terburu-buru.
- Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
- Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
- Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
- Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.
- Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
- Pendidik menggunakan tangannya sendiri.
- Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari sini
dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak yang
berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih
lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangnnya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi:[20]
و
يحب ا يضا أ ن يضر بهما على تر ك ذ لك ضر با غير مبر ح في أ تنا إ لعا
شر
ة بعد كما ل ا لتسع لا حتما ل البلو غ فيهز
“Wajib
juga untuk memukul keduanya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena
meninggalkannya ketika berumur sepuluh tahun setelah sempurnanya umur sembilan
tahun karena menuju kedewasaan yang dimiliki.”
Hal
tersebut menunjukkan bahwa dalam mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan
hukuman sebagai sarana untuk meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu ang
tidak menyakitkan atas kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini
adalah pukulan yang bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan.
Namun
demikian, kebolehan menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman
sekehendak hatinya, khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu
yang disarankan untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan
untuk dikenai hukuman fisik. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka
atau mata akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak
minder. Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf
lainnya di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka
pendidik memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman
badan harus dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman
dan kebal terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki.
Dari
beberapa pendapat yang lain membagi syarat hukuman menjadi dua, yaitu:
- Lemah lembut dan kasih sayang.[21]
- Dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras.[22]
Armai
Arief membagi syara-syarat pemberian yang harus diperhatikan oleh pendidik
menjadi lima, yaitu:
- Tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang.
- Didasarkan kepada alasan “keharusan”.
- Menimbulkan kesan di hati anak.
- Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan kepada anak didik.
- Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.
Sedangkan
secara singkat M. Ngalim Purwanto membagi syarat hukuman yang pedagogis menjadi
8, antara lain:[23]
- Dapat dipertanggung jawabkan
- Bersifat memperbaiki
- Tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam
- Jangan menghukum pada waktu sedang marah
- Harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan
- Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan yang sebenarnya
- Jangan melakukan hukuman badan
- Tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya
- Guru sanggup memberi maaf setelah anak itu menginsafi kesalahannya.
Dari
beberapa pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa para tokoh pendidikan
saling melengkapi dalam mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan Islam
sehingga yang penting dalam memberikan hukuman pada anak didik adalah dapat
menimbulkan perasaan menyesali atas kesalahan yang diperbuatnya dan tidak
mengulanginya.
- 6. Tahapan Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam
pemberian hukuman ada tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari
yang teringan hingga akhirnya menjadi yang terberat, yaitu:[24]
- Memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat
Yaitu
dengan tidak memojokkan dan mengungkit-ungkit kekeliruannya dengan nasehat yang
panjang lebar, karena dapat membuat anak menolak terlebih dahulu apa yang akan
disampaikan. Pemilihan waktupun harus dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy
menerima masukan.
- Hukuman pengabaian, untuk menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak.
- Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan menyakitkan.
Rasulullah
Saw menjelaskan tahapan bagi pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak,
mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi
tujuh seperti yang terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu
menunjukkan kesalahan dengan:[25]
- Pengarahan
- Ramah tamah
- Memberikan isyarat
- Kecaman
- Memutuskan hubungan (memboikotnya)
- Memukul
- Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman
dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan
meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang
lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah
hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan
jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu
pula ketika pendidik menghukum anak yang berperangai buruk didepan saudara dan
temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa
anak-anak secara keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman
yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran
darinya.
Jika
pendidik tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk
memperbaiki anak dan meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada
yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum
berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang
paling utama hukuman terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau
teman-temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka.[26]
- 7. Dampak Negatif dan Dampak Positif Hukuman
- Dampak Negatif
Jika kita
bertanya dapatkan suatu hukuman yang sama yang dilakukan oleh seorang pendidik
terhadap beberapa orang anak , akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka
jawabnya adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian,
tiap-tiap hukuman mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk
memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu
dapat diharapkan.
M. Ngalim
Purwanto mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:[27]
1)
Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena
hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung
jawab.
2)
Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang
diharapkan oleh pendidik.
3)
Si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa
telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai
Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa
dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara
lain:[28]
1)
Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2)
Murid akan selalu meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan
ia suka berdusta (karena takut dihukum).
3)
Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.
Dalam buku
yang lain Syaikh Jamil Zainu berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman
fisik ada tujuh, yaitu:[29]
1)
Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan.
2)
Guru dan murid akan terpengaruh ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan
membekas pada keduanya secara bersamaan.
3)
Adanya bekas yang merugikan pada diri murid yang terkena pukulan baik pada
wajah, mata, telinga atau anggota badan lainnya.
4)
Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang dihukum
5)
Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan
hakim, keluarga dan penyidik
6)
Terbuangnya waktu murid untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa
yang tengah terjadi ketika pelajaran berlangsung
7)
Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar murid dan guru.
Hukuman
fisik ini bisa digunakan dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum
sebagian murid yang melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang
bisa membuatnya jera kecuali dengan hukuman fisik atau untuk menjaga wibawa
(kehormtan) dan tata tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan
arahan kepada selurut murid tetapi mereka tidak jera juga. Hal ini sebagiamana
diungkapkan dalam sebuah pepatah orang Arab “Obat yang paling akhir adalah
dibakar besi”.[30]
Muhammad
bin ‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang
menggunakan kekerasan, yaitu:[31]
1)
Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan
2)
Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan
oleh anak yang lebih kecil sekalipun
3)
Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Sepantasnyalah
Rasulullah Saw dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada
anak, sehingga hukuman benar-benar dapat efektif.
- Dampak Positif
Armai
Arief mengatakan dampak positif dari hukuman antara lain: [32]
1)
Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2)
Murid tidak lagi melakukan kelahan yang sama.
3)
Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim
Purwanto membagi dampak positif hukuman menjadi dua, yaitu:
1)
Memperbaiki tingkah laku si pelanggar.
Misalnya
yang tidak mengerjakan PR Bahasa Arab, akan dihukum menghafal 20 kosakata
Bahasa Arab. Karena mendapat hukuman itu anak anak merubah sikap malasnya
mengerjakan PR, menjadi rajin mengerjakan PR Bahasa Arab.
2)
Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
C. KESIMPULAN
- Hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
- Dasar Penerapan hukuman dalam pendidikan Islam bisa dilihat pada QS. An-Nisa ayat 34 dan HR. Abu Dawud.
- Tujuan Hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaiakan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas kesalahannya,
- Ada banyak macam hukuman dari beberapa pendapat, yaitu hukuman preventif dan represif, hukuman asosiatif, logis dan normative, hukuman alam dan disengaja.
- Syarat Penggunaan Hukuman dalam pendidikan Islam dipaparkan oleh beberapa ahli pendidikan dengan versi yang berbeda-beda. Yang harus diperhatian ketika memberikan hukuman tidak boleh menyakitkan dan diberikan ketika pendidik dalam keadaan marah. Hukuman juga harus dapat membuat anak didik menyadari kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya.
- Tahapan pemberian hukuman dalam pendidikan Islam adalah pertama anak dinasehati dengan singkat, jelas dan disertai dengan sikap lemah lembut dan tidak dilakukan dihadapan orang banyak. Apabila belum berhasil, maka langkah selanjutnya dilakukan dengan ancaman yang menjerakan, misalkan dengan membuka cela atau rahasianya di depan orang lain. Untuk langkah terakhir apabila belum berhasil juga, maka dengan hukuman fisik, yakni yang tidak membahayakan dan tidak menyakitkan.
- Dampak negatif dari hukuman yang harus dihindari oleh pendidik adalah timbulnya dendam si terhukum atau anak didik akibat dari pemberian hukuman yang tidak efektif. Dan dampak positif dari pemberian hukuman adalah dapat membuat jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama atau membuat kesalahan-kesalahan yang lainya.
D. PENUTUP
Sebagai
penutup penulis ingin mengingatkan kembali bahwa seorang pendidik tidak boleh
mengabaikan pemberian hukuman yang efektif sehingga membuat anak jera dan
bertanggung jawab akan kesalahannya. Di sini, pendidik harus berlaku bijaksana
dalam memberikan hukuman pada anak didiknya.
Islam
mensyariatkan hukuman dan menganjurkan pendidik untuk menggunakannya dengan
sebaik mungkin. Islam juga memiliki sosok yang patut dijadikan suri Tauladan
yaitu Nabi Muhammad Saw.Karena itu pendidik harus menggunakan kecerdasan dan
kebijaksanaan dalam memilih dan mengguakan hukuman yang tepat dalam menyikapi
kekeliruan yang dilakukan oleh anak didik sehingga anak akan jera dan berhenti
mengulangi kesalahannya.
Demikianlah
makalah dengan sedikit pemaparan yang masih jauh dari kata sempurna, semoga
bisa dijadikan sebagai wacana tambahan khususnya dalam dunia pendidikan Islam
kita.
[3]
Reportase Sore Trans 7, Edisi, 29 Desember 2006
[4]
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin
Miri (Jakarta, 1994), hal. 333
[5]
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung,
1993), hal. 341
[6]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung, 2001),
hal. 187
[8]
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana,
2006), hal. 206
[9]
Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu Dawud, terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy
Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[10]
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis (rev.
ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[11]
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung,
1993), hal. 341
[12]
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang, 1993), hal. 66
[13]
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj.
M. Arifin dan Zainuddin (Jakarta, 2005), hal. 228
[14]
Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu Dawud, terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy
Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[15]
Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta, 2005), hal. 81
[16]
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.:
Bandung, 1994), hal. 175-176
[17]
Ibid. hal. 178
[18]
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orangtua, terj.
Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solom 2005), hal. 167-183
[19]
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri
(Jakarta, 1994), hal. 325-327
[20]
Imam Nawawi, Kasyifatu as-Saja (Syarah Safinatu An-Naja) (Semarang,
1985), hal. 17
[21]
Jamaal ‘Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah Saw, terj. Bahrun
Abubakar Ihsan Zubaidi (Bandung, 2005), hal. 303-305
[22]
Abla Bassat Gomma, Mendidik Mentalitas Anak Panduan Bagi Orangtua Untuk
Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa pada Anak-Anak, terj. Mohd. Zaky Abdillah
(Solo, 2006), hal. 48
[23]
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.;
Bandung, 1994), hal. 179-180
Irawati
Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta, 2005), hal. 94-96
[25]
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri
(Jakarta, 1994), hal. 316-323
[26]
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri
(Jakarta, 1994), hal 323
M. Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal.
177
[28]
Armai Arie, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta, 2002),
hal. 133
[29]
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orangtua, terj.
Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solo, 2005), hal. 166-167
[30]
Ibid. hal. 166
[31]
Muhammad bin ‘Abdullah as-Sahim, 15 Kealahan Fatal Mendidik Anak dan Cara
Islami memperbaikinya, terj. Abu Shafiya (Yogyakarta, 2002), hal. 135
[32]
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta, 2002),
hal. 133
Be the first to like this.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar