Selasa, 06 November 2012

HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM oleh Nisa Islami


HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM oleh Nisa Islami
A.    PENDAHULUAN
Hukuman dengan cara yang berlebihan dan diikuti oleh tindakan kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apa lagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan.
14 Oktober 2005, disalah satu SMPN Johar Baru-Jakarta Pusat seorang pelajar di aniaya 3 gurunya di ruangan BP. Siswa ini dihukum oleh gurunya hanya karena ketika di ruang kelas tidak ada gurunya bersorak-sorak (WWW Di Mataram, 9 Mei 2006 lalu sedikitnya 25 siswa-siswi kelas III SDN 23 Karang Sukun dihukum karena ketika pelajaran Matematika, siswa tidak dapat mengerjakan tugas yang diberikan dengan sempurna.[1] Dalam periode yang tidak berselang lama, gara-gara diledek muridnya, salah seorang guru di SD 3 Pancorang-Jakarta Selatan menghkum kedua muridnya 5 Agustus 2006 lalu dengan menghajarnya pakai tangan dan gagang sapu sampai babak belur.[2] Di penghujung tahun 2006 ditutup pula dengan kasus yang sama di SMP 24 Makasar.[3]
Masih banyak lagi kasus pemberian hukuman yang berlebihan terhadap siswa, yang ironisnya dilakukan oleh guru mereka sendiri. Niat guru ingin memberikan hukuman agar siswa tidak melakukan kesalahan yang sama dan dapat memperbaiki kesalahannya. Namun, cara yang digunakan sangat tidak sesuai dengan etika sebagai guru dan pastinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai kependidikan, khususnya Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia.
Hukuman tidak mutlak diperlukan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah Nasih Ulwan bahwa untuk membuat anak jera, pendidik harus berlaku bijaksanan dalam memilih dan memakai metode yang paling sesuai.[4] Di antara mereka ada yang cukup dengan teladan dan nasehat saja, sehingga tidak perlu hukuman baginya. Tetapi, manusia itu tidak sama seluruhnya, diantara mereka ada pula yang perlu dikerasi atau dihukum yaitu mereka yang berbuat kesalahan.[5]
Asumsi yang berkembang selama ini di masyarakat adalah setiap kesalahan harus memperoleh hukuman; Tuhan juga menghukum setiap orang yang bersalah. Dari satu jalur logika teori itu ada benarnya. Memang logis, setiap orang yang bersalah harus mendapat hukuman; setiap yang berbuat baik harus mendapat ganjaran. Sebenarnya hukuman tidak selalu harus berkonotasi negatif yang berakibat sengsara bagi terhukum tetapi dapat juga bersifat positif.
Karena itu, mengapa orang tidak mengambil teori yang lebih positif? Bukankah Allah selalu mengampuni orang yang bersalah apabila dia bertaubat pada-Nya? Allah juga lebih mendahlukan kasih-Nya dan membelakangi murka-Nya. Dalam Qs. Ali Imran: 134 Allah memuji orang yang sanggup menahan marah dan suka memberi maaf. Dan dalam satu hadist, nabi Muhammad Saw mengajarkan bahwa Allah menyenangi kelembutan dalam semua persoalan (HR. Bukhari).[6]
Dengan demikian kita bisa menyepakati bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid terkadang pantas mendapat hukuman. Namun jenis hukuman itulah yang seharusnya disesuaikan dengan lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, bukan penghakiman.
Kasus-kasus di atas akan menjadi pelajaran berharga bagi kita jika kita tidak hanya menimpakan kesalahan kepada guru yang bersangkutan. Tapi juga kepada sekolah, bahkan orangtua siswa. Di sini perlunya komunikasi yang baik antara orangtua murid dengan guru, aturan yang tegas dari sekolah terhadap guru yang bersangkutan dan yang paling penting sikap bijak seorang guru dalam menghadapi kesalahan anak didik.
Berangkat dari pemaparan di atas, makalah ini akan mengulas tentang pengertian hukuman, dasar, tujuan, macam, syarat, tahapan, dan dampak negatif maupun positif pemberian hukuman dalam pendidikan Islam.
  1. B. PEMBAHASAN
    1. 1. Pengertian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan.[7] Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan.
Sebagai contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mdzakkir.[8] Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut data diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[9]
Paul Chanche mengartikan hukuman adalah
“The procedure of decreasing the likelihood of a behavior by following it with some azersive consequence”
(Prosedur penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif)
Decreasing the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.  Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.
Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi pengertian hukuman adalah:
“Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”[10]
Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.[11]
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
  1. 2. Dasar Pemberian  Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pendidik muslim harus mendasarkan hukuman yang diberikannya pada ajaran Islam, sesuai dengan firman Allah dan sunah Rasul-Nya.
Ayat al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
والتي تخا فو ن نشو ز هن فعضو هن و ا هجر و هن في ا لمضا جع و ا ضر بو هن ج قا ت ا طعتكم فلا تبغو ا عليهن سبيلا قلي
“Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan. (Q.S. An-Nisa: 34)[12]
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Maka diberikan alternative hukuman berikutnya, yaitu dengan bentuk ‘pengabaian’. Di mana Allah memerintahkan untuk memisahkan para isteri yang melanggar aturan tersebut, dengan tidak mempedulikan atau mengabaikannya. Suami hendaklah memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya secara fisik dan membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Itulah yang dimaksud hukuman pengabaian.
Setelah tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir, dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan.
Demikian pula terhadap mendidik anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah lembut dan menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu tidak belum juga berhasil maka pendidik bisa menggunakan pukulan.[13]
Adapun perintah mendidik anak, telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
عن عمر و بن سعيب عن ا بيه عن جد ه قا ل: قا ل ر سو ل لله صلي ا لله عليه و سلم مرو ا لا د كم با لصلاة و هم ا بنا ء سبع سنين, وا ضربو هم عليها و هم ا بنا ء عشر, و فر قو ا بينهم فى المضا جع
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[14]
Dari Firman Allah Saw dan hadist Nabi Muhammad Saw, kita dapat menjadikannya sebagai dasar hukum pemberian hukuman dalam pendidikan Islam.
  1. 3. Tujuan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Apa sebenarnya tujuan orangtua dan pendidik ketika memberikan hukuman pada anak? Ini bukanlah persoalan yang ringan, karena dari beerapa kasus di awal pembahasan tadi, ternyata masih banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan yang salah. Bahkan ada yang menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat saja. Dalam kondisi ini, Irawati Istadi mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman adalah menginginkan adanya penyadaran agar anak tidak lagi melakukan kesalahan.[15]
M. Mgalim Purwanto mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman, yaitu:
  1. Teori Pembalasan
Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang.
  1. Teori Perbaikan
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi.
  1. Teori Pelindungan
Menurut teori ini, hukuman diadakan ntuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar.
  1. Teori Ganti Kerugian
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu.
  1. Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain.
Sedangkan tujuan hukuman menurut M. Arifin ada dua, yaitu:
  1. Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.
  2. Memperkuat atau memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya.
  1. 4. Macam-macam Hukuman dalam Pendidikan Islam
Ada beberapa pendapat dalam mengklasifikasikan hukuman, diantaranya adalah:
  1. Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim Purwanto, ada beberapa pendapat yang membedakan hukuman menjadi dua macam, yaitu:[16]
1)      Hukuman Preventiv, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan.
2)      Hukuman Represif, yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya kesalahan yang telah diperbuat. Jadi, hukuman itu dilakukan setelah terjadi pelanggaran.
  1. Sementara itu W. Stern membagi hukuman menurut tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu.[17]
1)      Hukuman Asosiatif, yaitu penderitaan akibat dari pemberian hukuman ada kaitannya dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukannya. Dengan kata lain hukuman itu diasosiasikan dengan pelanggarannya.
2)      Hukuman Logis, yaitu anak dihukum hingga memahami kesalahnnya. Hukuman ini diberikan pada anak yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami bahwa ia mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang diperbuatnya.
3)      Hukuman Normatif, bermasud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini sangat erat hubungannya dengan pembentukan watak anak-anak.
  1. Ada pula yang membagi hukuman menjadi dua, yaitu:
1)      Hukuman Alam, yang dikemukakan oleh JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme berpendapat kalau ada anak yang melakukan kesalahan jangan dihukum, biarlah alam yang menghukumnya. Dengan kata lain, biarlah anak kapok atau jera dengan sendirinya.
2)      Hukuman Yang Disengaja, hukuman ini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan.
  1. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu membagi hukuman menjadi dua, yaitu:[18]
1)      Hukuman yang Dilarang, seperti: memukul wajah, kekerasan yang berlebihan, perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah.
2)      Hukuman yang Mendidik dan Bermanfaat, seperti: memberikan nasehat dan pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan kenakalannya, menyindir, mendiamkan, teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke perut, hukuman dari ayah, menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan.
Dari beberapa macam hukuman di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya hukuman preventiv dan represif, karena sebenarnya dalam ilmu pendidikan, kedua istilah itu tidak tepat kalau hanya dihbungkan dengan hukuman. Lebih sesuai kiranya jika kedua istilah itu dipergunakan untuk menyifatkan alat-alat pendidikan pada umumnya.
Hukuman Alam juga kurang tepat karena ditinjai secara pedagogis, hukuman alam itu tidak mendidik. Walau dalam beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori Rousseau itu ada benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat mengetahui norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan yang tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan merubahnya. Kalau alam atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi akibatnya. Karena di sini tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada hal yang lebih baik. Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru pendidik membiarkan dengan harapan bisa berubah dengan sendirinya.
  1. 5. Syarat Penggunaan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenwng tertutama dalam hukuman fisik harus mengikuti ketentuan yang ada.
Terkadang menunda hukuman lebih besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan dua  hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:[19]
  1. Pendidik tidak terburu-buru.
  2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
  3. Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
  4. Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
  5. Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.
  6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
  7. Pendidik menggunakan tangannya sendiri.
  8. Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari sini dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak yang berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangnnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi:[20]
و يحب ا يضا  أ ن يضر بهما على تر ك ذ لك ضر با غير مبر ح في أ تنا إ لعا
شر ة بعد كما ل ا لتسع لا حتما ل البلو غ فيهز
“Wajib juga untuk memukul keduanya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena meninggalkannya ketika berumur sepuluh tahun setelah sempurnanya umur sembilan tahun karena menuju kedewasaan yang dimiliki.”
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan hukuman sebagai sarana untuk meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu ang tidak menyakitkan atas kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini adalah pukulan yang bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan.
Namun demikian, kebolehan menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya, khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu yang disarankan untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk dikenai hukuman fisik. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka atau mata akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak minder. Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf lainnya di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka pendidik memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman badan harus dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki.
Dari beberapa pendapat yang lain membagi syarat hukuman menjadi dua, yaitu:
  1. Lemah lembut dan kasih sayang.[21]
  2. Dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras.[22]
Armai Arief membagi syara-syarat pemberian yang harus diperhatikan oleh pendidik menjadi lima, yaitu:
  1. Tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang.
  2. Didasarkan kepada alasan “keharusan”.
  3. Menimbulkan kesan di hati anak.
  4. Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan kepada anak didik.
  5. Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.
Sedangkan secara singkat M. Ngalim Purwanto membagi syarat hukuman yang pedagogis menjadi 8, antara lain:[23]
  1. Dapat dipertanggung jawabkan
  2. Bersifat memperbaiki
  3. Tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam
  4. Jangan menghukum pada waktu sedang marah
  5. Harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan
  6. Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan yang sebenarnya
  7. Jangan melakukan hukuman badan
  8. Tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya
  9. Guru sanggup memberi maaf setelah anak itu menginsafi kesalahannya.
Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa para tokoh pendidikan saling melengkapi dalam mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan Islam sehingga yang penting dalam memberikan hukuman pada anak didik adalah dapat menimbulkan perasaan menyesali atas kesalahan yang diperbuatnya dan tidak mengulanginya.
  1. 6. Tahapan Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam pemberian hukuman ada tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan hingga akhirnya menjadi yang terberat, yaitu:[24]
  1. Memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat
Yaitu dengan tidak memojokkan dan mengungkit-ungkit kekeliruannya dengan nasehat yang panjang lebar, karena dapat membuat anak menolak terlebih dahulu apa yang akan disampaikan. Pemilihan waktupun harus dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy menerima masukan.
  1. Hukuman pengabaian, untuk menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak.
  2. Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan menyakitkan.
Rasulullah Saw menjelaskan tahapan bagi pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu menunjukkan kesalahan dengan:[25]
  1. Pengarahan
  2. Ramah tamah
  3. Memberikan isyarat
  4. Kecaman
  5. Memutuskan hubungan (memboikotnya)
  6. Memukul
  7. Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu pula ketika pendidik menghukum anak yang berperangai buruk didepan saudara dan temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya.
Jika pendidik tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman-temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka.[26]
  1. 7. Dampak Negatif dan Dampak Positif Hukuman
    1. Dampak Negatif
Jika kita bertanya dapatkan suatu hukuman yang sama yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap beberapa orang anak , akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka jawabnya adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian, tiap-tiap hukuman mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan.
M. Ngalim Purwanto mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:[27]
1)      Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung jawab.
2)      Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang diharapkan oleh pendidik.
3)      Si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain:[28]
1)     Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2)     Murid akan selalu meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum).
3)     Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.
Dalam buku yang lain Syaikh Jamil Zainu berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu:[29]
1)      Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan.
2)      Guru dan murid akan terpengaruh ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan membekas pada keduanya secara bersamaan.
3)      Adanya bekas yang merugikan pada diri murid yang terkena pukulan baik pada wajah, mata, telinga atau anggota badan lainnya.
4)      Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang dihukum
5)      Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan hakim, keluarga dan penyidik
6)      Terbuangnya waktu murid untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa yang tengah terjadi ketika pelajaran berlangsung
7)      Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar murid dan guru.
Hukuman fisik ini bisa digunakan dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian murid yang melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera kecuali dengan hukuman fisik atau untuk menjaga wibawa (kehormtan) dan tata tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan arahan kepada selurut murid tetapi mereka tidak jera juga. Hal ini sebagiamana diungkapkan dalam sebuah pepatah orang Arab “Obat yang paling akhir adalah dibakar besi”.[30]
Muhammad bin ‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan, yaitu:[31]
1)      Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan
2)      Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun
3)      Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Sepantasnyalah Rasulullah Saw dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak,  sehingga hukuman benar-benar dapat efektif.
  1. Dampak Positif
Armai Arief mengatakan dampak positif dari hukuman antara lain: [32]
1)     Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2)     Murid tidak lagi melakukan kelahan yang sama.
3)     Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim Purwanto membagi dampak positif hukuman menjadi dua, yaitu:
1)      Memperbaiki tingkah laku si pelanggar.
Misalnya yang tidak mengerjakan PR Bahasa Arab, akan dihukum menghafal 20 kosakata Bahasa Arab. Karena mendapat hukuman itu anak anak merubah sikap malasnya mengerjakan PR, menjadi rajin mengerjakan PR Bahasa Arab.
2)      Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
C.    KESIMPULAN
  1. Hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
  2. Dasar Penerapan hukuman dalam pendidikan Islam bisa dilihat pada QS. An-Nisa ayat 34 dan HR. Abu Dawud.
  3. Tujuan Hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaiakan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas kesalahannya,
  4. Ada banyak macam hukuman dari beberapa pendapat, yaitu hukuman preventif dan represif, hukuman asosiatif, logis dan normative, hukuman alam dan disengaja.
  5. Syarat Penggunaan Hukuman dalam pendidikan Islam dipaparkan oleh beberapa ahli pendidikan dengan versi yang berbeda-beda. Yang harus diperhatian ketika memberikan hukuman tidak boleh menyakitkan dan diberikan ketika pendidik dalam keadaan marah. Hukuman juga harus dapat membuat anak didik menyadari kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya.
  6. Tahapan pemberian hukuman dalam pendidikan Islam adalah pertama anak dinasehati dengan singkat, jelas dan disertai dengan sikap lemah lembut dan tidak dilakukan dihadapan orang banyak. Apabila belum berhasil, maka langkah selanjutnya dilakukan dengan ancaman yang menjerakan, misalkan dengan membuka cela atau rahasianya di depan orang lain. Untuk langkah terakhir apabila belum berhasil juga, maka dengan hukuman fisik, yakni yang tidak membahayakan dan tidak menyakitkan.
  7. Dampak negatif dari hukuman  yang harus dihindari oleh pendidik adalah timbulnya dendam si terhukum atau anak didik akibat dari pemberian hukuman yang tidak efektif. Dan dampak positif dari pemberian hukuman adalah dapat membuat jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama atau membuat kesalahan-kesalahan yang lainya.
D.    PENUTUP
Sebagai penutup penulis ingin mengingatkan kembali bahwa seorang pendidik tidak boleh mengabaikan pemberian hukuman yang efektif sehingga membuat anak jera dan bertanggung jawab akan kesalahannya. Di sini, pendidik harus berlaku bijaksana dalam memberikan hukuman pada anak didiknya.
Islam mensyariatkan hukuman dan menganjurkan pendidik untuk menggunakannya dengan sebaik mungkin. Islam juga memiliki sosok yang patut dijadikan suri Tauladan yaitu Nabi Muhammad Saw.Karena itu pendidik harus menggunakan kecerdasan dan kebijaksanaan dalam memilih dan mengguakan hukuman yang tepat dalam menyikapi kekeliruan yang dilakukan oleh anak didik sehingga anak akan jera dan berhenti mengulangi kesalahannya.
Demikianlah makalah dengan sedikit pemaparan yang masih jauh dari kata sempurna, semoga bisa dijadikan sebagai wacana tambahan khususnya dalam dunia pendidikan Islam kita.

[3] Reportase Sore Trans 7, Edisi, 29 Desember 2006
[4] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 333
[5] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), hal. 341
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung, 2001), hal. 187
[8] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 206
[9] Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu Dawud, terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[10] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[11] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), hal. 341
[12] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang, 1993), hal. 66
[13] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj. M. Arifin dan Zainuddin (Jakarta, 2005), hal. 228
[14] Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu Dawud, terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[15] Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta, 2005), hal. 81
[16] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[17] Ibid. hal. 178
[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orangtua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solom 2005), hal. 167-183
[19] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 325-327
[20] Imam Nawawi, Kasyifatu as-Saja (Syarah Safinatu An-Naja) (Semarang, 1985), hal. 17
[21] Jamaal ‘Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah Saw, terj. Bahrun Abubakar Ihsan Zubaidi (Bandung, 2005), hal. 303-305
[22] Abla Bassat Gomma, Mendidik Mentalitas Anak Panduan Bagi Orangtua Untuk Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa pada Anak-Anak, terj. Mohd. Zaky Abdillah (Solo, 2006), hal. 48
[23] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.; Bandung, 1994), hal. 179-180
Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta, 2005), hal. 94-96
[25] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 316-323
[26] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal 323
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 177
[28] Armai Arie, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta, 2002), hal. 133
[29] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orangtua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solo, 2005), hal. 166-167
[30] Ibid. hal. 166
[31] Muhammad bin ‘Abdullah as-Sahim, 15 Kealahan Fatal Mendidik Anak dan Cara Islami memperbaikinya, terj. Abu Shafiya (Yogyakarta, 2002), hal. 135
[32] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta, 2002), hal. 133
Be the first to like this.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar