APLIKASI
HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM (Kajian Surat Al-A’rāf ayat
59-64) oleh Nisa Islami
BAB 1
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada hakekatnya manusia diciptakan dalam
sebaik-baik bentuk adalah dalam rangka mengemban tugas sebagai khalifah di muka
bumi. Oleh sebab itu, manusia adalah insan bijaksana yang harus
mengaktualisasikan diri menjadi manusia yang bermanfaat di tengah-tengah
lingkungan dan kehidupannya. Di sini terlihat makna kesempurnaan manusia diciptakan
Allah SWT. Sebagaimana Firman-Nya: لَقَدْ خَلَقْنَا
الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” (Q.S. At-Tin: 4). Untuk melengkapi kesempurnaan tersebut,
diperlukan pemberdayaan manusia. Di antara unsur pemberdayaan yang strategis
adalah melalui pendidikan. Bagi manusia pendidikan merupakan sentral untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, sehingga memiliki jati diri dan
tanggung jawab profesional dalam hidupnya. Melalui upaya ini, secara langsung
atau tidak harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan akan berada pada
posisi yang sangat terhormat. Oleh karena itu, tak berlebihan apabila Akhmad
Sukarti menyakini bahwa pendidikan dan pengajaran adalah segala-galanya dan
merupakan kunci bagi terciptanya kemajuan peradaban umat manusia
(Ramayulis,dkk, 2005: 61-62) Sedangkan Pendidikan Islam adalah penataan
individual dan sosial yang dapat menyebabkan taat pada Islam dan menerapkannya
secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Islam mendidik
manusia menjadikan syariat Allah SWT sebagai hakim terhadap seluruh perbuatan
dan tindakannya, kemudian tidak keberatan terhadap hukum yang telah diterapkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan tunduk dan patuh kepada perintah-Nya
(Abdurrrahman An-Nahlawi, 1987: 38). Dalam penataan individual itu pendidikan
diarahkan agar manusia mempunyai pribadi yang mantap dalam arti, yang
dikembangkan itu bukan aspek kognitifnya saja tetapi aspek afektifnya dan aspek
psikomotornya juga. Dalam penataan sosial, pendidikan itu mengarahkan supaya
manusia bukan jadi budak dari masyarakat itu dan juga sebagai manusia yang suka
memaksakan kehendaknya pada orang lain. Agar tujuan pendidikan tercapai dengan
baik diperlukan adanya penggerak atau motif yang dalam alat pendidikan disebut
ganjaran dan hukuman (reward and punishment) atau dalam Pendidikan Agama Islam
dikenal istilah At Targib wa At Tarhib. Reward atau At Targib merupakan salah
satu alat pendidikan yang diartikan sebagai ganjaran ataupun hadiah yang
diberkan dalam pelaksanaan pendidikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ngalim
Purwanto (2000: 182) bahwa reward merupakan alat untuk mendidik anak-anak
supaya anak dapat merasa senang karena perbuatan atau pekerjaannya mendapat
penghargaan. Armai Arief (2000: 127) menjelaskan istilah reward sebagai: 1.
Alat pendidikan preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi
pendorong atau motivator belajar bagi anak didik. 2. Hadiah terhadap perilaku
baik dari anak didik dalam proses pendidikan. Reward sebagai alat pendidikan
preventif yang bersifat pencegahan bertujuan untuk menjaga hal-hal yang dapat
menghambat atau mengganggu kelancaran dalam proses pendidikan. Sedangkan
sebagai alat pendidikan represif, bertujuan untuk menyadarkan anak kembali
kepada hal-hal yang benar, yang baik dan tertib (Amier Daien, 1973: 144).
Dengan memberikan sesuatu yang menyenangkan kepada anak, diharapkan anak akan
termotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik, benar dan tertib terhadap
peraturan. Reward sebagai hadiah dalam konteks pendidikan merupakan suatu alat
yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan dan sebagai suatu ekspresi
pendidik terhadap anak didiknya yang dianggap telah melakukan perbuatan baik
atau dalam kategori baik dengan memberikan kesenangan-kesenangan. Selain itu,
adapula hukuman sebagai salah satu alat pendidikan yang diartikan oleh AG.
Soejono (tt: 164) bahwa: “Hukuman sebagai alat pendidikan adalah memperlihatkan
kepada anak didik dengan berbagai tindakannya bahwa pendidik kecewa, anak didik
telah melanggar atau tidak melaksanakan tuntutan atau kehendak sebagai usaha
pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan dan mengajak anak didik untuk
membetulkan perbuatannya”. M. Sastrapradja (1981: 201) mengartikan hukuman
sebagai suatu perbuatan di mana seseorang secara sadar dan sengaja menjatuhkan
nestapa kepada orang lain dengan tujuan memperbaiki atau melindungi dirinya
dari kelemahan jasmani dan rohani sehingga terhindar dari segala macam
pelanggaran. Dengan demikian hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan
dalam pendidikan guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang
benar. Berdasarkan penelitian yang mutahir, dalam pendidikan Islam punishmen
(hukuman) kurang efektif dibandingkan dengan reward (hadiah) yang penuh dengan kesenangan
lebih dapat menggugah semangat anak untuk lebih giat belajar sehingga anak akan
selalu mendapat motivasi dalam pendidikannya. Selain itu, reward (hadiah) juga
dapat merespon dan memberikan stimulus kepada setiap perubahan perilaku dan
perkembangan kemampuan anak didik sehingga akan tercipta perilaku yang
diharapkan. Hal ini karena asumsi yang berkembang selama ini terhadap pemberian
hukuman terlanjur negatif bahkan berkesan menakutkan dan menyakitkan. Karena
dalam penerapannya seringkali melenceng dari fungsinya, yaitu untuk memperbaiki
tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan
sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas
kesalahannya. Karena itulah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai aplikasi hukuman dalam pendidikan menurut pandangan Islam, diharapkan
tidak ada lagi cerita-cerita miris mengenai penerapan hukuman yang berlebihan
dan menyakitkan, sehingga penerapan hukuman dalam pendidikan dapat efektif dan
efisien. Seperti yang dikutip oleh Nur Azizah (2006) dalam skripsinya,
Zainuddin (1991: 83-86) membagi alat pendidikan menjadi dua yaitu pertama, alat
pendidikan preventif yang meliputi: anjuran dan perintah, larangan dan
disiplin. Kedua, alat pendidikan kuratif yang meliputi: peringatan, teguran,
sindiran, ajaran dan hukuman. Dan istilah hukuman digunakan dalam ayat
Al-Qur’an yang bermakna, bahwa hikmah diberikan kepada seseorang yang melakukan
perbuatan yang tidak dikehendaki (salah), dengan tujuan dari hukuman tesebut
dapat mengatur atau memperbaiki tingkah laku. Salah satunya dapat dilihat dalam
QS. An-Nisa ayat 34, yang berbunyi: Artinya: “Wanita yang kamu khawatirkan
nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan
pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan.” M. Athiyahah Abrasy (1990: 13)
mengatakan bahwa “Hukuman dalam pendidikan Islam adalah sebagai tuntunan dan
perbaikan, bukan sebagai hardikan atau celaan”. Ada banyak sekali kasus guru
menghukum anak didiknya dengan cara yang berlebihan hanya karena kesalahan
kecil. Seperti yang terjadi di Johar Baru, 14 Oktober 2005 Muhammad Santana
seorang pelajar SMPN di Jalan Raya Johar Baru, Jakarta Pusat, dianiaya 3 gurunya
di ruangan Bimbingan Penyuluhan (BP). Korban mual-mual kemudian muntah-muntah
sehingga dilarikan ke RSCM. Siswa dihukum oleh gurunya hanya karena ketika di
ruang kelas tidak ada gurunya bersorak-sorak di ruangan. Lalu guru tersebut
menghukumnya berdiri di halaman sekolah selama 15 menit. Setelah hukuman itu
selesai, ketiga guru itu membawa Muhammad Santana ke ruang BP. Di ruangan
inilah, ketiga guru itu memukul korban pakai tangan kosong. Ada yang memukul
kepala Santana dan ada juga yang mencubit kaki dan paha korban
(www.lantas.metro.polri.go.id). Kasus seperti di atas, terjadi pula di Mataram
9 Mei 2006 lalu. Sedikitnya 25 siswa-siswi kelas III SD Negeri 23, Karang
Sukun, Mataram menjadi korban. Aksi penganiayaan yang dilakukan guru Firda (46)
sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, namun siswa takut melapor pada
orangtuanya karena diancam akan dikeluarkan dari sekolah. Mereka dihukum karena
ketika pelajaran Matematika, murid diberi tugas membuat garis sepanjang 9 cm di
papan tulis. Setelah garis dibuat, ternyata panjangnya tidak sesuai permintaan
Firda. Karena panjang garis lebih, Diky mendapat hukuman dicubit lengannya dan
dipukul dengan penggaris besar. Tidak berhenti sampai di situ lalu murid juga
dicubit berulang kali. Ada pula yang mulutnya dipukul karena garis yang
dibuatnya kurang dari 9 cm (www.balipost.co.id). Gara-gara diledek muridnya,
Budi salah seorang guru SD 3, Pancoran, Jakarta Selatan naik pitam. Dua
muridnya Rio dan Achmad yang duduk di kelas VI Kamis, 5 Agustus 2006 lalu
dihajar pakai tangan dan gagang sapu sampai babak belur. Keduanya terpaksa
dilarikan ke RS Pejaten Jakarta Selatan untuk keperluan visum, karena mengalami
memar-memar di pipi dan bagian paha mereka (www.kompas.com). Masih banyak lagi
kasus pemberian hukuman yang berlebihan terhadap siswa yang ironisnya dilakukan
oleh guru mereka sendiri. Niat guru ingin memberi hukuman agar siswa tidak
melakukan kesalahan yang sama dan bisa memperbaiki kesalahannya, namun cara
yang digunakannya sangat tidak sesuai dengan etika sebagai guru dan pastinya
sangat bertentangan dengan nilai-nilai kependidikan, khususnya Al-Qur’an
sebagai petunjuk hidup manusia. Athiyah Al-Abrasy (1993: 159) berpendapat bahwa
sifat-sifat anak yang berbuat salah itu harus diteliti tidak dengan pandangan
dan kerlingan saja terhadap anak, mungkin cukup untuk pencegahan dan perbaikan
sebagai hukumannya. Di samping itu mungkin pula ada anak-anak yang harus
dipukul dan dihinakan baru ia dapat diperbaiki. Tapi apakah harus dengan
penganiayaan yang berlebihan pada anak didik dan menyebabkan kesakitan?
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam, begitu tegas memaparkan pentingnya
hukuman dalam pendidikan baik melalui teguran yang jelas, maupun melalui
kisah-kisah yang terdapat di dalamnya. Ada banyak kisah Nabi dan Rosul yang
menunjukkan apabila kebenaran yang disampaikan dengan peringatan, anjuran dan
ajakan tidak pula dihiraukan, maka hukumanlah yang akan mereka terima sebagai
wujud tindakan yang dijatuhkan atas pelanggaran yang mereka lakukan, seperti
dalam Firman-Nya: Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya
lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan
bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut
kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat) (59). Pemuka-pemuka dari
kaumnya berkata: “Sesungguhnya Kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang
nyata” (60). Nuh menjawab: “Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun,
tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam (61). Aku sampaikan kepadamu
amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu dan aku mengetahui dari
Allah apa yang tidak kamu ketahui (62). Dan apakah kamu (tidak percaya) dan
heran bahwa datang kepada kamu peryataan dari Tuhanmu dengan perantaraan
seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan
mudah-mudahan kamu bertaqwa dan supaya kamu mendapat rahmat? (63). Lalu mereka
mendustakan Nuh dan kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang
bersamanya di dalam bahtera dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya) (64)”.
(Q.S. Al-A’Raaf: 59-64) Ayat tersebut di atas mengandung penjelasan bahwa
apabila teladan dan nasehat tidak dihiraukan, maka harus diadakan tindakan tegas
yang dapat meletakkan persoalan atau permasalahan ke tempat yang benar.
Tindakan yang tegas itu adalah hukuman. Menurut Muhammad Quthub (1993: 341),
sesungguhnya hukuman tidak mutlak diperlukan, ada orang-orang yang cukup dengan
teladan dan nasehat saja, sehingga tidak perlu hukuman baginya. Tetapi manusia
itu tidak sama seluruhnya, di antara mereka ada juga yang perlu dikerasi atau
dihukum, yaitu mereka yang berbuat kesalahan. Asumsi yang selama ini berkembang
di masyarakat adalah “Setiap kesalahan harus memperoleh hukuman; Tuhan juga
menghukum setiap orang yang bersalah”. Dari satu jalur logika “teori” itu ada
benarnya. Memang logis, setiap orang yang bersalah harus mendapat hukuman;
setiap yang berbuat baik harus mendapat ganjaran. Sebenarnya, hukuman tidak
selalu harus berkonotasi negatif yang berakibat sengsara bagi terhukum tetapi
dapat juga bersifat positif. Karena itu mengapa orang tidak mengambil teori
yang lebih positif? Bukankah Allah SWT selalu mengampuni orang yang bersalah
apabila dia bertaubat pada-Nya? Allah SWT juga lebih mendahulukan kasih-Nya dan
membelakangkan murka-Nya. Dalam Q.S. Ali Imran: 134 Allah SWT memuji orang yang
sanggup menahan marah dan suka memberi maaf. Dan dalam satu hadist, Nabi
Muhammad SAW mengajarkan bahwa Allah SWT menyenangi kelembutan dalam semua
persoalan (HR. Bukhori) (Ahmad Tafsir: 2001: 187) Dengan demikian memberi
hukuman setelah terjadinya kesalahan dalam pendidikan sangat penting diberikan
kepada anak didik, sebagai upaya pendidik yang bertujuan untuk memperbaiki
kesalahan anak didik agar tidak melakukan kesalahan lagi, sekaligus adanya
perbaikan atau perubahan tingkah laku. Penulis melihat bahwa dalam surat
Al-A’raaf yang menceritakan kisah Nabi Nuh memiliki kandungan yang sangat
mendalam. Tidak asingnya kisah-kisah Nabi dan Rosul mempermudah kita untuk
dapat lebih mendalami dan memahami pelajaran di dalamnya. Termasuk ayat 59-64
surat Al-A’raaf ini, sangat penting untuk digali lebih dalam agar kita bisa
mendapatkan pedoman dalam memberikan hukuman dalam pendidikan Islam sesuai
dengan ketentuan Al-Qur’an. Dari kajian awal penulis terhadap terjemahan ayat
59-64 surat Al-A’raf, penulis memiliki tanggapan bahwa kandungan ayat-ayat
tersebut berkaitan dengan contoh penerapan hukuma dalam pendidikan secara umum.
Selain itu, tafsir para mufassir dan para tokoh terhadap ayat-ayat tersebut
juga mengandung berbagai hal tentang penerapan hukuman. Oleh karena itu,
penulis menduga bahwa ada pelajaran yang berharga yang harus dikaji lebih
lanjut dalam ayant-ayat tersebut. Sehingga penulis tertarik untuk menggali,
membahas dan mendalami lebih jauh lagi tentang ayat tersebut sebagai judul
penulisan skripsi. Atas dasar pertimbangan di atas penulis melakukan penelitian
yang laporannya penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul: “Aplikasi Hukuman
Dalam Pendidikan Menurut Perspektif Islam (Kajian Surat Al-A’raaf ayat 59-64)”
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang permasalahan dan penegasan
istilah di atas, maka masalah pokok yang menjadi fokus penelitian adalah
“Bagaimana aplikasi hukuman dalam pendidikan menurut perspektif Islam yang
terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raaf ayat 59-64?” C. PENEGASAN ISTILAH
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menghindari adanya interpretasi yang
berbeda sekaligus sebagai pijakan dalam pembahasan selanjutnya, maka terlebih
dahulu penulis menjelaskan maksud dari judul skripsi di atas. 1. Aplikasi
Hukuman Aplikasi secara etimologis dalam kamus besar Bahasa Indonesia berari
penggunaan; penerapan (DEPDIKBUD, 1993: 46). Sedangkan hukuman diartikan oleh
M. Sastrapradja sebagai suatu perbuatan di mana seseorang secara sadar dan
sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain dengan tujuan memperbaiki atau
melindungi dirinya dari kelemahan jasmani dan rohani sehingga terhindar dari
segala macam pelanggaran (1981: 201). Jadi aplikasi hukuman yang dimaksud dalam
skripsi ini adalah penggunaan cara menjatuhkan nestapa yang dikenakan kepada
orang yang melakukan pelanggaran, agar di masa yang akan datang orang tersebut
sadar dan tidak lagi mengulanginya. 2. Pendidikan Pendidikan secara etimologi
dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti perbuatan (hal, cara, dsb) mendidik
(Poerwadarminto, 1993: 250). Menurut Hery Noer Aly (1999: 25), pendidikan
merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang dalam mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan juga diartikan
sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (M. Ngalim
Purwanto: 1998: 10). Dalam pengertian yang luas, pendidikan berlangsung tidak
dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup sejak lahir
bahkan sejak awal hidup dalam kandungan hingga mati, sehingga tidak ada batas
waktu berlangsungnya pendidikan (Redja Mudyahardjo, 2002: 46). Jadi, pendidikan
yang dimaksud dalam skripsi ini adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku
dalam usaha mendewasakan yang dilakukan oleh orang dewasa berupa pengajaran dan
pelatihan yang berlangsung sepanjang hidupnya. 3. Perspektif Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, perspektif berarti sudut pandang; pandangan (Depdikbud, 1993:
675). Yang dimaksud perspektif dalam skripsi ini adalah penerapan hukuman dalam
pendidikan menurut pandangan Islam. 4. Islam Islam berarti agama yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW (Depdikbud, 1995: 33). Harun Nasution (1985: 24)
mendefinisikan Islam adalah ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada umat-Nya
melalui Nabi Muhammad SAW. Dan Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 mengartikan
Islam sebagai sebuah agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT dan
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai risalah untuk diajarkan kepada
umatnya. Jadi, Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah ajaran-ajaran
tentang peraturan dan petunjuk yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh umat
Islam dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. 5. Kajian Surat Al-A’raaf ayat
59-64 Kajian adalah proses, cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan, penelaahan
(DEPDIKBUD, 1993: 378). Sedangkan surat Al-A’raaf merupakan salah satu surat dalam
Al-Qur’an dalam juz 1 surat ke-7. Jadi Kajian Surat Al-A’raaf yang dimaksud
dalam skripsi ini adalah perbuatan mengkaji surat Al-A’raaf ayat 59-64. Dengan
demikian yang dimaksud penulis dalam judul skripsi ini adalah penggunaan cara
menjatuhkan nestapa yang dikenakan kepada orang yang melakukan pelanggaran,
dengan melalui proses pengubahan sikap dan tingkah laku yang dilakukan orang
dewasa berupa pengajaran dan pelatihan yang berlangsung sepanjang hidupnya agar
di masa yang akan datang orang tersebut sadar dan tidak lagi mengulanginya
menurut pandangan ajaran-ajaran tentang peraturan dan petunjuk yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh umat Islam dengan berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah. D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian
dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui penerapan hukuman dalam pendidikan
menurut perspektif Islam, khususnya sebagaimana yang terkandung dalam surat
Al-A’raf ayat 59-64. 2. Manfaat Penelitian a. Secara teoritis, diharapkan dapat
memberikan sumbangan wawasan dan pengetahuan tentang tujuan hukuman dalam
pendidikan yang merupakan tuntunan perbaikan dalam pendidikan. b. Secara
praktis, penelitian diharapkan berguna bagi dunia pendidika dalam menetapkan
tujuan pendidikan agar dijadikan pelajaran untuk tidak melanggar aturan-aturan
Allah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan umat. E. TELAAH PUSTAKA
Menurut Ahmad D.Marimba (1981: 19) pendidikan adalah sebagai upaya membimbing
dan memimpin anak didik secara sadar yang dilakukan pendidik dalam menuntun
perkembangan jasmani maupun rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Hal ini menunjukkan betapa besar peran serta pendidik dalam
mendampingi anak didik untuk mencapai cita-cita kemanusiaan mereka. Sedangkan
pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir (2001: 32) pendidikan Islam adalah
bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi yang digunakan ini hanya
menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap orang lain, yang diselenggarakan
di dalam keluarga, masyarakat dan sekolah menyangkut pembinaan aspek jasmani,
akal dan hati anak didik. Tugas pendidik tidak hanya meningkatkan kecerdasan
melainkan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia. Di dalam melaksanakan
tugasnya, pendidik akan menggunakan alat untuk mencapai tujuannya yang disebut
alat pendidikan. Alat pendidikan tersebut ialah segala benda ataupun peristiwa
yang membuat kondisi anak mungkin memperoleh pengetahuan, ketrampilan atau
sikap (Zakiah Darajat, 1996: 80). Dan salah satu alat pendidikan tersebut
adalah hukuman. Selain itu, sudah ada beberapa yang telah membahas tentang
hukuman namun kebanyakan di antara mereka menitikberatkan pada penelitian
lapangan. Di antaranya adalah skripsi Nur Azizah (2006) yang berjudul
“Implementasi Konsep Hukuman Dalam Pendidikan Islam (Studi Kasus Ponpes Modern
Al-Islah Dorowati Klirong Kebumen)”, berisi penerapan hukuman dalam proses
pendidikan Islam di Pondok Pesantren Al-Islah, di mana apabila terjadi
pelanggaran maka santri akan diberi hukuman yang ditangani oleh Mahkamah Pondok
yang dibentuk khusus. Pelanggaran akan langsung diberi sanksi melalui proses
sidang Mahkamah Pondok. Hukuman yang diberikan pun disesuaikan dengan kemampuan
santri. Sedangkan Eva Sri Wahyuni (2005), dengan skripsinya yang berjudul
“Pelaksanaan Metode Hukuman di PonPes Putri Raudatul Qur’an Kec. Kemranjen Kab.
Banyumas” juga menekankan pada metode hukuman yang diterapkan bagi santri
tetapi lebih khusus pada santri putri. Kedua skripsi ini lebih menekankan pada
penelitian lapangan dan pelaksanaan hukuman dalam lembaga pendidikan tersebut.
Sedangkan skripsi ini lebih menekankan pada penelitian kepustakaan yang datanya
di dapat dari 4 kitab Tafsir dan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan judul
tersebut. Skripsi ini juga lebih dalam membahas tentang aplikasi hukuman dalam
pendidikan menurut perspektif Islam yang di kaji dari Al-Qur’an Surat Al-A’raaf
ayat 59-64. Dalam buku “Disiplin Tanpa Hukuman” Lothar Rausch dan Nobert
Rockriem (1984: 63) seperti yang dikutip oleh Anah Kristiana dalam skripsinya
(2006: 19), mengatakan bahwa “Hukuman membuat orang menjadi kebal dan keras
kepala, memperkuat perasaan terisolasi dan hasrat untuk memberontak”. Dari situ
dapat disimpulkan bahwa pendidikan dengan kekerasan justru bukan menjadikan
anak taat dan patuh pada peraturan tetapi sebaliknya, akan menumbuhkan
pemberontakan dan sifat dendam. Bila terpaksa, berikan hukuman yang mendidik,
tidak menyakiti badan dan jiwa. Hukuman itu harus adil sesuai dengan kesalahan
dan hukuman itu harus membawa anak pada kesadaran akan kesalahannya (Ahmad
tafsir, 2001: 186). F. METODE PENELITIAN 1. Sumber Data Penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang difokuskan pada
penelusuran dan penelaahan literature serta bahan pustaka lainnya. Ditinjau
dari tempatnya, research ini termasuk dalam kategori research kepustakaan atau
library research, bukan study kancah (Sutrisno, 2001: 3) Penelitian pustaka
maksudnya adalah menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data baik sebagai
sumber data primer maupun sebagai sumber data sekunder. a. Sumber Primer Sumber
primer adalah sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.
Sumber-sumber primer adalah sumber asli baik yang berbentuk dokumen maupun
peninggalan lainnya (Winarno Surakhmad: 1994, 134). Dalam hal ini berupa
buku-buku yang membahas tentang aplikasi hukuman dalam pendidikan menurut
perspektif Islam, kajian Qs. Al A’raf ayat 59-64 antara lain: 1) Depag, 1993,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Effhar Offset. 2) TM. Hasbi
Ash-Shidieqy, 2000, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur 3, Semarang: Pustaka Rizki
Putra. 3) Ibnu Katsir, 2004, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir 5,
Terjemahan Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu. 4) Sayyid
Quthb, 2003, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 7,
Jakarta: Gema Insani Pers. 5) M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 8, Jakarta: Lentera Hati. b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah hasil penggunaan sumber-sumber yang lain yang tidak
langsung merupakan dokumen holistik yang murni, ditinjau dari kebutuhan
penyelidik (Winarno Surakhmad: 1994, 134). Dalam hal ini adalah referensi atau
buku-buku yang dapat mendukung permasalahan pokok yang dibahas, seperti: 1)
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
2) Abdurrahman An-Nahlawi, 1995, Pendidikan Islam di rumah, sekolah, dan
masyarakat, Terjemahan Herry Noer Aly, Jakarta; Rineka Cipta. 3) Abdurrahman
Saleh, 2005, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Terjemahan Arifin
dan Zainudin, Jakarta: Rineka Cipta. 4) Abidin Ibnu Rusn, 1998, Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 5) Abla Bassat
Gomma, 2006, Mendidik Mentalitas Anak Panduan Bagi Orangtua Untuk Menumbuhkan
Mentalitas Luar Biasa Pada Anak-Anaknya, Terjemahan Mohd. Zaky Abdillah, Solo:
Samudra. 6) Ahmad Tafsir, 2001, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
Bandung: Remaja Rosdakarya. 7) Armai Arief, 2002, Pengantar Ilmu Metodologi
Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers. 8) Fahruddin Faiz, 2003, Hermeneutika
Qur’ani, Yogyakarta: Qalam. 9) H.M. Arifin, 2006, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara. 10) Hadi Mutamam, 2001, Hikmah Dalam Al-Qur’an,
Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah. 11) Hery Noer Aly, 1999, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta: Logos 12) Irawati Istadi, 2005, Prinsip Pemberian Hadiah dan
Hukuman, Jakarta: Pustaka Inti. 13) Jamaal ‘Abdur Rahman, 2005, Tahapan
Mendidik Anak, Terjemahan Bahrun Abubakar Ihsan Zubaidi, Bandung: Irsyad Baitus
Salam. 14) M. Ngalim Purwanto, 2002, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja
Rosdakarya. 15) Mohammad Rifai, 2000, Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan,
Semarang: Wicaksana. 16) Muhammad bin ‘Abdullah As-Sahim, 2002, 15 Kesalahan
Fatal Mendidik Anak dan Cara Islami Memperbaikinya, Terjemahan Abu Shafiya,
Yogyakarta: Media Hidayah. 17) Muhammad Quthub, 1993, Sistem Pendidikan Islam,
Terjemahan Salman Harun, Bandung: Al-Ma’arif. 18) Samsul Nizar, 2002, Filsafat
Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teorritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat
Pers. 19) Syaikh Muhammad Jamil Zainu, 2005, Seruan Kepada Pendidik dan Orang
tua, Terjemahan Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya, Solo: Pustaka Hidayah. 20) Zakiah
Daradjat, dkk, 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. 21) Dan buku
lainnya yang dapat mendukung dalam penulisan skripsi ini. 2. Analisis Data
Dalam menganalisis data-data yang menunjang penelitian dalam penyusunan skripsi
ini penulis menggunakan alur berfikir: a. Penelitian Kualitatif Bogdan dan
Taylor (dalam Lexy J. Moleong, 1998: 3) mendefinisikan penelitian kualitatif
sebagai penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan (verbal) dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif ini memiliki dua metode berfikir yang dapat digunakan,
yaitu: 1) Metode berfikir induktif, yaitu metode yang dapat digunakan untuk
menganalisa masalah-masalah atau fakta-fakta yang bersifat khusus untuk
mengambil kesimpulan yang bersifat umum (Sutrisno Hadi, 2001: 42). Metode ini
digunakan untuk mengumpukan berbagai data dari tafsir dan tokoh-tokoh tentang
surat Al-A’raf ayat 59-64 untuk penulis cari persamaannya dan dirangkum sebagai
sebuah kesimpulan dalam pernyataan yang bersifat umum. 2) Metode berfikir deduktif,
yaitu metode yang dapat digunakan untuk menganalisa masalah-masalah atau
fakta-fakta yang sifatnya umum sebagai bahan pokok bahasan. Artinya menggunakan
metode berfikir deduktif penulis dapat memulai menganalisa dari masalah-masalah
yang bersifat umum untuk mengambil kesimpulan yang sifatnya khusus (Sutrisno
Hadi, 2001: 42). Metode ini penulis gunakan untuk merinci sebuah konsep umum
tentang hukuman ke dalam berbagai komponen-komponen yang terkait dengannya,
misalkan: tahapan hukuman, proses hukuman, dan seterusnya. b. Analisis
Komparatif Analisis komparatif, yaitu mencari pemecahan melalui analisa tentang
hubungan sebab akibat, yaitu meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan
dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan dengan faktor-faktor
yang lain (Winano Surakhmad, 1994: 143). Metode ini penulis gunakan untuk
mengkomparasikan pendapat para mufassir mengenai tafsir surat Al-A’raf ayat
59-64 sehingga didapat persamaan dan perbedaannya. G. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar isi yang terkandung dalam rencana skripsi ini dapat mudah dipahami maka
penulis susun secara sistematis mulai halaman judul sampai halaman penutup. BAB
I : Dalam bab ini berisi Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Penegasan Istilah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah
Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan. BAB II : Dalam bab ini
berisi Landasan Teoritis tentang Konsep Pendidikan dan Islam yang meliputi:
Pengertian Pendidikan Islam, Dasar Pendidikan Islam, Tujuan Pendidikan Islam,
Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam. BAB III : Bab ini berisi Pemaparan Hukuman
dalam Pendidikan Islam, yang meliputi: Pengertian Hukuman, Dasar Hukuman,
Tujuan Hukuman, Macam-macam Hukuman, Syarat-syarat Hukuman, Tahapan Penerapan
Hukuman dan Dampak Negatif dan Dampak Positif Hukuman. BAB IV : Bab ini berisi
Penerapan Hukuman dalam Pendidikan sesuai dengan Kandungan Surat Al-A’raaf ayat
59-64 yang meliputi: Lafadz dan Terjemah Surat Al-A’raaf ayat 59-64, Kosakata
Kata, Kosakata Penting, Penafsiran Para Mufassir, di antaranya: M. Quraish
Shihab, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sayyid Quthub, dan Ibnu Katsir, dan Analisis
Penulis, yang berisi: Isi Pokok Q.S. Al-A’raaf, Munasabah Ayat dan Surat,
Urgensi Kisah Nabi Nuh a.s., Komparasi Antara Empat Muffasir, Aplikasi Hukuman
Dalam Pendidikan Islam Berdasarkan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64. BAB V : Bab ini
berisi Kesimpulan, Saran-Saran dan Penutup BAB II KONSEP PENDIDIKAN MENURUT
ISLAM A. KONSEPPENDIDIKAN B. KONSEP ISLAM 1. Pengertian Agama Islam Islam dapat
diartikan dari dua segi, yaitu dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari
segi bahasa, Agama berasal dari bahasa Sanskrit (Usman, 2000:11), Ada satu
pendapat mengatakan bahwa Agama berasal dari asal-kata: A= tidak, dan Gam=
pergi. Jadi tidak pergi, tetap ditempat,diwarisi secara turun-temurun. Kemudian
Islam dari segi bahasa (Nata, 1998: 61) berasal dari bahasa Arab yaitu dari
kata salima yang berarti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima
selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam
kedamaian, memelihara diri dalam keadaan selamat sentosa, dan berareti pula
menyerahkan diri, tunduk patuh, dan taat. Kata aslama itulah yang mengandung
arti segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya. Sehingga orang yang
berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang muslim. Menurut Ummu
Yasmin (2005: 91), kata Islam sebagai ad diin (QS. 3:19,85) berarti tunduk,
wahyu ilahi, agama Nabi dan Rasul, hukum-hukum Allah, jalan yang lurus, dan
keselamatan dunia akhirat. Adapun pengertian agama Islam menurut istilah (Nata,
1998: 63) yaitu sebagai berikut: a) Menurut Harun Nasution, Islam adalah agama
yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasul. b) Menurut Maulana Muhammad Ali, Islam adalah agama
perdamaian, dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau
persaudaraan ummat manusia menjadi bukti nyata, bahwa ajaran Islam selaras
benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi
Allah, sebagaimana tersebut pada beberapa ayat kitab suci al-Qur’an, melainkan
pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya kepada
undang-undang Allah, yang kita saksikan pada alam semesta. c) Menurut Abuddin
Nata, Islam adalah agama yang berasal pada wahyu yang datang dari Allah SWT,
bukan berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai sosok yang ditugasi oleh Allah SWT
untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut. kepada umat menusia. Dalam proses
penyebaran agama Islam Nabi terlibat dalam memberi keterangan, penjelasan,
uraian, dan contoh prakteknya. Akan tetapi keterlibatan ini tidak boleh
melebihi batas-batas ketentuan Allah SWT. Senada dengan hal tersebut, secara
istilah agama Islam (Usman:2001: 12) berarti penyerahan atau penundukkan diri
secara total setiap makhluk kepada Allah SWT . Jadi, agama Islam adalah agama
rahmatan lil ‘alamin yang diajarkan oleh Rasulullah SAW berdasarkan perintah
Allah SWT, yang mengikat seluruh umatnya untuk menyerahkan diri, menaati
perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, agar dapat meraih kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat. 2. Sumber Ajaran Islam Di kalangan ulama terdapat
kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah al-Qur,an dan al-Sunnah
(Nata, 1998:66). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a) Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam tidak berisi peraturan (corpus of
legislation) yang terinci. Namun demikian ada beberapa larangan yang sedemikian
gamblang, yang tidak memerlukan penafsiran lagi. Secara umum al-Qur’an
meletakkan batas-batas bagi hokum Islam, yang di dalam batas-batas tersebut
ummat manusia dapat menunaikan perbuatannya (Al-Buraery, 1986: 65). Menurut
Muhammad Al-Buraery (1986: 66), ada empat sifat al-Qur’an yaitu: (1) diturunkan
pada Nabi Muhammad SAW dalam bagian demi bagian (tidak sekaligus), untuk
menuntun dan mengatur sebagaimana diperlukan oleh masyarakat muslim; (2) di
dalamnya hanya terkandung prinsip-prinsip umum daripada rincian khusus; (3) ayat-ayat
tentang hukum jumlahnya sangat terbatas, yaitu sekitar 200 dari 6000-an ayat
yang ada; (4) fungsinya yang utama adalah sebagai kitab tentang iman dan
penuntun akhlak. Isi al-Qur’an tidak pernah berubah sejak diturunkan pada
Muhammad SAW sampai kini, dan sampai saat ini bahkan sampai akhir zaman. Inilah
sumber acuan dasar Islam. Tanpa mempelajari al-Qur’an, orang tidak akan
memahami Islam itu secara baik. Semua orang Islam diwajibkan mempelajari
al-Qur’an ini, karena inilah firman Allah SWT yang otentik, tidak pernah
dipalsukan dan akan tetap terjaga orisinalitasnya (Amsyari, 1994: 64). Membaca
al-Qur’an merupakan amal yang bernialai ibadah. Setelah membaca, sebagai umat
Islam berkewajiban untuk mempelajari makna yang terkandung dalam al-Qur’an yang
kemudian dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.
b) Al-Sunnah Selain al-Qur’an, agar umat Islam dapat memahami ajaran Islam
dengan baik dan benar, maka digenakanlah sumber Islam kedua yakni sunnah atau
hadits. Sebagai sumber agama Islam yang kedua, dalam penggunaan hadits ada
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Penggunaan hadits dibatasi pada
beberapa ketentuan (Amsyari,1994: 64) yaitu sebagai berikut: 1) Hadits itu
harus bernilai terpercaya yang memang datang dari Nabi pada masa beliau hidup
(bukan hadits yang dipalsukan oleh orang); 2) Substansi hadits itu tidak
bertentangan dengan substansi al-Qur’an; 3) Materi hadits boleh saja tidak
tertera dalam al-Qur’an namun bersifat penjabaran dari perintah al-Qur’an yang
bernilai aqidah, ritual, dan akhlak; 4) Materi hadits boleh saja tidak tertera
dalam al-Qur’an dan tidak menyangkut masalah aqidah, ritual, dan akhlak, namun
masih dianggap relevan dengan kebutuhan hidup pada masa kini. Apabila umat
Islam mampu menggunakan sumber-sumber ajaran Islam dengan baik dan benar, maka
ia akan dapat melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari dengan benar pula,
sehingga terciptalah kehidupan yang dinamis, harmonis, dan seimbang dalam
memenuhi kewajiban hidup di dunia dan akhirat. 3. Hakikat Agama Islam Setiap
muslim pernah mengucapkan ke-Islamannya dengan lisan, meyakini dalam hati dan
mengamalkannya dalam perbuatan yang termanifestasi dalam perilaku menyerahkan
diri kepada allah SWT dan menerima segala ketentuan-ketentuan-Nya. Untuk itu,
sikap pasrah kepada Allah juga merupakan hakikat dari pengertian Islam.
Selanjutnya Ash Shiddieqy (1998: 19) mengatakan bahwa: Menurut Ibnu Taimiyah,
Islam ialah ad diin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri kepada Allah.
Oleh sebab itu, Islam berarti pula “menyerahkan diri kepada Allah, tidak
memperserikatkan-Nya dengan sesuatu apa pun”. Orang yang memperserikatkan-Nya
dalam menyembah-Nyatidaklah termasuk orang Islam. Agama Islam pada hakikatnya
membawa ajaran-ajaran yang tidak hanya mengandung satu segi saja, akan tetapi
mencakup berbagai macam segi kehidupan manusia, baik kehidupan manusia di dunia
maupun kehidupan manusia di akhirat nanti. Salah satu esensi dari makna Islam
ialah perdamaian, sehingga umat Islam (muslim) adalah umat yang memelihara
perdamaian, dapat menjalin hubungan baik dengan sang Khalik dan memelihara
hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan sekitar. 4. Peran atau
Fungsi Agama Islam Lahirnya agama Islam dengan semangat dan manifestasinya
merupakan suatu masa baru dalam sejarah agama yang memberikan sebuah cahaya
kehidupan, mendobrak peradaban jahiliyah, dan memberi arah baru bagi dunia.
Agama Islam yang telah ditegakkan dengan kokoh oleh Nabi Muhammad beserta para
sahabatnya, merupakan penyelamat umat manusia dari kemungkaran Sehingga dapat
menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya, baik kehidupan pribadi, kehidupan
keluarga, maupun kehidupan masyarakat yang diridhai Allah SWT. Peran atau
fungsi agama Islam antara lain sebagai berikut: a) Peran Agama Islam dalam
Kehidupan Pribadi Sebagai pribadi, seorang manusia harus memiliki: (1).
Keimanan; (2). Motif semangat hidup; (3). Aktivitas ritual; dan (4). aktivitas
menjalani pemenuhan kebutuhan hidup (Amsyari, 1994: 77). Dalam hal ini, agama
Islam sebagai ajaran yang sempurna berperan mengajarkan dan menuntun umat Islam
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tersebut sehingga terhindar dari
perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. b) Peran Agama Islam dalam Kehidupan
Keluarga Sebagaimana dalam QS. Ar Ruum ayat 21 bahwa manusia diciptakan
berpasang-pasang. Dan pernikahan dalam ajaran Islam itu dianggap sebagi sesuatu
yang sakral dan juga dianjurkan kepada umatnya. Karena dengan adanya pernikahan
yang sah (sesuai dengan ajaran Islam) maka akan dapat menciptakan hubungan
keluarga yang harmonis atau terciptanya keluarga yang sakinah, mawadah,
warrahmah. Ini menunjukkan bahwa Islam menuntun umatnya dalam hal berkeluarga.
Selain hal tersebut, agama Islam juga berperan dalam mengatur sendi-sendi
kehidupan keluarga yang lain. Antara lain hak suami, hak istri, hak anak, dan
hukum waris yang diatur sedemikian rupa agar dapat tercipta kehidupan yang
haemonis, serasi, dan seimbang. c) Peran Agama Islam dalam Kehidupan Masyarakat
Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa meliputi hati, akal budi, perasaan, dan
badan jasmani. Semua itu tidak mungkin dapat mencapai kebahagiaan yang
berkeseimbangan jika semua potensi itu tidak berkembang sewajarnya dan
memperoleh pemeliharaan yang rapi (Al-Nadwi, 1988: 170). Manusia, selain
sebagai makhluk jasmani juga sebagai makhluk social. Sebagai makhluk sosial,
manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan relasi dan interaksi dengan manusia
lainnya. Relasi atau interaksi antara sesama manusia tidak akan dapat berjalan
dengan lancar tanpa adanya tata aturan yang mengatur dan mengikat. Dalam hal
ini Islam sebagai agama yang sempurna menaruh perhatian besar dalam hal
pergaulan sesama manusia. agama Islam berperan mengatur semua sendi kehidupan
bermasyarakat, dari hal yang bersifat sederhana, seperti etika bertamu, sampai urusan
yang bersifat kompleks, seperti hukuman qishas bagi orang yang menghilangkan
nyawa orang lain dengan tujuan dapat memelihara jiwa manusia, serta masih
banyak contoh-contoh lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Dari
hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam sangat berperan dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, agar umat Islam dapat melakukan kehidupan dalam
masyarakat yang diridhai Allah SWT. 5. Langkah-langkah Untuk Meningkatkan Peran
Agama Islam Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan agar agama dapat berperan
secara terus-menerus dalam memberi inspirasi dan mengarahkan kehidupan manusia
dan perubahan masyarakat (Suprayogo, 2006: 22) ialah: a) Para penganut agama
termasuk para pemukanya perlu terus berusaha menguinternalisasikan nilai-nilai
agama dalam rangkapembentukan kepribadiannya, sehingga agama menjadi fungsional
dalam kehidupan pemeluknya dan tidak ada kesenjangan antara ketaatan beragama
dengan kepribadian serta komitmennya untuk perbaikan hidup sesamanya. b) Para
penganut agama terutama pemukanya perlu mempunyai keberanian untuk mencoba
menangkap jiwa ajaran agamanya untuk berbagai keadaan. Apabila hal ini tidak
dilakukan maka akan terkesan bahwa ajaran agama tertinggal oleh perkembangan
zaman. Agama hanya membicarakan masa silam. c) Para penganut agama dan pemuka
agama perlu menyadari bahwa meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa abad
ke-21 akan ditandai dengan diperlukannya kembali agama, tetapi agama yang
dimaksud di situ bukanlah dalam bentuk yang menekankan perlembagaan dan ritual
saja seperti yang ada sekarang, melainkan lebih merupakan nilai-nilai yang
sifatnya trans-denominasional. Umat Islam menjalani hidup berdasarkan pada
pendidikan moral dan pendidikan mental, sebagaimana pendidikan yang diberikan
oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga memiliki pribadi yang zuhud, wara’, menjaga
harga diri, terpercaya, mendahulukan kepentingan orang lain daripada
kepentingan diri sendiri, dan merasa takut kepada Allah (Al-Nadwi, 1988: 169).
C. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM 1. PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM Pendidikan dipandang
Islam sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia agar mampu
memikul tugasnya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi ini. Karena itulah
manusia diciptakan oleh Allah SWT lengkap dengan potensi berupa akal dan
kemampuan belajar (Hery Noer Aly dan Munzier, 2000: 11), sebagaimana Firman
Allah SWT: Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berFirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berFirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (30). Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berFirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (31).
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (32). (Q.S. Al-Baqarah: 30-32) Ayat di atas
dijelaskan oleh bahwa untuk membimbing manusia من ا لظلمت
إ لى ا لنور, Allah SWT
mengutus para Rasul setelah Nabi Adam AS agar menjadi manusia yang dapat
beribadah, memperoleh petunjuk, berbudaya dan memakmurkan bumi guna
melaksanakan tugas hidup dari Allah SWT yaitu ilmu dan pengetahuan yang dijiwai
dengan iman melalui al-Kitab, hikmah dan pendidikan, sebagaimana ditegaskan
Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 151: Artinya: “Sebagaimana (Kami telah
menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul
diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu
dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu
apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqarah: 151) Abdurrahman An-Nahlawi
(1995: 20-27) mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha menyampaikan sesuatu
pada anak dengan menjaga, memelihara, mengembangkan dan mengarahkan potensi dan
bakat anak sesuai dengan kekhasan masing-masing agar mencapai kebaikan dan
kesempurnaan secara bertahap sesuai dengan syariat Allah SWT. Artinya, anak tidak
merasa keberatan dengan ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya dan tidak ada
ketundukan pada system pendidikan di luar Islam. Karena melalui pendidikan
Islamlah dalam diri kita akan tertanam pemuliaan dan penghargaan terhadap
manusia walaupun banyak tantangan yang harus dihadapi sebagiamana dijelaskan
dalam Firman Allah SWT: Artinya: “Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah
kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang
lemah dari padanya.” Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya
dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.
(Q.S. Al-Munaafiqun: 8) Muhammad SA. Ibrahim mengatakan pendidikan Islam adalah
suatu system pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya
sesuai dengan ideology Islam, sehingga dengan mudah ia dapat mengarahkan
kehidupannya sesuai dengan ideology Islam (HM. Arifin, 1991: 3-4). Ada beberapa
definisi pendidikan Islam menurut para ahli pendidikan Islam sebagaimana
dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2006: 26-28), antara lain: 1. Omar
Muhammad al-Toumi al-Syaibani, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses
mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam
sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai
profesi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Pengertian ini lebih
menekankan pada perubahan tingkah laku, dari yang buruk menjadi yang baik, dari
yang pasif menjadi aktif melalui proses pengajaran dan tidak berhenti pada
kesalehan individu tapi juga mencapai keshalehan social. 2. Muhammad Fadhil
al-Jamali mengartikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong
serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna,
baik yang berkaitan dengan perasaan maupun perbuatan. 3. Muhammad Javed
al-Sahlani dalam al-Tarbiyah wa al-Ta’lim Al-Qur’an al-Karim, mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai proses mendekatkan manusia kepada tingkatan
kesempurnaan dan mengembangkan kemampuannya. 4. Hasil seminar pendidikan Islam
se-Indonesia tahun 1960, menghasilkan rumusan pendidikan Islam, yaitu bimbingan
terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah
mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua
ajaran Islam. Dari beberapa pendapat di atas, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir
(2006: 27-28) merumuskan definisi pendidikan Islam adalah sebagai proses
transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui
upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan
pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di
dunia dan akhirat. Yang dimaksud proses transinternalisasi di sini adalah upaya
yang dilakukan secara bertahap, dan terus menerus dengan cara transformasi dan
internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai Islam pada peserta didik. Sementara
itu, Zakiah Daradjat mendefinisikan pendidikan Islam adalah usaha, kegiatan, cara,
alat dan lingkungan untuk membentuk kepribadian muslim yang bercirikan
perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Dalam
buku Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis
(Samsul Nizar, 2002: 31-31), Ahmad D. Marimba (1981: 19) mengartikan pendidikan
Islam sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya insane kamil.
Ahmad Tafsir (2001: 32) mengatakan, pendidikan Islam bagi saya adalah bimbingan
yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang yang lain agar ia berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Dari beberapa pendapat di atas,
Samsul Nizar (2002: 32) menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu system
yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya
sesuai dengan ideology Islam. Seperti yang dikatakan Hasan Langgulung bahwa
perumusan teori pendidikan manapun termasuk pendidikan Islam pasti melibatkan 3
komponen pokok, yaitu tujuan, kandungan dan metode. Jika dikaitkan dengan
pengertian pendidikan Islam, di mana kata “bimbingan” mengandung dua elemen
pokok, yaitu guru dan murid. Maka dapat dinyatakan bahwa secara umum sebagai
suatu system pendidikan mempunyai elemen pokok yang sama, yaitu guru, murid,
materi/kandungan, metode dan tujuan (Abidin Ibnu Rusn, 1998: 130-131). Hery
Noer Aly dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam (1999: 13) mengartikan pendidikan
Islam sebagai usaha berproses yang dilakukan manusia secara sadar dalam membimbing
manusia menuju kesempurnaannya berdasarkan Islam. Pendapat itu didasarkan pada
konsep dasar dalam pendidikan Islam antara lain: usaha, kemanusiaan,
perkembangan, proses, bimbingan oleh manusia secara sadar (1999: 11-12). Islam
adalah agama yang benar di sisi Allah SWT, karena itu bila manusia yang
berpredikat muslim harus mempu memahami, menghayati dan mengamalkan ajarannya
sesuai iman dan akidah Islamiyah. Berdasarkan hal ini, HM. Arifin mengartikan
pendidikan Islam sebagai system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai
Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. Oleh karena itu,
dilihat dari pengalamannya yang menjangkau lahan garap yang luas, pendidikan
Islam berwatak akomodatif terhadap tuntutan kemajuan zaman sesuai acuan
norma-norma kehidupan Islam (2006:7-8). Dari beberapa definisi mengenai
pendidikan Islam di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan Islam adalah
usaha bimbingan secara sadar yang diarahkan kepada anak didik sebagai upaya
pengembangan potendi fitrahnya agar terbentuknya kepribadian yang sesuai dengan
syari’at Islam sehingga dapat mencerminkan keshalihan individu dan keshalihan
social, yaitu dengan menyelaraskan kebutuhan hidupnya di dunia dan akhirat. D.
DASAR PENDIDIKAN ISLAM Tanpa dasar, bangunan itu tidak akan ada. Pada pohon,
dasarnya adalah akar. Tanpa akar, pohon itu mati dan berubah namanya menjadi
kayu. Maka tak akar, pohonpun tak ada. Dasar ilmu pendidikan Islam adalah Islam
dengan segala ajarannya, yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah (Hery Noer
Aly, 1999: 30). Dengan dasar ini, akan memberikan arahan bagi pelaksanaan
pendidikan Islam yang telah diprogramkan. 1. Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai dasar
religius pendidikan Islam memiliki beberapa definisi sebagai mana dikutip oleh
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir (2006: 32). Pertama, Muhammad Salim Muhsin
mendefinisikan Al-Qur’an sebagai Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushar dan dinukil atau diriwayatkan
kepada kita dengan jalan yang muttawatir dan membacanya dipandang ibadah serta
sebagai penentang bagi mereka yang tidak percaya walaupun surat terpendek.
Kedua, Muhammad Abduh mendefinisikannya sebagai “Kalam mulia yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang paling sempurna ajarannya mencakup
keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya
tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas”. Dan
masih banyak lagi definisi Al-Qur’an menurut para ahli pendidikan Islam yang
menyatakan Al-Qur’an sebagai sumber pendidikan Islam yang pertama dan utama
karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Allah SWT. Dalam
Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa tujuan Al-Qur’an adalah
memberi petunjuk kepada umat manusia yang di dalamnya terdapat pembahasan yang
proposional, dibutuhkan dan berdasarkan dalil syar’i. Allah SWT menjelaskan hal
ini dalam Firman-Nya: Artinya: “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk
kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang
Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (
Q.S. Al-Isra’: 9) Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang dijadikan dasar
pendidikan Islam, antara lain: a) Q.S. Al-‘Alaq: 1-5 Artinya: “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3). Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya (5).” b) Q.S. An-Nahl: 64 dan 89 Artinya: “Dan Kami
tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari
(ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari
mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri. “ c) Q.S. Al-Baqarah: 31 Artinya; “Ketika Tuhannya
berFirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh
kepada Tuhan semesta alam.” d) Q.S. Al-Anbiya: 80 Artinya: “Dan telah Kami
ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam
peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” e) Q.S. Al-An’am:
38 Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.” f) Q.S. Saba: 46 Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya aku
hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap
Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan
(tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia
tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang
keras.” g) Q.S. Ali Imran: 66 Artinya: “Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya)
bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah
membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu
tidak mengetahui.” h) Q.S. Al-Jum’ah: 2 Artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan
Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata,” i) Q.S. Luqman: 13 Artinya: “Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” j) Dll. Masih banyak lagi
ayat suci Al-Qur’an yang menjadi dasar pendidikan Islam dan menunjukkan kepada
kita semua bahwa Allah SWT mewajibkan pada umat-Nya untuk memperkokoh keyakinan
adanya Allah SWT dan memeliharanya dengan melaksanakan pendidikan yang sesuai
dengan syari’at Islam. Sebagaimana Allah mengajarkan Nabi Adam AS, nama-nama
benda seluruhnya, sehingga Allah SWT menjadikannya khalifah di bumi. 2. Sunnah
Muhadditsin mengartikan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi
Muhammad SAW yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau pernyataan,
sifat-sifat dan perilaku atau perjalanan hidup beliau, baik sebelum maupun
sesudah diangkat menjadi Nabi. Jadi dengan definisi tersebut para ahli hadits
menyamakan antara sunnah dengan hadits (Muh. Asnawi, dkk, 2004: 68). Nabi
Muhammad SAW bersabda: تَرَكْتُ فِيْكُمْ آَ مْرَيْنِ
لَنْ تَظِلُّوْاأََبَدًاإِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَا بَ ا للَّهِ وَسُنَّةًرَسُوْلِهِ
(روه ما لك) Artinya: “Aku
telah tinggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya jika
kamu berpegang pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah
Rasul-Nya.” (HR. Malik) Ada banyak sekali hadits tarbawi yang diriwayatkan oleh
perawi hadits yang dapat digunakan sebagai dasar pendidikan Islam, antara lain
yaitu: a) HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah عن ابى موس الأشعرى رضىاللّه عنه قا ل قل رسول اللّه ص.م.:
ثَلاَ ثَةُ يُوتَوْنَ اَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ اَلرَّخُلُ تَكُوْنُ لَهُ
اْلاَمَةُفَيُعَلِّمُهَا فَيُحْسِنُ تَعْلِمَهَا وَيُؤَدِّبُهَا فَيُحْسِنُ
تَآْدِيْبَهَا ثُمَّ يُعْتِقُهَا فَيَتَزَوَجُّهَا فَلَهُ اَجْرَانِ وَمُؤْمِنُ
اَهْلِ الْكِتَا بِ الَّذِىكاَنَ مُؤْمِنًا ثُمَّ آمَنَ بِاالنَّبِى ص.م. فَلَهُ
اَجْرَانِ وَلْعَبْدُالَّذِىيُؤَدِّىحَقَّ اللَّهِ وَيَنْصَحُ لِسَيِّدِهِ لَهُ اَجْرَانِ
(رواه البخارىومسلم والترمذىوالنسائ وابن ما جه) Artinya: “ Abu Musa Al-Qur’an-Asy’ari menyatakan bahwa Nabi
pernah bersabda: “Ada tiga kelompok orang yang akan memperoleh pahala dua kali
lipat, yakni: seseorang yang memiliki budak perempuan kemudian diajarinya
dengan ajaran yang baik. Diajarinya sopan santun dengan baik, kemudian ia
memerdekakannya, dan lalu menikahinya, untuknya dua pahala. Orang mukmin yang
berasal dari ahli kitab yang telah mengimani (Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW)
lalu beriman kepada keRosulan Muhammad, untuknya dua pahala. Seorang budak yang
telah menunaikan hak-hak Allah SWT dan berani menasehati tuannya, untuknya dua
pahala.” Sebagaimana dituliskan oleh Dailamy SP, dalam diktat Mata Kuliah
Tafsir Hadits Tarbawi dengan bukunya Hadits-Hadits Tentang Pendidikan (hal.
1-2), bahwa hadits ini dapat dijadikan dasar hukum mengenai perhatian Islam
terhadap pendidikan Islam. b) HR. Ibnu Majah مَنْ
كَتَمَ عِلْمًااَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِّجَا مٍ مِنَ النَّارِ (رواه ابن ما جه) Artinya: “Barang siapa yang
menyembunyikan ilmunya maka Tuhan akan mengekangnya dengan kekangan berapi” c)
Ucapan Umar bin ‘Abdul ‘Aziz مَنْ اَرَادَالدُّنْيَ فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ, مَنْ اَرَادَاْلاَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, مَنْ
اَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ (عُمَرُبْنُ عَبْدِالْعَزِيْزِ) Artinya: “Barang siapa yang menghendaki
kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, barang siapa menghendaki
kehidupan ukhrawi, maka wajib baginya memiliki ilmu dan barang siapa yang
menghendaki kehidupan keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu.” d) HR. Dawud عَنْ عَمْرِوَبْنِ سُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
رَسُوْلُ اللَّهِ ص.م. مُرُوْااَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِوَهُمْ اَبْنَاءُ سَبْعَ
سِنِيْنِ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَبْنَاءُعَشَرَسِنِيْنَ وَفَرِّقُوْابَيْنَهُمْ
فِىالْمَضَا جِعِ Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya
bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak
usia tujuh tahun dan pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun,
serta pisahkan tempat tidur mereka.” Hadits di atas menunjukkan pada kita kapan
pendidikan Islam dimulai, khususnya pada anak-anak, yaitu kapankah pemberian hukuman
itu tepat diberikan pada anak sehingga tidak menyimpang dari ajaran Islam. 3.
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia Abdul Majid dan Dian
Andayani (2004: 132) mengatakan dasar pelaksanaan pendidikan Islam berasal dari
perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam
melaksanakan pendidikan, khususnya pendidikan agama di sekolah. a. Pancasila,
Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” b. UUD 1945 dalam Bab XI Pasal 29 Ayat 1
dan 2 1). Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa 2). Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah
menurut agama dan kepercayaannya itu. c. UU RI No. 20 th. 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab V Pasal 12 ayat 1a “Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak: mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama” Dari beberapa dasar
pendidikan Islam di atas, penulis pahami bahwa dalam pendidikan Islam
diperlukan dasar demi tercapainya tujuan pendidikan Islam, yaitu terciptanya
manusia yang dapat menjalankan peran idealnya menjadi khalifah dengan
menjalankan syariat Islam dengan baik (insane kamil). E. TUJUAN PENDIDIKAN
ISLAM Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan
pusat perhatiannya untuk dicapai melaui usaha. Dalam tujuan terkandung
cita-cita, kehendak, dan kesengajaan serta berkonsekuensi penyusunan daya upaya
untuk mencapainya (Hery Noer Aly, 1999: 51). Demikian pula yang terjadi dalam
proses pendidikan Islam, HM. Arifin mengatakan bahwa penetapan tujuan itu
mutlak diperlukan dalam rangka mengarahkan segala proses, sejak dari
perencanaan program sampai dengan pelaksanaannya, agar tetap konsisten dan
tidak mengalami penyimpangan (2006: 27). Menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1995:
117), tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah
SWT dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara social. Hal
ini terkait dengan Firman Allah SWT: Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Sebelum membahas lebih lanjut tujuan pendidikan Islam, akan lebih baik kalau
kita terlebih dahulu melihat hubungan antara pendidikan Islam dengan agama
Islam, sebagaimana disampaikan oleh Hery Noer Aly dan Munzier (2000: 138-142).
No. Agama Islam Pendidikan Islam Al-Qur’an 1. 2. 3. 4. Menyeru manusia agar
beriman dan bertaqwa pada Allah SWT. Menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan
menyeru manusia agar berbikir tentang kerajaan Allah SWT. Menekankan amal
sholeh dan menetapkan bahwa iman selalu diwujudkan dengan amal shaleh tersebut.
Menekankan pada pentingnya Allah SWT. Menanamkan ketaqwaan itu dan
mengembangkannya agar bertambah terus sejalan dengan pertambangan ilmu.
Dibangun di atas ilmu dan pengetahuan. Menekankan pentingnya belajar dengan
jalan berbuat; bukan sekadar menghafal teori dan pengetahuan. Menekankan pada
pentingnya akhlak dengan memperhatikan perubahan tingkah laku ke arah yang
terbaik. 64: 16, 2: 282. 3: 190, 2: 111. 2: 129 13: 29, 61: 2-3, 53: 39, 9:
105, 21: 79-80 68: 4, 91: 7-10, 13: 11 Uraian di atas menunjukkan dengan jelas
perbedaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya, yaitu sifatnya
yang Rabbani sebab mengacu pada Allah Rabbal ‘alamin dan berjalan di atas jalur
yang telah digariskan agama Islam. Dari pemaparan tersebut, dalam buku yang
sama Hery Noer Aly dan Munzier (2000: 142-144) membagi tujuan pendidikan Islam
menjadi dua, yaitu: 1. Tujuan Umum Yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar
tunduk, bertaqwa dan beribadah dengan baik kepada Allah SWT, sehingga
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tujuan ini sinkron dengan tujuan
agama Islam yaitu memberi kebahagiaan kepada individu di dunia dan akhirat
dengan memerintahkan kepadanya untuk tunduk, bertaqwa dan beribadah dengan baik
kepada Allah SWT. 2. Tujuan Khusus a) Mendidik individu yang shaleh dengan
memperhatikan segenap dimensi perkembangannya: rohani, emosional, social,
intelektual dan fisik. b) Mendidik anggota kelompok social yang shaleh, baik
dalam keluarga maupun masyarakat muslim. c) Mendidik manusia yang shaleh bagi
masyarakat insani yang besar. Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, Samsul
Nizar (2002: 36) mengatakan paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu: a. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertical maupun
horizontal. b. Sifat-sifat dasar manusia. c. Dimensi-dimensi kehidupan ideal
Islam. Dalam aspek ini, setidaknya ada tiga macam ideal Islam, yaitu Pertama,
mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka
bumi. Kedua, mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk
meraih kehidupan yang lebih baik. Dan ketiga, mengandung nilai yang dapat
memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat. Al-Syaibani,
sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar (2002: 36) mengemukakan bahwa tujuan
tertinggi pendidikan adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.
Sementara tujuan akhir yag akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik,
baik ruh, fisik, kemauan dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk
pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya. Sehingga Muhammad
Athiyah al-Abrasyi menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari 5
sasaran, yaitu: (1) membentuk akhlak mulia, (2) mempersiapkan kehidupannya
dunia dan akhirat, (3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi
kemanfaatannya, (4) menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik, (5)
mempersiapkan tenaga professional yang trampil (Samsul Nizar, 2002: 37). Dalam
buku Ilmu Pendidikan Islam, Hery Noer Aly membagi tujuan pendidikan Islam
menjadi dua, yaitu: 1. Tujuan Akhir Para ahli pendidikan Islam mengemukakan
tujuan akhir pendidikan Islam dalam redaksi yang berbeda-beda, antara lain: a)
Imam Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah kesempurnaan insani di
dunia dan akhirat. Dan manusia dapat mencapainya dengan menggunakan ilmu. b)
Muhammad Munir Mursa mengemukakan bahwa tujuan terpenting pendidikan Islam
adalah tercapainya kesempurnaan insani, karena Islam sendiri merupakan
manifestasi tercapainya kesempurnaan agamawi. c) Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi
berpendapat bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah tercapainya akhlak
yang sempurna. d) Ahmad D. Marimba mengemukakan tujuan akhir pendidikan Islam
adalah terbentuknya kepribadian muslim. e) Abdul Fattah Jalal, tujuan
pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah SWT.
Pendapat ini dikemukakan pula oleh Abdurrahman an-Nahlawi (1999: 76-78). 2. Tujuan
Sementara Membantu memelihara arah seluruh usaha dan menjadi batu loncatan
untuk mencapai tujuan akhir merupakan fungsi tujuan sementara yang merupakan
penjabaran di tujuan akhir. Pendidikan Islam adalah usaha yang berproses
sepanjang hayat manusia, sehingga memungkinkan lahirnya banyak tujuan
sementara. Kemudian, Islam adalah agama yang sesuai di manapun dan kapanpun.
Sehingga banyak pintu ijtihad terbuka dalam menetapkan tujuan sementara bagi
para ulama dalam pendidikan Islam (Hery Noer Aly, 1999: 80). Sementara itu,
kongres se-Dunia ke II tentang pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad,
meyatakan bahwa: “Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan
pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik pen.) secara menyeluruh dan
seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri
manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya
mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spritual,
intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individu maupun
kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT baik secara pribadi, komunitas maupun
seluruh umat manusia” (Samsul Nizar, 2002: 37-38). Oleh karena itulah sebagai
hamba Allah SWT yang berilmu dan beriman pada khalik-Nya, kita harus berusaha
agar terealisasinya cita-cita yang terkandung dalam QS. Al-An’am ayat 162 اِ نَّ صَلاَ تِى وَنُسُكِى وَمَحْيَا يَ وَمَمَا تِى لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْن Artinya:
“Sesungguhnya shalatku dan ibadahku dan hidupku serta matiku hanya untuk Allah
SWT, pendidik sekalian alam.” Dari ayat di atas, tujuan pendidikan Islam
menurut al-Ghazali adalah membentuk manusia shalih. Dapat penulis pahami bahwa
pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik
secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai
insane kamil. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyimpulkan tujuan pendidikan
Islam adalah terbentuknya insane kamil yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah
agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi
(2006: 23) Jadi jelaslah, membicarakan masalah tujuan pendidikan Islam tidak terlepas
dari masalah nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Ole karena itu realisasi
nilai-nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi dasar dan tujuan pendidikan
Islam (Arifin, 2006: 29). Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah proses membimbing potensi fitrah manusia
muslim yang sempurna, bertakwa, beriman kepada Allah SWT secara maksimal
seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga mencapai
keshalihan individu maupun social lengkap dengan seluruh aspek yang
mendukungnya. F. TUGAS DAN FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM Yang perlu diemban oleh
pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang
hayat, sesuai dengan pengertian pendidikan Islam sebagai suatu proses yang
berlangsung secara kontinu dan berkesinambungan. Secara umum, HM. Arifin (1993:
33) menegaskan tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya
sampai mencapai titik kemampuan optimal, sebagaimana yang dikutip oleh
al-Rasyid dan Samsul Nizar (2005: 32). Hasan Langgulung (1988: 57) membagi
tugas pendidikan Islam menjadi tiga pendekatan, yaitu: 1. Pengembang potensi
Yaitu menemukan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimili peserta didik,
sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupannya sehari-hari. 2. Proses
pewaris budaya Adalah sebagai alat trasmisi umsur-unsur pokok budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya sehingga identitas umat tetap terpelihara dan
terjamin dalam tantangan zaman. 3. Interaksi antara potensi dan budaya Yaitu
sebagai proses transaksi (memberi dan mengadopsi) antara manusia dan
lingkungannya, sehingga peserta didik (manusia) dapat menciptakan dan
mengembangkan ketrampilan-ketarampilan yang diperlukan untuk mengubah atau
memperbaiki kondisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya (Samsul Nizar, 2005:
33) Ketiga pendekatan di atas tidak dapat berdiri sendiri, karena merupakan
satu kesatuan utuh. Tetapi dalam pelaksanannya terkadang salah satu di antara
ketiga pendekatan itu ada yang lebih dominan, sementara yang lain proporsinya
lebih diperkecil (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 52) Menurut Ibnu
Taimiyah, tugas pendidikan Islam pada hakekatnya tertumpu pada dua aspek,
yaitu: 1. Pendidikan tauhid, yang dilakukan dengan pemahaman terhadap dua
kalimat syahadat, pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid, ketundukan, kepatuhan
dan keikhlasan menjalankan Islam dan menghindari dari segala bentuk
kemusyrikan. 2. Pendidikan pengembangan tabiat peserta didik, yaitu mengembangkan
tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada
Allah SWT dan menyediakan bekal untuk beribadah, seperti makan dan minum.
(Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 51) Sementara itu, secara umum M.
Arifin (1987: 34) (dalam Samsul Nizar, 2002: 32) menegaskan fungsi pendidikan
Islam adalah meningkatkan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan
berjalan dengan lancar. Ramayulis (1990: 19-20) sebagaimana dikutip oleh
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar (2002: 34), melihat fungsi pendidikan secara
operasional dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu: 1. Alat untuk memelihara,
memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi
dan social, serta ide-ide masyarakat dan nasional. 2. Alat untuk mengadakan
perubahan, inovasi dan perkembangannya (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005:
34). Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjalan dengan
lancar (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 68). Dengan memahami uraian di
atas, pendidik diharapkan mampu menjadi pioneer dalam pembinaan sumber daya
manusia (peserta didik) baik dalam menjalankan kewajibannya sebagai khalifah
maupun sebagai anggota masyarakat dan menghasilkan inovasi yang berguna dalam
kehidupan social. BAB III HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. PENGERTIAN HUKUMAN
DALAM PENDIDIKAN ISLAM Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut
oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan
sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan
(Http://fertobhades.woerdpress.com/2006/11/12/hkmn/. Tingkah laku di sini
sebagai hubungan antara perangsang dan respon, bisa kita lihat dalam salah satu
teori Skinner yaitu operant respons adalah respon yang timbul dan berkembangnya
diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu (M. Ngalim Purwanto, 2002: 96).
Misalkan, seorang anak yang merebut buku temannya (melakukan suatu perbuatan)
lalu mendapat hukuman baik itu berupa nasehat atau teguran (tergantung
kepribadian anak dan intensitas kesalahan) , maka ia akan menjadi sadar dan
tidak mengulangi perbuatan itu. Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah
tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau
ketika orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan
sebuah tingkah laku yang diharapkan. Kita juga bisa melihat teori asosiaisi
menurut Thorndike. Satu hari, Thorndike melakukan percobaan dengan seekor
kucing yang dibuat lapar lalu dimasukkan ke dalam kandang. Pada kandang itu
dibuat lubang pintu yang tertutup dan dapat dibuka jika pasak di pintu itu
disentuh. Di luar kandang diletakkan sepiring daging. Mula-mula kucing bergerak
kesana kemari mencoba hendak ke luar melalui berbagai jeruji kandang itu. Lama
kelamaan, ketika secara kebetulan tersentuhlah pasak lubang pintu oleh salah
satu kakinya. Pintu kandang terbuka dan kucing itu pun keluar menuju makanan.
Percobaan diulang dan setelah diadakan berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak
lagi mondar-mandir mencoba, tetapi langsung menyentuh pasak pintu dan terus
keluar mendapatkan makanan. Di sini, Thorndike mengartikan bahwa segala tingkah
laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan
situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya. Salah satu caranya
adalah dengan memberi penghargaan atau hukuman. Karena dengan hukuman
terjadilah asosiasi atau hubungan antara tingkah laku /reaksi yang dapat
mendatangkan sesuatu dengan hasilnya (Ngalim Purwanto, 2002: 98-99). Sebagai
contoh, di sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan
dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh siswa maka salah satu cara untuk
menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan
tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang
siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat
menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang
digunakan untuk mengatasinya. Terkait dengan teori Thorndike, pemberian hukuman
yang dilakukan terhadap tingkah laku yang menyimpang dari aturan yang berlaku
secara terus menerus, akan menghasilkan perilaku yang ingin dicapai. Hukuman
diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar
dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir (2006: 206). .Misalnya, yang terlambat masuk sekolah
diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi
sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir
bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut
dapat diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak
membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang
berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: عَنْ
عَمْرِوِبْنِ سُعَيْبٍ عَنْ اَ بِيْهِ قَا لَ رَسُوْلُ للَّهِ صَلَى ا للَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوْاَوْلاَدَكُمْ بِا لصَّلاَ ةِوَهُم اَ بْنَاءُ سَبْعِ
سِنِيْنَ, وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَ بْنَاءُ عَشْرٍ, وَفَرِّقُوْاَ بَيْنَهُمْ
فِى المَضَا خِعِ Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya
bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak
usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun,
serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud) Paul Chanche (1979: 87)
mengartikan hukuman adalah “The procedure of decreasing the likelihood of a
behavior by following it with some azersive consequence” (Prosedur penurunan
kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif) Decreasing
the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dari tingkah
laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak
baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika
maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di
hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Tidak boleh menonton TV ketika
maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti.
Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu,
dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh
menonton TV selama 3 hari. Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang
merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah
laku. Sedangkan M. Arifin (1994: 175-176) telah memberi pengertian hukuman
adalah pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kesalahan perbuatan atau
tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam
lingkungannya. Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak
itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik
terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang
terdapat dalam ajaran agama Islam. Dalam menggunakan hukuman, hendaknya
pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki dulu kesalahannya dan
mempertimbangkan akibatnya. Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam
kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya
tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya
pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthub dikatakan bahwa
: Tindakan tegas itu adalah hukuman ( M. Quthub, 1993: 341). Dari beberapa
pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa hukuman dalam pendidikan Islam
adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak terhadap anak didiknya berupa
denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah
diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu sesuai
dengan tujuan pendidikan Islam yang hendak dicapai. B. DASAR PEMBERIAN HUKUMAN
DALAM PENDIDIKAN ISLAM Pendidik muslim harus mendasarkan hukuman yang
diberikannya pada ajaran Islam, sesuai dengan Firman Allah dan sunah Rasul-Nya.
Ayat al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa
ayat 34, yang berbunyi: Artinya: “Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah
mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkan mereka.” Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang suami
diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh
istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan paling awal,
adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat. Merujuk
kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa bersalah dengan
cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Pisahkanlah tempat
tidur mereka, dipahami oleh Irawati Istadi (2005: 95) sebagai bentuk
alternative hukuman berikutnya setelah pemberian nasehat, yaitu dengan bentuk
pengabaian. Di mana dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan suami untuk
memisahkan para istreri yang melanggar aturan tersebut dengan tidak
memperdulikannya atau mengabaikannya yaitu suami hendaklah memisahkan diri dari
isterinya. Hal ini bisa dilakukan dengan dua tahap, yang pertama dengan
membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Tetapi apabila istri belum juga
menyadari kesalahannya, tahapan yang kedua adalah dengan menghindarinya secara
fisik, yaitu pisah ranjang. Hal ini pun disepakati oleh Abdurrahman Saleh
Abdullah (2005: 228) sebagai bentuk hukuman psikologis bagi istri. Setelah
tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke
tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir,
dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang
berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan.
Selain itu, pukulan itupun tidak menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang
berkelanjutan pada istri di masa yang akan datang. Misalkan pukulan itu memang
tidak menimbulkan bekas yang tampak oleh kasat mata, tetapi berefek pada
penyakit dalam seperti pembekuan darah, geger otak, patah tulang dan lain
sebagainya. Inipun harus di hindari, karena pada hakekatnya, definisi membekas
itu bukan hanya sebatas tampilan luar tapi juga dalamnya. Demikian pula
terhadap mendidik anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma
agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah
lembut dan menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil
maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau mengacuhkan
anak didik. Jika hukuman psikologis itu belum juga berhasil maka pendidik bisa
menggunakan pukulan. Adapun perintah mendidik anak, telah ditegaskan oleh Nabi
Muhammad Saw yang berbunyi: عَنْ عَمْرِوِبْنِ سُعَيْبٍ
عَنْ اَ بِيْهِ قَا لَ رَسُوْلُ للَّهِ صَلَى ا للَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُرُوْاَوْلاَدَكُمْ بِا لصَّلاَ ةِوَهُم اَ بْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ,
وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَ بْنَاءُ عَشْرٍ, وَفَرِّقُوْاَ بَيْنَهُمْ فِى المَضَا
خِعِ Artinya: “Dari Amr bin
Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah
anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau
sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud).
Dari Firman Allah SAW dan hadist Nabi Muhammad SAW di atas, jelas bahwa dalam
pendidikan Islam, konsep hukuman telah tertata dengan baik sesuai dengan
syari’at Islam yang mulia. Karena itu, dalam penerapannya pun harus sesuai
dengan aturan yang telah Allah SWT dan Rasul-Nya tetapkan. C. TUJUAN HUKUMAN
DALAM PENDIDIKAN ISLAM Apa sebenarnya tujuan orangtua dan pendidik ketika
memberikan hukuman pada anak? Ini bukanlah persoalan yang ringan, karena dari
beberapa kasus di awal pembahasan tadi, ternyata masih banyak orang yang
menghukum anak dengan tujuan yang salah. Bahkan ada yang menghukum anak hanya
sebagai pelampiasan emosi sesaat saja. Dalam kondisi ini, Irawati Istadi
mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman adalah menginginkan
adanya penyadaran agar anak tidak lagi melakukan kesalahan (Irawati Istadi,
2005: 81) M. Ngalim Purwanto (1994: 175-176) mengklasifikasikan tujuan hukuman
berkaitan dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman, yaitu: 1. Teori
Pembalasan Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam
terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. 2. Teori Perbaikan Menurut
teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si
pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi. 3. Teori Pelindungan
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari
perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. 4. Teori Ganti Kerugian Menurut teori
ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita
akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. 5. Teori Menakut-nakuti Menurut
teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si
pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu
takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya. Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing
hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan
kelengkapan dari teori yang lain. Sedangkan tujuan hukuman menurut M. Arifin
(1994: 217) ada dua, yaitu: 1. Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia
didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa aman yang merupakan
kebutuhan pokok anak didik dalam belajar. 2. Memperkuat atau memperlemah respon
negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak
asal memberikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan
pokoknya. Hery Noer Aly (1999: 200) mengatakan bahwa hukuman adalah metode
kuratif. Karena itu tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki peserta didik yang
melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainnya, bukan untuk balas
dendam. Tujuan hukuman yang penting menurut Abu Hasan al-Qabisy dan
al-Qaeruwany sebagaimana dikutip oleh HM. Arifin (2006: 159) adalah dapat
menimbulkan perasaan jera dari perbuatan yang negatif. Selain itu, sebagai alat
dalam memberikan tindakan terhadap setiap pelanggaran aturan yang telah
ditetapkan, hukuman mempunyai tiga peranan penting khususnya dalam upaya
pengembangan disiplin (Mohammad Surya, 2003: 132), yaitu: 1. Menghindari
terjadinya pengulangan perilaku yang tidak diinginkan. 2. Mengajarkan tentang
perilaku mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 3. Memotivasi individu
untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Seperti halnya aturan, hukuman
di sini harus dipahami, dihayat dan di amalkan oleh setiap individu. Dari
beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam
pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik
untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan
yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya. D. MACAM-MACAM HUKUMAN DALAM
PENDIDIKAN ISLAM Ada beberapa pendapat dalam mengklasifikasikan hukuman,
diantaranya adalah: Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim
Purwanto (1994: 175), ada beberapa pendapat yang membedakan hukuman menjadi dua
macam, yaitu: 1. Hukuman Preventiv, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud
agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan sebelum
pelanggaran itu dilakukan. 2. Hukuman Represif, yaitu hukuman yang dilakukan
oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya kesalahan yang telah diperbuat.
Jadi, hukuman itu dilakukan setelah terjadi pelanggaran. Sementara itu W. Stern
sebagaimana dikutip oleh M.Ngalim Purwanto (1994: 178), membagi hukuman menurut
tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu yaitu: 1. Hukuman
Asosiatif, yaitu penderitaan akibat dari pemberian hukuman ada kaitannya dengan
perbuatan pelanggaran yang dilakukannya. Dengan kata lain hukuman itu diasosiasikan
dengan pelanggarannya. 2. Hukuman Logis, yaitu anak dihukum hingga memahami
kesalahnnya. Hukuman ini diberikan pada anak yang sudah agak besar yang sudah
mampu memahami bahwa ia mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang
diperbuatnya. 3. Hukuman Normatif, bermasud memperbaiki moral anak-anak.
Hukuman ini sangat erat hubungannya dengan pembentukan watak anak-anak. Ada
pula yang membagi hukuman menjadi dua, yaitu: 1. Hukuman Alam, yang dikemukakan
oleh JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme berpendapat kalau ada anak yang
melakukan kesalahan jangan dihukum, biarlah alam yang menghukumnya. Dengan kata
lain, biarlah anak kapok atau jera dengan sendirinya. 2. Hukuman Yang
Disengaja, hukuman ini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan (M. Ngalim
Purwanto, 1999: 179). Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (2005: 167-183) membagi
hukuman menjadi dua, yaitu: 1. Hukuman yang Dilarang, seperti: memukul wajah,
kekerasan yang berlebihan, perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang
dengan kaki dan sangat marah. 2. Hukuman yang Mendidik dan Bermanfaat, seperti:
memberikan nasehat dan pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan
kenakalannya, menyindir, mendiamkan, teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke
perut, hukuman dari ayah, menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan. Dari
beberapa macam hukuman di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di
antaranya hukuman preventiv dan represif, karena sebenarnya dalam ilmu
pendidikan, kedua istilah itu tidak tepat kalau hanya dihubungkan dengan
hukuman. Lebih sesuai kiranya jika kedua istilah itu dipergunakan untuk
menyifatkan alat-alat pendidikan pada umumnya. Hukuman Alam juga kurang tepat
karena ditinjau secara pedagogis, hukuman alam itu tidak mendidik. Walau dalam
beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori Rousseau itu ada
benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat mengetahui
norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan yang
tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan merubahnya. Kalau alam
atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi akibatnya. Karena di sini
tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada hal yang lebih baik.
Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru pendidik membiarkan dengan
harapan bisa berubah dengan sendirinya. E. SYARAT PENGGUNAAN HUKUMAN DALAM
PENDIDIKAN ISLAM Hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan dalam
pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang
benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenang tertutama dalam hukuman
fisik harus mengikuti ketentuan yang ada. Terkadang menunda hukuman lebih besar
pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan mencegahnya
untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan dua hukuman.
Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah
mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain ternyata belum juga mau menurut,
maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan). Ada keterangan dari
Rasulullah SAW dari sanad yang shahih, bahwasanya beliau melihat Abu Bakar RA
sedang memukul anaknya. Maka beliaupun tersenyum dan tidak melarangnya. Dari
riwayat ini, dapat disimpulkan bahwa menghukum anak dengan memukul anak boleh
dilakukan ketika diperlukan dengan tujuan untuk mendidik dan mendisiplinkannya
(Adnan Hasan Shalih Baharits, 1996: 72). Abdullah Nasih Ulwan ( 1994: 325-327)
menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain: 1. Pendidik
tidak terburu-buru. 2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat
marah. 3. Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan
perut. 4. Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti. 5. Tidak memukul anak
sebelum Ia berusia 10 tahun. 6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama
kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji
untuk tidak mengulangi kesalahannya itu. 7. Pendidik menggunakan tangannya
sendiri. 8. Jika anak sudah menginjak Usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan
tidak juga jera maka boleh Ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi
baik kembali. Dari sini dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan
kepada anak yang berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik
anak yang masih lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangannya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi (1985: 17): وَيَجِبُ أَيْضًاأََنْ يَضْرِبَهُمَا عَلَىتَرْكِ ذَلِكَ
ضَرْبًاغَيْرَمُبْرَحٍ فِىاَثْنَاءِالْعَا شِرَةبَعْدَكَمَالِ التِسْعِ
لاِحْتِمَالِ الْبُلُوْغِ فِيْهِ Artinya: “Wajib juga untuk memukul
keduanya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena meninggalkannya ketika
berumur sepuluh tahun setelah sempurnanya umur sembilan tahun karena menuju
kedewasaan yang dimiliki.” Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mendidik anak,
Islam membolehkan penggunaan hukuman sebagai sarana untuk meluruskan dan
menyadarkan anak dengan sesuatu yang tidak menyakitkan atas kekeliruannya.
Tentu saja yang dimaksud memukul di sini adalah pukulan yang bertujuan untuk
mendidik dan tidak menyakitkan. Namun demikian, kebolehan menghukum bukan
berarti pendidik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya, khususnya hukuman
fisik, ada bagian anggota badan tertentu yang disarankan untuk dihindari dan
anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk dikenai hukuman fisik. Ibnu Sachnun
menyarankan jangan memukul muka karena luka pada muka atau mata akan membekas
atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak minder. Jangan pula
memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf lainnya di kepala.
Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka pendidik memilih hukuman
yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman badan harus dijatuhkan maka
pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal terhadap pukulan
seperti, pantat dan kaki (HM. Arifin, 2006: 159). Hal lain yang perlu dicermati
adalah pendapat Abdullah Nasikh Ulwan yang menyebutkan bahwa salah satu syarat
pemberian hukuman adalah pendidik menggunakan tangannya sendiri. Ini
menimbulkan satu pertanyaan menarik, “Lalu bagaimana peran BK (Bimbingan
Konseling) di sekolah-sekolah yang menghukum anak didiknya karena kesalahan
yang dia lakukan?. Misalkan seorang siswa bolos pelajaran Bahasa Arab dan Fiqh.
Kalau kita mengikuti persyaratan yang diajukan oleh beliau, tentu saja guru
yang bersangkutanlah yang berhak mengukum mereka secara langsung, dan tidak
menyerahkan mereka ke BK. Namun, seperti kita ketahui sekarang di
sekolah-sekolah salah satu peran BK adalah memberi pengarahan dan hukuman
kepada anak didik yang melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ada di
sekolah. Sehingga BK turut pula memberi hukuman kepada pelanggar selain guru
yang bersangkutan. Inilah yang menarik, karena pada dasarnya pembentukan
karakter atau perilaku tidak bisa dilakukan satu arah saja. Manusia itu
bersifat dinamis, karena itulah hukuman pun harus diberikan oleh berbagai pihak
yang saling terkait. Seperti contoh di atas, kebiasaan bolos tidak akan bisa
dirubah ketika bimbingan atau pengarahan hanya dilakukan satu arah, yaitu guru
yang bersangkutan. Sehingga si anak akan selalu merasa nyaman mengulangi
kesalahannya lagi kalau ternyata tidak didukung oleh pihak lain yang terkait,
khususnya orang-orang yang memiliki kewenangan oleh system social untuk menjadi
oknum yang mempunyai hak untuk menghukum. Dalam hal ini antara lain seluruh
civitas akademika sekolah khususnya pendidik, BK, dan kepala sekolah. Selain
itu juga peran orang tua dan masyarakat pun sangat besar. Sehingga ketika semua
pihak bekerjasama dan saling mendukung ke arah dan tujuan yang sama kebiasaan yang
kurang baik atau pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan yang berlaku akan
dapat dikurangi atau bahkan tidak ada lagi, karena kontrol itu selalu ada. Dari
beberapa pendapat yang lain membagi syarat hukuman menjadi dua, yaitu: 1. Lemah
lembut dan kasih sayang (Jamal ‘Abdur Rahman, 2005: 303-305). 2. Dilakukan
secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras (Abla Bassat
Gomma, 2006: 48). Armai Arief (2002: 131) membagi syarat-syarat pemberian yang
harus diperhatikan oleh pendidik menjadi lima, yaitu: 1. Tetap dalam jalinan
cinta, kasih dan sayang. 2. Didasarkan kepada alasan keharusan. 3. Menimbulkan
kesan di hati anak. 4. Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan kepada anak
didik. 5. Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan. Pendapat
lain (2005: 42-43), membagi syarat pemberian hukuman menjadi 3, yaitu: 1. Bisa
dipertanggung jawabkan 2. Supaya bisa dipertanggungjawabkan, kita harus
menjatuhkannya sedemikian rupa sehingga betul-betul mengakibatkan perbaikan
atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. 3. Mampu memberi semangat dan
menimbulkan sikap untuk memperbaiki diri. Hukuman di sini tidak hanya berupa
siksaan jasmani saja dan inilah yang harus dipikirkan dalam memberikan suatu
obat yang mujarab pada anak didik. Karena itu hukuman yang kita berikan harus
merupakan suatu perbaikan yang menyeluruh, serta harus menjanjikan suatu
kesempatan untuk bangun kembali dan untuk merehabilitasi diri. 4. Bersifat
Psycholgis Kita sebaiknya memperhatikan dengan seksama bahwa sebenarnya apa
yang bagi kita merupakan suatu siksaan atau ganjaran, tdak selalu dipahami sama
oleh anak didik. Karena itu kita harus benar-benar mengenal pribadi anak didik
supaya hukuman yang diterapkan dapat tepat dan konstruktif. Sedangkan secara
singkat M. Ngalim Purwanto (1994: 179-180) membagi syarat hukuman yang
pedagogis menjadi 8, antara lain: 1. Dapat dipertanggung jawabkan 2. Bersifat
memperbaiki 3. Tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam 4. Jangan
menghukum pada waktu sedang marah 5. Harus diberikan dengan sadar dan sudah
diperhitungkan atau dipertimbangkan 6. Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan
yang sebenarnya 7. Jangan melakukan hukuman badan 8. Tidak boleh merusak
hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya 9. Guru sanggup memberi maaf
setelah anak itu menginsafi kesalahannya. Hukuman merupakan metode terburuk,
tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Dalam hal ini hukuman adalah
sebagai cara terakhir yang dilakukan apabila kesalahan, kelalaian, pelanggaran
yang diperbuat oleh seseorang dapat diatasi dengan cara lain selain hukuman.
Oleh karena itu Hery Noer Aly (1999: 200-202) menjelaskan bahwa ada beberapa
hal yang hendaknya diperhatikan pendidik dalam menggunakan hukuman, antara
lain: 1. Tidak menjatuhkan hukuman dalam keadaaan marah. 2. Hukuman digunakan
bila metode lain seperti nasehat dan peringatan tidak berhasil. 3. Sebelum
dihukum hendaknya peserta didik diberi kesempatan untuk memperbaiki
kesalahannya. 4. Hukuman dapat dimengerti oleh peserta didik. 5. Hukuman psikis
lebih baik dari pada fisik. 6. Disesuaikan dengan perbedaan latar belakang
kondisi peserta didik. 7. Memperhatikan prinsip logis hukuman yaitu disesuaikan
dengan kesalahan. 8. Tidak mengeluarkan ancaman yang tidak mungkin
dilaksanakan. Hery Noer Aly mengatakan bahwa hukuman itu harus dimengerti oleh
peserta didik, artinya peserta didik (terhukum) harus tahu bahwa hukuman yang
diberikan ini adalah akibat dari perbuatannya dan bukan perbuatan orang lain.
Sehingga hukuman pun harus diberikan segera, karena waktu adalah masalah utama,
jika seseorang melakukan kesalahan dan dia tidak mendapat hukuman pada saat itu
juga, maka orang tersebut akan berpikiran bahwa tingkah lakunya adalah sesuatu
yang wajar dan bukan suatu kesalahan. Abu Hasan al-Qabasyi, al-Qaeruwany (HM.
Arifin, 2006: 159-160) membagi syarat pemberian hukuman menjadi 6, yaitu: 1.
Tidak memukul lebih dari 10x, sebaiknya 3x. 2. Tidak dengan kemarahan. 3.
Hukuman pukulan boleh diterapkan setelah anak didik memperoleh adab
(pendidikan) yang bermanfaat bagi dirinya. 4. Jelas sebabnya. 5. Jangan
diberikan didepan orang lain, tetapi secara individual. Di sini, Al-Qabasyi
menyarankan agar hukuman diberikan secara individu tidak di depan orang lain,
apalagi di depan anak-anak lain dalam kelas atau kelompoknya, agar anak tidak
akan merasa terhina maupun terlecehkan sehingga Ia tidak merasa marah dan
dendam. Hal ini berbeda dengan pendapat Abdullah Nasikh Ulwan yang menyaratkan
hukuman itu dilaksanakan dihadapan kelompok atau teman-temannya dengan tujuan agar
hukuman dapat dijadikan pelajaran yang sangat kuat pengaruhnya bagi terhukum.
Disini, penulis melihat bahwa para tokoh pendidikan saling melengkapi dalam
mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan Islam. Dari uraian di atas,
penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam suatu proses
hukuman, yaitu: hukuman adalah sebuah cara terakhir yang dilakukan agar sebuah
tingkah laku yang diharapkan terjadi, hukuman harus diberikan oleh orang lain
yang mempunyai otoritas menghukum, hukuman tidak boleh menghilangkan harkat dan
martabat seseorang, hukuman harus diasosiasikan dengan kesalahan yang
diperbuat, sebisa mungkin hukuman tidak diberikan berupa hukuman fisik dan
hukuman yang diberikan tidak boleh melampaui kemampuan seeorang untuk menanggungnya
karena tidak akan menimbulkan efek apapun, kecuali hanya memberatkannya. F.
TAHAPAN PEMBERIAN HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Dalam pemberian hukuman ada
tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan hingga
akhirnya menjadi yang terberat, yaitu: 1. Memberikan nasehat dengan cara dan
pada waktu yang tepat Yaitu dengan tidak memojokkan dan mengungkit-ungkit
kekeliruannya dengan nasehat yang panjang lebar, karena dapat membuat anak
menolak terlebih dahulu apa yang akan disampaikan. Pemilihan waktupun harus
dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy menerima masukan. 2. Hukuman
pengabaian, untuk menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati
anak. 3. Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan catatan bahwa hukuman fisik
(pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan menyakitkan. (Irawati
Istadi, 2005: 94-96). HM. Arifin (2006: 159) mengutip pendapat Ibnu Sina
mengenai tahapan pemberian hukuman, yaitu: 1. Diberi peringatan keras. 2.
Pukulan ringan yang menimbulkan rasa sakit. Pendapat ini sedikit berbeda dengan
pendapat Irawati Istadi yang mengatakan bahwa hukuman fisik (pukulan) diberikan
dengan tidak menyakitkan, tetapi Ibnu Sina berpendapat bahwa hukuman pukulan
ringan yang menyakitkan sebagai tahapan hukuman yang terakhir itu akan efektif.
Dengan asumsi, apabila pukulan pertama anak merasakan sakit, maka setelahnya si
anak akan timbul kesadaran akan kesalahannya dan enggan untuk mengulangi
hukuman itu lagi, sehingga berimplikasi pada perilaku anak untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi. Rasulullah SAW menjelaskan tahapan bagi pendidik
untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya,
membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang terdapat dalam buku
Pendidikan Anak Dalam Islam (Abdullah Nasikh Ulwan, 1994: 316-323), yaitu
menunjukkan kesalahan dengan: 1. Pengarahan 2. Ramah tamah 3. Memberikan
isyarat 4. Kecaman 5. Memutuskan hubungan (memboikotnya) 6. Memukul 7. Memberi
hukuman yang membuat jera. Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir
setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh
menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab,
pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya
kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa. Begitu pula ketika pendidik
menghukum anak yang berperangai buruk di depan saudara dan temannya, maka
hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara
keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa
mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya. Jika pendidik
tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk
memperbaiki anak dan meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada
yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum
berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang
paling utama hukuman terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau
teman-temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka (Abdullah Nasikh
Ulwan, 1994: 232). G. DAMPAK NEGATIF DAN DAMPAK POSITIF HUKUMAN a. Dampak
Negatif Jika kita bertanya dapatkan suatu hukuman yang sama yang dilakukan oleh
seorang pendidik terhadap beberapa orang anak , akan menghasilkan dampak yang
sama pula? Maka jawabnya adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”.
Biarpun demikian, tiap-tiap hukuman mengandung maksud yang sama, yakni
bertujuan untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya
belum tentu dapat diharapkan. Sebelum memberikan hukuman, Andi Hakim Nasoetion,
dkk (2001: 112-113) menyarankan agar mempertimbangkan dampak negatif yang akan
timbul, yaitu: 1. Tidak menunjang perkembangan kendali diri Di sini, anak hanya
belajar menghndari tingkah laku oleh karena mendapat hukuman. Ia tidak belajar
memikul tanggung jawab sendiri untuk mengendalikan diri. 2. Memberikan model
yang negatif Orang tua yang berteriak-teriak ketika anak ribut, atau pendidik
yang memukul anak didiknya sebagai hukuman karena telah memukul temannya,
secara tidak langsung menunjukkan pada anak bahwa perilaku itu sebetulnya dapat
diterima, tergantung siapa yang melakukannya. 3. Menimbulkan agresivitas jika
seseorang disakiti, baik secara fisik atau mental maka ia akan memberontak
Agrevitas ini bisa dalam bentuk aktif, seperti melawan secara terbuka dengan
merusak dan bisa juga dalam bentuk pasif, yaitu dengan menarik diri dan tidak
memberi perhatian atau tanggapan sama sekali. 4. Menimbulkan aversi (menentang)
terhadap orang tua, sekolah dan belajar. M. Ngalim Purwanto ( 1994: 177)
mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu: 1. Menimbulkan perasaan
dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman ini adalah
akibat dari hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. 2. Anak
menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang
diharapkan oleh pendidik. 3. Si pelanggar menjadi kehilangan perasaan bersalah,
karena merasa telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (2002: 133)
mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak
efektif, antara lain: 1. Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya
diri. 2. Murid akan selalu merasa sempit hati, bersifat pemalas, serta akan
menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum). 3. Mengurangi keberanian
anak untuk bertindak. Dalam buku yang lain Syaikh Jamil Zainu ( 2005; 166-167)
berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu: 1.
Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan. 2.
Guru dan murid akan terpengaruh ketika diberlakukannya hukuman dan hal itu akan
membekas pada keduanya secara bersamaan. 3. Adanya bekas yang merugikan pada
diri murid yang terkena pukulan baik pada wajah, mata, telinga atau anggota
badan lainnya. 4. Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang
dihukum. 5. Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya
di hadapan hakim, keluarga dan penyidik 6. Terbuangnya waktu murid untuk
belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa yang tengah terjadi ketika
pelajaran berlangsung 7. Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar
murid dan guru. Hukuman fisik ini bisa digunakan dalam keadaan yang sangat
darurat seperti menghukum sebagian anak yang melakukan penyimpangan karena
tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera kecuali dengan hukuman fisik
atau untuk menjaga wibawa (kehormatan) dan tata tertib sekolah setelah pendidik
memberikan nasehat dan arahan kepada seluruh murid tetapi mereka tidak jera
juga. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pepatah orang Arab Obat yang
paling akhir adalah dibakar besi (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, 2005: 166).
Muhammad bin ‘Abdullah Sahim (2002: 135)mengatakan dampak jelek bagi anak atas
hukuman yang menggunakan kekerasan, yaitu: 1. Mewariskan pada diri anak
kebodohan dan kedunguan 2. Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah
dipermainkan dan diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun 3. Suka
membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya. Hukuman dengan
menggunakan kekerasan dipaparkan oleh Ibnu Khaldun seperti yang dikutip oleh
HM. Arifin (2006, 2006: 160-161) akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
anak, antara lain: 1. Menyebabkan kelemahan dan tidak sanggup membela
kehormatan diri dan keluarganya. 2. Anak tidak mempunyai kemauan dan semangat
yang berfungsi amat penting dalam memperoleh fadhilah dan akhlak baik. 3. Jiwa
anak akan menyimpang dari tujuan dan ruang lingkup hakikat kemanusiannya. 4.
Sempit hati. 5. Menimbulkan kecenderungan untuk berbuat buruk, seperti
berdusta, pemalas, dan lainnya. b. Dampak Positif Armai Arief (2002: 133)
mengatakan dampak positif dari hukuman antara lain: 1. Menjadikan
perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid. 2. Murid tidak lagi melakukan
kesalahan yang sama. 3. Merasakan akibat perbuatannya sehingga Ia akan
menghormati dirinya. M. Ngalim Purwanto (1994: 177) membagi dampak positif hukuman
menjadi dua, yaitu: 1. Memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang
tidak mengerjakan PR Bahasa Arab, akan dihukum menghafal 20 kosakata Bahasa
Arab. Karena mendapat hukuman itu anak anak merubah sikap malasnya mengerjakan
PR, menjadi rajin mengerjakan PR Bahasa Arab. 2. Memperkuat kemauan si
pelanggar untuk menjalankan kebaikan Di sini secara sadar pelanggar akan
berusaha untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan aturan yang ada, sehingga
tidak akan melakukan kesalahan untuk yang kesekian kalinya. Dari uraian di
atas, penulis menyimpulkan bahwa dampak negatif dari pemberian hukuman adalah
salah satu imbas dari pemberian hukuman yang kurang tepat. Karena itulah
kuantitas dampak negatif lebih banyak daripada dampak yang positif.
Sepantasnyalah Rasulullah SAW dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam
bersikap kepada anak, sehingga hukuman benar-benar dapat efektif. BAB IV
KANDUNGAN Q.S. Al-A’raaf AYAT 59-64 A. LAFADZ DAN TERJEMAHAN Q.S. AL-A’RAAF:
59-64 Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia
berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu
akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat) (59). Pemuka-pemuka dari kaumnya
berkata: “Sesungguhnya Kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”
(60). Nuh menjawab: “Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun, tetapi
aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam (61). Aku sampaikan kepadamu
amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu dan aku mengetahui dari
Allah apa yang tidak kamu ketahui (62). Dan apakah kamu (tidak percaya) dan
heran bahwa datang kepada kamu peryataan dari Tuhanmu dengan perantaraan
seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan
mudah-mudahan kamu bertaqwa dan supaya kamu mendapat rahmat? (63). Lalu mereka
mendustakan Nuh dan kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang
bersamanya di dalam bahtera dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya) (64)”.
(Depag, 2000: 126) 1. Kosakata Ayat لَقَدْ : Sesungguhnya اَرْسَلْنَا
: Kami telah mengutus نُوْحًا :
Nuh إِلَى قَوْمِهِ : Kepada kaumnya فَقَالَ : Lalu ia berkata يَا
قَوْمِ : Wahai kaumku اعْبُدُاللَّهَ :
Sembahlah Allah SWT مَالَكُمْ مِنْ اِالَهٍ غَيْرُهُ : Sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kamu
selain-Nya اِنِّيْ : Sesungguhnya aku اَخَا فٌ : Takut عَلَيْكُمْ
: Atas kamu sekalian عَذَابَ :
Ditimpa azab يَوْمٍ عَظِيْمٍ : Hari yang besar قَالَ : Berkata اْلمَلاَءُ
: Pemuka مِنْ قَوْمِهِ : Dari
kaumnya اِنَّا : Sesungguhnya kami لَنَرَكَ : Benar-benar memandang kamu فِي : Dalam
ضَلاَلٍ :
Kesesatan مُبِيْنٍ : Yang nyata قَالَ : Berkata (Nuh) يَا
قَوْمِ : Hai kaumku لَيْسَ بِي :
Aku sekali-kali tidak dalam ضَلاَلَةٌ : Sesat وَلَكِنِّيْ
: Tetapi aku رَسُوْلٌ : Utusan مِنْ : Dari
رَبِّ :
Tuhan اَلْعَالَمِيْنَ : Semesta alam اُبَلِّغُكُمْ : Aku sampaikan kepada kamu رِسَالاَتِ :
Risalah-risalah (amanat) رَبِّي : Tuhanku وَأَنْصَحُ : Dan aku memberi nasehat لَكُمْ : Kepada kamu وَاَعْلَمُ :
Dan aku lebih mengetahui مِنَ اللَّهِ : Dari Allah SWT مَالاَتَعْلَمُوُنَ
: Apa yang tidak kamu ketahui اَوْعَجِبْتُمْ :
Apakah kamu heran (tidak percaya) جَاءَكُمْ : Datang kepada kamu ذِكْرٌ : Tuntunan مِنْ رَبِّكُمْ :
Dari Tuhan kamu عَلَى : Atas رَجُلٍ : Seorang laki-laki مِنْكُمْ : Diantara kamu لِيُنْذِرَكُمْ
: Untuk mengingatkan kamu وَلِتَتَّقُوْا :
Agar kamu bertakwa وَلَعَلَّكُمْ : Agar kamu semua تٌرْحَمُوْنَ : Mendapatkan rahmat فَكَذَّبُوْهُ : Maka
mereka mendustakannya فَاَنْجَيْنَاهُ : Maka Kami selamatkan dia وَالَّذِيْنَ :
Dan orang-orang مَعَهُ : Bersamanya فِىالْفُلْكِ : Di dalam bahtera وَاَغْرَقْنَ : Dan
Kami tenggelamkan الَّذِيْنَ : Orang-orang كََذَّبُوْا : Yang mendustakan بِآيَا تِنَا :
Ayat-ayat Kami اِنَّهُمْ كَا نُوْا : Sesungguhnya mereka adalah قَوْمًا عَمِيْنَ :
Kaum yang buta 2. Kosakata Penting Kata (عَذَابَ) ‘azaba arti dasarnya adalah siksa dan
telah menjadi khasanah bahasa Indonesia yaitu azab. Dalam penggunaan sehari-hari,
‘azab berarti hukuman atau pembalasan bagi hamba Allah SWT yang mengingkari
nikmat-Nya dan menyimpang dari bimbingan serta hidayah-Nya. Kata ‘azab dalam
ayat ini dirasakan sebagai hukuman dari Allah SWT kepada hambanya, kaum Nabi
Nuh a.s. yang tidak mau mengakui Allah SWT dan tidak pula mengikuti bimbingan
yang diturunkan kepada Nabi Nuh a.s.. ‘azab yang terjadi dalam ayat ini adalah
dengan ditenggelamkannya kaum Nabi Nuh a.s. yang ingkar terhadap risalah yang
dibawanya. ‘azab akan diturunkan oleh Allah SWT di dunia dan akhirat. ‘azab
yang diturunkan di dunia karena sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia yang
jahat. Hal ini dikisahkan Al-Qur’an seperti yang diterima kaum ‘Ad, Samud dan
Kaum Nabi Nuh a.s.. Sedangkan ‘azab di akhirat akan ditimpakan di akhirat
berupa pembalasan atas sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia yang
menyimpang dari bimbingan wahyu dan mengingkari nikmat Allah SWT (Siti Chamamah
Suratno,dkk, 2002: 226-227). Kata (يَوْمٍ عَظِيْمٍ) yaumin ‘azimin asal katanya adalah ) يَوْمُ عَظَمَ)
yauma ‘azama yaitu hari yang besar, baik di dunia maupun akhirat. Dalam ayat
ini, Nabi Nuh a.s. mengajak kaumnya agar yakin tentang keniscayaan hari kiamat,
sehingga mereka terhindar dari bahayanya hari yang besar ini kalau masih terus
menerus menyembah selain Allah SWT dan mau menerima ajaran yang dibawanya.
Ajakan ini adalah ajaran semua Rasul sejak Nabi Nuh a.s. hingga Nabi Muhammad
SAW (Quraish Sihab, 2002: 131) Kata (ضَلَلٍ مُبِيْنٍ ) dalalin mubinin berasal dari kata (ضَلَلً بَيَّنَ )
dalalan bayyana yang berarti kesesatan yang jelas. Dalam ayat ini, kesesatan
yang dimaksud adalah karena berpaling dari Allah SWT sehingga kaum Nabi Nuh
a.s. lebih memuja dan menyembah patung-patung dan berhala. Menurut Imam Bukhari
dalam shahihnya, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Kaum Nabi Nuh a.s. itu
sangat merasa berhutang budi kepada orangtua-orangtua mereka yang shahih dan
berjasa bagi kesejahteraan hidup mereka saat ini. Karena itulah dibuatkanlah
patung-patung dan berhala sebagai kenang-kenangan. Dan bila patung itu dilihat,
timbullah meneladankan perbuatan mereka dan melanjutkan usaha mereka. Tetapi
lama kelamaan tanpa sadar patung-patung dan berhala itu mereka puja dan sembah
(Surat Al-An’am juz ke 7). Inilah kesalahan yang ditegur oleh Nabi Nuh a.s.
Karena ini adalah kesesatan yang jelas. Bukankah segala ibadah, sembahan,
pujian dan kemuliaan semuanya hanyalah milik Allah (Hamka, 2003: 2410). Kata (رِسَالاَتِ)
risalati yang berasal dari kata (رَسَلَ) rasala berarti amanat atau utusan Allah
SWT. Dari semua Nabi dan Rasul, Nabi Nuh a.s. adalah Nabi yang pertama membawa
syari’at. Nabi Nuh a.s. adalah Rasul Allah SWT, utusan Allah SWT kepada kaumnya
untuk memberi peringatan. Hal ini juga disebutkan dalam surat Asy-Syura ayat 13
(Hamka, 2003: 2410): ِ Artinya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya).” (Q.S. Asy-Syura: 13) Risalah yang dibawa Nabi
Nuh a.s. adalah tauhid (mengesakan Allah SWT) dan iman kepada Allah SWT,
malaikat, para Rasul, hari akhir, surga, neraka, pahala, dan siksa. Selain itu
juga tentang segala hukum yang umum baik menyangkut ibadat maupun muamalat
(Hasbi ash-Shiddieqy, 2000: 1419). Kata الْمَلاَءُ)) al-mala’u pada mulanya berarti kelompok
yang menyatu pandangannya. Kata ini terambil dari kata ( مَاَلأُ)mala’u Allah
SWT yang berarti membantu, seakan-akan anggota kelompok itu saling bantu
membantu dan kompak dalam pendapatnya, sehingga mereka semua menyatu dalam
pendapat dan tindakan. Kata ini digunakan dalam ayat ini untuk menunjuk
pemuka-pemuka masyarakat yang durhaka. Mereka saling membantu dalam kedurhakaan
atau mereka bermusyawarah sehingga mempunyai pendapat yang sama. Ada juga yang
memahami kata الْمَلاَءُ)) Q.S. al-mala’u dalam arti penuh. Para pemimpin dinamai
mala’a, karena mereka memenuhi mata dan hati masyarakat umum yang dipimpinnya,
karena kekuatan, pengaruh atau penampilan mereka (M. Quraish Shihab, 2002:
133). Selanjutnya, kata (أُبَلِّغُكُمْ) uballigukum yang menggunakan bentuk kata
kerja masa kini dalam Firman-Nya: (أُبَلِّغُكُمْ
رِسَالاَتِ رَبِّي)
uballighukum risalati rabbi (kusampaikan kepada kamu risalah-risalah Tuhanku)
mengandung makna bahwa penyampaian itu akan dilakukannya secara terus menerus
kendati mereka mendustakannya. Dengan demikian, berbeda pesan yang dikandung
oleh kalimat ini dengan pernyataan bahwa beliau adalah Rasul Allah SWT.
Penggunaan bentuk jamak pada kata risalah bisa jadi untuk mengisyaratkan aneka
tuntunan Illahi yang beliau sampaikan, atau menunjukkan kesinambungan dan
lamanya waktu penyampaian risalah itu. Bukankah Nabi Nuh a.s. berdakwah selama
950 tahun, waktu yang dapat mencakup waktu yang dialami oleh sekian Rasul setelah
beliau (M. Quraish Shihab, 2002: 134). Kata (أَنْصَحُ) ansahu seakar dengan kata (نَصِيْحَة)
nasihat (nasihat), yaitu sikap dan ucapan yang baik disertai dengan ketulusan,
guna mengantar serta mendorong yang dinasehati meraih kebaikan atau terhindar dari
keburukan (M. Quraish Shihab, 2002: 134). B. PENAFSIRAN PARA MUFASSIR 1. TM.
Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah-nya, Quraish Shihab melihat pada kelompok
ayat 59-64 ini betapa setiap Rasul membawa ajaran tauhid serta kewajiban tunduk
dan patuh kepada Yang Maha Esa disertai dengan kepercayaan akan neraca keadilan
Illahi. Ayat-ayat ini bertujuan memberi ketenangan pada Nabi Muhammad SAW
sekaligus pelajaran menyangkut sejarah umat yang lalu, khususnya dampak buruk
yang akan menimpa mereka yang membangkang terhadap Rasul Allah SWT. Ayat 59
diawali dengan Firman Allah SWT “Sesungguhnya benar-benar Kami telah mengutus
Nabi Nuh a.s. mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul kepada kaumnya. Kaum Nabi
Nuh a.s. adalah masyarakat muslim pertama yang diingatkan oleh Allah SWT akan
dampak buruk durhaka pada Allah SWT. Masih dalam ayat yang sama Nabi Nuh a.s.
berkata pada kaumnya: Wahai kaumku sembahlah Allah SWT , Yang Maha Esa dan Maha
Kuasa. Karena sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah SWT yang berhak dan
harus disembah karena Allah lah yang menguasai seluruh alam semesta beserta
isinya. Nabi Nuh a.s. takut, kalau kaumnya tidak mau mengikuti ajarannya,
kaumnya akan tertimpa azab yang besar sebagaimana kalimat terakhir pada ayat 59
ini Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar. Yang
mengisyaratkan betapa sayang Nabi yang mulia ini kepada kaumya, walaupun siksa
itu tidak menimpa beliau secara pribadi, namun kasih sayangnya kepada mereka
menjadikan Ia merasa takut dan khawatir jangan sampai siksa itu menimpa
kaumnya. Quraish Shihab memahami bahwa ajakan pertama yang disampaikan oleh
Allah SWT adalah untuk menyembah-Nya, tidak mempersekutukan-Nya dengan
patung-patung atau berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka
sendiri serta keyakinan tentang keniscayaan hari Kiamat. Ajakan ini adalah
ajakan semua Rasul sejak Nabi Nuh a.s. hingga Nabi Muhammad SAW. Pada ayat
60-62, ajakan Nabi Nuh a.s. ternyata tidak disambut dengan baik oleh kaumnya,
bahkan pemuka-pemuka kaumnya berkata dengan penuh penghinaan, walau Nabi Nuh
a.s. dengan sabar, lemah lembut bahkan cinta yang sangat. Mereka malah
menganggap Nabi Nuh a.s. telah tersesat, karena mengajarkan banyak hal yang
bertentangan dengan keyakinan mereka. Nabi Nuh a.s. menjelaskan keadaan dan
fungsinya sebagai utusan Allah SWT berikut kewajiban-kewajiban hamba-Nya untuk
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena hanya Allah SWT Yang
Maha Sempurna sifat-sifatnya dan berhak disembah dan dipuja. Kaum Nabi Nuh a.s.
tidak terima ketika ritual ibadah yang mereka jalani selama ini dianggap
keliru. Ayat 63, dipahami Quraish Shihab, bahwa alasan utama ditolaknya ajaran
Nabi Nuh a.s. adalah karena kaumnya memandang Nabi Nuh a.s. adalah manusia
biasa. Padahal Allah SWT mengutus Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya agar mereka
terhidar dari bahaya dan mendapat rahmat dari Allah SWT. Sehingga dikatakan
tidak wajar bila mereka menolak apa yang Nabi Nuh a.s. sampaikan karena
seharusnya itu menjadikan kaumnya percaya dan membenarkan bahwa itu sebenarnya
tuntunan dan peringatan Allah SWT. Di penghujung ayat 64, kaumnya tetap saja
menolak dan berpaling tanpa banyak berfikir. Maka, ketika mereka mendengar
jawaban Nabi Nuh a.s. atas keraguan risalah yang dibawanya, mereka tetap
mendustakannya dan tidak menghiraukannya. Karena itulah Allah SWT menyelamatkan
kaum yang menerimanya dan menyiksa kaum yang membangkang. Sungguh indah ayat
ini, di mana Allah SWT lebih mengutamakan keselamatan orang-orang mukmin, baru
kemudian dijatuhkanlah siksa kepada orang-orang musyrik sekaligus sebagai
berita gembira, bahwa Allah SWT menyelamatkan orang mukmin ketika menjatuhkan
siksa kepada orang kafir (2002: 131-136). 2. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam
Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Ash-Shiddieqy menafsirkan Q.D. Al-A’raaf ayat
59-64 ini, berdasarkan penggalan kalimatnya dengan sangat jelas. Ayat pertama
(59), ditafsirkan dengan membaginya menjadi beberapa bagian. Penggalan awal
ayat ini Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya dipahami Ash-Shiddiqy
sebagai sumpah Allah SWT kepada penduduk Mekkah, Arab dan sekitarnya, bahwa
Allah SWT lah yang mengutus Nabi Nuh a.s. sebagai seorang pemberi peringatan
yang mengancam kaumnya dengan azab-Nya, apabila mereka tetap menyembah
selain-Nya setelah diutusnya seorang Rasul di antara mereka. Seperti yang
terjadi pada pada kaum Nabi Nuh a.s. yang tidak mau membenarkan risalah dan
wahyu yang dibawanya. Tidak berbeda dengan penjelasan Quraish Shihab bahwa,
Nabi Nuh a.s. adalah permulaan Rasul yang ditutus oleh Allah SWT kepada umat
manusia. Lalu, Nabi Nuh a.s. berkata pada kaumnya untuk menyembah Allah SWT
yang telah menciptakan mereka dengan kesempurnaan dan keindahan rupa dan
aturan, yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Dan Dialah yang
berhak disembah dan diibadahi dan tempat memajukan permohonan dan do’a. Karena
tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Namun, pada ayat 60 pemuka-pemuka masyarakat
(kaumnya) memandang Nabi Nuh a.s. sebagai orang yang berada dalam kesesatan
yang nyata, yang jauh dari kebenaran, karena melarang mereka menyembah Wudd,
Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasser, yang mereka yakini sebagai Tuhan. Padahal
sebelumnya Nabi Nuh a.s. telah menjelaskan dan berusaha memberikan pemahaman
dengan cara yang sebaik-baiknya bahwa apa yang disampaikannya itu adalah karena
ketakutan yang sangat besar kaumnya akan menerima azab dari Allah SWT pada hari
kiamat yang sangat dahsyat kelak. Nabi Nuh a.s. pun menjelaskan dalam ayat 61
bahwa pandangan mereka salah. Karena sebenarnya Nabi Nuh a.s. tidak keluar dari
kebenaran apalagi tersesat. Nabi Nuh a.s. adalah utusan Allah semesta alam dan
menyeru kepada kaumnya dengan menunjukinya jalan yang lurus yaitu bertauhid
kepada Allah SWT, berbuat ikhlas dan taat kepada-Nya. Sehingga kaumnya dapat
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pada ayat selanjutnya (62)
Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Risalah yang dibawa Nabi Nuh a.s. adalah
mengenai tauhid (mengesakan Tuhan) dan iman kepada Allah SWT, malaikat, para
Rasul, hari akhir, surga, neraka, pahala, dan siksa. Selain itu juga mengenai
segala hukum yang umum baik menyangkut ibadat maupun muamalat. Ash-Shiddieqy
menjelaskan bahwa Nabi Nuh a.s. menasihati kaumnya agar mereka takut kepada
siksa Allah SWT karena kekufuran mereka pada Allah SWT dan sikap mereka yang
mendustakannya. Nabi Nuh a.s. juga menjelaskan pada kaumnya bahwa apa yang
diketahuinya dan disampaikan pada kaumnya baik berupa nasehat maupun pelajaran
yang lainnya yang tidak mereka ketahui berdasarkan ilmu, keyakinan dan
pemberitahuan Allah SWT. Ayat selanjutnya, menceritakan keheranan kaum Nabi Nuh
a.s. dengan keNabiannya dan datangnya peringatan dan pelajaran dari Tuhan yang
disampaikan oleh orang yang selama ini ada di antara mereka. Mereka berkata:
“Kami tidak pernah mendengar hal serupa ini pada masa orang tua kami dahulu”.
Atas keraguan mereka, Nabi Nuh a.s. menjelaskan bahwa tugasnya hanya
memperingatkan mereka akibat perilaku kufurnya. Selain itu, Nabi Nuh a.s.
menjelaskan bahwa mereka di ambang pintu siksa, karena itulah mereka
diperintahkan agar bertakwa, takut kepada azab di hari akhirat, dan menyiapkan
diri dengan takwa untuk memperoleh nikmat Allah SWT yang dilimpahkan kepada
siapa saja yang memenuhi dakwahnya. Sayangnya, kaumnya tetap mendustakan apa
yang disampaikannya, menyalahi perintahnya dan tetap berbuat kesesatan dan
dosa. Kalaupun ada yang beriman itu hanya sedikit. Dalam surat Hud, diterangkan
dengan jelas kisah mereka. Ada yang mengatakan bahwa orang yang beriman hanya
13 orang. Mereka adalah Nabi Nuh a.s., Sam, Ham, Yafits, para isteri mereka dan
6 orang beriman lainnya (2000: 1420). Lalu, di akhir ayat ini, akhirnya Allah
SWT menenggelamkan semua orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya karena butanya
mata hati mereka dari kebenaran dengan bencana angin taufan dan
menenggelamkannya dalam air bah (banjir besar) (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2000:
1418-1420) . 3. Sayyid Quthub Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan
Al-Qur’an, Sayyid Quthub menjelaskannya secara global. Empat ayat ini
menampilkan kisah Nabi Nuh a.s. dengan kaumnya dengan menawarkan sebuah
kebenaran pada ayat 59 Hai kaumku, sembahlah Allah SWT, sekali-kali tidak ada
Tuhan selain Allah. Tetapi mereka ditentang oleh kaumnya dalam masalah
mengesakan uluhiyah untuk Allah SWT dan menolak kalau hak Rububiyyah hanya
untuk Allah SWT. Padahal Nabi Nuh a.s. telah memberi nasihat dengan tulus dan
sayang pada kaumnya, karena ia tahu akibat yang sangat berat sedang menanti
orang-orang yang berpaling dari kebenaran. Sayangnya mereka tetap tidak mau
menerimanya, bahkan mereka membantah Nabi Nuh a.s. adalah utusan Allah SWT. Mereka
tidak mau merasakan betapa dalamnya ketulusan hati Nabi Nuh a.s. tanpa
menurutkan kepentingan pribadi. Sebagian mereka juga menolak kalau agama ini
mengatur urusan kehidupan dunia dan mengatur system muamalah duniawi dan
perniagaan. Hal ini dicontohkan oleh Sayyid Quthub, seperti yang terjadi pada
masa sekarang, di mana sikap manusia jahilliyah modern yang sudah
diimplementasikan kaum jahilliyah tempo dulu sejak berpuluh-puluh abad yang
lalu, dan mereka menamakannya dengan kebebasan dan kemajuan. Di akhir ayat ini,
ditampilkan akibat yang diderita oleh orang-orang yang mendustakan Nabi Nuh
a.s.. Di sini terlihat bagaimana berlakunya qadar Allah SWT terhadap manusia
ketika mereka kedatangan risalah lalu mendustakannya. Juga ketika Allah SWT
bertindak terhadap mereka pertama-tama dengan menmbulkan kesulitan dan
penderitaan kepada mereka agar hati yang lalai itu menjadi sadar dan tanggap.
Apabila penderitaan ini tidak menggugah hati mereka, maka mereka diberi
kelapangan dan kemakmuran yaitu dengan fitnah yang lebih berat, karena dengan
begitu mereka merasakan keraguan terhadap sunnah Allah SWT dan tidak sadar.
Baru kemudian Allah SWT menghukum mereka dengan tiba-tiba ketika mereka tidak
menyadarinya. Ini terlihat dalam ayat 60 ketika Allah SWT menyamarkan kebenaran
dari hati mereka dan meragukan keRasulan Nabi Nuh a.s.. Padahal
penjelasan-penjelasan dengan cinta, kelembutan, kesabaran dan kasih sayang
telah Nabi Nuh a.s. berikan. Namun mereka tetap ingkar, lalu Nabi Nuh a.s.
memisahkan diri dari kaum yang ingkar dan lepas tangan dengan memberikan
peringatan dan perhatian kepada mereka dan memaparkan bagaimana kesombongan dan
kenakalan mereka yang mendustakan. Hingga akhirnya Allah SWT mengazab mereka
dengan menenggelamkan orang-orang yang ingkar. Terkait dengan hal ini, Quraish
Shihab ( 2002: 132) mengatakan bahwa Nabi Nuh a.s. sempat berkesimpulan bahwa
hati kaumnya telah tertutup untuk menerima keimanan, sehingga memohon kepada
Allah SWT agar mereka dibinasakan. Hingga akhirnya setelah berdakwah selama 950
tahun, beliau memohon pada Allah SWT : Artinya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku,
janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di
atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang
berbuat ma’siat lagi sangat kafir.” (Q.S. Nuh: 26-27) 4. Ibnu Katsir Ibnu
Katsir menafsirkan Q.S A’raaf ayat 59-64 dengan sangat lugas dan diterjemahkan
secara singkat dalam Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Dalam
ayat-ayat ini, Allah SWT menceritakan riwayat Nabi Nuh a.s. sebagai Rasul
pertama yang diutus Allah SWT kepada manusia sesudah Nabi Adam as. Hal ini
senada dengan pendapat Quraish Shihab (2002: 131) dan TM. Hasbi ash-Shiddieqy
(2000: 1418). Muhammad bin Ishaq menyebutkan nasab Nabi Nuh a.s. adalah Nuh bin
Laamik bin Mutawasylikh bin Akhnukh (Idris as) bin Burad bin Mahlil bin Qinin
bin Yaansy bin Syits bin Adam as. Jarak antara Nabi Adam as dengan Nabi Nuh
a.s. kira-kira sepuluh abad. Agama mereka pun sama yaitu Islam. Muhammad bin
Ishaq berkata Tiada seorang Nabi yang menderita sebagai penderitaan Nabi Nuh
a.s. kecuali Nabi yang terbunuh oleh kaumnya (2004: 447). Penyembahan berhala
yang mereka lakukan diawali dengan adanya beberapa orang shalih yang mati
kemudian di atas kubur mereka dibangun masjid dan membuat lukisan orang-orang
yang mati itu, supaya selalu dapat dikenang jasa dan ibadat mereka untuk
diteladani. Kemudian mereka membuat berhala-berhala yang menyerupai lukisan
itu, lalu diberi nama orang-orang shalih itu, yaitu Wadda Suwa’a, Yaghuts,
Ya’uuqa dan Nasra lalu menyembahnya (Riwayat Ibnu Abbas ra). Karena itulah,
Allah SWT mengutus Nabi Nuh a.s. untuk mengajak mereka kembali kepada tauhid
dan menyembah hanya kepada Allah SWT Yang Maha Esa. Tetapi, orang-orang
terkemuka dari kaumnya menentang dan menyangkal ajakan Nabi Nuh a.s. dengan
mengatakan Nabi Nuh a.s. lah yang tersesat: Sesungguhnya kami memandang kau
dalam kesesatan yang nyata. Mereka menganggap ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh
a.s. itu adalah sesat. Lalu Nabi Nuh a.s. menjawab keraguan mereka dalam
ayat-Nya: “Hai kaumku aku tidak tersesat, tetapi aku sebenarnya Nabi Rasul
utusan Allah SWT Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta. Aku datang
pada kalian hanya untuk menyampaikan amanat, risalah ajaran Tuhanku, juga untuk
memberi nasihat sedapatnya kepadamu, dan aku telah mengetahui tuntunan Allah
SWT apa-apa yang tidak kalian ketahui” (Q.S. Al-A’raaf: 60-61) Rasulullah SAW
dalam riwayat Muslim ketika di Arafah di mana para sahabat banyak yang
berkumpul, beliau bertanya: Kalian kelak akan ditanya oleh Tuhan tentang aku,
maka apakah jawaban kalian? Sahabat menjawab: Kami bersaksi bahwa kau telah
menyampaikan, menunaikan dan menasihati kami. Kemudian Nabi Muhammad SAW
mengangkat jarinya ke langit dan ditujukannya ke arah para sahabatnya sambil
berdo’Allah SWT: Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah (2004: 448). Ayat
63-64 Allah SWT memberitakan bahwa Nabi Nuh a.s. menegur kaumnya: “Kalian
jangan heran jika Allah SWT mewahyukan kepada seorang di antara kamu,
semata-mata karena belas kasih dan sayang-Nya kepadamu, untuk mengingatkan
kalian dari siksa Allah SWT juga agar kalian tidak mempersekutukan Allah SWT
dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya supaya kalian mendapatkan rahmat Allah
SWT.” (2004: 49) Tetapi, kaumnya tetap mendustakan dan menentangnya, kecuali
hanya sedikit sekali yang percaya dan mengikuti ajarannya. Maka Allah SWT pun
menyelamatkan Nabi Nuh a.s. bersama orang-orang yang beriman kepadanya di bahtera,
dan menenggelamkan kaumnya yang ingkar dalam topan dan bah. Sungguh mereka kaum
yang buta mata hatinya. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah. Kami berlindung ya
Allah SWT Yang Maha Pemberi Perlindungan, dari kebutaan mata hati untuk
menerima kebenaran dari-Mu (Ibnu Katsir, 2004: 446-449). C. ANALISIS PENULIS 1.
Isi Pokok Q.S. Al-A’raaf Al-A’raaf berarti benteng yang tinggi . Dinamakan
surat Al-A’raaf karena perkataan Al-A’raaf yang terdapat dalam ayat 46 dan 48
yang mengemukakan tentang orang-prang yang berada di atas Al-A’raaf yaitu
tempat tertinggi di batas surga dan neraka. Hanya dalam surat yang satu inilah
kita bisa menemukan satu berita tentang kejadian yang akan datang. Bahwa
segolongan hamba Allah SWT duduk di puncak benteng, sedang mereka dapat bercakap
dengan penduduk neraka yang ada di sebelahnya dan dapat pula bercakap dengan
penduduk syurga yang ada di sebelahnya pula (Hamka, 2003: 2039) Surat Al-A’raaf
termasuk golongan surat Assab’uththiwaal yaitu tujuh surat yang panjang.
Al-A’raaf lebih panjang dari pada surat Al-An’aam dan termasuk pada golongan
surat Makkiyah karena turun di Makkah. Menurut Qira’at Madinah dan Kaufah,
Al-A’raaf mengandung 206 ayat, dan menurut Qira’at Bashrah dan Syam mengandung
205 ayat. Dinamakan Al-A’raaf karena perkataan Al-A’raaf terdapat dalam ayat 46
yang mengemukakan tentang keadaan orang-orang yang berada di atas Al-A’raaf
yaitu tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka. Isi pokok Q.S. Al-A’raaf
adalah: a. Keimanan Yaitu mentauhidkan Allah SWT dalam berdo’a dan beribadah;
hanya Allah SWT sendiri yang mengatur dan menjaga alam; menciptakan
undang-undang dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupa manusia di dunia dan
akhirat; Allah SWT bersemayam di ‘Arsy; bantahan terhadap kepalsuan syirik;
ketauhidan adalah sesuai dengan fitrah manusia; Musa berbicara dengan Allah
SWT; tentang melihat Allah SWT; perintah beribadat sambil merendahkan diri
kepada Allah SWT; dan Allah SWT mempunyai Al-asmaa’ul husnaa. b. Hukum-hukum
Yaitu larangan mengikuti perbuatan dan adat istiadat yang buruk; kewajiban
mengikuti Allah SWT dan Rasul; perintah berhias waktu akan shalat; bertahan
terhadap orang yang mengharankan perhiasan yang dianugerahkan Allah SWT;
perintah memakan makanan yang halal lagi baik dan larangan memakan yang
sebaliknya. c. Kisah-kisah Antara lain Kisah Nabi Adam a.s. dengan iblis; kisah
Nabi Nuh a.s. dan kaumnya; kisah Nabi Shaleh a.s. dengan kaumnya; kisah Nabi
Syu’aib dengan kaumnya; dan kisah Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun. d. Dan
lain-lain Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang penghabisan dan
perintah mengikutinya; Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh manusia; adab
orang mukmin, adab mendengar pembacaan Al-Qur’an dan berdzikir; Rasul
bertanggung jawab menyampaikan seruan Allah SWT; balasan terhadap orang-orang
yang mengikuti dan mengingkari Rasul; dakwah Rasul-Rasul yang pertama sekali
ialah mentauhidkan Allah SWT; tentang ashhaabul Al-A’raaf yang berada di antara
surga dan neraka; Allah SWT pencipta makhluk; manusia adalah makhluk yang
terbaik dijadikan Allah SWT serta mempunyai kesediaan untuk baik dan untuk
buruk; permusuhan syaitan terhadap Bani Adam; manusia khalifah Allah SWT di
muka bumi; kehancuran sesuatu kaum adalah karena perbuatan mereka sendiri;
tiap-tiap bangsa mempunyai masa jaya dan masa kehancuran; Allah SWT mencoba
manusia dengan kekayaan dan kemiskinan; istidraj azab Allah SWT terhadap
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya
(http://id.wikipedia.org/wiki/Surat_Al_Al%E2%80%99Raaf). 2. Munasabah Ayat dan
Surat Menurut bahasa, munasabah berarti persesuaian atau hubungan antara surah
yang satu dengan surah sebelumnya atau sesudahnya. Karena itu, sebagian besar
orang menamakan ilmu ini dengan ilmu Tanasubil Ayati Wa Suwar yaitu ilmu yang
menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah dengan ayat atau surah lainnya
(Abdul Djalal, 2000: 154). a. Munasabah Ayat Pada ayat-ayat sebelumnya Allah
SWT menyebutkan riwayat Nabi Adam a.s. dan segala kejadian yang terjadi
padanya. Mulai dari uraian tentang asal usul manusia serta potensi dan
penghormatan yang diraihnya, sampai akhirnya ia terusir ke bumi akibat rayuan
setan dan menguraikan juga kejadian alam raya, di mana manusia hidup dan
berinteraksi dengannya secara langsung atau tidak. Ditegaskan dalam kelompok
ayat sebelumnya yaitu yang berbicara tentang alam raya (ayat 54), manusiapun
diajak untuk patuh dan bermohon pada-Nya (ayat 55), serta larangan melakukan
kerusakan di muka bumi (ayat 56). Manusia juga diharapkan memperhatikan
fenomena alam agar mereka mempercayai adanya hari kemudian (ayat 57), dan pada
ayat 58 dijelaskan bahwa manusia tidak jauh beda dengan tanah, ada yang baik
dan subur dan ada pula yang gersang (Quraish Shihab, 202: 130). Dan pada
kelompok ayat inilah (59-64), diberikan uraian yang lebih luas terkait dengan
diutusnya Nabi Nuh a.s. pada kaumnya agar beriman kepada Allah SWT, hari
kemudian dan seluruh ajaran yang dibawanya. Uraian ayat ini pun mengandung
isyarat bahwa setan telah berhasil memperdaya manusia. b. Munasabah Surat Surat
Al-An’aam dan Al-A’raaf adalah dua surah yang lengkap dan melengkapi. Kalau
Al-An’aam lebih ringkas, maka Al-A’raaf lebih terurai. Karena itu pulalah surat
Al-A’raaf dikemudiankan setelah Al-An’aam. Relevansi antara dua surat itu dapat
kita lihat pada ayat 159 surat Al-An’aam, diterangkan bahaya orang yang memecah
belah agama, lalu hidup bergolong-golongan, karena pengaruh bahaya yang
diisyaratkan pada ayat 153 yaitu meninggalkan Rasul dan mengikuti syaitan.
Kemudian pada ayat-ayat terakhir, Rasulullah menegaskan bahwa tidak ada sekutu
bagi Allah SWT dan semua orang bertanggung jawab atas dosanya sendiri. Kemudian
turunlah surat Al-A’raaf, setelah pada ayat 2 diterangkan bahwa Al-Qur’an
adalah peringatan bagi orang yang beriman seperti yang juga diterangkan pada
ayat 155 Al-An’aam, maka ayat 3 Al-A’raaf juga memerintahkan kita untuk
mengikuti Al-Qur’an dan tidak boleh mencari pemimpin lain, kecuali Allah SWT
saja. Kita lihat lagi pada penghujung surat Al-An’aam, bahwa manusia adalah
khalifah di muka bumi, sehingga diharapkan setiap mu’min sadar bahwa keberadaannya
di dunia adalah sebagai khalifah. Maka pada ayat 10 surat Al-A’raaf
dijelaskanlah betapa Allah SWT telah mendudukkan manusia di atas bumi, dan pada
ayat 11 diterangkanlah bahwa setelah Nabi Adam a.s. diciptakan, seluruh
malaikat diperintahkan untuk sujud. Semuanya sujud, kecuali iblis. Jelaslah
bahwa dalam memikul amanah menjadi khalifah ini, manusia akan mengalami
gangguan yang hebat dari iblis. Selain itu, apabila dalam surat Al-An’aam
perjuangan Rasul-Rasul diterangkan secara umum saja, sebagaimana diterangkan
pada ayat 112. Maka pada surat Al-A’raaf mulailah diuraikan betapa Rasul-Rasul
Allah SWT dimusuhi oleh syaitan-syaitan, manusia dan jin dalam perjuangan
mereka sehingga yang memusuhi itulah yang hancur dan kebenaran Allah SWT lah
yang menang. Kedua surat ini juga sama-sama turun di Makkah dan keduanya
sama-sama berisikan tuntutan aqidah yang menjadi pegangan hidup bagi setiap
muslim. Perbedaannya adalah surat Al-An’aam lebih merinci uraian tentang akidah
dalam menghadapi jahilliyah (Hamka, 2003: 2308-2309). 3. Urgensi Kisah Nabi Nuh
a.s. Nabi Nuh a.s. adalah putra dari Lamik bin Matta Syalih bin Idris. Usia
Nabi Nuh a.s. adalah 950 tahun sebagaimana Firman Allah SWT : Artinya: “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara
mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar,
dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Ankabut: 14) Nabi Nabi Nuh
a.s. menerima wahyu keNabian dari Allah SWT pada saat kaumnya melupakan ajaran agama
yang dibawa oleh Nabi yang meninggalkan mereka dan mereka kembali syirik
meninggalkan ajaran tauhid, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di bawah
pimpinan iblis. Hingga akhirnya Nabi Nuh a.s. datang mereka sedang menyembah
berhala dan patung-patung yang dibuat oleh tangan mereka sendiri dan dianggap
dapat membawa kebaikan dan manfaat serta dapat menolak kesengsaraan dan
penderitaan. Mereka percaya bahwa berhala-berhala ini mempunyai kekuatan ghaib
atas manusia. Mereka men-Tuhankan benda mati yang tak ada gunanya. Allah SWT
berFirman: Artinya: “Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (Q.S.
Nur: 23) Di antara berhala yang mereka sembah, yaitu: Wadd (dalam wujud
laki-laki) yang disembah oleh bani al-Kalby, Suwaa’ (dalam wujud perempuan)
yang disembah oleh bani Hamazzan, Yagus (dalam wujud singa) yang disembah oleh
bani Mujhij, Ya’uq (dalam wujud kuda) yang disembah oleh bani Marad, dan Nasr
(dalam wujud elang) yang disembah oleh bani Himyar (Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah, 1992: 745). Walaupun Nabi Nuh a.s. telah berusaha dengan penuh
cinta, kasih sayang, kelembutan dan kesabaran, namun tetap saja mereka ingkar
dengan berbagai alasan. Hingga akhirnya Allah SWT menghukum mereka dengan
menenggelamkan mereka dengan air bah yang Allah SWT turunkan dari langit maupun
Allah SWT keluarkan dari bumi. Hanya orang-orang mukminlah yang selamat sebagai
bukti kekuasan dan keadilan Allah SWT. Membaca kisah di atas tentulah sangat
mengasyikkan dan dapat menghilangkan rasa jenuh kita. Apalagi karena kisah itu
isinya benar dan tidak direkayasa. Al-Qur’an menggunakan metode ini dalam
menggugah hati kita. Menurut penulis, kisah dalam Al-Qur’an Al-Qur’an adalah
kisah yang paling benar karena kesesuaiannya dengan realitas. Sebagaimana
disebutkan dalam Firman Allah SWT : Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari
kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar
perkataan(nya) dari pada Allah ?” (Q.S. An-Nisa: 87) Kisah dalam Al-Qur’an juga
merupakan sebaik-baiknya kisah, karena ia mencakup tingkatan kesempurnaan
paling tinggi dalam capaian balaghah dan keagungan maknanya. Sebagaimana
disebutkan dalam Firman Allah SWT: Artinya: “Kami menceritakan kepadamu kisah
yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu
sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum
mengetahui.” (Q.S. Yusuf: 3) Dan kisah dalam Al-Qur’an merupakan kisah yang
paling bermanfaat, karena pengaruhnya terhadap perbaikan hati, perbuatan dan
akhlaq sama kuat. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT : Artinya:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S. Yusuf: 111) Q.S. Al-A’raaf
ayat 59-64 termasuk jenis kisah Al-Qur’an mengenai para Nabi dan Rasul serta
hal-hal lain yang terjadi antara mereka dan orang-orang yang beriman dengan
orang kafir. Di mana kita yang membacanya dapat mengambil pelajaran darinya.
Dalam pendidikan Islam, cara seperti ini dikenal dengan metode cerita. HM.
Arifin (2006: 71) mengartikan metode cerita yaitu “Metode mendidik dengan
mengisahkan peristiwa sejarah hidup manusia masa lampau yang menyangkut
ketaatannya atau kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah dan larangan
Tuhan yang dibawakan Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka.” Sebagaimana
kisah yang terdapat dalam Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ini, bagaimana Allah SWT menghukum
kaum Nabi Nuh a.s. yang membangkang, termasuk anak Nabi Nuh a.s. sendiri.
Diharapkan dengan cerita yang ditampilkan dalam Al-Qur’an ini, dapat menjadikan
stimulus pada siapa saja yang membacanya sehingga mendorong mereka untuk
berbuat baik dan membentuk akhlak mulia (Abdul Mujib dan jusuf Mudzakkir, 2006:
193). 4. Komparasi Antara Empat Mufassir Penulis melihat ada banyak ibrah yang
bisa diambil dari kandungan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ini. Khususnya terkait
dengan judul yang penulis angkat dalam skripsi ini, yaitu relevansinya dengan
aplikasi hukuman dalam pendidikan Islam. Penulis yakin, ada beberapa
pertanyaan, mengapa harus Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ? Memang banyak sekali
ayat-ayat pendidikan yang bisa kita temui untuk kita kaji lebih dalam sehubungan
dengan implementasinya dalam pendidikan Islam. Tetapi, ada hal yang menarik
ketika penulis melihat bahwa kisah ini bukanlah kisah baru, tapi sangat
mengena. Ada banyak sisi yang bisa penulis tangkap, khususnya dari pemaparan
para mufassir seperti ketauhidan, keteladanan, kesabaran, dan sisi yang paling
menarik adalah ketika Allah SWT menghukum kaum Nabi Nuh a.s. karena keingkaran
mereka. Dari ayat di atas, penulis memahami kisah ini sebagai suatu pesan dan
makna yang sangat agung yang tidak begitu lugas dijelaskan oleh keempat
mufassir. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis berfikir bahwa semua itu karena
konsen mereka bukanlah seperti judul yang penulis angkat atau karena lahan
garap mereka terlalu luas. Contoh lain, banyak sekali kisah mengenai Bunda
Aisyah, sebagai istri Nabi yang termuda dan sebagai periwayat hadits Nabi.
Namun, sebagian besar yang disorot oleh penulis buku-buku Islami adalah sifat
cemburunya yang begitu besar. Padahal, kecerdasan, ketawadu’an dan
keistiqomahannya dalam iman dan Islam begitu besar. Tapi, hanya sedikit yang
menguraikan tentang ini. Begitupun ketika memahami tafsir Q.S. Al-A’raaf ayat
59-64 ini. Keempat mufassir, yaitu M. Quraish Shihab, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sayyid Quthub dan Ibnu Katsir tidak menjelaskan secara rinci mengenai konsep
hukuman dalam pendidikan Islam khususnya ketika Allah SWT menghukum kaum Nabi
Nuh a.s.. Berikut ini akan penulis tuliskan apa yang penulis pahami mengenai
kelamahan dan kelebihan para muffasir ini. Pertama, Dalam Tafsir Al- Misbah-nya,
penulis menemukan cara M. Quraish Shihab menafsirkan hampir sama dengan Sayyid
Quthub, dan Ibnu Katsir. Hanya saja pemaparan beliau lebih jelas karena di
awali dengan munasabah ayat, yaitu antara ayat 59-64 dengan empat ayat
sebelumnya. Bahkan beliau juga menjabarkan beberapa mufrodat terkait lengkap
dengan asal kata dan maknanya. Contoh: Kata الْمَلأُ)) al-mala’u, (أُبَلِّغُكُمْ) uballigukum, dan kata (أَنْصَحُ) ansahu (M.
Quraish Shihab, 2002: 133). Beliau juga menjelaskan hal yang hampir sama dengan
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, yaitu Nabi Nuh a.s. sebagai Rasul Allah SWT yang
pertama untuk mengembalikan kesucian ajaran tauhid, setelah kaumnya
menyelewengkan ajaran yang sebelumnya ada. Quraish Shihab juga memperindah
tafsirnya dengan melengkapi keterangannya dengan mengaitkannya dengan surat
lain dan keterangan dari riwayat ulama lain, misalkan dari Thahir ibnu ‘Asyur,
sehingga semakin memperjelas pemahaman pembacanya. Kedua, TM. Hasbi
Ash-Shiddieqy dalam kitab TafsirAl-Qur’anul Majid An-nuur 2-nya, hampir sama
dengan Quraish Shihab, yaitu pada keterangan permulaan ayat 59, yaitu Sungguh
Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Ash-Shiddieqy pun mencantumkan dalam
keterangannya bahwa Nabi Nuh a.s. adalah permulaan Rasul yang diutus oleh Allah
SWT kepada umat manusia untuk menyampaikan risalah dan dakwah kepada kaumnya
yang ingkar. Beliau juga mengaitkan keterangannya dengan surat lainnya dalam
Al-Qur’an khususnya yang berhubungan dengan pembahasannya. Contohnya: ketika
beliau menafsirkan akhir ayat 64: “Dan Kami karamkan semua orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami bahwa mereka adalah orang-orang yang buta.” (Q.S.
Al-A’raaf ayat 64) Beliau mengajak pembacanya untuk membaca Q.S. Q.S.
Al-Anbiyaa’ hingga ayat 25; surat Huud, dan mempelajari keadaan bani Israil
dalam surat Q.S. Al-Baqarah ayat 40, 123-177 dan terakhir surat Thaahaa. Ini
menunjukkan bahwa beliau ingin mengkonstruk pemahaman pembacanya secara
sistematis dengan memberikan kesimpulan yang mudah dipahami pula. Sayangnya,
penjabaran tentang mufrodat penting, tidak dilakukan oleh beliau, sehingga
penafsirannya pun dilakukan per satu kalimat.. Ketiga, Sayyid Quthub dalam
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, dalam penulisan
tafsirnya, beliau menempuh beberapa metode. Pertama, dalam muqaddimahnya beliau
mengaitkannya dengan surat sebelumnya atau mempertemukan antara bagian-bagianya
dan untuk menjelaskan maksud dan tujuannya. Sesudah itu barulah beliau
menafsirkan ayat dengan mengetengahkan asar-asar, ialah perkataan para sahabat
yang dijadikan pegangan semacam hadits shaheh, lalu mengemukakan paragraph
tentang kajian-kajian kebahasaan secara singkat. Baru kemudian beliau beralih
ke soal lain, yaitu membangkitkan kesadaran membetulkan pemahaman dan
mengaitkan Islam dengan kehidupan sekarang (Mohammad Rifa’Islam, 2000: 79-80).
Begitupun ketika beliau menafsirkan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ini, beliau
mengawalinya muqaddimah yang cukup panjang, yang berisi mengenai tema pokoknya,
ciri khasnya, munasabah dengan membayangkan suran-surat lainnya yang ada dalam
Al-Qur’an. Ini serupa dengan yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab, yaitu
mengawalinya dengan menjelaskan mengenai munasabah. Kalau Sayyid Quthub
menjelaskan munasabah ayat dan surat, sementara Quraish Shihab hanya
menjelaskan munasabah ayatnya. Tetapi ini tidak mengurangi sistematisasi
penafsiran mereka. Selain itu, dalam menafsirkan ayat, beliau mengemukakannya
dalam kajian-kajian kebahasaan yang cukup singkat. Namun, kelebihannya beliau
mengimplementasikannya dalam keadaan sekarang, sehingga pembaca dapat memahami
kandungan suatu ayat secara luas, sesuai dengan apa yang banyak terjadi
sekarang. Beliau juga menyertakan beberapa contoh sehingga pembaca dapat
mengilustrasikannya dengan mudah. Contohnya ketika beliau menafsirkan awal ayat
59, Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia.
Beliau memberi contoh sikap menolak kalau agama ini mengatur urusan kehidupan
dunia dan mengatur system muamalah duniawi dan perniagaan, yaitu adanya sikap
manusia jahiliah modern sekarang mengenai masalah ini. Sebuah sikap yang sudah
diimplementasikan kaum jahiliah tempo dulu. Hanya saja sekarang lahir dengan
wajah baru yang bernama kebebasan dan kemajuan. Selain itu juga, penulis
melihat ada keterangan yang hampir serupa dengan M. Quraish Shihab, yaitu
bagaimana Nabi Nuh a.s. memisahkan diri dari kaumnya yang ingkar, lalu
bagaimana kehendak Allah SWT untuk memerangi mereka setelah Nabi Nuh a.s. lepas
tangan dan memisahkan diri dari mereka. Kalau dalam Tafsir Al-Misbah disebutkan
bahwa itu karena Nabi Nuh as mengira hati kaumnya telah mati, lalu Nabi Nuh
a.s. berdo’a pada Allah SWT : Artinya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah
Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.
Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang
berbuat ma’siat lagi sangat kafir.” (Q.S. Nuh: 26-27). Di akhir penjelasannya,
beliau mengingatkan siksa yang dialami oleh orang-orang yang ingkar dan
memberikan muhasabah dan nasehat kepada pembacanya. Menurut penulis, belum ada
penerbit di Indonesia yang menerbitkan Fi Dzilalil Qur’an dalam bentuk
terjemahan Indonesia yang lengkap. Memang berat, karena buku aslinya terdiri
dari delapan jilid besar. Sehingga penulispun memohon maaf yang
sebesar-besarnya sekiranya pemaparan dalam bagian ini kurang lengkap. Keempat,
Ibnu Katsir dalam Terjemah Singkat Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir merupakan
salah satu tafsir terbaik karena beliau menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
dengan Sunnah bahkan dengan ulama salaf yang saleh dan kemudian berpegang teguh
dengan sematik bahasa Arab (Mohammad Rifa’i, 2000: 45). Penulis menemukan
contoh penafsiran dengan Sunnah yang dilakukan oleh beliau ketika menafsirkan
Q.S. Al-A’raaf ayat 61-62, yaitu ketika Nabi Nuh a.s. menjawab sangkalan
kaumnya mengenai ajaran yang dibawanya “Hai kaumku aku tidak tersesat, tetapi
aku sebenarnya Nabi Rasul utusan Allah SWT, Tuhan yang mencipta dan memelihara
alam semesta. Aku datang kepadamu hanya untuk menyampaikan kepadamu amanat,
risalah ajaran Tuhanku, juga untuk memberi nasihat sedapatnya kepadamu, dan aku
telah mengetahui dari ajaran tuntunan Allah SWT apa-apa yang tidak kalian
ketahui” (Q.S. Al-A’raaf ayat 60-61). Di sini, Ibnu Katsir melengkapi tafsirnya
dengan memberikan sebuah riwayat Muslim, bahwa Rasulullah SAW ketika di Arafah
di mana para sahabat banyak yang berkumpul, beliau bertanya: Kalian kelak akan
ditanya oleh Tuhan tentang aku, maka apakah jawaban kalian? Sahabat menjawab:
Kami bersaksi bahwa kau telah menyampaikan, menunaikan dan menasihati kami.
Kemudian Nabi Muhammad SAW mengangkat jarinya ke langit dan ditujukannya ke
arah para sahabatnya sambil berdo’a: Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah
(2004: 448). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyid Quthub, Ibnu Katsir pun
memberikan penjelasan yang sistematik dalam tafsirnya ini. Diawali tentang asal
usul Nabi Nuh a.s., sebab-sebab penyimpangan kaumnya dan di akhiri dengan
penjelasan tentang siksa yang diterima kaumnya. Demikianlah perbandingan yang
dapat penulis suguhkan antara empat mufassir, yaitu M. Quraish Shihab, TM.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sayyid Quthub dan Ibnu Katsir. 5. Aplikasi Hukuman Dalam
Pendidikan Islam Berdasarkan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 Dari pemaparan kandungan
Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 di atas, penulis menyimpulkan ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam penerapan hukuman dalam pendidikan Islam: 1. Pendidik
atau orang tua, harus berilmu (tahu ilmunya) berkaitan dengan hal yang
diajarkannya maupun hukuman yang akan digunakannya. Sehingga dapat
mengidentifikasi kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh anak dengan
tepat dan sesuai. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT lakukan terhadap Nabi Nuh
a.s. ketika diperintahkan untuk membawa risalah agung. Sebelumnya Allah SWT
mengajarkan kepada Nabi Nuh a.s. ilmu pengetahuan yang tidak diketahui oleh
kaumnya untuk disampaikan kepada kaumnya Walaupun pada akhirnya hanya sedikit
yang mengikuti ajaran mulia ini. Tetapi yang perlu digaris bawahi pada ayat 62 adalah
sebelum Nabi Nuh a.s. menasihati kaumnya, Nabi Nuh a.s. sudah dibekali
pengetahuan yang diajarkan langsung oleh Allah SWT . ( ) Sesungguhnya aku
mengetahui dari ajaran petunjuk Allah SWT dari apa yang tidak kalian ketahui
(Q.S. Al-A’raaf ayat 62) 2. Memberikan nasehat dengan penuh cinta, kasih
sayang, kelembutan, kesabaran dan ketulusan. Sehingga, akan tercapailah tujuan
pendidikan Islam yang dicita-citakan. Dalam kurun waktu 950 tahun, hanya
sedikit yang mau beriman pada ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh a.s. bahkan
dalam sebuah riwayat dikatakan hanya 13 orang (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2000:
1420). Ini menunjukkan pada kita bahwa kesabaran Nabi Nuh a.s. untuk
mensyiarkan risalah yang dibawanya perlu dicontoh untuk kita terapkan dalam
dunia pendidikan Islam kita. Karena itulah, kita harus mentauladani Nabi Nuh as
yaitu sebelum memberi hukuman, nasehat yang penuh cinta, kasih, sayang,
ketulusan dan kesabaran lebih diutamakan. Karena cara ini akan menumbuhkan
kesadaran anak, walaupun kita akan membutuhkan waktu yang cukup lama. 3.
Menakut-nakuti Apabila nasehat tidak juga dihiraukan maka orang tua atau
pendidik bisa menakut-nakuti anak atau peserta didik dengan hal-hal yang
kiranya dapat membuat anak enggan untuk berbuat hal yang tidak sesuai dengan
aturan yang berlaku dan merugikan dirinya maupun orang lain. Seperti yang
dilakukan oleh Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya, ketika nasehat tidak diindahkan
oleh mereka. Nabi Nuh a.s. berkata: Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah
Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (Q.S.
Al-A’raaf ayat 59) Setelah anjuran dan nasehat untuk menyembah Allah SWT
ditentang oleh kaumnya, Nabi Nuh a.s. lalu menakut-nakuti kaumnya bahwa mereka
akan diazab oleh Allah SWT. 4. Bersikap sabar dan tenang ketika menghadapi anak
atau peserta didik yang tidak mau mengikuti aturan yang berlaku. Ada yang
mengatakan kesabaran itu ada batasnya. Tapi menurut penulis, selama kita masih
mampu untuk bersabar kenapa tidak? Karena ada atau tidaknya batas suatu
kesabaran itu tergantung pada kebesaran hati kita masing-masing. Begitupun
dalam penerapan hukuman dalam pendidikan Islam. Apabila sebagai orang tua atau
pendidik, hati kita cukup lapang, masih ada ruang untuk kesabaran kenapa harus
menghukum? Yang penulis maksud di sini adalah pemberian hukuman dalam
pendidikan Islam haruslah menjadi alternatif terakhir. Kalau memang nasehat dan
ketakutan-ketakutan yang coba kita berikan pada mereka belum juga dapat
memperbaiki perilaku mereka, kita harus sedikit bersabar. Allah SWT menceritakan
kisah Nabi Nuh a.s. pada kita bahwa kesabarannya telah membuahkan hasil,
walaupun sedikit. Dan itu menjadikan Nabi Nuh a.s. salah seorang Nabi yang
mulia yang masuk kedalam ulul azmi yaitu Nabi yang memiliki kesabaran yang luar
biasa ketika menjalankan amanah Allah SWT untuk mensyiarkan ajaran-Nya pada
kaumnya selama 950 tahun. Seperti Nabi Nuh a.s., kitapun harus lebih bersabar
karena siapa tahu dengan kesabaran kita, anak atau peserta didik dapat
merasakan usaha kita yang begitu besar dan meluluhkan perilaku-perilaku
menyimpang mereka sehingga sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh
pendidikan Islam. 5. Memberikan tauladan yang baik Keteladanan yang penulis
maksudkan adalah orang tua atau pendidikan tidak jarkoni. Jadi, apa yang
disampaikan haruslah diterapkan pada diri sediri, sehingga orang lain dapat
mencontohnya dengan tulus. Dalam menyampaikan risalah-Nya, Nabi Nuh a.s.
memberikan keteladanan yang baik pada kaumnya, sehingga mereka bisa menerimanya
dengan baik. Kalaupun ada yang tidak bisa menerimanya, itu karena hati mereka
memang telah buta dari petunjuk Allah SWT, sebagaimana Firman Allah SWT di
akhir ayat 64: Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya) (Q.S.
Al-A’raaf ayat 64) Oleh karena itu, keteladanan harus diperhatikan karena
merupakan salah satu factor penting dalam pendidikan Islam. 6. Memberikan
hukuman yang disesuaikan dengan kesalahan yang diperbuat. Hal ini berarti,
tidak boleh ada hukuman sepanjang tidak ada kesalahan. Hukuman hanya boleh
diberikan jika ada kesalahan dan si terhukum harus diberi tahu bahwa hukuman
yang diberikan adalah sebagai akibat perbuatannya, dan bukan perbuatan orang
lain. Kisah Nabi Nuh a.s. dapat kita jadikan contoh, bahwa ketika Allah SWT
menghukum kaumnya, itu disesuaikan dengan kesalahan kaumnya yang mengingkari
keEsaan Allah SWT dan mendustakan ayat-ayat-Nya. Allah berFirman: Dan Kami
menenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami (Q.S.Al-A’raaf ayat
64). Dengan begitu, hukuman yang diberikan dapat menumbuhkan kesadaran akan kekeliruan
yang dilakukan anak atau peserta didik setelah melakukan kesalahan. 7. Hukuman
harus diberikan oleh orang lain atau pihak yang mempunyai otoritas untuk
menghukum. Dan Kami menenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Penggalan akhir ayat 64 Q.S. Al-A’raaf di atas menunjukkan bahwa Allah SWT lah
yang menghukum kaum Nabi Nuh a.s. yang tetap ingkar terhadap ajaran tauhid dan
tetap menyembah berhala-berhala yang mereka buat sendiri. Allah SWT tidak
memerintahkan Nabi Nuh a.s. untuk menghukum kaumnya, tetapi ketika waktunya
sudah tepat Allah SWT sendirilah yang memberikan hukuman itu. Bukankah
sebelumnya Allah SWT telah mengingatkan mereka melaui risalah yang disampaikan
oleh Nabi Nuh a.s., namun mereka tetap ingkar. Dalam hal ini, penulis pahami
bahwa orang-orang tertentu seperti guru, orang tua, pemuka masyarakat, pelatih
dan lainnya adalah orang-orang yang diberi kewenangan oleh system social untuk
menjadi oknum yang mempunyai hak untuk menghukum. Hukuman tidak boleh diberikan
oleh orang lain yang tidak berkompeten untuk menghukum, karena mereka tidak
mengetahui seberapa besar kesalahan dan pelanggaran yang diperbuat dapat cocok
diterapkan sebuah hukuman khususnya dalam pendidikan Islam. BAB V PENUTUP A.
KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai aplikasi hukuman dalam
perspektif pendidikan Islam kajian Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64, maka penulis
dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa dalam Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64
terdapat alat pendidikan yang disebut dengan istilah hukuman. Pemberian hukuman
merupakan salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang (orang
tua atau pendidik) kepada orang lain (anak atau anak didik) berupa denda atau
sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan dan merugikan diri sendiri maupun orang lain, agar anak didik
menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya. 2. Orang tua atau pendidik berhak
menerapkan hukuman sebagai alternatif terakhir apabila nasehat dan
peringatan-peringatan tidak mampu memperbaiki kekeliruan yang terjadi. Karena
itu penerapan hukuman harus selalu dikaitkan dengan pendidikan Islam. 3.
Perananan hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan
tingkah laku anak didik untuk mendidik mereka ke arah kebaikan sehingga tidak
akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas kesalahannya. 4.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan hukuman dalam pendidikan Islam
adalah hukuman sebagai alternatif terakhir yang dilakukan agar sebuah tingkah
laku yang diharapkan terjadi, hukuman harus diberikan oleh orang lain yang
mempunyai otoritas menghukum, hukuman tidak boleh menghilangkan harkat dan
martabat seseorang, hukuman harus diasosiasikan dengan kesalahan yang
diperbuat, sebisa mungkin hukuman tidak diberikan berupa hukuman fisik dan
hukuman yang diberikan tidak boleh melampaui kemampuan seeorang untuk
menanggungnya karena tidak akan menimbulkan efek apapun, kecuali hanya
memberatkannya 5. Aplikasi hukuman dalam pendidikan Islam hendaknya diberikan secara
bijaksana, langsung, konsisten, bukan karena balas dendam dan disesuaikan
dengan kesalahan yang dilakukan agar hukuman bisa efektif dalam upaya
memperbaiki tingkah laku. B. SARAN-SARAN Setelah mengadakan penelitian, maka
saran-saran yang perlu penulis sampaikan yaitu: 1. Bagi pelaksana hukuman dalam
pendidikan Islam, khususnya orang tua atau pendidik diharapkan ketika terpaksa
menggunakan hukuman hendaknya disesuaikan dengan kesalahan yang diperbuat.
Seorang pendidik tidak boleh mengabaikan pemberian hukuman yang efektif
sehingga membuat anak jera dan bertanggung jawab akan kesalahannya. Di sini,
pendidik (orang tua) harus berlaku bijaksana dalam memberikan hukuman pada anak
didiknya. 2. Bagi pihak lain yang diberi kewenangan oleh system social untuk menjadi
oknum yang mempunyai hak untuk memberikan hukuman, diharapkan tidak lalai dalam
melakukan pengawasan dalam usaha perbaikan tingkah laku seseorang. 3. Bagi
peneliti selanjutnya, bahwa penelitian tentang aplikasi hukuman berdasarkan
perspektif pendidikan Islam ini baru didasarkan atas Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64,
karena itu untuk lebih memperluas konsepsi penerapan hukuman dalam pendidikan
Islam hendaknya perlu dikaji ayat-ayat lain yang lebih relevan. C. KATA PENUTUP
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat Qudrat dan
Iradat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak ada perasaan yang
paling bahagia kecuali setelah dapat menyelesaikan suatu tugas akhir yang telah
menjadi kewajiban ini. Namun demikian, sebagaimana manusia tidak luput dari
sifat kekurangan dan kekhilafan, mengingat kemampuan penulis yang sangat
terbatas, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan segala kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Dengan selesainya
penulisan skripsi ini mudah-mudahan dapat memberi manfaat khusus terhadap
penulis sendiri maupun orang lain. Akhir kata penulis ucapkan segala puji bagi
Allah SWT seru sekalian alam. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Adil Fathi. 2005. Pahami
Anak Anda Anda Akan Sukses Mendidiknya., Terj. Imam Awaluddin. Jakarta:
Al-Kautsar. Al- Abrasyi, M. Athiyah. 1993. Dasar-DasarPokok Pendidikan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. Al- Rasyidin., dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Aly, Hery Noer. 1999. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Logos. ——————dan Munzier. 2000. Watak Pendidikan Islam.
Jakarta: Friska Agung Insani. Aniaya 25 Murid…Oknum Guru SD Negeri 23 Mataram
Ditahan. www.balipost.com. Download pada tanggal 20 Desember 2006 An-Nahlawi,
Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta:
Gema Insani Pers. ——————————–. 1992. Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan
Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat. Bandung: Diponegoro.
——————————–. 1987. Prinsip-Prinsip Metode Pendidikan Islam. Bandung:
Al-Ma’arif. Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam.
Jakarta: Ciputat Pers. Arifin, HM. 2000. Kapita Salekta Pendidikan (Islam dan
Umum). Jakarta: Bumi Aksara. ————–. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara. ————–.1994. Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis.
Jakarta: Bumi Aksara. Asnawi, Muhammad. 2004. Qur’an Hadits Untuk MA Kelas X.
Semarang: Gani dan Son. Azizah, Nur. 2006. Implementasi Konsep Hukuman Dalam
Pendidikan Islam (Studi Kasus Ponpes Modern Al-Islah Dorowati Klirong Kebumen).
Purwokerto: STAIN Purwokerto. Baharits, Adnan Hasan Shalih. 1996. Tanggung
Jawab Terhadap Anak Laki-Laki. Terj.: Sihabuddin. Jakarta: Gema Insani Pers.
Barnadib, Sutari Imam. 1989. Pengantar Ilmu Pengantar Sistematis. Yogyakarta:
Andi Offset. —————————-. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adi Cipta.
Chance, Paul Chance. 1978. Learning and Behavior. California: Wadsworth
Publishing Companya. Cropley, AJ. 1995. Pendidikan Seumur Hidup” Suatu Analisis
Psikologis”. Terj. M. Sardjan Kadir. Surabaya: Usaha Nasional. Dailamy. Tt,
Hadits-Hadits Tentang Pendidikan. Purwokerto. Dakir. 2004. Perencanaan dan
Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Dawud, Abu. 1992. Terjemahan Sunan Abu
Dawud. Terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin. Semarang: Asy-Syifa.
DEPAG. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Effhar Offset. DEPDIKBUD.
1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dimas, Muhammad
Rasyid. 2005. Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak, Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak.
Terj. Umma Farida. Jakarta: Al-Kautsar. Djalal, Abdul. 2000. Ulumul Qur’an.
Surabaya: Dunia Ilmu. Faiz, Fahruddin. 2003. Hermeutika Qur’an Antara Teks,
Konteks dan Kontekstualisasi dan Tafsir Al-Manar dan Al-Azhar., Yogyakarta:
Qalam. Gomma, Abla Basat. 2006. Mendidik Mentalitas Anak Panduan Bagi Orangtua
Untuk Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa Pada Anak-anaknya. Terj. Mohd. Zaky
Abdillah. Solo: Samudra. Guru Aniaya Dua Murid. www.kompas.com. Download pada
tanggal 20 Desember 2006 Hadi, Sutrisno. 2001. Metodologi Research I.
Yogyakarta: Andi Offset. HAMKA. 2003. Tafsir Al-Azhar Jilid 4. Singapura:
Pustaka Nasional Pte. Ltd. Hukuman. http://fertobhades.wordpress.com/2006/11/12/hukuman/.
Download pada tanggal 9 Februari 2007. Indrakusuma, Amir Daien. 1973. Pengantar
Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Istadi, Irawati. 2005. Agar Hadiah
dan Hukuman Efektif. Jakarta: Pustaka Inti. —————-. 2006. Melipatgandakan Kecerdasan
Emosi. Jakarta: Pustaka Inti Katsir, Ibnu. 2004. Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 3. Terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy. Surabaya: Bina
Ilmu. Keraf, Gorys. 1997. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende:
Nusa Inda. Kristianti, Anah. 2006. Studi Komparatif antara Konsep Reward dalam
Quantum Teaching dengan Pendidikan Islam. Purwokerto: STAIN Purwokerto. Majid,
Abdul., dan Dian Andayani. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi
(Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004). Bandung: Remaja Rosdakarya. Marimba,
Ahmad D. 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdayarya. Mudyahardjo, Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar.
Bandung: Rosdakarya. Mujib, Abdul., dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana. Muhadjir, Noeng. 1993. Ilmu Pendidikan dan Perubahan
Sosial Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mutamam, Hadi. 2001.
Hikmah Dalam Qur’an. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah. Nasoetion, Andi Hakim,
dkk. 2001. Pendidikan Agama dan Akhlak Bagi Anak dan Remaja. Nasoetion, Harun.
1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UII Press. Nawawi, Imam.
1986. Kasyifatu As-Saja (Syarah Safinat An-Naja). Semarang: Toha Putra. Nizar,
Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Nuri, Amat.
2003. Ilmu Pendidikan (Pengantar Perkuliahan). Purwokerto: STAIN Purwokerto.
Poerwardarminta, WJS. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Purwanto, M. Ngalim. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya. ——————————–. 1998. Ilmu Pendidikan Praktis dan Teoritis. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Quthub, Muhammad. 1993. Sistem Pendidikan Islam. Terj. Salman
Harun, Bandung: Al-Ma’arif. Quthub, Sayyid. 2003. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, di
Bawah Naungan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Pers. Rahman, Jamaal ‘Abdur.
2005. Tahapan Mendidik Anak. Terj. Barun Abubakar Ihsan Zubaidi. Bandung:
Irsyad Baitus Salam. Ramayulis, dkk. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.
Ciputat: Quantum Teaching. Rifa’i, Mohammad. 2000. Mengapa Tafsir Al-Qur’an
Dibutuhkan. Semarang: Wicaksana. Rusn, Abidin. 1998. PemikiranAl-Ghazali
Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sahim, Muhammad bin ‘Abdullah
As-. 2002. 15 Kesalahan Fatal Anak dan Cara Islami Memperbaikinya. Terj. Abu
Shafiya. Yogyakarta: Media Hidayah. Saleh, Abdurrahman. 2005. Teori-Teori
Pendidikan di dalam Al-Qur’an, Terj. HM. Arifin dan Zainudin. Jakarta: Rineka Cipta.
Sastrapraja, M. 1981. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha
Nasional. Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash-. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid
An-Nur 3. Semarang: Pustaka Rizki Putra. —————————————————–. 1998. Al Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putra Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 5. Jakarta: Lentera Hati. Soedjono, Ag. Tt.
Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, Bandung: Ilmu. Surakhmad, Winarno. 1994.
Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Suratno, Siti Chamimah. 2002.
Ensiklopedi Al-Qur’an Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Surya, Mohamad. 2003. Bina Keluarga. Semarang: Aneka Ilmu. Suyanto, dan Djihad
Hasyim. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium
III. Yogyakarta: Adicita Karyanusa. Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan
Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Rosda Group. Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tiga Guru
Dituduh Aniaya Murid. www.lantas.metro.polri.go.id. Download pada tanggal 20
Desember 2006 Tim Puslitbang. 2003. Pedoman Transliterasi Arab Latin Keputusan
Bersama Menteri Agama Nomor: 158/1987 dan Menteri P&K Nomor: 0543/1987.
Jakarta: Departemen Agama RI. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992.
Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan. Tim Redaksi Nuansa
Aulia. 2005. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang SISDIKNAS
UU RI No. 20 Tahun 2003 Beserta Penjelasannya. Bandung: Nuansa Aulia. Ulwan,
Abdullah Nasikh. 1994. Pendidikan Anak Dalam Islam. Terj. Jamaludin Miri.
Jakarta: Pustaka Amani. Wahyuni, Eva Sri. 2005. Pelaksanaan Metode Hukuman di
Ponpes Utri Raudatul Qur’an Kec. Kemranjen, Kab. Banyumas. Purwokerto: STAIN
Purwokerto. Wikipedia Indonesia. Surat al-A’raaf.
http://id.wikipedia.org/wiki/Surat_Al_A%E2%80%99Raaf. Download pada tanggal 9
Februari 2007. Zainu, Syaikh Jamil. 2005. Seruan Kepada Pendidik dan Orangtua.
Terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya. Solo: Pustaka Hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar