Selasa, 06 November 2012

Aplikasi Hukuman dalam Pendidikan


APLIKASI HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM (Kajian Surat Al-A’rāf ayat 59-64) oleh Nisa Islami
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada hakekatnya manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk adalah dalam rangka mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi. Oleh sebab itu, manusia adalah insan bijaksana yang harus mengaktualisasikan diri menjadi manusia yang bermanfaat di tengah-tengah lingkungan dan kehidupannya. Di sini terlihat makna kesempurnaan manusia diciptakan Allah SWT. Sebagaimana Firman-Nya: لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At-Tin: 4). Untuk melengkapi kesempurnaan tersebut, diperlukan pemberdayaan manusia. Di antara unsur pemberdayaan yang strategis adalah melalui pendidikan. Bagi manusia pendidikan merupakan sentral untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, sehingga memiliki jati diri dan tanggung jawab profesional dalam hidupnya. Melalui upaya ini, secara langsung atau tidak harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan akan berada pada posisi yang sangat terhormat. Oleh karena itu, tak berlebihan apabila Akhmad Sukarti menyakini bahwa pendidikan dan pengajaran adalah segala-galanya dan merupakan kunci bagi terciptanya kemajuan peradaban umat manusia (Ramayulis,dkk, 2005: 61-62) Sedangkan Pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Islam mendidik manusia menjadikan syariat Allah SWT sebagai hakim terhadap seluruh perbuatan dan tindakannya, kemudian tidak keberatan terhadap hukum yang telah diterapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan tunduk dan patuh kepada perintah-Nya (Abdurrrahman An-Nahlawi, 1987: 38). Dalam penataan individual itu pendidikan diarahkan agar manusia mempunyai pribadi yang mantap dalam arti, yang dikembangkan itu bukan aspek kognitifnya saja tetapi aspek afektifnya dan aspek psikomotornya juga. Dalam penataan sosial, pendidikan itu mengarahkan supaya manusia bukan jadi budak dari masyarakat itu dan juga sebagai manusia yang suka memaksakan kehendaknya pada orang lain. Agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik diperlukan adanya penggerak atau motif yang dalam alat pendidikan disebut ganjaran dan hukuman (reward and punishment) atau dalam Pendidikan Agama Islam dikenal istilah At Targib wa At Tarhib. Reward atau At Targib merupakan salah satu alat pendidikan yang diartikan sebagai ganjaran ataupun hadiah yang diberkan dalam pelaksanaan pendidikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ngalim Purwanto (2000: 182) bahwa reward merupakan alat untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat merasa senang karena perbuatan atau pekerjaannya mendapat penghargaan. Armai Arief (2000: 127) menjelaskan istilah reward sebagai: 1. Alat pendidikan preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi anak didik. 2. Hadiah terhadap perilaku baik dari anak didik dalam proses pendidikan. Reward sebagai alat pendidikan preventif yang bersifat pencegahan bertujuan untuk menjaga hal-hal yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaran dalam proses pendidikan. Sedangkan sebagai alat pendidikan represif, bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar, yang baik dan tertib (Amier Daien, 1973: 144). Dengan memberikan sesuatu yang menyenangkan kepada anak, diharapkan anak akan termotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik, benar dan tertib terhadap peraturan. Reward sebagai hadiah dalam konteks pendidikan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan dan sebagai suatu ekspresi pendidik terhadap anak didiknya yang dianggap telah melakukan perbuatan baik atau dalam kategori baik dengan memberikan kesenangan-kesenangan. Selain itu, adapula hukuman sebagai salah satu alat pendidikan yang diartikan oleh AG. Soejono (tt: 164) bahwa: “Hukuman sebagai alat pendidikan adalah memperlihatkan kepada anak didik dengan berbagai tindakannya bahwa pendidik kecewa, anak didik telah melanggar atau tidak melaksanakan tuntutan atau kehendak sebagai usaha pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan dan mengajak anak didik untuk membetulkan perbuatannya”. M. Sastrapradja (1981: 201) mengartikan hukuman sebagai suatu perbuatan di mana seseorang secara sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain dengan tujuan memperbaiki atau melindungi dirinya dari kelemahan jasmani dan rohani sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran. Dengan demikian hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pendidikan guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang benar. Berdasarkan penelitian yang mutahir, dalam pendidikan Islam punishmen (hukuman) kurang efektif dibandingkan dengan reward (hadiah) yang penuh dengan kesenangan lebih dapat menggugah semangat anak untuk lebih giat belajar sehingga anak akan selalu mendapat motivasi dalam pendidikannya. Selain itu, reward (hadiah) juga dapat merespon dan memberikan stimulus kepada setiap perubahan perilaku dan perkembangan kemampuan anak didik sehingga akan tercipta perilaku yang diharapkan. Hal ini karena asumsi yang berkembang selama ini terhadap pemberian hukuman terlanjur negatif bahkan berkesan menakutkan dan menyakitkan. Karena dalam penerapannya seringkali melenceng dari fungsinya, yaitu untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas kesalahannya. Karena itulah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai aplikasi hukuman dalam pendidikan menurut pandangan Islam, diharapkan tidak ada lagi cerita-cerita miris mengenai penerapan hukuman yang berlebihan dan menyakitkan, sehingga penerapan hukuman dalam pendidikan dapat efektif dan efisien. Seperti yang dikutip oleh Nur Azizah (2006) dalam skripsinya, Zainuddin (1991: 83-86) membagi alat pendidikan menjadi dua yaitu pertama, alat pendidikan preventif yang meliputi: anjuran dan perintah, larangan dan disiplin. Kedua, alat pendidikan kuratif yang meliputi: peringatan, teguran, sindiran, ajaran dan hukuman. Dan istilah hukuman digunakan dalam ayat Al-Qur’an yang bermakna, bahwa hikmah diberikan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki (salah), dengan tujuan dari hukuman tesebut dapat mengatur atau memperbaiki tingkah laku. Salah satunya dapat dilihat dalam QS. An-Nisa ayat 34, yang berbunyi: Artinya: “Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan.” M. Athiyahah Abrasy (1990: 13) mengatakan bahwa “Hukuman dalam pendidikan Islam adalah sebagai tuntunan dan perbaikan, bukan sebagai hardikan atau celaan”. Ada banyak sekali kasus guru menghukum anak didiknya dengan cara yang berlebihan hanya karena kesalahan kecil. Seperti yang terjadi di Johar Baru, 14 Oktober 2005 Muhammad Santana seorang pelajar SMPN di Jalan Raya Johar Baru, Jakarta Pusat, dianiaya 3 gurunya di ruangan Bimbingan Penyuluhan (BP). Korban mual-mual kemudian muntah-muntah sehingga dilarikan ke RSCM. Siswa dihukum oleh gurunya hanya karena ketika di ruang kelas tidak ada gurunya bersorak-sorak di ruangan. Lalu guru tersebut menghukumnya berdiri di halaman sekolah selama 15 menit. Setelah hukuman itu selesai, ketiga guru itu membawa Muhammad Santana ke ruang BP. Di ruangan inilah, ketiga guru itu memukul korban pakai tangan kosong. Ada yang memukul kepala Santana dan ada juga yang mencubit kaki dan paha korban (www.lantas.metro.polri.go.id). Kasus seperti di atas, terjadi pula di Mataram 9 Mei 2006 lalu. Sedikitnya 25 siswa-siswi kelas III SD Negeri 23, Karang Sukun, Mataram menjadi korban. Aksi penganiayaan yang dilakukan guru Firda (46) sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, namun siswa takut melapor pada orangtuanya karena diancam akan dikeluarkan dari sekolah. Mereka dihukum karena ketika pelajaran Matematika, murid diberi tugas membuat garis sepanjang 9 cm di papan tulis. Setelah garis dibuat, ternyata panjangnya tidak sesuai permintaan Firda. Karena panjang garis lebih, Diky mendapat hukuman dicubit lengannya dan dipukul dengan penggaris besar. Tidak berhenti sampai di situ lalu murid juga dicubit berulang kali. Ada pula yang mulutnya dipukul karena garis yang dibuatnya kurang dari 9 cm (www.balipost.co.id). Gara-gara diledek muridnya, Budi salah seorang guru SD 3, Pancoran, Jakarta Selatan naik pitam. Dua muridnya Rio dan Achmad yang duduk di kelas VI Kamis, 5 Agustus 2006 lalu dihajar pakai tangan dan gagang sapu sampai babak belur. Keduanya terpaksa dilarikan ke RS Pejaten Jakarta Selatan untuk keperluan visum, karena mengalami memar-memar di pipi dan bagian paha mereka (www.kompas.com). Masih banyak lagi kasus pemberian hukuman yang berlebihan terhadap siswa yang ironisnya dilakukan oleh guru mereka sendiri. Niat guru ingin memberi hukuman agar siswa tidak melakukan kesalahan yang sama dan bisa memperbaiki kesalahannya, namun cara yang digunakannya sangat tidak sesuai dengan etika sebagai guru dan pastinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai kependidikan, khususnya Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia. Athiyah Al-Abrasy (1993: 159) berpendapat bahwa sifat-sifat anak yang berbuat salah itu harus diteliti tidak dengan pandangan dan kerlingan saja terhadap anak, mungkin cukup untuk pencegahan dan perbaikan sebagai hukumannya. Di samping itu mungkin pula ada anak-anak yang harus dipukul dan dihinakan baru ia dapat diperbaiki. Tapi apakah harus dengan penganiayaan yang berlebihan pada anak didik dan menyebabkan kesakitan? Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam, begitu tegas memaparkan pentingnya hukuman dalam pendidikan baik melalui teguran yang jelas, maupun melalui kisah-kisah yang terdapat di dalamnya. Ada banyak kisah Nabi dan Rosul yang menunjukkan apabila kebenaran yang disampaikan dengan peringatan, anjuran dan ajakan tidak pula dihiraukan, maka hukumanlah yang akan mereka terima sebagai wujud tindakan yang dijatuhkan atas pelanggaran yang mereka lakukan, seperti dalam Firman-Nya: Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat) (59). Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya Kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata” (60). Nuh menjawab: “Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun, tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam (61). Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui (62). Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peryataan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan mudah-mudahan kamu bertaqwa dan supaya kamu mendapat rahmat? (63). Lalu mereka mendustakan Nuh dan kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya) (64)”. (Q.S. Al-A’Raaf: 59-64) Ayat tersebut di atas mengandung penjelasan bahwa apabila teladan dan nasehat tidak dihiraukan, maka harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan atau permasalahan ke tempat yang benar. Tindakan yang tegas itu adalah hukuman. Menurut Muhammad Quthub (1993: 341), sesungguhnya hukuman tidak mutlak diperlukan, ada orang-orang yang cukup dengan teladan dan nasehat saja, sehingga tidak perlu hukuman baginya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya, di antara mereka ada juga yang perlu dikerasi atau dihukum, yaitu mereka yang berbuat kesalahan. Asumsi yang selama ini berkembang di masyarakat adalah “Setiap kesalahan harus memperoleh hukuman; Tuhan juga menghukum setiap orang yang bersalah”. Dari satu jalur logika “teori” itu ada benarnya. Memang logis, setiap orang yang bersalah harus mendapat hukuman; setiap yang berbuat baik harus mendapat ganjaran. Sebenarnya, hukuman tidak selalu harus berkonotasi negatif yang berakibat sengsara bagi terhukum tetapi dapat juga bersifat positif. Karena itu mengapa orang tidak mengambil teori yang lebih positif? Bukankah Allah SWT selalu mengampuni orang yang bersalah apabila dia bertaubat pada-Nya? Allah SWT juga lebih mendahulukan kasih-Nya dan membelakangkan murka-Nya. Dalam Q.S. Ali Imran: 134 Allah SWT memuji orang yang sanggup menahan marah dan suka memberi maaf. Dan dalam satu hadist, Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa Allah SWT menyenangi kelembutan dalam semua persoalan (HR. Bukhori) (Ahmad Tafsir: 2001: 187) Dengan demikian memberi hukuman setelah terjadinya kesalahan dalam pendidikan sangat penting diberikan kepada anak didik, sebagai upaya pendidik yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan anak didik agar tidak melakukan kesalahan lagi, sekaligus adanya perbaikan atau perubahan tingkah laku. Penulis melihat bahwa dalam surat Al-A’raaf yang menceritakan kisah Nabi Nuh memiliki kandungan yang sangat mendalam. Tidak asingnya kisah-kisah Nabi dan Rosul mempermudah kita untuk dapat lebih mendalami dan memahami pelajaran di dalamnya. Termasuk ayat 59-64 surat Al-A’raaf ini, sangat penting untuk digali lebih dalam agar kita bisa mendapatkan pedoman dalam memberikan hukuman dalam pendidikan Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Dari kajian awal penulis terhadap terjemahan ayat 59-64 surat Al-A’raf, penulis memiliki tanggapan bahwa kandungan ayat-ayat tersebut berkaitan dengan contoh penerapan hukuma dalam pendidikan secara umum. Selain itu, tafsir para mufassir dan para tokoh terhadap ayat-ayat tersebut juga mengandung berbagai hal tentang penerapan hukuman. Oleh karena itu, penulis menduga bahwa ada pelajaran yang berharga yang harus dikaji lebih lanjut dalam ayant-ayat tersebut. Sehingga penulis tertarik untuk menggali, membahas dan mendalami lebih jauh lagi tentang ayat tersebut sebagai judul penulisan skripsi. Atas dasar pertimbangan di atas penulis melakukan penelitian yang laporannya penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul: “Aplikasi Hukuman Dalam Pendidikan Menurut Perspektif Islam (Kajian Surat Al-A’raaf ayat 59-64)” B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang permasalahan dan penegasan istilah di atas, maka masalah pokok yang menjadi fokus penelitian adalah “Bagaimana aplikasi hukuman dalam pendidikan menurut perspektif Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raaf ayat 59-64?” C. PENEGASAN ISTILAH Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menghindari adanya interpretasi yang berbeda sekaligus sebagai pijakan dalam pembahasan selanjutnya, maka terlebih dahulu penulis menjelaskan maksud dari judul skripsi di atas. 1. Aplikasi Hukuman Aplikasi secara etimologis dalam kamus besar Bahasa Indonesia berari penggunaan; penerapan (DEPDIKBUD, 1993: 46). Sedangkan hukuman diartikan oleh M. Sastrapradja sebagai suatu perbuatan di mana seseorang secara sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain dengan tujuan memperbaiki atau melindungi dirinya dari kelemahan jasmani dan rohani sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran (1981: 201). Jadi aplikasi hukuman yang dimaksud dalam skripsi ini adalah penggunaan cara menjatuhkan nestapa yang dikenakan kepada orang yang melakukan pelanggaran, agar di masa yang akan datang orang tersebut sadar dan tidak lagi mengulanginya. 2. Pendidikan Pendidikan secara etimologi dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti perbuatan (hal, cara, dsb) mendidik (Poerwadarminto, 1993: 250). Menurut Hery Noer Aly (1999: 25), pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan juga diartikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (M. Ngalim Purwanto: 1998: 10). Dalam pengertian yang luas, pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup sejak lahir bahkan sejak awal hidup dalam kandungan hingga mati, sehingga tidak ada batas waktu berlangsungnya pendidikan (Redja Mudyahardjo, 2002: 46). Jadi, pendidikan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku dalam usaha mendewasakan yang dilakukan oleh orang dewasa berupa pengajaran dan pelatihan yang berlangsung sepanjang hidupnya. 3. Perspektif Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perspektif berarti sudut pandang; pandangan (Depdikbud, 1993: 675). Yang dimaksud perspektif dalam skripsi ini adalah penerapan hukuman dalam pendidikan menurut pandangan Islam. 4. Islam Islam berarti agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW (Depdikbud, 1995: 33). Harun Nasution (1985: 24) mendefinisikan Islam adalah ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada umat-Nya melalui Nabi Muhammad SAW. Dan Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 mengartikan Islam sebagai sebuah agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai risalah untuk diajarkan kepada umatnya. Jadi, Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah ajaran-ajaran tentang peraturan dan petunjuk yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh umat Islam dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. 5. Kajian Surat Al-A’raaf ayat 59-64 Kajian adalah proses, cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan, penelaahan (DEPDIKBUD, 1993: 378). Sedangkan surat Al-A’raaf merupakan salah satu surat dalam Al-Qur’an dalam juz 1 surat ke-7. Jadi Kajian Surat Al-A’raaf yang dimaksud dalam skripsi ini adalah perbuatan mengkaji surat Al-A’raaf ayat 59-64. Dengan demikian yang dimaksud penulis dalam judul skripsi ini adalah penggunaan cara menjatuhkan nestapa yang dikenakan kepada orang yang melakukan pelanggaran, dengan melalui proses pengubahan sikap dan tingkah laku yang dilakukan orang dewasa berupa pengajaran dan pelatihan yang berlangsung sepanjang hidupnya agar di masa yang akan datang orang tersebut sadar dan tidak lagi mengulanginya menurut pandangan ajaran-ajaran tentang peraturan dan petunjuk yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh umat Islam dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui penerapan hukuman dalam pendidikan menurut perspektif Islam, khususnya sebagaimana yang terkandung dalam surat Al-A’raf ayat 59-64. 2. Manfaat Penelitian a. Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan dan pengetahuan tentang tujuan hukuman dalam pendidikan yang merupakan tuntunan perbaikan dalam pendidikan. b. Secara praktis, penelitian diharapkan berguna bagi dunia pendidika dalam menetapkan tujuan pendidikan agar dijadikan pelajaran untuk tidak melanggar aturan-aturan Allah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan umat. E. TELAAH PUSTAKA Menurut Ahmad D.Marimba (1981: 19) pendidikan adalah sebagai upaya membimbing dan memimpin anak didik secara sadar yang dilakukan pendidik dalam menuntun perkembangan jasmani maupun rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Hal ini menunjukkan betapa besar peran serta pendidik dalam mendampingi anak didik untuk mencapai cita-cita kemanusiaan mereka. Sedangkan pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir (2001: 32) pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi yang digunakan ini hanya menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap orang lain, yang diselenggarakan di dalam keluarga, masyarakat dan sekolah menyangkut pembinaan aspek jasmani, akal dan hati anak didik. Tugas pendidik tidak hanya meningkatkan kecerdasan melainkan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia. Di dalam melaksanakan tugasnya, pendidik akan menggunakan alat untuk mencapai tujuannya yang disebut alat pendidikan. Alat pendidikan tersebut ialah segala benda ataupun peristiwa yang membuat kondisi anak mungkin memperoleh pengetahuan, ketrampilan atau sikap (Zakiah Darajat, 1996: 80). Dan salah satu alat pendidikan tersebut adalah hukuman. Selain itu, sudah ada beberapa yang telah membahas tentang hukuman namun kebanyakan di antara mereka menitikberatkan pada penelitian lapangan. Di antaranya adalah skripsi Nur Azizah (2006) yang berjudul “Implementasi Konsep Hukuman Dalam Pendidikan Islam (Studi Kasus Ponpes Modern Al-Islah Dorowati Klirong Kebumen)”, berisi penerapan hukuman dalam proses pendidikan Islam di Pondok Pesantren Al-Islah, di mana apabila terjadi pelanggaran maka santri akan diberi hukuman yang ditangani oleh Mahkamah Pondok yang dibentuk khusus. Pelanggaran akan langsung diberi sanksi melalui proses sidang Mahkamah Pondok. Hukuman yang diberikan pun disesuaikan dengan kemampuan santri. Sedangkan Eva Sri Wahyuni (2005), dengan skripsinya yang berjudul “Pelaksanaan Metode Hukuman di PonPes Putri Raudatul Qur’an Kec. Kemranjen Kab. Banyumas” juga menekankan pada metode hukuman yang diterapkan bagi santri tetapi lebih khusus pada santri putri. Kedua skripsi ini lebih menekankan pada penelitian lapangan dan pelaksanaan hukuman dalam lembaga pendidikan tersebut. Sedangkan skripsi ini lebih menekankan pada penelitian kepustakaan yang datanya di dapat dari 4 kitab Tafsir dan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan judul tersebut. Skripsi ini juga lebih dalam membahas tentang aplikasi hukuman dalam pendidikan menurut perspektif Islam yang di kaji dari Al-Qur’an Surat Al-A’raaf ayat 59-64. Dalam buku “Disiplin Tanpa Hukuman” Lothar Rausch dan Nobert Rockriem (1984: 63) seperti yang dikutip oleh Anah Kristiana dalam skripsinya (2006: 19), mengatakan bahwa “Hukuman membuat orang menjadi kebal dan keras kepala, memperkuat perasaan terisolasi dan hasrat untuk memberontak”. Dari situ dapat disimpulkan bahwa pendidikan dengan kekerasan justru bukan menjadikan anak taat dan patuh pada peraturan tetapi sebaliknya, akan menumbuhkan pemberontakan dan sifat dendam. Bila terpaksa, berikan hukuman yang mendidik, tidak menyakiti badan dan jiwa. Hukuman itu harus adil sesuai dengan kesalahan dan hukuman itu harus membawa anak pada kesadaran akan kesalahannya (Ahmad tafsir, 2001: 186). F. METODE PENELITIAN 1. Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang difokuskan pada penelusuran dan penelaahan literature serta bahan pustaka lainnya. Ditinjau dari tempatnya, research ini termasuk dalam kategori research kepustakaan atau library research, bukan study kancah (Sutrisno, 2001: 3) Penelitian pustaka maksudnya adalah menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data baik sebagai sumber data primer maupun sebagai sumber data sekunder. a. Sumber Primer Sumber primer adalah sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama. Sumber-sumber primer adalah sumber asli baik yang berbentuk dokumen maupun peninggalan lainnya (Winarno Surakhmad: 1994, 134). Dalam hal ini berupa buku-buku yang membahas tentang aplikasi hukuman dalam pendidikan menurut perspektif Islam, kajian Qs. Al A’raf ayat 59-64 antara lain: 1) Depag, 1993, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Effhar Offset. 2) TM. Hasbi Ash-Shidieqy, 2000, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur 3, Semarang: Pustaka Rizki Putra. 3) Ibnu Katsir, 2004, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir 5, Terjemahan Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu. 4) Sayyid Quthb, 2003, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 7, Jakarta: Gema Insani Pers. 5) M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 8, Jakarta: Lentera Hati. b. Sumber Sekunder Sumber sekunder adalah hasil penggunaan sumber-sumber yang lain yang tidak langsung merupakan dokumen holistik yang murni, ditinjau dari kebutuhan penyelidik (Winarno Surakhmad: 1994, 134). Dalam hal ini adalah referensi atau buku-buku yang dapat mendukung permasalahan pokok yang dibahas, seperti: 1) Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana. 2) Abdurrahman An-Nahlawi, 1995, Pendidikan Islam di rumah, sekolah, dan masyarakat, Terjemahan Herry Noer Aly, Jakarta; Rineka Cipta. 3) Abdurrahman Saleh, 2005, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Terjemahan Arifin dan Zainudin, Jakarta: Rineka Cipta. 4) Abidin Ibnu Rusn, 1998, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 5) Abla Bassat Gomma, 2006, Mendidik Mentalitas Anak Panduan Bagi Orangtua Untuk Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa Pada Anak-Anaknya, Terjemahan Mohd. Zaky Abdillah, Solo: Samudra. 6) Ahmad Tafsir, 2001, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya. 7) Armai Arief, 2002, Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers. 8) Fahruddin Faiz, 2003, Hermeneutika Qur’ani, Yogyakarta: Qalam. 9) H.M. Arifin, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. 10) Hadi Mutamam, 2001, Hikmah Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah. 11) Hery Noer Aly, 1999, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos 12) Irawati Istadi, 2005, Prinsip Pemberian Hadiah dan Hukuman, Jakarta: Pustaka Inti. 13) Jamaal ‘Abdur Rahman, 2005, Tahapan Mendidik Anak, Terjemahan Bahrun Abubakar Ihsan Zubaidi, Bandung: Irsyad Baitus Salam. 14) M. Ngalim Purwanto, 2002, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya. 15) Mohammad Rifai, 2000, Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan, Semarang: Wicaksana. 16) Muhammad bin ‘Abdullah As-Sahim, 2002, 15 Kesalahan Fatal Mendidik Anak dan Cara Islami Memperbaikinya, Terjemahan Abu Shafiya, Yogyakarta: Media Hidayah. 17) Muhammad Quthub, 1993, Sistem Pendidikan Islam, Terjemahan Salman Harun, Bandung: Al-Ma’arif. 18) Samsul Nizar, 2002, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teorritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers. 19) Syaikh Muhammad Jamil Zainu, 2005, Seruan Kepada Pendidik dan Orang tua, Terjemahan Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya, Solo: Pustaka Hidayah. 20) Zakiah Daradjat, dkk, 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. 21) Dan buku lainnya yang dapat mendukung dalam penulisan skripsi ini. 2. Analisis Data Dalam menganalisis data-data yang menunjang penelitian dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan alur berfikir: a. Penelitian Kualitatif Bogdan dan Taylor (dalam Lexy J. Moleong, 1998: 3) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan (verbal) dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif ini memiliki dua metode berfikir yang dapat digunakan, yaitu: 1) Metode berfikir induktif, yaitu metode yang dapat digunakan untuk menganalisa masalah-masalah atau fakta-fakta yang bersifat khusus untuk mengambil kesimpulan yang bersifat umum (Sutrisno Hadi, 2001: 42). Metode ini digunakan untuk mengumpukan berbagai data dari tafsir dan tokoh-tokoh tentang surat Al-A’raf ayat 59-64 untuk penulis cari persamaannya dan dirangkum sebagai sebuah kesimpulan dalam pernyataan yang bersifat umum. 2) Metode berfikir deduktif, yaitu metode yang dapat digunakan untuk menganalisa masalah-masalah atau fakta-fakta yang sifatnya umum sebagai bahan pokok bahasan. Artinya menggunakan metode berfikir deduktif penulis dapat memulai menganalisa dari masalah-masalah yang bersifat umum untuk mengambil kesimpulan yang sifatnya khusus (Sutrisno Hadi, 2001: 42). Metode ini penulis gunakan untuk merinci sebuah konsep umum tentang hukuman ke dalam berbagai komponen-komponen yang terkait dengannya, misalkan: tahapan hukuman, proses hukuman, dan seterusnya. b. Analisis Komparatif Analisis komparatif, yaitu mencari pemecahan melalui analisa tentang hubungan sebab akibat, yaitu meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan dengan faktor-faktor yang lain (Winano Surakhmad, 1994: 143). Metode ini penulis gunakan untuk mengkomparasikan pendapat para mufassir mengenai tafsir surat Al-A’raf ayat 59-64 sehingga didapat persamaan dan perbedaannya. G. SISTEMATIKA PENULISAN Agar isi yang terkandung dalam rencana skripsi ini dapat mudah dipahami maka penulis susun secara sistematis mulai halaman judul sampai halaman penutup. BAB I : Dalam bab ini berisi Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Penegasan Istilah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan. BAB II : Dalam bab ini berisi Landasan Teoritis tentang Konsep Pendidikan dan Islam yang meliputi: Pengertian Pendidikan Islam, Dasar Pendidikan Islam, Tujuan Pendidikan Islam, Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam. BAB III : Bab ini berisi Pemaparan Hukuman dalam Pendidikan Islam, yang meliputi: Pengertian Hukuman, Dasar Hukuman, Tujuan Hukuman, Macam-macam Hukuman, Syarat-syarat Hukuman, Tahapan Penerapan Hukuman dan Dampak Negatif dan Dampak Positif Hukuman. BAB IV : Bab ini berisi Penerapan Hukuman dalam Pendidikan sesuai dengan Kandungan Surat Al-A’raaf ayat 59-64 yang meliputi: Lafadz dan Terjemah Surat Al-A’raaf ayat 59-64, Kosakata Kata, Kosakata Penting, Penafsiran Para Mufassir, di antaranya: M. Quraish Shihab, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sayyid Quthub, dan Ibnu Katsir, dan Analisis Penulis, yang berisi: Isi Pokok Q.S. Al-A’raaf, Munasabah Ayat dan Surat, Urgensi Kisah Nabi Nuh a.s., Komparasi Antara Empat Muffasir, Aplikasi Hukuman Dalam Pendidikan Islam Berdasarkan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64. BAB V : Bab ini berisi Kesimpulan, Saran-Saran dan Penutup BAB II KONSEP PENDIDIKAN MENURUT ISLAM A. KONSEPPENDIDIKAN B. KONSEP ISLAM 1. Pengertian Agama Islam Islam dapat diartikan dari dua segi, yaitu dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa, Agama berasal dari bahasa Sanskrit (Usman, 2000:11), Ada satu pendapat mengatakan bahwa Agama berasal dari asal-kata: A= tidak, dan Gam= pergi. Jadi tidak pergi, tetap ditempat,diwarisi secara turun-temurun. Kemudian Islam dari segi bahasa (Nata, 1998: 61) berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang berarti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian, memelihara diri dalam keadaan selamat sentosa, dan berareti pula menyerahkan diri, tunduk patuh, dan taat. Kata aslama itulah yang mengandung arti segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya. Sehingga orang yang berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang muslim. Menurut Ummu Yasmin (2005: 91), kata Islam sebagai ad diin (QS. 3:19,85) berarti tunduk, wahyu ilahi, agama Nabi dan Rasul, hukum-hukum Allah, jalan yang lurus, dan keselamatan dunia akhirat. Adapun pengertian agama Islam menurut istilah (Nata, 1998: 63) yaitu sebagai berikut: a) Menurut Harun Nasution, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. b) Menurut Maulana Muhammad Ali, Islam adalah agama perdamaian, dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan ummat manusia menjadi bukti nyata, bahwa ajaran Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi Allah, sebagaimana tersebut pada beberapa ayat kitab suci al-Qur’an, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya kepada undang-undang Allah, yang kita saksikan pada alam semesta. c) Menurut Abuddin Nata, Islam adalah agama yang berasal pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad SAW. Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai sosok yang ditugasi oleh Allah SWT untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut. kepada umat menusia. Dalam proses penyebaran agama Islam Nabi terlibat dalam memberi keterangan, penjelasan, uraian, dan contoh prakteknya. Akan tetapi keterlibatan ini tidak boleh melebihi batas-batas ketentuan Allah SWT. Senada dengan hal tersebut, secara istilah agama Islam (Usman:2001: 12) berarti penyerahan atau penundukkan diri secara total setiap makhluk kepada Allah SWT . Jadi, agama Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang diajarkan oleh Rasulullah SAW berdasarkan perintah Allah SWT, yang mengikat seluruh umatnya untuk menyerahkan diri, menaati perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, agar dapat meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 2. Sumber Ajaran Islam Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah al-Qur,an dan al-Sunnah (Nata, 1998:66). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a) Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam tidak berisi peraturan (corpus of legislation) yang terinci. Namun demikian ada beberapa larangan yang sedemikian gamblang, yang tidak memerlukan penafsiran lagi. Secara umum al-Qur’an meletakkan batas-batas bagi hokum Islam, yang di dalam batas-batas tersebut ummat manusia dapat menunaikan perbuatannya (Al-Buraery, 1986: 65). Menurut Muhammad Al-Buraery (1986: 66), ada empat sifat al-Qur’an yaitu: (1) diturunkan pada Nabi Muhammad SAW dalam bagian demi bagian (tidak sekaligus), untuk menuntun dan mengatur sebagaimana diperlukan oleh masyarakat muslim; (2) di dalamnya hanya terkandung prinsip-prinsip umum daripada rincian khusus; (3) ayat-ayat tentang hukum jumlahnya sangat terbatas, yaitu sekitar 200 dari 6000-an ayat yang ada; (4) fungsinya yang utama adalah sebagai kitab tentang iman dan penuntun akhlak. Isi al-Qur’an tidak pernah berubah sejak diturunkan pada Muhammad SAW sampai kini, dan sampai saat ini bahkan sampai akhir zaman. Inilah sumber acuan dasar Islam. Tanpa mempelajari al-Qur’an, orang tidak akan memahami Islam itu secara baik. Semua orang Islam diwajibkan mempelajari al-Qur’an ini, karena inilah firman Allah SWT yang otentik, tidak pernah dipalsukan dan akan tetap terjaga orisinalitasnya (Amsyari, 1994: 64). Membaca al-Qur’an merupakan amal yang bernialai ibadah. Setelah membaca, sebagai umat Islam berkewajiban untuk mempelajari makna yang terkandung dalam al-Qur’an yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. b) Al-Sunnah Selain al-Qur’an, agar umat Islam dapat memahami ajaran Islam dengan baik dan benar, maka digenakanlah sumber Islam kedua yakni sunnah atau hadits. Sebagai sumber agama Islam yang kedua, dalam penggunaan hadits ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Penggunaan hadits dibatasi pada beberapa ketentuan (Amsyari,1994: 64) yaitu sebagai berikut: 1) Hadits itu harus bernilai terpercaya yang memang datang dari Nabi pada masa beliau hidup (bukan hadits yang dipalsukan oleh orang); 2) Substansi hadits itu tidak bertentangan dengan substansi al-Qur’an; 3) Materi hadits boleh saja tidak tertera dalam al-Qur’an namun bersifat penjabaran dari perintah al-Qur’an yang bernilai aqidah, ritual, dan akhlak; 4) Materi hadits boleh saja tidak tertera dalam al-Qur’an dan tidak menyangkut masalah aqidah, ritual, dan akhlak, namun masih dianggap relevan dengan kebutuhan hidup pada masa kini. Apabila umat Islam mampu menggunakan sumber-sumber ajaran Islam dengan baik dan benar, maka ia akan dapat melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari dengan benar pula, sehingga terciptalah kehidupan yang dinamis, harmonis, dan seimbang dalam memenuhi kewajiban hidup di dunia dan akhirat. 3. Hakikat Agama Islam Setiap muslim pernah mengucapkan ke-Islamannya dengan lisan, meyakini dalam hati dan mengamalkannya dalam perbuatan yang termanifestasi dalam perilaku menyerahkan diri kepada allah SWT dan menerima segala ketentuan-ketentuan-Nya. Untuk itu, sikap pasrah kepada Allah juga merupakan hakikat dari pengertian Islam. Selanjutnya Ash Shiddieqy (1998: 19) mengatakan bahwa: Menurut Ibnu Taimiyah, Islam ialah ad diin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri kepada Allah. Oleh sebab itu, Islam berarti pula “menyerahkan diri kepada Allah, tidak memperserikatkan-Nya dengan sesuatu apa pun”. Orang yang memperserikatkan-Nya dalam menyembah-Nyatidaklah termasuk orang Islam. Agama Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang tidak hanya mengandung satu segi saja, akan tetapi mencakup berbagai macam segi kehidupan manusia, baik kehidupan manusia di dunia maupun kehidupan manusia di akhirat nanti. Salah satu esensi dari makna Islam ialah perdamaian, sehingga umat Islam (muslim) adalah umat yang memelihara perdamaian, dapat menjalin hubungan baik dengan sang Khalik dan memelihara hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan sekitar. 4. Peran atau Fungsi Agama Islam Lahirnya agama Islam dengan semangat dan manifestasinya merupakan suatu masa baru dalam sejarah agama yang memberikan sebuah cahaya kehidupan, mendobrak peradaban jahiliyah, dan memberi arah baru bagi dunia. Agama Islam yang telah ditegakkan dengan kokoh oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya, merupakan penyelamat umat manusia dari kemungkaran Sehingga dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya, baik kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan masyarakat yang diridhai Allah SWT. Peran atau fungsi agama Islam antara lain sebagai berikut: a) Peran Agama Islam dalam Kehidupan Pribadi Sebagai pribadi, seorang manusia harus memiliki: (1). Keimanan; (2). Motif semangat hidup; (3). Aktivitas ritual; dan (4). aktivitas menjalani pemenuhan kebutuhan hidup (Amsyari, 1994: 77). Dalam hal ini, agama Islam sebagai ajaran yang sempurna berperan mengajarkan dan menuntun umat Islam dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tersebut sehingga terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. b) Peran Agama Islam dalam Kehidupan Keluarga Sebagaimana dalam QS. Ar Ruum ayat 21 bahwa manusia diciptakan berpasang-pasang. Dan pernikahan dalam ajaran Islam itu dianggap sebagi sesuatu yang sakral dan juga dianjurkan kepada umatnya. Karena dengan adanya pernikahan yang sah (sesuai dengan ajaran Islam) maka akan dapat menciptakan hubungan keluarga yang harmonis atau terciptanya keluarga yang sakinah, mawadah, warrahmah. Ini menunjukkan bahwa Islam menuntun umatnya dalam hal berkeluarga. Selain hal tersebut, agama Islam juga berperan dalam mengatur sendi-sendi kehidupan keluarga yang lain. Antara lain hak suami, hak istri, hak anak, dan hukum waris yang diatur sedemikian rupa agar dapat tercipta kehidupan yang haemonis, serasi, dan seimbang. c) Peran Agama Islam dalam Kehidupan Masyarakat Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa meliputi hati, akal budi, perasaan, dan badan jasmani. Semua itu tidak mungkin dapat mencapai kebahagiaan yang berkeseimbangan jika semua potensi itu tidak berkembang sewajarnya dan memperoleh pemeliharaan yang rapi (Al-Nadwi, 1988: 170). Manusia, selain sebagai makhluk jasmani juga sebagai makhluk social. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan relasi dan interaksi dengan manusia lainnya. Relasi atau interaksi antara sesama manusia tidak akan dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya tata aturan yang mengatur dan mengikat. Dalam hal ini Islam sebagai agama yang sempurna menaruh perhatian besar dalam hal pergaulan sesama manusia. agama Islam berperan mengatur semua sendi kehidupan bermasyarakat, dari hal yang bersifat sederhana, seperti etika bertamu, sampai urusan yang bersifat kompleks, seperti hukuman qishas bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain dengan tujuan dapat memelihara jiwa manusia, serta masih banyak contoh-contoh lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam sangat berperan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, agar umat Islam dapat melakukan kehidupan dalam masyarakat yang diridhai Allah SWT. 5. Langkah-langkah Untuk Meningkatkan Peran Agama Islam Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan agar agama dapat berperan secara terus-menerus dalam memberi inspirasi dan mengarahkan kehidupan manusia dan perubahan masyarakat (Suprayogo, 2006: 22) ialah: a) Para penganut agama termasuk para pemukanya perlu terus berusaha menguinternalisasikan nilai-nilai agama dalam rangkapembentukan kepribadiannya, sehingga agama menjadi fungsional dalam kehidupan pemeluknya dan tidak ada kesenjangan antara ketaatan beragama dengan kepribadian serta komitmennya untuk perbaikan hidup sesamanya. b) Para penganut agama terutama pemukanya perlu mempunyai keberanian untuk mencoba menangkap jiwa ajaran agamanya untuk berbagai keadaan. Apabila hal ini tidak dilakukan maka akan terkesan bahwa ajaran agama tertinggal oleh perkembangan zaman. Agama hanya membicarakan masa silam. c) Para penganut agama dan pemuka agama perlu menyadari bahwa meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa abad ke-21 akan ditandai dengan diperlukannya kembali agama, tetapi agama yang dimaksud di situ bukanlah dalam bentuk yang menekankan perlembagaan dan ritual saja seperti yang ada sekarang, melainkan lebih merupakan nilai-nilai yang sifatnya trans-denominasional. Umat Islam menjalani hidup berdasarkan pada pendidikan moral dan pendidikan mental, sebagaimana pendidikan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga memiliki pribadi yang zuhud, wara’, menjaga harga diri, terpercaya, mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri, dan merasa takut kepada Allah (Al-Nadwi, 1988: 169). C. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM 1. PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM Pendidikan dipandang Islam sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia agar mampu memikul tugasnya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi ini. Karena itulah manusia diciptakan oleh Allah SWT lengkap dengan potensi berupa akal dan kemampuan belajar (Hery Noer Aly dan Munzier, 2000: 11), sebagaimana Firman Allah SWT: Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berFirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berFirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (30). Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berFirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (31). Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (32). (Q.S. Al-Baqarah: 30-32) Ayat di atas dijelaskan oleh bahwa untuk membimbing manusia من ا لظلمت إ لى ا لنور, Allah SWT mengutus para Rasul setelah Nabi Adam AS agar menjadi manusia yang dapat beribadah, memperoleh petunjuk, berbudaya dan memakmurkan bumi guna melaksanakan tugas hidup dari Allah SWT yaitu ilmu dan pengetahuan yang dijiwai dengan iman melalui al-Kitab, hikmah dan pendidikan, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 151: Artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqarah: 151) Abdurrahman An-Nahlawi (1995: 20-27) mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha menyampaikan sesuatu pada anak dengan menjaga, memelihara, mengembangkan dan mengarahkan potensi dan bakat anak sesuai dengan kekhasan masing-masing agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan secara bertahap sesuai dengan syariat Allah SWT. Artinya, anak tidak merasa keberatan dengan ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya dan tidak ada ketundukan pada system pendidikan di luar Islam. Karena melalui pendidikan Islamlah dalam diri kita akan tertanam pemuliaan dan penghargaan terhadap manusia walaupun banyak tantangan yang harus dihadapi sebagiamana dijelaskan dalam Firman Allah SWT: Artinya: “Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.” Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (Q.S. Al-Munaafiqun: 8) Muhammad SA. Ibrahim mengatakan pendidikan Islam adalah suatu system pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideology Islam, sehingga dengan mudah ia dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideology Islam (HM. Arifin, 1991: 3-4). Ada beberapa definisi pendidikan Islam menurut para ahli pendidikan Islam sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2006: 26-28), antara lain: 1. Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Pengertian ini lebih menekankan pada perubahan tingkah laku, dari yang buruk menjadi yang baik, dari yang pasif menjadi aktif melalui proses pengajaran dan tidak berhenti pada kesalehan individu tapi juga mencapai keshalehan social. 2. Muhammad Fadhil al-Jamali mengartikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan perasaan maupun perbuatan. 3. Muhammad Javed al-Sahlani dalam al-Tarbiyah wa al-Ta’lim Al-Qur’an al-Karim, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mendekatkan manusia kepada tingkatan kesempurnaan dan mengembangkan kemampuannya. 4. Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, menghasilkan rumusan pendidikan Islam, yaitu bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Dari beberapa pendapat di atas, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2006: 27-28) merumuskan definisi pendidikan Islam adalah sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Yang dimaksud proses transinternalisasi di sini adalah upaya yang dilakukan secara bertahap, dan terus menerus dengan cara transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai Islam pada peserta didik. Sementara itu, Zakiah Daradjat mendefinisikan pendidikan Islam adalah usaha, kegiatan, cara, alat dan lingkungan untuk membentuk kepribadian muslim yang bercirikan perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Samsul Nizar, 2002: 31-31), Ahmad D. Marimba (1981: 19) mengartikan pendidikan Islam sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya insane kamil. Ahmad Tafsir (2001: 32) mengatakan, pendidikan Islam bagi saya adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang yang lain agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Dari beberapa pendapat di atas, Samsul Nizar (2002: 32) menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu system yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideology Islam. Seperti yang dikatakan Hasan Langgulung bahwa perumusan teori pendidikan manapun termasuk pendidikan Islam pasti melibatkan 3 komponen pokok, yaitu tujuan, kandungan dan metode. Jika dikaitkan dengan pengertian pendidikan Islam, di mana kata “bimbingan” mengandung dua elemen pokok, yaitu guru dan murid. Maka dapat dinyatakan bahwa secara umum sebagai suatu system pendidikan mempunyai elemen pokok yang sama, yaitu guru, murid, materi/kandungan, metode dan tujuan (Abidin Ibnu Rusn, 1998: 130-131). Hery Noer Aly dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam (1999: 13) mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha berproses yang dilakukan manusia secara sadar dalam membimbing manusia menuju kesempurnaannya berdasarkan Islam. Pendapat itu didasarkan pada konsep dasar dalam pendidikan Islam antara lain: usaha, kemanusiaan, perkembangan, proses, bimbingan oleh manusia secara sadar (1999: 11-12). Islam adalah agama yang benar di sisi Allah SWT, karena itu bila manusia yang berpredikat muslim harus mempu memahami, menghayati dan mengamalkan ajarannya sesuai iman dan akidah Islamiyah. Berdasarkan hal ini, HM. Arifin mengartikan pendidikan Islam sebagai system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. Oleh karena itu, dilihat dari pengalamannya yang menjangkau lahan garap yang luas, pendidikan Islam berwatak akomodatif terhadap tuntutan kemajuan zaman sesuai acuan norma-norma kehidupan Islam (2006:7-8). Dari beberapa definisi mengenai pendidikan Islam di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha bimbingan secara sadar yang diarahkan kepada anak didik sebagai upaya pengembangan potendi fitrahnya agar terbentuknya kepribadian yang sesuai dengan syari’at Islam sehingga dapat mencerminkan keshalihan individu dan keshalihan social, yaitu dengan menyelaraskan kebutuhan hidupnya di dunia dan akhirat. D. DASAR PENDIDIKAN ISLAM Tanpa dasar, bangunan itu tidak akan ada. Pada pohon, dasarnya adalah akar. Tanpa akar, pohon itu mati dan berubah namanya menjadi kayu. Maka tak akar, pohonpun tak ada. Dasar ilmu pendidikan Islam adalah Islam dengan segala ajarannya, yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah (Hery Noer Aly, 1999: 30). Dengan dasar ini, akan memberikan arahan bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang telah diprogramkan. 1. Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai dasar religius pendidikan Islam memiliki beberapa definisi sebagai mana dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir (2006: 32). Pertama, Muhammad Salim Muhsin mendefinisikan Al-Qur’an sebagai Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushar dan dinukil atau diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang muttawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang bagi mereka yang tidak percaya walaupun surat terpendek. Kedua, Muhammad Abduh mendefinisikannya sebagai “Kalam mulia yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang paling sempurna ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas”. Dan masih banyak lagi definisi Al-Qur’an menurut para ahli pendidikan Islam yang menyatakan Al-Qur’an sebagai sumber pendidikan Islam yang pertama dan utama karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Allah SWT. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa tujuan Al-Qur’an adalah memberi petunjuk kepada umat manusia yang di dalamnya terdapat pembahasan yang proposional, dibutuhkan dan berdasarkan dalil syar’i. Allah SWT menjelaskan hal ini dalam Firman-Nya: Artinya: “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. ( Q.S. Al-Isra’: 9) Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang dijadikan dasar pendidikan Islam, antara lain: a) Q.S. Al-‘Alaq: 1-5 Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5).” b) Q.S. An-Nahl: 64 dan 89 Artinya: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. “ c) Q.S. Al-Baqarah: 31 Artinya; “Ketika Tuhannya berFirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” d) Q.S. Al-Anbiya: 80 Artinya: “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” e) Q.S. Al-An’am: 38 Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” f) Q.S. Saba: 46 Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” g) Q.S. Ali Imran: 66 Artinya: “Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” h) Q.S. Al-Jum’ah: 2 Artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” i) Q.S. Luqman: 13 Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” j) Dll. Masih banyak lagi ayat suci Al-Qur’an yang menjadi dasar pendidikan Islam dan menunjukkan kepada kita semua bahwa Allah SWT mewajibkan pada umat-Nya untuk memperkokoh keyakinan adanya Allah SWT dan memeliharanya dengan melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan syari’at Islam. Sebagaimana Allah mengajarkan Nabi Adam AS, nama-nama benda seluruhnya, sehingga Allah SWT menjadikannya khalifah di bumi. 2. Sunnah Muhadditsin mengartikan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau pernyataan, sifat-sifat dan perilaku atau perjalanan hidup beliau, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Nabi. Jadi dengan definisi tersebut para ahli hadits menyamakan antara sunnah dengan hadits (Muh. Asnawi, dkk, 2004: 68). Nabi Muhammad SAW bersabda: تَرَكْتُ فِيْكُمْ آَ مْرَيْنِ لَنْ تَظِلُّوْاأََبَدًاإِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَا بَ ا للَّهِ وَسُنَّةًرَسُوْلِهِ (روه ما لك) Artinya: “Aku telah tinggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya jika kamu berpegang pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik) Ada banyak sekali hadits tarbawi yang diriwayatkan oleh perawi hadits yang dapat digunakan sebagai dasar pendidikan Islam, antara lain yaitu: a) HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah عن ابى موس الأشعرى رضىاللّه عنه قا ل قل رسول اللّه ص.م.: ثَلاَ ثَةُ يُوتَوْنَ اَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ اَلرَّخُلُ تَكُوْنُ لَهُ اْلاَمَةُفَيُعَلِّمُهَا فَيُحْسِنُ تَعْلِمَهَا وَيُؤَدِّبُهَا فَيُحْسِنُ تَآْدِيْبَهَا ثُمَّ يُعْتِقُهَا فَيَتَزَوَجُّهَا فَلَهُ اَجْرَانِ وَمُؤْمِنُ اَهْلِ الْكِتَا بِ الَّذِىكاَنَ مُؤْمِنًا ثُمَّ آمَنَ بِاالنَّبِى ص.م. فَلَهُ اَجْرَانِ وَلْعَبْدُالَّذِىيُؤَدِّىحَقَّ اللَّهِ وَيَنْصَحُ لِسَيِّدِهِ لَهُ اَجْرَانِ (رواه البخارىومسلم والترمذىوالنسائ وابن ما جه) Artinya: “ Abu Musa Al-Qur’an-Asy’ari menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda: “Ada tiga kelompok orang yang akan memperoleh pahala dua kali lipat, yakni: seseorang yang memiliki budak perempuan kemudian diajarinya dengan ajaran yang baik. Diajarinya sopan santun dengan baik, kemudian ia memerdekakannya, dan lalu menikahinya, untuknya dua pahala. Orang mukmin yang berasal dari ahli kitab yang telah mengimani (Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW) lalu beriman kepada keRosulan Muhammad, untuknya dua pahala. Seorang budak yang telah menunaikan hak-hak Allah SWT dan berani menasehati tuannya, untuknya dua pahala.” Sebagaimana dituliskan oleh Dailamy SP, dalam diktat Mata Kuliah Tafsir Hadits Tarbawi dengan bukunya Hadits-Hadits Tentang Pendidikan (hal. 1-2), bahwa hadits ini dapat dijadikan dasar hukum mengenai perhatian Islam terhadap pendidikan Islam. b) HR. Ibnu Majah مَنْ كَتَمَ عِلْمًااَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِّجَا مٍ مِنَ النَّارِ (رواه ابن ما جه) Artinya: “Barang siapa yang menyembunyikan ilmunya maka Tuhan akan mengekangnya dengan kekangan berapi” c) Ucapan Umar bin ‘Abdul ‘Aziz مَنْ اَرَادَالدُّنْيَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, مَنْ اَرَادَاْلاَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, مَنْ اَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ (عُمَرُبْنُ عَبْدِالْعَزِيْزِ) Artinya: “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, barang siapa menghendaki kehidupan ukhrawi, maka wajib baginya memiliki ilmu dan barang siapa yang menghendaki kehidupan keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu.” d) HR. Dawud عَنْ عَمْرِوَبْنِ سُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ص.م. مُرُوْااَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِوَهُمْ اَبْنَاءُ سَبْعَ سِنِيْنِ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَبْنَاءُعَشَرَسِنِيْنَ وَفَرِّقُوْابَيْنَهُمْ فِىالْمَضَا جِعِ Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” Hadits di atas menunjukkan pada kita kapan pendidikan Islam dimulai, khususnya pada anak-anak, yaitu kapankah pemberian hukuman itu tepat diberikan pada anak sehingga tidak menyimpang dari ajaran Islam. 3. Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia Abdul Majid dan Dian Andayani (2004: 132) mengatakan dasar pelaksanaan pendidikan Islam berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan, khususnya pendidikan agama di sekolah. a. Pancasila, Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” b. UUD 1945 dalam Bab XI Pasal 29 Ayat 1 dan 2 1). Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa 2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. c. UU RI No. 20 th. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V Pasal 12 ayat 1a “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama” Dari beberapa dasar pendidikan Islam di atas, penulis pahami bahwa dalam pendidikan Islam diperlukan dasar demi tercapainya tujuan pendidikan Islam, yaitu terciptanya manusia yang dapat menjalankan peran idealnya menjadi khalifah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik (insane kamil). E. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melaui usaha. Dalam tujuan terkandung cita-cita, kehendak, dan kesengajaan serta berkonsekuensi penyusunan daya upaya untuk mencapainya (Hery Noer Aly, 1999: 51). Demikian pula yang terjadi dalam proses pendidikan Islam, HM. Arifin mengatakan bahwa penetapan tujuan itu mutlak diperlukan dalam rangka mengarahkan segala proses, sejak dari perencanaan program sampai dengan pelaksanaannya, agar tetap konsisten dan tidak mengalami penyimpangan (2006: 27). Menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1995: 117), tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah SWT dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara social. Hal ini terkait dengan Firman Allah SWT: Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(Q.S. Adz-Dzariyat: 56) Sebelum membahas lebih lanjut tujuan pendidikan Islam, akan lebih baik kalau kita terlebih dahulu melihat hubungan antara pendidikan Islam dengan agama Islam, sebagaimana disampaikan oleh Hery Noer Aly dan Munzier (2000: 138-142). No. Agama Islam Pendidikan Islam Al-Qur’an 1. 2. 3. 4. Menyeru manusia agar beriman dan bertaqwa pada Allah SWT. Menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan menyeru manusia agar berbikir tentang kerajaan Allah SWT. Menekankan amal sholeh dan menetapkan bahwa iman selalu diwujudkan dengan amal shaleh tersebut. Menekankan pada pentingnya Allah SWT. Menanamkan ketaqwaan itu dan mengembangkannya agar bertambah terus sejalan dengan pertambangan ilmu. Dibangun di atas ilmu dan pengetahuan. Menekankan pentingnya belajar dengan jalan berbuat; bukan sekadar menghafal teori dan pengetahuan. Menekankan pada pentingnya akhlak dengan memperhatikan perubahan tingkah laku ke arah yang terbaik. 64: 16, 2: 282. 3: 190, 2: 111. 2: 129 13: 29, 61: 2-3, 53: 39, 9: 105, 21: 79-80 68: 4, 91: 7-10, 13: 11 Uraian di atas menunjukkan dengan jelas perbedaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya, yaitu sifatnya yang Rabbani sebab mengacu pada Allah Rabbal ‘alamin dan berjalan di atas jalur yang telah digariskan agama Islam. Dari pemaparan tersebut, dalam buku yang sama Hery Noer Aly dan Munzier (2000: 142-144) membagi tujuan pendidikan Islam menjadi dua, yaitu: 1. Tujuan Umum Yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertaqwa dan beribadah dengan baik kepada Allah SWT, sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tujuan ini sinkron dengan tujuan agama Islam yaitu memberi kebahagiaan kepada individu di dunia dan akhirat dengan memerintahkan kepadanya untuk tunduk, bertaqwa dan beribadah dengan baik kepada Allah SWT. 2. Tujuan Khusus a) Mendidik individu yang shaleh dengan memperhatikan segenap dimensi perkembangannya: rohani, emosional, social, intelektual dan fisik. b) Mendidik anggota kelompok social yang shaleh, baik dalam keluarga maupun masyarakat muslim. c) Mendidik manusia yang shaleh bagi masyarakat insani yang besar. Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, Samsul Nizar (2002: 36) mengatakan paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: a. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertical maupun horizontal. b. Sifat-sifat dasar manusia. c. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini, setidaknya ada tiga macam ideal Islam, yaitu Pertama, mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi. Kedua, mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Dan ketiga, mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat. Al-Syaibani, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar (2002: 36) mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. Sementara tujuan akhir yag akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya. Sehingga Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari 5 sasaran, yaitu: (1) membentuk akhlak mulia, (2) mempersiapkan kehidupannya dunia dan akhirat, (3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya, (4) menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik, (5) mempersiapkan tenaga professional yang trampil (Samsul Nizar, 2002: 37). Dalam buku Ilmu Pendidikan Islam, Hery Noer Aly membagi tujuan pendidikan Islam menjadi dua, yaitu: 1. Tujuan Akhir Para ahli pendidikan Islam mengemukakan tujuan akhir pendidikan Islam dalam redaksi yang berbeda-beda, antara lain: a) Imam Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia dapat mencapainya dengan menggunakan ilmu. b) Muhammad Munir Mursa mengemukakan bahwa tujuan terpenting pendidikan Islam adalah tercapainya kesempurnaan insani, karena Islam sendiri merupakan manifestasi tercapainya kesempurnaan agamawi. c) Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah tercapainya akhlak yang sempurna. d) Ahmad D. Marimba mengemukakan tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim. e) Abdul Fattah Jalal, tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah SWT. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Abdurrahman an-Nahlawi (1999: 76-78). 2. Tujuan Sementara Membantu memelihara arah seluruh usaha dan menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan akhir merupakan fungsi tujuan sementara yang merupakan penjabaran di tujuan akhir. Pendidikan Islam adalah usaha yang berproses sepanjang hayat manusia, sehingga memungkinkan lahirnya banyak tujuan sementara. Kemudian, Islam adalah agama yang sesuai di manapun dan kapanpun. Sehingga banyak pintu ijtihad terbuka dalam menetapkan tujuan sementara bagi para ulama dalam pendidikan Islam (Hery Noer Aly, 1999: 80). Sementara itu, kongres se-Dunia ke II tentang pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad, meyatakan bahwa: “Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik pen.) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individu maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT baik secara pribadi, komunitas maupun seluruh umat manusia” (Samsul Nizar, 2002: 37-38). Oleh karena itulah sebagai hamba Allah SWT yang berilmu dan beriman pada khalik-Nya, kita harus berusaha agar terealisasinya cita-cita yang terkandung dalam QS. Al-An’am ayat 162 اِ نَّ صَلاَ تِى وَنُسُكِى وَمَحْيَا يَ وَمَمَا تِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن Artinya: “Sesungguhnya shalatku dan ibadahku dan hidupku serta matiku hanya untuk Allah SWT, pendidik sekalian alam.” Dari ayat di atas, tujuan pendidikan Islam menurut al-Ghazali adalah membentuk manusia shalih. Dapat penulis pahami bahwa pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai insane kamil. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyimpulkan tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insane kamil yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi (2006: 23) Jadi jelaslah, membicarakan masalah tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari masalah nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Ole karena itu realisasi nilai-nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi dasar dan tujuan pendidikan Islam (Arifin, 2006: 29). Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah proses membimbing potensi fitrah manusia muslim yang sempurna, bertakwa, beriman kepada Allah SWT secara maksimal seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga mencapai keshalihan individu maupun social lengkap dengan seluruh aspek yang mendukungnya. F. TUGAS DAN FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM Yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat, sesuai dengan pengertian pendidikan Islam sebagai suatu proses yang berlangsung secara kontinu dan berkesinambungan. Secara umum, HM. Arifin (1993: 33) menegaskan tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal, sebagaimana yang dikutip oleh al-Rasyid dan Samsul Nizar (2005: 32). Hasan Langgulung (1988: 57) membagi tugas pendidikan Islam menjadi tiga pendekatan, yaitu: 1. Pengembang potensi Yaitu menemukan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimili peserta didik, sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupannya sehari-hari. 2. Proses pewaris budaya Adalah sebagai alat trasmisi umsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam tantangan zaman. 3. Interaksi antara potensi dan budaya Yaitu sebagai proses transaksi (memberi dan mengadopsi) antara manusia dan lingkungannya, sehingga peserta didik (manusia) dapat menciptakan dan mengembangkan ketrampilan-ketarampilan yang diperlukan untuk mengubah atau memperbaiki kondisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya (Samsul Nizar, 2005: 33) Ketiga pendekatan di atas tidak dapat berdiri sendiri, karena merupakan satu kesatuan utuh. Tetapi dalam pelaksanannya terkadang salah satu di antara ketiga pendekatan itu ada yang lebih dominan, sementara yang lain proporsinya lebih diperkecil (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 52) Menurut Ibnu Taimiyah, tugas pendidikan Islam pada hakekatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu: 1. Pendidikan tauhid, yang dilakukan dengan pemahaman terhadap dua kalimat syahadat, pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid, ketundukan, kepatuhan dan keikhlasan menjalankan Islam dan menghindari dari segala bentuk kemusyrikan. 2. Pendidikan pengembangan tabiat peserta didik, yaitu mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah SWT dan menyediakan bekal untuk beribadah, seperti makan dan minum. (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 51) Sementara itu, secara umum M. Arifin (1987: 34) (dalam Samsul Nizar, 2002: 32) menegaskan fungsi pendidikan Islam adalah meningkatkan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar. Ramayulis (1990: 19-20) sebagaimana dikutip oleh Al-Rasyidin dan Samsul Nizar (2002: 34), melihat fungsi pendidikan secara operasional dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu: 1. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan social, serta ide-ide masyarakat dan nasional. 2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangannya (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005: 34). Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 68). Dengan memahami uraian di atas, pendidik diharapkan mampu menjadi pioneer dalam pembinaan sumber daya manusia (peserta didik) baik dalam menjalankan kewajibannya sebagai khalifah maupun sebagai anggota masyarakat dan menghasilkan inovasi yang berguna dalam kehidupan social. BAB III HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. PENGERTIAN HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan (Http://fertobhades.woerdpress.com/2006/11/12/hkmn/. Tingkah laku di sini sebagai hubungan antara perangsang dan respon, bisa kita lihat dalam salah satu teori Skinner yaitu operant respons adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu (M. Ngalim Purwanto, 2002: 96). Misalkan, seorang anak yang merebut buku temannya (melakukan suatu perbuatan) lalu mendapat hukuman baik itu berupa nasehat atau teguran (tergantung kepribadian anak dan intensitas kesalahan) , maka ia akan menjadi sadar dan tidak mengulangi perbuatan itu. Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau ketika orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan. Kita juga bisa melihat teori asosiaisi menurut Thorndike. Satu hari, Thorndike melakukan percobaan dengan seekor kucing yang dibuat lapar lalu dimasukkan ke dalam kandang. Pada kandang itu dibuat lubang pintu yang tertutup dan dapat dibuka jika pasak di pintu itu disentuh. Di luar kandang diletakkan sepiring daging. Mula-mula kucing bergerak kesana kemari mencoba hendak ke luar melalui berbagai jeruji kandang itu. Lama kelamaan, ketika secara kebetulan tersentuhlah pasak lubang pintu oleh salah satu kakinya. Pintu kandang terbuka dan kucing itu pun keluar menuju makanan. Percobaan diulang dan setelah diadakan berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak lagi mondar-mandir mencoba, tetapi langsung menyentuh pasak pintu dan terus keluar mendapatkan makanan. Di sini, Thorndike mengartikan bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya. Salah satu caranya adalah dengan memberi penghargaan atau hukuman. Karena dengan hukuman terjadilah asosiasi atau hubungan antara tingkah laku /reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan hasilnya (Ngalim Purwanto, 2002: 98-99). Sebagai contoh, di sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk mengatasinya. Terkait dengan teori Thorndike, pemberian hukuman yang dilakukan terhadap tingkah laku yang menyimpang dari aturan yang berlaku secara terus menerus, akan menghasilkan perilaku yang ingin dicapai. Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir (2006: 206). .Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut dapat diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: عَنْ عَمْرِوِبْنِ سُعَيْبٍ عَنْ اَ بِيْهِ قَا لَ رَسُوْلُ للَّهِ صَلَى ا للَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوْاَوْلاَدَكُمْ بِا لصَّلاَ ةِوَهُم اَ بْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ, وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَ بْنَاءُ عَشْرٍ, وَفَرِّقُوْاَ بَيْنَهُمْ فِى المَضَا خِعِ Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud) Paul Chanche (1979: 87) mengartikan hukuman adalah “The procedure of decreasing the likelihood of a behavior by following it with some azersive consequence” (Prosedur penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif) Decreasing the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dari tingkah laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku. Sedangkan M. Arifin (1994: 175-176) telah memberi pengertian hukuman adalah pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kesalahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya. Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki dulu kesalahannya dan mempertimbangkan akibatnya. Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthub dikatakan bahwa : Tindakan tegas itu adalah hukuman ( M. Quthub, 1993: 341). Dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang hendak dicapai. B. DASAR PEMBERIAN HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Pendidik muslim harus mendasarkan hukuman yang diberikannya pada ajaran Islam, sesuai dengan Firman Allah dan sunah Rasul-Nya. Ayat al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa ayat 34, yang berbunyi: Artinya: “Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Pisahkanlah tempat tidur mereka, dipahami oleh Irawati Istadi (2005: 95) sebagai bentuk alternative hukuman berikutnya setelah pemberian nasehat, yaitu dengan bentuk pengabaian. Di mana dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan suami untuk memisahkan para istreri yang melanggar aturan tersebut dengan tidak memperdulikannya atau mengabaikannya yaitu suami hendaklah memisahkan diri dari isterinya. Hal ini bisa dilakukan dengan dua tahap, yang pertama dengan membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Tetapi apabila istri belum juga menyadari kesalahannya, tahapan yang kedua adalah dengan menghindarinya secara fisik, yaitu pisah ranjang. Hal ini pun disepakati oleh Abdurrahman Saleh Abdullah (2005: 228) sebagai bentuk hukuman psikologis bagi istri. Setelah tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir, dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan. Selain itu, pukulan itupun tidak menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berkelanjutan pada istri di masa yang akan datang. Misalkan pukulan itu memang tidak menimbulkan bekas yang tampak oleh kasat mata, tetapi berefek pada penyakit dalam seperti pembekuan darah, geger otak, patah tulang dan lain sebagainya. Inipun harus di hindari, karena pada hakekatnya, definisi membekas itu bukan hanya sebatas tampilan luar tapi juga dalamnya. Demikian pula terhadap mendidik anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah lembut dan menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu belum juga berhasil maka pendidik bisa menggunakan pukulan. Adapun perintah mendidik anak, telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw yang berbunyi: عَنْ عَمْرِوِبْنِ سُعَيْبٍ عَنْ اَ بِيْهِ قَا لَ رَسُوْلُ للَّهِ صَلَى ا للَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوْاَوْلاَدَكُمْ بِا لصَّلاَ ةِوَهُم اَ بْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ, وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَ بْنَاءُ عَشْرٍ, وَفَرِّقُوْاَ بَيْنَهُمْ فِى المَضَا خِعِ Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud). Dari Firman Allah SAW dan hadist Nabi Muhammad SAW di atas, jelas bahwa dalam pendidikan Islam, konsep hukuman telah tertata dengan baik sesuai dengan syari’at Islam yang mulia. Karena itu, dalam penerapannya pun harus sesuai dengan aturan yang telah Allah SWT dan Rasul-Nya tetapkan. C. TUJUAN HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Apa sebenarnya tujuan orangtua dan pendidik ketika memberikan hukuman pada anak? Ini bukanlah persoalan yang ringan, karena dari beberapa kasus di awal pembahasan tadi, ternyata masih banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan yang salah. Bahkan ada yang menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat saja. Dalam kondisi ini, Irawati Istadi mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman adalah menginginkan adanya penyadaran agar anak tidak lagi melakukan kesalahan (Irawati Istadi, 2005: 81) M. Ngalim Purwanto (1994: 175-176) mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman, yaitu: 1. Teori Pembalasan Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. 2. Teori Perbaikan Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi. 3. Teori Pelindungan Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. 4. Teori Ganti Kerugian Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. 5. Teori Menakut-nakuti Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain. Sedangkan tujuan hukuman menurut M. Arifin (1994: 217) ada dua, yaitu: 1. Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar. 2. Memperkuat atau memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal memberikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya. Hery Noer Aly (1999: 200) mengatakan bahwa hukuman adalah metode kuratif. Karena itu tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainnya, bukan untuk balas dendam. Tujuan hukuman yang penting menurut Abu Hasan al-Qabisy dan al-Qaeruwany sebagaimana dikutip oleh HM. Arifin (2006: 159) adalah dapat menimbulkan perasaan jera dari perbuatan yang negatif. Selain itu, sebagai alat dalam memberikan tindakan terhadap setiap pelanggaran aturan yang telah ditetapkan, hukuman mempunyai tiga peranan penting khususnya dalam upaya pengembangan disiplin (Mohammad Surya, 2003: 132), yaitu: 1. Menghindari terjadinya pengulangan perilaku yang tidak diinginkan. 2. Mengajarkan tentang perilaku mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 3. Memotivasi individu untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Seperti halnya aturan, hukuman di sini harus dipahami, dihayat dan di amalkan oleh setiap individu. Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya. D. MACAM-MACAM HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Ada beberapa pendapat dalam mengklasifikasikan hukuman, diantaranya adalah: Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim Purwanto (1994: 175), ada beberapa pendapat yang membedakan hukuman menjadi dua macam, yaitu: 1. Hukuman Preventiv, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan. 2. Hukuman Represif, yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya kesalahan yang telah diperbuat. Jadi, hukuman itu dilakukan setelah terjadi pelanggaran. Sementara itu W. Stern sebagaimana dikutip oleh M.Ngalim Purwanto (1994: 178), membagi hukuman menurut tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu yaitu: 1. Hukuman Asosiatif, yaitu penderitaan akibat dari pemberian hukuman ada kaitannya dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukannya. Dengan kata lain hukuman itu diasosiasikan dengan pelanggarannya. 2. Hukuman Logis, yaitu anak dihukum hingga memahami kesalahnnya. Hukuman ini diberikan pada anak yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami bahwa ia mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang diperbuatnya. 3. Hukuman Normatif, bermasud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini sangat erat hubungannya dengan pembentukan watak anak-anak. Ada pula yang membagi hukuman menjadi dua, yaitu: 1. Hukuman Alam, yang dikemukakan oleh JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme berpendapat kalau ada anak yang melakukan kesalahan jangan dihukum, biarlah alam yang menghukumnya. Dengan kata lain, biarlah anak kapok atau jera dengan sendirinya. 2. Hukuman Yang Disengaja, hukuman ini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan (M. Ngalim Purwanto, 1999: 179). Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (2005: 167-183) membagi hukuman menjadi dua, yaitu: 1. Hukuman yang Dilarang, seperti: memukul wajah, kekerasan yang berlebihan, perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah. 2. Hukuman yang Mendidik dan Bermanfaat, seperti: memberikan nasehat dan pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan kenakalannya, menyindir, mendiamkan, teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke perut, hukuman dari ayah, menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan. Dari beberapa macam hukuman di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya hukuman preventiv dan represif, karena sebenarnya dalam ilmu pendidikan, kedua istilah itu tidak tepat kalau hanya dihubungkan dengan hukuman. Lebih sesuai kiranya jika kedua istilah itu dipergunakan untuk menyifatkan alat-alat pendidikan pada umumnya. Hukuman Alam juga kurang tepat karena ditinjau secara pedagogis, hukuman alam itu tidak mendidik. Walau dalam beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori Rousseau itu ada benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat mengetahui norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan yang tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan merubahnya. Kalau alam atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi akibatnya. Karena di sini tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada hal yang lebih baik. Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru pendidik membiarkan dengan harapan bisa berubah dengan sendirinya. E. SYARAT PENGGUNAAN HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenang tertutama dalam hukuman fisik harus mengikuti ketentuan yang ada. Terkadang menunda hukuman lebih besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan dua hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan). Ada keterangan dari Rasulullah SAW dari sanad yang shahih, bahwasanya beliau melihat Abu Bakar RA sedang memukul anaknya. Maka beliaupun tersenyum dan tidak melarangnya. Dari riwayat ini, dapat disimpulkan bahwa menghukum anak dengan memukul anak boleh dilakukan ketika diperlukan dengan tujuan untuk mendidik dan mendisiplinkannya (Adnan Hasan Shalih Baharits, 1996: 72). Abdullah Nasih Ulwan ( 1994: 325-327) menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain: 1. Pendidik tidak terburu-buru. 2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah. 3. Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut. 4. Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti. 5. Tidak memukul anak sebelum Ia berusia 10 tahun. 6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu. 7. Pendidik menggunakan tangannya sendiri. 8. Jika anak sudah menginjak Usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh Ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali. Dari sini dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak yang berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi (1985: 17): وَيَجِبُ أَيْضًاأََنْ يَضْرِبَهُمَا عَلَىتَرْكِ ذَلِكَ ضَرْبًاغَيْرَمُبْرَحٍ فِىاَثْنَاءِالْعَا شِرَةبَعْدَكَمَالِ التِسْعِ لاِحْتِمَالِ الْبُلُوْغِ فِيْهِ Artinya: “Wajib juga untuk memukul keduanya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena meninggalkannya ketika berumur sepuluh tahun setelah sempurnanya umur sembilan tahun karena menuju kedewasaan yang dimiliki.” Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan hukuman sebagai sarana untuk meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu yang tidak menyakitkan atas kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini adalah pukulan yang bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan. Namun demikian, kebolehan menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya, khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu yang disarankan untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk dikenai hukuman fisik. Ibnu Sachnun menyarankan jangan memukul muka karena luka pada muka atau mata akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak minder. Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf lainnya di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka pendidik memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman badan harus dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki (HM. Arifin, 2006: 159). Hal lain yang perlu dicermati adalah pendapat Abdullah Nasikh Ulwan yang menyebutkan bahwa salah satu syarat pemberian hukuman adalah pendidik menggunakan tangannya sendiri. Ini menimbulkan satu pertanyaan menarik, “Lalu bagaimana peran BK (Bimbingan Konseling) di sekolah-sekolah yang menghukum anak didiknya karena kesalahan yang dia lakukan?. Misalkan seorang siswa bolos pelajaran Bahasa Arab dan Fiqh. Kalau kita mengikuti persyaratan yang diajukan oleh beliau, tentu saja guru yang bersangkutanlah yang berhak mengukum mereka secara langsung, dan tidak menyerahkan mereka ke BK. Namun, seperti kita ketahui sekarang di sekolah-sekolah salah satu peran BK adalah memberi pengarahan dan hukuman kepada anak didik yang melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ada di sekolah. Sehingga BK turut pula memberi hukuman kepada pelanggar selain guru yang bersangkutan. Inilah yang menarik, karena pada dasarnya pembentukan karakter atau perilaku tidak bisa dilakukan satu arah saja. Manusia itu bersifat dinamis, karena itulah hukuman pun harus diberikan oleh berbagai pihak yang saling terkait. Seperti contoh di atas, kebiasaan bolos tidak akan bisa dirubah ketika bimbingan atau pengarahan hanya dilakukan satu arah, yaitu guru yang bersangkutan. Sehingga si anak akan selalu merasa nyaman mengulangi kesalahannya lagi kalau ternyata tidak didukung oleh pihak lain yang terkait, khususnya orang-orang yang memiliki kewenangan oleh system social untuk menjadi oknum yang mempunyai hak untuk menghukum. Dalam hal ini antara lain seluruh civitas akademika sekolah khususnya pendidik, BK, dan kepala sekolah. Selain itu juga peran orang tua dan masyarakat pun sangat besar. Sehingga ketika semua pihak bekerjasama dan saling mendukung ke arah dan tujuan yang sama kebiasaan yang kurang baik atau pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan yang berlaku akan dapat dikurangi atau bahkan tidak ada lagi, karena kontrol itu selalu ada. Dari beberapa pendapat yang lain membagi syarat hukuman menjadi dua, yaitu: 1. Lemah lembut dan kasih sayang (Jamal ‘Abdur Rahman, 2005: 303-305). 2. Dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras (Abla Bassat Gomma, 2006: 48). Armai Arief (2002: 131) membagi syarat-syarat pemberian yang harus diperhatikan oleh pendidik menjadi lima, yaitu: 1. Tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang. 2. Didasarkan kepada alasan keharusan. 3. Menimbulkan kesan di hati anak. 4. Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan kepada anak didik. 5. Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan. Pendapat lain (2005: 42-43), membagi syarat pemberian hukuman menjadi 3, yaitu: 1. Bisa dipertanggung jawabkan 2. Supaya bisa dipertanggungjawabkan, kita harus menjatuhkannya sedemikian rupa sehingga betul-betul mengakibatkan perbaikan atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. 3. Mampu memberi semangat dan menimbulkan sikap untuk memperbaiki diri. Hukuman di sini tidak hanya berupa siksaan jasmani saja dan inilah yang harus dipikirkan dalam memberikan suatu obat yang mujarab pada anak didik. Karena itu hukuman yang kita berikan harus merupakan suatu perbaikan yang menyeluruh, serta harus menjanjikan suatu kesempatan untuk bangun kembali dan untuk merehabilitasi diri. 4. Bersifat Psycholgis Kita sebaiknya memperhatikan dengan seksama bahwa sebenarnya apa yang bagi kita merupakan suatu siksaan atau ganjaran, tdak selalu dipahami sama oleh anak didik. Karena itu kita harus benar-benar mengenal pribadi anak didik supaya hukuman yang diterapkan dapat tepat dan konstruktif. Sedangkan secara singkat M. Ngalim Purwanto (1994: 179-180) membagi syarat hukuman yang pedagogis menjadi 8, antara lain: 1. Dapat dipertanggung jawabkan 2. Bersifat memperbaiki 3. Tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam 4. Jangan menghukum pada waktu sedang marah 5. Harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan 6. Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan yang sebenarnya 7. Jangan melakukan hukuman badan 8. Tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya 9. Guru sanggup memberi maaf setelah anak itu menginsafi kesalahannya. Hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Dalam hal ini hukuman adalah sebagai cara terakhir yang dilakukan apabila kesalahan, kelalaian, pelanggaran yang diperbuat oleh seseorang dapat diatasi dengan cara lain selain hukuman. Oleh karena itu Hery Noer Aly (1999: 200-202) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan pendidik dalam menggunakan hukuman, antara lain: 1. Tidak menjatuhkan hukuman dalam keadaaan marah. 2. Hukuman digunakan bila metode lain seperti nasehat dan peringatan tidak berhasil. 3. Sebelum dihukum hendaknya peserta didik diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. 4. Hukuman dapat dimengerti oleh peserta didik. 5. Hukuman psikis lebih baik dari pada fisik. 6. Disesuaikan dengan perbedaan latar belakang kondisi peserta didik. 7. Memperhatikan prinsip logis hukuman yaitu disesuaikan dengan kesalahan. 8. Tidak mengeluarkan ancaman yang tidak mungkin dilaksanakan. Hery Noer Aly mengatakan bahwa hukuman itu harus dimengerti oleh peserta didik, artinya peserta didik (terhukum) harus tahu bahwa hukuman yang diberikan ini adalah akibat dari perbuatannya dan bukan perbuatan orang lain. Sehingga hukuman pun harus diberikan segera, karena waktu adalah masalah utama, jika seseorang melakukan kesalahan dan dia tidak mendapat hukuman pada saat itu juga, maka orang tersebut akan berpikiran bahwa tingkah lakunya adalah sesuatu yang wajar dan bukan suatu kesalahan. Abu Hasan al-Qabasyi, al-Qaeruwany (HM. Arifin, 2006: 159-160) membagi syarat pemberian hukuman menjadi 6, yaitu: 1. Tidak memukul lebih dari 10x, sebaiknya 3x. 2. Tidak dengan kemarahan. 3. Hukuman pukulan boleh diterapkan setelah anak didik memperoleh adab (pendidikan) yang bermanfaat bagi dirinya. 4. Jelas sebabnya. 5. Jangan diberikan didepan orang lain, tetapi secara individual. Di sini, Al-Qabasyi menyarankan agar hukuman diberikan secara individu tidak di depan orang lain, apalagi di depan anak-anak lain dalam kelas atau kelompoknya, agar anak tidak akan merasa terhina maupun terlecehkan sehingga Ia tidak merasa marah dan dendam. Hal ini berbeda dengan pendapat Abdullah Nasikh Ulwan yang menyaratkan hukuman itu dilaksanakan dihadapan kelompok atau teman-temannya dengan tujuan agar hukuman dapat dijadikan pelajaran yang sangat kuat pengaruhnya bagi terhukum. Disini, penulis melihat bahwa para tokoh pendidikan saling melengkapi dalam mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan Islam. Dari uraian di atas, penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam suatu proses hukuman, yaitu: hukuman adalah sebuah cara terakhir yang dilakukan agar sebuah tingkah laku yang diharapkan terjadi, hukuman harus diberikan oleh orang lain yang mempunyai otoritas menghukum, hukuman tidak boleh menghilangkan harkat dan martabat seseorang, hukuman harus diasosiasikan dengan kesalahan yang diperbuat, sebisa mungkin hukuman tidak diberikan berupa hukuman fisik dan hukuman yang diberikan tidak boleh melampaui kemampuan seeorang untuk menanggungnya karena tidak akan menimbulkan efek apapun, kecuali hanya memberatkannya. F. TAHAPAN PEMBERIAN HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Dalam pemberian hukuman ada tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan hingga akhirnya menjadi yang terberat, yaitu: 1. Memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat Yaitu dengan tidak memojokkan dan mengungkit-ungkit kekeliruannya dengan nasehat yang panjang lebar, karena dapat membuat anak menolak terlebih dahulu apa yang akan disampaikan. Pemilihan waktupun harus dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy menerima masukan. 2. Hukuman pengabaian, untuk menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak. 3. Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan menyakitkan. (Irawati Istadi, 2005: 94-96). HM. Arifin (2006: 159) mengutip pendapat Ibnu Sina mengenai tahapan pemberian hukuman, yaitu: 1. Diberi peringatan keras. 2. Pukulan ringan yang menimbulkan rasa sakit. Pendapat ini sedikit berbeda dengan pendapat Irawati Istadi yang mengatakan bahwa hukuman fisik (pukulan) diberikan dengan tidak menyakitkan, tetapi Ibnu Sina berpendapat bahwa hukuman pukulan ringan yang menyakitkan sebagai tahapan hukuman yang terakhir itu akan efektif. Dengan asumsi, apabila pukulan pertama anak merasakan sakit, maka setelahnya si anak akan timbul kesadaran akan kesalahannya dan enggan untuk mengulangi hukuman itu lagi, sehingga berimplikasi pada perilaku anak untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Rasulullah SAW menjelaskan tahapan bagi pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam (Abdullah Nasikh Ulwan, 1994: 316-323), yaitu menunjukkan kesalahan dengan: 1. Pengarahan 2. Ramah tamah 3. Memberikan isyarat 4. Kecaman 5. Memutuskan hubungan (memboikotnya) 6. Memukul 7. Memberi hukuman yang membuat jera. Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa. Begitu pula ketika pendidik menghukum anak yang berperangai buruk di depan saudara dan temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya. Jika pendidik tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman-temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka (Abdullah Nasikh Ulwan, 1994: 232). G. DAMPAK NEGATIF DAN DAMPAK POSITIF HUKUMAN a. Dampak Negatif Jika kita bertanya dapatkan suatu hukuman yang sama yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap beberapa orang anak , akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka jawabnya adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian, tiap-tiap hukuman mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan. Sebelum memberikan hukuman, Andi Hakim Nasoetion, dkk (2001: 112-113) menyarankan agar mempertimbangkan dampak negatif yang akan timbul, yaitu: 1. Tidak menunjang perkembangan kendali diri Di sini, anak hanya belajar menghndari tingkah laku oleh karena mendapat hukuman. Ia tidak belajar memikul tanggung jawab sendiri untuk mengendalikan diri. 2. Memberikan model yang negatif Orang tua yang berteriak-teriak ketika anak ribut, atau pendidik yang memukul anak didiknya sebagai hukuman karena telah memukul temannya, secara tidak langsung menunjukkan pada anak bahwa perilaku itu sebetulnya dapat diterima, tergantung siapa yang melakukannya. 3. Menimbulkan agresivitas jika seseorang disakiti, baik secara fisik atau mental maka ia akan memberontak Agrevitas ini bisa dalam bentuk aktif, seperti melawan secara terbuka dengan merusak dan bisa juga dalam bentuk pasif, yaitu dengan menarik diri dan tidak memberi perhatian atau tanggapan sama sekali. 4. Menimbulkan aversi (menentang) terhadap orang tua, sekolah dan belajar. M. Ngalim Purwanto ( 1994: 177) mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu: 1. Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. 2. Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang diharapkan oleh pendidik. 3. Si pelanggar menjadi kehilangan perasaan bersalah, karena merasa telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya. Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (2002: 133) mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain: 1. Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri. 2. Murid akan selalu merasa sempit hati, bersifat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum). 3. Mengurangi keberanian anak untuk bertindak. Dalam buku yang lain Syaikh Jamil Zainu ( 2005; 166-167) berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu: 1. Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan. 2. Guru dan murid akan terpengaruh ketika diberlakukannya hukuman dan hal itu akan membekas pada keduanya secara bersamaan. 3. Adanya bekas yang merugikan pada diri murid yang terkena pukulan baik pada wajah, mata, telinga atau anggota badan lainnya. 4. Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang dihukum. 5. Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan hakim, keluarga dan penyidik 6. Terbuangnya waktu murid untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa yang tengah terjadi ketika pelajaran berlangsung 7. Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar murid dan guru. Hukuman fisik ini bisa digunakan dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian anak yang melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera kecuali dengan hukuman fisik atau untuk menjaga wibawa (kehormatan) dan tata tertib sekolah setelah pendidik memberikan nasehat dan arahan kepada seluruh murid tetapi mereka tidak jera juga. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pepatah orang Arab Obat yang paling akhir adalah dibakar besi (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, 2005: 166). Muhammad bin ‘Abdullah Sahim (2002: 135)mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan, yaitu: 1. Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan 2. Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun 3. Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya. Hukuman dengan menggunakan kekerasan dipaparkan oleh Ibnu Khaldun seperti yang dikutip oleh HM. Arifin (2006, 2006: 160-161) akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan anak, antara lain: 1. Menyebabkan kelemahan dan tidak sanggup membela kehormatan diri dan keluarganya. 2. Anak tidak mempunyai kemauan dan semangat yang berfungsi amat penting dalam memperoleh fadhilah dan akhlak baik. 3. Jiwa anak akan menyimpang dari tujuan dan ruang lingkup hakikat kemanusiannya. 4. Sempit hati. 5. Menimbulkan kecenderungan untuk berbuat buruk, seperti berdusta, pemalas, dan lainnya. b. Dampak Positif Armai Arief (2002: 133) mengatakan dampak positif dari hukuman antara lain: 1. Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid. 2. Murid tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. 3. Merasakan akibat perbuatannya sehingga Ia akan menghormati dirinya. M. Ngalim Purwanto (1994: 177) membagi dampak positif hukuman menjadi dua, yaitu: 1. Memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang tidak mengerjakan PR Bahasa Arab, akan dihukum menghafal 20 kosakata Bahasa Arab. Karena mendapat hukuman itu anak anak merubah sikap malasnya mengerjakan PR, menjadi rajin mengerjakan PR Bahasa Arab. 2. Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan Di sini secara sadar pelanggar akan berusaha untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan aturan yang ada, sehingga tidak akan melakukan kesalahan untuk yang kesekian kalinya. Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dampak negatif dari pemberian hukuman adalah salah satu imbas dari pemberian hukuman yang kurang tepat. Karena itulah kuantitas dampak negatif lebih banyak daripada dampak yang positif. Sepantasnyalah Rasulullah SAW dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak, sehingga hukuman benar-benar dapat efektif. BAB IV KANDUNGAN Q.S. Al-A’raaf AYAT 59-64 A. LAFADZ DAN TERJEMAHAN Q.S. AL-A’RAAF: 59-64 Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat) (59). Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya Kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata” (60). Nuh menjawab: “Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun, tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam (61). Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui (62). Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peryataan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan mudah-mudahan kamu bertaqwa dan supaya kamu mendapat rahmat? (63). Lalu mereka mendustakan Nuh dan kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya) (64)”. (Depag, 2000: 126) 1. Kosakata Ayat لَقَدْ : Sesungguhnya اَرْسَلْنَا : Kami telah mengutus نُوْحًا : Nuh إِلَى قَوْمِهِ : Kepada kaumnya فَقَالَ : Lalu ia berkata يَا قَوْمِ : Wahai kaumku اعْبُدُاللَّهَ : Sembahlah Allah SWT مَالَكُمْ مِنْ اِالَهٍ غَيْرُهُ : Sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kamu selain-Nya اِنِّيْ : Sesungguhnya aku اَخَا فٌ : Takut عَلَيْكُمْ : Atas kamu sekalian عَذَابَ : Ditimpa azab يَوْمٍ عَظِيْمٍ : Hari yang besar قَالَ : Berkata اْلمَلاَءُ : Pemuka مِنْ قَوْمِهِ : Dari kaumnya اِنَّا : Sesungguhnya kami لَنَرَكَ : Benar-benar memandang kamu فِي : Dalam ضَلاَلٍ : Kesesatan مُبِيْنٍ : Yang nyata قَالَ : Berkata (Nuh) يَا قَوْمِ : Hai kaumku لَيْسَ بِي : Aku sekali-kali tidak dalam ضَلاَلَةٌ : Sesat وَلَكِنِّيْ : Tetapi aku رَسُوْلٌ : Utusan مِنْ : Dari رَبِّ : Tuhan اَلْعَالَمِيْنَ : Semesta alam اُبَلِّغُكُمْ : Aku sampaikan kepada kamu رِسَالاَتِ : Risalah-risalah (amanat) رَبِّي : Tuhanku وَأَنْصَحُ : Dan aku memberi nasehat لَكُمْ : Kepada kamu وَاَعْلَمُ : Dan aku lebih mengetahui مِنَ اللَّهِ : Dari Allah SWT مَالاَتَعْلَمُوُنَ : Apa yang tidak kamu ketahui اَوْعَجِبْتُمْ : Apakah kamu heran (tidak percaya) جَاءَكُمْ : Datang kepada kamu ذِكْرٌ : Tuntunan مِنْ رَبِّكُمْ : Dari Tuhan kamu عَلَى : Atas رَجُلٍ : Seorang laki-laki مِنْكُمْ : Diantara kamu لِيُنْذِرَكُمْ : Untuk mengingatkan kamu وَلِتَتَّقُوْا : Agar kamu bertakwa وَلَعَلَّكُمْ : Agar kamu semua تٌرْحَمُوْنَ : Mendapatkan rahmat فَكَذَّبُوْهُ : Maka mereka mendustakannya فَاَنْجَيْنَاهُ : Maka Kami selamatkan dia وَالَّذِيْنَ : Dan orang-orang مَعَهُ : Bersamanya فِىالْفُلْكِ : Di dalam bahtera وَاَغْرَقْنَ : Dan Kami tenggelamkan الَّذِيْنَ : Orang-orang كََذَّبُوْا : Yang mendustakan بِآيَا تِنَا : Ayat-ayat Kami اِنَّهُمْ كَا نُوْا : Sesungguhnya mereka adalah قَوْمًا عَمِيْنَ : Kaum yang buta 2. Kosakata Penting Kata (عَذَابَ) ‘azaba arti dasarnya adalah siksa dan telah menjadi khasanah bahasa Indonesia yaitu azab. Dalam penggunaan sehari-hari, ‘azab berarti hukuman atau pembalasan bagi hamba Allah SWT yang mengingkari nikmat-Nya dan menyimpang dari bimbingan serta hidayah-Nya. Kata ‘azab dalam ayat ini dirasakan sebagai hukuman dari Allah SWT kepada hambanya, kaum Nabi Nuh a.s. yang tidak mau mengakui Allah SWT dan tidak pula mengikuti bimbingan yang diturunkan kepada Nabi Nuh a.s.. ‘azab yang terjadi dalam ayat ini adalah dengan ditenggelamkannya kaum Nabi Nuh a.s. yang ingkar terhadap risalah yang dibawanya. ‘azab akan diturunkan oleh Allah SWT di dunia dan akhirat. ‘azab yang diturunkan di dunia karena sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia yang jahat. Hal ini dikisahkan Al-Qur’an seperti yang diterima kaum ‘Ad, Samud dan Kaum Nabi Nuh a.s.. Sedangkan ‘azab di akhirat akan ditimpakan di akhirat berupa pembalasan atas sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia yang menyimpang dari bimbingan wahyu dan mengingkari nikmat Allah SWT (Siti Chamamah Suratno,dkk, 2002: 226-227). Kata (يَوْمٍ عَظِيْمٍ) yaumin ‘azimin asal katanya adalah ) يَوْمُ عَظَمَ) yauma ‘azama yaitu hari yang besar, baik di dunia maupun akhirat. Dalam ayat ini, Nabi Nuh a.s. mengajak kaumnya agar yakin tentang keniscayaan hari kiamat, sehingga mereka terhindar dari bahayanya hari yang besar ini kalau masih terus menerus menyembah selain Allah SWT dan mau menerima ajaran yang dibawanya. Ajakan ini adalah ajaran semua Rasul sejak Nabi Nuh a.s. hingga Nabi Muhammad SAW (Quraish Sihab, 2002: 131) Kata (ضَلَلٍ مُبِيْنٍ ) dalalin mubinin berasal dari kata (ضَلَلً بَيَّنَ ) dalalan bayyana yang berarti kesesatan yang jelas. Dalam ayat ini, kesesatan yang dimaksud adalah karena berpaling dari Allah SWT sehingga kaum Nabi Nuh a.s. lebih memuja dan menyembah patung-patung dan berhala. Menurut Imam Bukhari dalam shahihnya, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Kaum Nabi Nuh a.s. itu sangat merasa berhutang budi kepada orangtua-orangtua mereka yang shahih dan berjasa bagi kesejahteraan hidup mereka saat ini. Karena itulah dibuatkanlah patung-patung dan berhala sebagai kenang-kenangan. Dan bila patung itu dilihat, timbullah meneladankan perbuatan mereka dan melanjutkan usaha mereka. Tetapi lama kelamaan tanpa sadar patung-patung dan berhala itu mereka puja dan sembah (Surat Al-An’am juz ke 7). Inilah kesalahan yang ditegur oleh Nabi Nuh a.s. Karena ini adalah kesesatan yang jelas. Bukankah segala ibadah, sembahan, pujian dan kemuliaan semuanya hanyalah milik Allah (Hamka, 2003: 2410). Kata (رِسَالاَتِ) risalati yang berasal dari kata (رَسَلَ) rasala berarti amanat atau utusan Allah SWT. Dari semua Nabi dan Rasul, Nabi Nuh a.s. adalah Nabi yang pertama membawa syari’at. Nabi Nuh a.s. adalah Rasul Allah SWT, utusan Allah SWT kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Hal ini juga disebutkan dalam surat Asy-Syura ayat 13 (Hamka, 2003: 2410): ِ Artinya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Q.S. Asy-Syura: 13) Risalah yang dibawa Nabi Nuh a.s. adalah tauhid (mengesakan Allah SWT) dan iman kepada Allah SWT, malaikat, para Rasul, hari akhir, surga, neraka, pahala, dan siksa. Selain itu juga tentang segala hukum yang umum baik menyangkut ibadat maupun muamalat (Hasbi ash-Shiddieqy, 2000: 1419). Kata الْمَلاَءُ)) al-mala’u pada mulanya berarti kelompok yang menyatu pandangannya. Kata ini terambil dari kata ( مَاَلأُ)mala’u Allah SWT yang berarti membantu, seakan-akan anggota kelompok itu saling bantu membantu dan kompak dalam pendapatnya, sehingga mereka semua menyatu dalam pendapat dan tindakan. Kata ini digunakan dalam ayat ini untuk menunjuk pemuka-pemuka masyarakat yang durhaka. Mereka saling membantu dalam kedurhakaan atau mereka bermusyawarah sehingga mempunyai pendapat yang sama. Ada juga yang memahami kata الْمَلاَءُ)) Q.S. al-mala’u dalam arti penuh. Para pemimpin dinamai mala’a, karena mereka memenuhi mata dan hati masyarakat umum yang dipimpinnya, karena kekuatan, pengaruh atau penampilan mereka (M. Quraish Shihab, 2002: 133). Selanjutnya, kata (أُبَلِّغُكُمْ) uballigukum yang menggunakan bentuk kata kerja masa kini dalam Firman-Nya: (أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاَتِ رَبِّي) uballighukum risalati rabbi (kusampaikan kepada kamu risalah-risalah Tuhanku) mengandung makna bahwa penyampaian itu akan dilakukannya secara terus menerus kendati mereka mendustakannya. Dengan demikian, berbeda pesan yang dikandung oleh kalimat ini dengan pernyataan bahwa beliau adalah Rasul Allah SWT. Penggunaan bentuk jamak pada kata risalah bisa jadi untuk mengisyaratkan aneka tuntunan Illahi yang beliau sampaikan, atau menunjukkan kesinambungan dan lamanya waktu penyampaian risalah itu. Bukankah Nabi Nuh a.s. berdakwah selama 950 tahun, waktu yang dapat mencakup waktu yang dialami oleh sekian Rasul setelah beliau (M. Quraish Shihab, 2002: 134). Kata (أَنْصَحُ) ansahu seakar dengan kata (نَصِيْحَة) nasihat (nasihat), yaitu sikap dan ucapan yang baik disertai dengan ketulusan, guna mengantar serta mendorong yang dinasehati meraih kebaikan atau terhindar dari keburukan (M. Quraish Shihab, 2002: 134). B. PENAFSIRAN PARA MUFASSIR 1. TM. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah-nya, Quraish Shihab melihat pada kelompok ayat 59-64 ini betapa setiap Rasul membawa ajaran tauhid serta kewajiban tunduk dan patuh kepada Yang Maha Esa disertai dengan kepercayaan akan neraca keadilan Illahi. Ayat-ayat ini bertujuan memberi ketenangan pada Nabi Muhammad SAW sekaligus pelajaran menyangkut sejarah umat yang lalu, khususnya dampak buruk yang akan menimpa mereka yang membangkang terhadap Rasul Allah SWT. Ayat 59 diawali dengan Firman Allah SWT “Sesungguhnya benar-benar Kami telah mengutus Nabi Nuh a.s. mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul kepada kaumnya. Kaum Nabi Nuh a.s. adalah masyarakat muslim pertama yang diingatkan oleh Allah SWT akan dampak buruk durhaka pada Allah SWT. Masih dalam ayat yang sama Nabi Nuh a.s. berkata pada kaumnya: Wahai kaumku sembahlah Allah SWT , Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Karena sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah SWT yang berhak dan harus disembah karena Allah lah yang menguasai seluruh alam semesta beserta isinya. Nabi Nuh a.s. takut, kalau kaumnya tidak mau mengikuti ajarannya, kaumnya akan tertimpa azab yang besar sebagaimana kalimat terakhir pada ayat 59 ini Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar. Yang mengisyaratkan betapa sayang Nabi yang mulia ini kepada kaumya, walaupun siksa itu tidak menimpa beliau secara pribadi, namun kasih sayangnya kepada mereka menjadikan Ia merasa takut dan khawatir jangan sampai siksa itu menimpa kaumnya. Quraish Shihab memahami bahwa ajakan pertama yang disampaikan oleh Allah SWT adalah untuk menyembah-Nya, tidak mempersekutukan-Nya dengan patung-patung atau berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri serta keyakinan tentang keniscayaan hari Kiamat. Ajakan ini adalah ajakan semua Rasul sejak Nabi Nuh a.s. hingga Nabi Muhammad SAW. Pada ayat 60-62, ajakan Nabi Nuh a.s. ternyata tidak disambut dengan baik oleh kaumnya, bahkan pemuka-pemuka kaumnya berkata dengan penuh penghinaan, walau Nabi Nuh a.s. dengan sabar, lemah lembut bahkan cinta yang sangat. Mereka malah menganggap Nabi Nuh a.s. telah tersesat, karena mengajarkan banyak hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Nabi Nuh a.s. menjelaskan keadaan dan fungsinya sebagai utusan Allah SWT berikut kewajiban-kewajiban hamba-Nya untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena hanya Allah SWT Yang Maha Sempurna sifat-sifatnya dan berhak disembah dan dipuja. Kaum Nabi Nuh a.s. tidak terima ketika ritual ibadah yang mereka jalani selama ini dianggap keliru. Ayat 63, dipahami Quraish Shihab, bahwa alasan utama ditolaknya ajaran Nabi Nuh a.s. adalah karena kaumnya memandang Nabi Nuh a.s. adalah manusia biasa. Padahal Allah SWT mengutus Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya agar mereka terhidar dari bahaya dan mendapat rahmat dari Allah SWT. Sehingga dikatakan tidak wajar bila mereka menolak apa yang Nabi Nuh a.s. sampaikan karena seharusnya itu menjadikan kaumnya percaya dan membenarkan bahwa itu sebenarnya tuntunan dan peringatan Allah SWT. Di penghujung ayat 64, kaumnya tetap saja menolak dan berpaling tanpa banyak berfikir. Maka, ketika mereka mendengar jawaban Nabi Nuh a.s. atas keraguan risalah yang dibawanya, mereka tetap mendustakannya dan tidak menghiraukannya. Karena itulah Allah SWT menyelamatkan kaum yang menerimanya dan menyiksa kaum yang membangkang. Sungguh indah ayat ini, di mana Allah SWT lebih mengutamakan keselamatan orang-orang mukmin, baru kemudian dijatuhkanlah siksa kepada orang-orang musyrik sekaligus sebagai berita gembira, bahwa Allah SWT menyelamatkan orang mukmin ketika menjatuhkan siksa kepada orang kafir (2002: 131-136). 2. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Ash-Shiddieqy menafsirkan Q.D. Al-A’raaf ayat 59-64 ini, berdasarkan penggalan kalimatnya dengan sangat jelas. Ayat pertama (59), ditafsirkan dengan membaginya menjadi beberapa bagian. Penggalan awal ayat ini Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya dipahami Ash-Shiddiqy sebagai sumpah Allah SWT kepada penduduk Mekkah, Arab dan sekitarnya, bahwa Allah SWT lah yang mengutus Nabi Nuh a.s. sebagai seorang pemberi peringatan yang mengancam kaumnya dengan azab-Nya, apabila mereka tetap menyembah selain-Nya setelah diutusnya seorang Rasul di antara mereka. Seperti yang terjadi pada pada kaum Nabi Nuh a.s. yang tidak mau membenarkan risalah dan wahyu yang dibawanya. Tidak berbeda dengan penjelasan Quraish Shihab bahwa, Nabi Nuh a.s. adalah permulaan Rasul yang ditutus oleh Allah SWT kepada umat manusia. Lalu, Nabi Nuh a.s. berkata pada kaumnya untuk menyembah Allah SWT yang telah menciptakan mereka dengan kesempurnaan dan keindahan rupa dan aturan, yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Dan Dialah yang berhak disembah dan diibadahi dan tempat memajukan permohonan dan do’a. Karena tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Namun, pada ayat 60 pemuka-pemuka masyarakat (kaumnya) memandang Nabi Nuh a.s. sebagai orang yang berada dalam kesesatan yang nyata, yang jauh dari kebenaran, karena melarang mereka menyembah Wudd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasser, yang mereka yakini sebagai Tuhan. Padahal sebelumnya Nabi Nuh a.s. telah menjelaskan dan berusaha memberikan pemahaman dengan cara yang sebaik-baiknya bahwa apa yang disampaikannya itu adalah karena ketakutan yang sangat besar kaumnya akan menerima azab dari Allah SWT pada hari kiamat yang sangat dahsyat kelak. Nabi Nuh a.s. pun menjelaskan dalam ayat 61 bahwa pandangan mereka salah. Karena sebenarnya Nabi Nuh a.s. tidak keluar dari kebenaran apalagi tersesat. Nabi Nuh a.s. adalah utusan Allah semesta alam dan menyeru kepada kaumnya dengan menunjukinya jalan yang lurus yaitu bertauhid kepada Allah SWT, berbuat ikhlas dan taat kepada-Nya. Sehingga kaumnya dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pada ayat selanjutnya (62) Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Risalah yang dibawa Nabi Nuh a.s. adalah mengenai tauhid (mengesakan Tuhan) dan iman kepada Allah SWT, malaikat, para Rasul, hari akhir, surga, neraka, pahala, dan siksa. Selain itu juga mengenai segala hukum yang umum baik menyangkut ibadat maupun muamalat. Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Nabi Nuh a.s. menasihati kaumnya agar mereka takut kepada siksa Allah SWT karena kekufuran mereka pada Allah SWT dan sikap mereka yang mendustakannya. Nabi Nuh a.s. juga menjelaskan pada kaumnya bahwa apa yang diketahuinya dan disampaikan pada kaumnya baik berupa nasehat maupun pelajaran yang lainnya yang tidak mereka ketahui berdasarkan ilmu, keyakinan dan pemberitahuan Allah SWT. Ayat selanjutnya, menceritakan keheranan kaum Nabi Nuh a.s. dengan keNabiannya dan datangnya peringatan dan pelajaran dari Tuhan yang disampaikan oleh orang yang selama ini ada di antara mereka. Mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar hal serupa ini pada masa orang tua kami dahulu”. Atas keraguan mereka, Nabi Nuh a.s. menjelaskan bahwa tugasnya hanya memperingatkan mereka akibat perilaku kufurnya. Selain itu, Nabi Nuh a.s. menjelaskan bahwa mereka di ambang pintu siksa, karena itulah mereka diperintahkan agar bertakwa, takut kepada azab di hari akhirat, dan menyiapkan diri dengan takwa untuk memperoleh nikmat Allah SWT yang dilimpahkan kepada siapa saja yang memenuhi dakwahnya. Sayangnya, kaumnya tetap mendustakan apa yang disampaikannya, menyalahi perintahnya dan tetap berbuat kesesatan dan dosa. Kalaupun ada yang beriman itu hanya sedikit. Dalam surat Hud, diterangkan dengan jelas kisah mereka. Ada yang mengatakan bahwa orang yang beriman hanya 13 orang. Mereka adalah Nabi Nuh a.s., Sam, Ham, Yafits, para isteri mereka dan 6 orang beriman lainnya (2000: 1420). Lalu, di akhir ayat ini, akhirnya Allah SWT menenggelamkan semua orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya karena butanya mata hati mereka dari kebenaran dengan bencana angin taufan dan menenggelamkannya dalam air bah (banjir besar) (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2000: 1418-1420) . 3. Sayyid Quthub Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Sayyid Quthub menjelaskannya secara global. Empat ayat ini menampilkan kisah Nabi Nuh a.s. dengan kaumnya dengan menawarkan sebuah kebenaran pada ayat 59 Hai kaumku, sembahlah Allah SWT, sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah. Tetapi mereka ditentang oleh kaumnya dalam masalah mengesakan uluhiyah untuk Allah SWT dan menolak kalau hak Rububiyyah hanya untuk Allah SWT. Padahal Nabi Nuh a.s. telah memberi nasihat dengan tulus dan sayang pada kaumnya, karena ia tahu akibat yang sangat berat sedang menanti orang-orang yang berpaling dari kebenaran. Sayangnya mereka tetap tidak mau menerimanya, bahkan mereka membantah Nabi Nuh a.s. adalah utusan Allah SWT. Mereka tidak mau merasakan betapa dalamnya ketulusan hati Nabi Nuh a.s. tanpa menurutkan kepentingan pribadi. Sebagian mereka juga menolak kalau agama ini mengatur urusan kehidupan dunia dan mengatur system muamalah duniawi dan perniagaan. Hal ini dicontohkan oleh Sayyid Quthub, seperti yang terjadi pada masa sekarang, di mana sikap manusia jahilliyah modern yang sudah diimplementasikan kaum jahilliyah tempo dulu sejak berpuluh-puluh abad yang lalu, dan mereka menamakannya dengan kebebasan dan kemajuan. Di akhir ayat ini, ditampilkan akibat yang diderita oleh orang-orang yang mendustakan Nabi Nuh a.s.. Di sini terlihat bagaimana berlakunya qadar Allah SWT terhadap manusia ketika mereka kedatangan risalah lalu mendustakannya. Juga ketika Allah SWT bertindak terhadap mereka pertama-tama dengan menmbulkan kesulitan dan penderitaan kepada mereka agar hati yang lalai itu menjadi sadar dan tanggap. Apabila penderitaan ini tidak menggugah hati mereka, maka mereka diberi kelapangan dan kemakmuran yaitu dengan fitnah yang lebih berat, karena dengan begitu mereka merasakan keraguan terhadap sunnah Allah SWT dan tidak sadar. Baru kemudian Allah SWT menghukum mereka dengan tiba-tiba ketika mereka tidak menyadarinya. Ini terlihat dalam ayat 60 ketika Allah SWT menyamarkan kebenaran dari hati mereka dan meragukan keRasulan Nabi Nuh a.s.. Padahal penjelasan-penjelasan dengan cinta, kelembutan, kesabaran dan kasih sayang telah Nabi Nuh a.s. berikan. Namun mereka tetap ingkar, lalu Nabi Nuh a.s. memisahkan diri dari kaum yang ingkar dan lepas tangan dengan memberikan peringatan dan perhatian kepada mereka dan memaparkan bagaimana kesombongan dan kenakalan mereka yang mendustakan. Hingga akhirnya Allah SWT mengazab mereka dengan menenggelamkan orang-orang yang ingkar. Terkait dengan hal ini, Quraish Shihab ( 2002: 132) mengatakan bahwa Nabi Nuh a.s. sempat berkesimpulan bahwa hati kaumnya telah tertutup untuk menerima keimanan, sehingga memohon kepada Allah SWT agar mereka dibinasakan. Hingga akhirnya setelah berdakwah selama 950 tahun, beliau memohon pada Allah SWT : Artinya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma’siat lagi sangat kafir.” (Q.S. Nuh: 26-27) 4. Ibnu Katsir Ibnu Katsir menafsirkan Q.S A’raaf ayat 59-64 dengan sangat lugas dan diterjemahkan secara singkat dalam Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Dalam ayat-ayat ini, Allah SWT menceritakan riwayat Nabi Nuh a.s. sebagai Rasul pertama yang diutus Allah SWT kepada manusia sesudah Nabi Adam as. Hal ini senada dengan pendapat Quraish Shihab (2002: 131) dan TM. Hasbi ash-Shiddieqy (2000: 1418). Muhammad bin Ishaq menyebutkan nasab Nabi Nuh a.s. adalah Nuh bin Laamik bin Mutawasylikh bin Akhnukh (Idris as) bin Burad bin Mahlil bin Qinin bin Yaansy bin Syits bin Adam as. Jarak antara Nabi Adam as dengan Nabi Nuh a.s. kira-kira sepuluh abad. Agama mereka pun sama yaitu Islam. Muhammad bin Ishaq berkata Tiada seorang Nabi yang menderita sebagai penderitaan Nabi Nuh a.s. kecuali Nabi yang terbunuh oleh kaumnya (2004: 447). Penyembahan berhala yang mereka lakukan diawali dengan adanya beberapa orang shalih yang mati kemudian di atas kubur mereka dibangun masjid dan membuat lukisan orang-orang yang mati itu, supaya selalu dapat dikenang jasa dan ibadat mereka untuk diteladani. Kemudian mereka membuat berhala-berhala yang menyerupai lukisan itu, lalu diberi nama orang-orang shalih itu, yaitu Wadda Suwa’a, Yaghuts, Ya’uuqa dan Nasra lalu menyembahnya (Riwayat Ibnu Abbas ra). Karena itulah, Allah SWT mengutus Nabi Nuh a.s. untuk mengajak mereka kembali kepada tauhid dan menyembah hanya kepada Allah SWT Yang Maha Esa. Tetapi, orang-orang terkemuka dari kaumnya menentang dan menyangkal ajakan Nabi Nuh a.s. dengan mengatakan Nabi Nuh a.s. lah yang tersesat: Sesungguhnya kami memandang kau dalam kesesatan yang nyata. Mereka menganggap ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh a.s. itu adalah sesat. Lalu Nabi Nuh a.s. menjawab keraguan mereka dalam ayat-Nya: “Hai kaumku aku tidak tersesat, tetapi aku sebenarnya Nabi Rasul utusan Allah SWT Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta. Aku datang pada kalian hanya untuk menyampaikan amanat, risalah ajaran Tuhanku, juga untuk memberi nasihat sedapatnya kepadamu, dan aku telah mengetahui tuntunan Allah SWT apa-apa yang tidak kalian ketahui” (Q.S. Al-A’raaf: 60-61) Rasulullah SAW dalam riwayat Muslim ketika di Arafah di mana para sahabat banyak yang berkumpul, beliau bertanya: Kalian kelak akan ditanya oleh Tuhan tentang aku, maka apakah jawaban kalian? Sahabat menjawab: Kami bersaksi bahwa kau telah menyampaikan, menunaikan dan menasihati kami. Kemudian Nabi Muhammad SAW mengangkat jarinya ke langit dan ditujukannya ke arah para sahabatnya sambil berdo’Allah SWT: Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah (2004: 448). Ayat 63-64 Allah SWT memberitakan bahwa Nabi Nuh a.s. menegur kaumnya: “Kalian jangan heran jika Allah SWT mewahyukan kepada seorang di antara kamu, semata-mata karena belas kasih dan sayang-Nya kepadamu, untuk mengingatkan kalian dari siksa Allah SWT juga agar kalian tidak mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya supaya kalian mendapatkan rahmat Allah SWT.” (2004: 49) Tetapi, kaumnya tetap mendustakan dan menentangnya, kecuali hanya sedikit sekali yang percaya dan mengikuti ajarannya. Maka Allah SWT pun menyelamatkan Nabi Nuh a.s. bersama orang-orang yang beriman kepadanya di bahtera, dan menenggelamkan kaumnya yang ingkar dalam topan dan bah. Sungguh mereka kaum yang buta mata hatinya. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah. Kami berlindung ya Allah SWT Yang Maha Pemberi Perlindungan, dari kebutaan mata hati untuk menerima kebenaran dari-Mu (Ibnu Katsir, 2004: 446-449). C. ANALISIS PENULIS 1. Isi Pokok Q.S. Al-A’raaf Al-A’raaf berarti benteng yang tinggi . Dinamakan surat Al-A’raaf karena perkataan Al-A’raaf yang terdapat dalam ayat 46 dan 48 yang mengemukakan tentang orang-prang yang berada di atas Al-A’raaf yaitu tempat tertinggi di batas surga dan neraka. Hanya dalam surat yang satu inilah kita bisa menemukan satu berita tentang kejadian yang akan datang. Bahwa segolongan hamba Allah SWT duduk di puncak benteng, sedang mereka dapat bercakap dengan penduduk neraka yang ada di sebelahnya dan dapat pula bercakap dengan penduduk syurga yang ada di sebelahnya pula (Hamka, 2003: 2039) Surat Al-A’raaf termasuk golongan surat Assab’uththiwaal yaitu tujuh surat yang panjang. Al-A’raaf lebih panjang dari pada surat Al-An’aam dan termasuk pada golongan surat Makkiyah karena turun di Makkah. Menurut Qira’at Madinah dan Kaufah, Al-A’raaf mengandung 206 ayat, dan menurut Qira’at Bashrah dan Syam mengandung 205 ayat. Dinamakan Al-A’raaf karena perkataan Al-A’raaf terdapat dalam ayat 46 yang mengemukakan tentang keadaan orang-orang yang berada di atas Al-A’raaf yaitu tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka. Isi pokok Q.S. Al-A’raaf adalah: a. Keimanan Yaitu mentauhidkan Allah SWT dalam berdo’a dan beribadah; hanya Allah SWT sendiri yang mengatur dan menjaga alam; menciptakan undang-undang dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupa manusia di dunia dan akhirat; Allah SWT bersemayam di ‘Arsy; bantahan terhadap kepalsuan syirik; ketauhidan adalah sesuai dengan fitrah manusia; Musa berbicara dengan Allah SWT; tentang melihat Allah SWT; perintah beribadat sambil merendahkan diri kepada Allah SWT; dan Allah SWT mempunyai Al-asmaa’ul husnaa. b. Hukum-hukum Yaitu larangan mengikuti perbuatan dan adat istiadat yang buruk; kewajiban mengikuti Allah SWT dan Rasul; perintah berhias waktu akan shalat; bertahan terhadap orang yang mengharankan perhiasan yang dianugerahkan Allah SWT; perintah memakan makanan yang halal lagi baik dan larangan memakan yang sebaliknya. c. Kisah-kisah Antara lain Kisah Nabi Adam a.s. dengan iblis; kisah Nabi Nuh a.s. dan kaumnya; kisah Nabi Shaleh a.s. dengan kaumnya; kisah Nabi Syu’aib dengan kaumnya; dan kisah Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun. d. Dan lain-lain Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang penghabisan dan perintah mengikutinya; Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh manusia; adab orang mukmin, adab mendengar pembacaan Al-Qur’an dan berdzikir; Rasul bertanggung jawab menyampaikan seruan Allah SWT; balasan terhadap orang-orang yang mengikuti dan mengingkari Rasul; dakwah Rasul-Rasul yang pertama sekali ialah mentauhidkan Allah SWT; tentang ashhaabul Al-A’raaf yang berada di antara surga dan neraka; Allah SWT pencipta makhluk; manusia adalah makhluk yang terbaik dijadikan Allah SWT serta mempunyai kesediaan untuk baik dan untuk buruk; permusuhan syaitan terhadap Bani Adam; manusia khalifah Allah SWT di muka bumi; kehancuran sesuatu kaum adalah karena perbuatan mereka sendiri; tiap-tiap bangsa mempunyai masa jaya dan masa kehancuran; Allah SWT mencoba manusia dengan kekayaan dan kemiskinan; istidraj azab Allah SWT terhadap orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya (http://id.wikipedia.org/wiki/Surat_Al_Al%E2%80%99Raaf). 2. Munasabah Ayat dan Surat Menurut bahasa, munasabah berarti persesuaian atau hubungan antara surah yang satu dengan surah sebelumnya atau sesudahnya. Karena itu, sebagian besar orang menamakan ilmu ini dengan ilmu Tanasubil Ayati Wa Suwar yaitu ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah dengan ayat atau surah lainnya (Abdul Djalal, 2000: 154). a. Munasabah Ayat Pada ayat-ayat sebelumnya Allah SWT menyebutkan riwayat Nabi Adam a.s. dan segala kejadian yang terjadi padanya. Mulai dari uraian tentang asal usul manusia serta potensi dan penghormatan yang diraihnya, sampai akhirnya ia terusir ke bumi akibat rayuan setan dan menguraikan juga kejadian alam raya, di mana manusia hidup dan berinteraksi dengannya secara langsung atau tidak. Ditegaskan dalam kelompok ayat sebelumnya yaitu yang berbicara tentang alam raya (ayat 54), manusiapun diajak untuk patuh dan bermohon pada-Nya (ayat 55), serta larangan melakukan kerusakan di muka bumi (ayat 56). Manusia juga diharapkan memperhatikan fenomena alam agar mereka mempercayai adanya hari kemudian (ayat 57), dan pada ayat 58 dijelaskan bahwa manusia tidak jauh beda dengan tanah, ada yang baik dan subur dan ada pula yang gersang (Quraish Shihab, 202: 130). Dan pada kelompok ayat inilah (59-64), diberikan uraian yang lebih luas terkait dengan diutusnya Nabi Nuh a.s. pada kaumnya agar beriman kepada Allah SWT, hari kemudian dan seluruh ajaran yang dibawanya. Uraian ayat ini pun mengandung isyarat bahwa setan telah berhasil memperdaya manusia. b. Munasabah Surat Surat Al-An’aam dan Al-A’raaf adalah dua surah yang lengkap dan melengkapi. Kalau Al-An’aam lebih ringkas, maka Al-A’raaf lebih terurai. Karena itu pulalah surat Al-A’raaf dikemudiankan setelah Al-An’aam. Relevansi antara dua surat itu dapat kita lihat pada ayat 159 surat Al-An’aam, diterangkan bahaya orang yang memecah belah agama, lalu hidup bergolong-golongan, karena pengaruh bahaya yang diisyaratkan pada ayat 153 yaitu meninggalkan Rasul dan mengikuti syaitan. Kemudian pada ayat-ayat terakhir, Rasulullah menegaskan bahwa tidak ada sekutu bagi Allah SWT dan semua orang bertanggung jawab atas dosanya sendiri. Kemudian turunlah surat Al-A’raaf, setelah pada ayat 2 diterangkan bahwa Al-Qur’an adalah peringatan bagi orang yang beriman seperti yang juga diterangkan pada ayat 155 Al-An’aam, maka ayat 3 Al-A’raaf juga memerintahkan kita untuk mengikuti Al-Qur’an dan tidak boleh mencari pemimpin lain, kecuali Allah SWT saja. Kita lihat lagi pada penghujung surat Al-An’aam, bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi, sehingga diharapkan setiap mu’min sadar bahwa keberadaannya di dunia adalah sebagai khalifah. Maka pada ayat 10 surat Al-A’raaf dijelaskanlah betapa Allah SWT telah mendudukkan manusia di atas bumi, dan pada ayat 11 diterangkanlah bahwa setelah Nabi Adam a.s. diciptakan, seluruh malaikat diperintahkan untuk sujud. Semuanya sujud, kecuali iblis. Jelaslah bahwa dalam memikul amanah menjadi khalifah ini, manusia akan mengalami gangguan yang hebat dari iblis. Selain itu, apabila dalam surat Al-An’aam perjuangan Rasul-Rasul diterangkan secara umum saja, sebagaimana diterangkan pada ayat 112. Maka pada surat Al-A’raaf mulailah diuraikan betapa Rasul-Rasul Allah SWT dimusuhi oleh syaitan-syaitan, manusia dan jin dalam perjuangan mereka sehingga yang memusuhi itulah yang hancur dan kebenaran Allah SWT lah yang menang. Kedua surat ini juga sama-sama turun di Makkah dan keduanya sama-sama berisikan tuntutan aqidah yang menjadi pegangan hidup bagi setiap muslim. Perbedaannya adalah surat Al-An’aam lebih merinci uraian tentang akidah dalam menghadapi jahilliyah (Hamka, 2003: 2308-2309). 3. Urgensi Kisah Nabi Nuh a.s. Nabi Nuh a.s. adalah putra dari Lamik bin Matta Syalih bin Idris. Usia Nabi Nuh a.s. adalah 950 tahun sebagaimana Firman Allah SWT : Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Ankabut: 14) Nabi Nabi Nuh a.s. menerima wahyu keNabian dari Allah SWT pada saat kaumnya melupakan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi yang meninggalkan mereka dan mereka kembali syirik meninggalkan ajaran tauhid, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di bawah pimpinan iblis. Hingga akhirnya Nabi Nuh a.s. datang mereka sedang menyembah berhala dan patung-patung yang dibuat oleh tangan mereka sendiri dan dianggap dapat membawa kebaikan dan manfaat serta dapat menolak kesengsaraan dan penderitaan. Mereka percaya bahwa berhala-berhala ini mempunyai kekuatan ghaib atas manusia. Mereka men-Tuhankan benda mati yang tak ada gunanya. Allah SWT berFirman: Artinya: “Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (Q.S. Nur: 23) Di antara berhala yang mereka sembah, yaitu: Wadd (dalam wujud laki-laki) yang disembah oleh bani al-Kalby, Suwaa’ (dalam wujud perempuan) yang disembah oleh bani Hamazzan, Yagus (dalam wujud singa) yang disembah oleh bani Mujhij, Ya’uq (dalam wujud kuda) yang disembah oleh bani Marad, dan Nasr (dalam wujud elang) yang disembah oleh bani Himyar (Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 745). Walaupun Nabi Nuh a.s. telah berusaha dengan penuh cinta, kasih sayang, kelembutan dan kesabaran, namun tetap saja mereka ingkar dengan berbagai alasan. Hingga akhirnya Allah SWT menghukum mereka dengan menenggelamkan mereka dengan air bah yang Allah SWT turunkan dari langit maupun Allah SWT keluarkan dari bumi. Hanya orang-orang mukminlah yang selamat sebagai bukti kekuasan dan keadilan Allah SWT. Membaca kisah di atas tentulah sangat mengasyikkan dan dapat menghilangkan rasa jenuh kita. Apalagi karena kisah itu isinya benar dan tidak direkayasa. Al-Qur’an menggunakan metode ini dalam menggugah hati kita. Menurut penulis, kisah dalam Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kisah yang paling benar karena kesesuaiannya dengan realitas. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT : Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?” (Q.S. An-Nisa: 87) Kisah dalam Al-Qur’an juga merupakan sebaik-baiknya kisah, karena ia mencakup tingkatan kesempurnaan paling tinggi dalam capaian balaghah dan keagungan maknanya. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT: Artinya: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (Q.S. Yusuf: 3) Dan kisah dalam Al-Qur’an merupakan kisah yang paling bermanfaat, karena pengaruhnya terhadap perbaikan hati, perbuatan dan akhlaq sama kuat. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT : Artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S. Yusuf: 111) Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 termasuk jenis kisah Al-Qur’an mengenai para Nabi dan Rasul serta hal-hal lain yang terjadi antara mereka dan orang-orang yang beriman dengan orang kafir. Di mana kita yang membacanya dapat mengambil pelajaran darinya. Dalam pendidikan Islam, cara seperti ini dikenal dengan metode cerita. HM. Arifin (2006: 71) mengartikan metode cerita yaitu “Metode mendidik dengan mengisahkan peristiwa sejarah hidup manusia masa lampau yang menyangkut ketaatannya atau kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah dan larangan Tuhan yang dibawakan Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka.” Sebagaimana kisah yang terdapat dalam Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ini, bagaimana Allah SWT menghukum kaum Nabi Nuh a.s. yang membangkang, termasuk anak Nabi Nuh a.s. sendiri. Diharapkan dengan cerita yang ditampilkan dalam Al-Qur’an ini, dapat menjadikan stimulus pada siapa saja yang membacanya sehingga mendorong mereka untuk berbuat baik dan membentuk akhlak mulia (Abdul Mujib dan jusuf Mudzakkir, 2006: 193). 4. Komparasi Antara Empat Mufassir Penulis melihat ada banyak ibrah yang bisa diambil dari kandungan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ini. Khususnya terkait dengan judul yang penulis angkat dalam skripsi ini, yaitu relevansinya dengan aplikasi hukuman dalam pendidikan Islam. Penulis yakin, ada beberapa pertanyaan, mengapa harus Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ? Memang banyak sekali ayat-ayat pendidikan yang bisa kita temui untuk kita kaji lebih dalam sehubungan dengan implementasinya dalam pendidikan Islam. Tetapi, ada hal yang menarik ketika penulis melihat bahwa kisah ini bukanlah kisah baru, tapi sangat mengena. Ada banyak sisi yang bisa penulis tangkap, khususnya dari pemaparan para mufassir seperti ketauhidan, keteladanan, kesabaran, dan sisi yang paling menarik adalah ketika Allah SWT menghukum kaum Nabi Nuh a.s. karena keingkaran mereka. Dari ayat di atas, penulis memahami kisah ini sebagai suatu pesan dan makna yang sangat agung yang tidak begitu lugas dijelaskan oleh keempat mufassir. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis berfikir bahwa semua itu karena konsen mereka bukanlah seperti judul yang penulis angkat atau karena lahan garap mereka terlalu luas. Contoh lain, banyak sekali kisah mengenai Bunda Aisyah, sebagai istri Nabi yang termuda dan sebagai periwayat hadits Nabi. Namun, sebagian besar yang disorot oleh penulis buku-buku Islami adalah sifat cemburunya yang begitu besar. Padahal, kecerdasan, ketawadu’an dan keistiqomahannya dalam iman dan Islam begitu besar. Tapi, hanya sedikit yang menguraikan tentang ini. Begitupun ketika memahami tafsir Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ini. Keempat mufassir, yaitu M. Quraish Shihab, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sayyid Quthub dan Ibnu Katsir tidak menjelaskan secara rinci mengenai konsep hukuman dalam pendidikan Islam khususnya ketika Allah SWT menghukum kaum Nabi Nuh a.s.. Berikut ini akan penulis tuliskan apa yang penulis pahami mengenai kelamahan dan kelebihan para muffasir ini. Pertama, Dalam Tafsir Al- Misbah-nya, penulis menemukan cara M. Quraish Shihab menafsirkan hampir sama dengan Sayyid Quthub, dan Ibnu Katsir. Hanya saja pemaparan beliau lebih jelas karena di awali dengan munasabah ayat, yaitu antara ayat 59-64 dengan empat ayat sebelumnya. Bahkan beliau juga menjabarkan beberapa mufrodat terkait lengkap dengan asal kata dan maknanya. Contoh: Kata الْمَلأُ)) al-mala’u, (أُبَلِّغُكُمْ) uballigukum, dan kata (أَنْصَحُ) ansahu (M. Quraish Shihab, 2002: 133). Beliau juga menjelaskan hal yang hampir sama dengan TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, yaitu Nabi Nuh a.s. sebagai Rasul Allah SWT yang pertama untuk mengembalikan kesucian ajaran tauhid, setelah kaumnya menyelewengkan ajaran yang sebelumnya ada. Quraish Shihab juga memperindah tafsirnya dengan melengkapi keterangannya dengan mengaitkannya dengan surat lain dan keterangan dari riwayat ulama lain, misalkan dari Thahir ibnu ‘Asyur, sehingga semakin memperjelas pemahaman pembacanya. Kedua, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam kitab TafsirAl-Qur’anul Majid An-nuur 2-nya, hampir sama dengan Quraish Shihab, yaitu pada keterangan permulaan ayat 59, yaitu Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Ash-Shiddieqy pun mencantumkan dalam keterangannya bahwa Nabi Nuh a.s. adalah permulaan Rasul yang diutus oleh Allah SWT kepada umat manusia untuk menyampaikan risalah dan dakwah kepada kaumnya yang ingkar. Beliau juga mengaitkan keterangannya dengan surat lainnya dalam Al-Qur’an khususnya yang berhubungan dengan pembahasannya. Contohnya: ketika beliau menafsirkan akhir ayat 64: “Dan Kami karamkan semua orang yang mendustakan ayat-ayat Kami bahwa mereka adalah orang-orang yang buta.” (Q.S. Al-A’raaf ayat 64) Beliau mengajak pembacanya untuk membaca Q.S. Q.S. Al-Anbiyaa’ hingga ayat 25; surat Huud, dan mempelajari keadaan bani Israil dalam surat Q.S. Al-Baqarah ayat 40, 123-177 dan terakhir surat Thaahaa. Ini menunjukkan bahwa beliau ingin mengkonstruk pemahaman pembacanya secara sistematis dengan memberikan kesimpulan yang mudah dipahami pula. Sayangnya, penjabaran tentang mufrodat penting, tidak dilakukan oleh beliau, sehingga penafsirannya pun dilakukan per satu kalimat.. Ketiga, Sayyid Quthub dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, dalam penulisan tafsirnya, beliau menempuh beberapa metode. Pertama, dalam muqaddimahnya beliau mengaitkannya dengan surat sebelumnya atau mempertemukan antara bagian-bagianya dan untuk menjelaskan maksud dan tujuannya. Sesudah itu barulah beliau menafsirkan ayat dengan mengetengahkan asar-asar, ialah perkataan para sahabat yang dijadikan pegangan semacam hadits shaheh, lalu mengemukakan paragraph tentang kajian-kajian kebahasaan secara singkat. Baru kemudian beliau beralih ke soal lain, yaitu membangkitkan kesadaran membetulkan pemahaman dan mengaitkan Islam dengan kehidupan sekarang (Mohammad Rifa’Islam, 2000: 79-80). Begitupun ketika beliau menafsirkan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 ini, beliau mengawalinya muqaddimah yang cukup panjang, yang berisi mengenai tema pokoknya, ciri khasnya, munasabah dengan membayangkan suran-surat lainnya yang ada dalam Al-Qur’an. Ini serupa dengan yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab, yaitu mengawalinya dengan menjelaskan mengenai munasabah. Kalau Sayyid Quthub menjelaskan munasabah ayat dan surat, sementara Quraish Shihab hanya menjelaskan munasabah ayatnya. Tetapi ini tidak mengurangi sistematisasi penafsiran mereka. Selain itu, dalam menafsirkan ayat, beliau mengemukakannya dalam kajian-kajian kebahasaan yang cukup singkat. Namun, kelebihannya beliau mengimplementasikannya dalam keadaan sekarang, sehingga pembaca dapat memahami kandungan suatu ayat secara luas, sesuai dengan apa yang banyak terjadi sekarang. Beliau juga menyertakan beberapa contoh sehingga pembaca dapat mengilustrasikannya dengan mudah. Contohnya ketika beliau menafsirkan awal ayat 59, Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Beliau memberi contoh sikap menolak kalau agama ini mengatur urusan kehidupan dunia dan mengatur system muamalah duniawi dan perniagaan, yaitu adanya sikap manusia jahiliah modern sekarang mengenai masalah ini. Sebuah sikap yang sudah diimplementasikan kaum jahiliah tempo dulu. Hanya saja sekarang lahir dengan wajah baru yang bernama kebebasan dan kemajuan. Selain itu juga, penulis melihat ada keterangan yang hampir serupa dengan M. Quraish Shihab, yaitu bagaimana Nabi Nuh a.s. memisahkan diri dari kaumnya yang ingkar, lalu bagaimana kehendak Allah SWT untuk memerangi mereka setelah Nabi Nuh a.s. lepas tangan dan memisahkan diri dari mereka. Kalau dalam Tafsir Al-Misbah disebutkan bahwa itu karena Nabi Nuh as mengira hati kaumnya telah mati, lalu Nabi Nuh a.s. berdo’a pada Allah SWT : Artinya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma’siat lagi sangat kafir.” (Q.S. Nuh: 26-27). Di akhir penjelasannya, beliau mengingatkan siksa yang dialami oleh orang-orang yang ingkar dan memberikan muhasabah dan nasehat kepada pembacanya. Menurut penulis, belum ada penerbit di Indonesia yang menerbitkan Fi Dzilalil Qur’an dalam bentuk terjemahan Indonesia yang lengkap. Memang berat, karena buku aslinya terdiri dari delapan jilid besar. Sehingga penulispun memohon maaf yang sebesar-besarnya sekiranya pemaparan dalam bagian ini kurang lengkap. Keempat, Ibnu Katsir dalam Terjemah Singkat Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir merupakan salah satu tafsir terbaik karena beliau menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan Sunnah bahkan dengan ulama salaf yang saleh dan kemudian berpegang teguh dengan sematik bahasa Arab (Mohammad Rifa’i, 2000: 45). Penulis menemukan contoh penafsiran dengan Sunnah yang dilakukan oleh beliau ketika menafsirkan Q.S. Al-A’raaf ayat 61-62, yaitu ketika Nabi Nuh a.s. menjawab sangkalan kaumnya mengenai ajaran yang dibawanya “Hai kaumku aku tidak tersesat, tetapi aku sebenarnya Nabi Rasul utusan Allah SWT, Tuhan yang mencipta dan memelihara alam semesta. Aku datang kepadamu hanya untuk menyampaikan kepadamu amanat, risalah ajaran Tuhanku, juga untuk memberi nasihat sedapatnya kepadamu, dan aku telah mengetahui dari ajaran tuntunan Allah SWT apa-apa yang tidak kalian ketahui” (Q.S. Al-A’raaf ayat 60-61). Di sini, Ibnu Katsir melengkapi tafsirnya dengan memberikan sebuah riwayat Muslim, bahwa Rasulullah SAW ketika di Arafah di mana para sahabat banyak yang berkumpul, beliau bertanya: Kalian kelak akan ditanya oleh Tuhan tentang aku, maka apakah jawaban kalian? Sahabat menjawab: Kami bersaksi bahwa kau telah menyampaikan, menunaikan dan menasihati kami. Kemudian Nabi Muhammad SAW mengangkat jarinya ke langit dan ditujukannya ke arah para sahabatnya sambil berdo’a: Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah (2004: 448). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyid Quthub, Ibnu Katsir pun memberikan penjelasan yang sistematik dalam tafsirnya ini. Diawali tentang asal usul Nabi Nuh a.s., sebab-sebab penyimpangan kaumnya dan di akhiri dengan penjelasan tentang siksa yang diterima kaumnya. Demikianlah perbandingan yang dapat penulis suguhkan antara empat mufassir, yaitu M. Quraish Shihab, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sayyid Quthub dan Ibnu Katsir. 5. Aplikasi Hukuman Dalam Pendidikan Islam Berdasarkan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 Dari pemaparan kandungan Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 di atas, penulis menyimpulkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan hukuman dalam pendidikan Islam: 1. Pendidik atau orang tua, harus berilmu (tahu ilmunya) berkaitan dengan hal yang diajarkannya maupun hukuman yang akan digunakannya. Sehingga dapat mengidentifikasi kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh anak dengan tepat dan sesuai. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT lakukan terhadap Nabi Nuh a.s. ketika diperintahkan untuk membawa risalah agung. Sebelumnya Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Nuh a.s. ilmu pengetahuan yang tidak diketahui oleh kaumnya untuk disampaikan kepada kaumnya Walaupun pada akhirnya hanya sedikit yang mengikuti ajaran mulia ini. Tetapi yang perlu digaris bawahi pada ayat 62 adalah sebelum Nabi Nuh a.s. menasihati kaumnya, Nabi Nuh a.s. sudah dibekali pengetahuan yang diajarkan langsung oleh Allah SWT . ( ) Sesungguhnya aku mengetahui dari ajaran petunjuk Allah SWT dari apa yang tidak kalian ketahui (Q.S. Al-A’raaf ayat 62) 2. Memberikan nasehat dengan penuh cinta, kasih sayang, kelembutan, kesabaran dan ketulusan. Sehingga, akan tercapailah tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan. Dalam kurun waktu 950 tahun, hanya sedikit yang mau beriman pada ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh a.s. bahkan dalam sebuah riwayat dikatakan hanya 13 orang (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2000: 1420). Ini menunjukkan pada kita bahwa kesabaran Nabi Nuh a.s. untuk mensyiarkan risalah yang dibawanya perlu dicontoh untuk kita terapkan dalam dunia pendidikan Islam kita. Karena itulah, kita harus mentauladani Nabi Nuh as yaitu sebelum memberi hukuman, nasehat yang penuh cinta, kasih, sayang, ketulusan dan kesabaran lebih diutamakan. Karena cara ini akan menumbuhkan kesadaran anak, walaupun kita akan membutuhkan waktu yang cukup lama. 3. Menakut-nakuti Apabila nasehat tidak juga dihiraukan maka orang tua atau pendidik bisa menakut-nakuti anak atau peserta didik dengan hal-hal yang kiranya dapat membuat anak enggan untuk berbuat hal yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dan merugikan dirinya maupun orang lain. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya, ketika nasehat tidak diindahkan oleh mereka. Nabi Nuh a.s. berkata: Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (Q.S. Al-A’raaf ayat 59) Setelah anjuran dan nasehat untuk menyembah Allah SWT ditentang oleh kaumnya, Nabi Nuh a.s. lalu menakut-nakuti kaumnya bahwa mereka akan diazab oleh Allah SWT. 4. Bersikap sabar dan tenang ketika menghadapi anak atau peserta didik yang tidak mau mengikuti aturan yang berlaku. Ada yang mengatakan kesabaran itu ada batasnya. Tapi menurut penulis, selama kita masih mampu untuk bersabar kenapa tidak? Karena ada atau tidaknya batas suatu kesabaran itu tergantung pada kebesaran hati kita masing-masing. Begitupun dalam penerapan hukuman dalam pendidikan Islam. Apabila sebagai orang tua atau pendidik, hati kita cukup lapang, masih ada ruang untuk kesabaran kenapa harus menghukum? Yang penulis maksud di sini adalah pemberian hukuman dalam pendidikan Islam haruslah menjadi alternatif terakhir. Kalau memang nasehat dan ketakutan-ketakutan yang coba kita berikan pada mereka belum juga dapat memperbaiki perilaku mereka, kita harus sedikit bersabar. Allah SWT menceritakan kisah Nabi Nuh a.s. pada kita bahwa kesabarannya telah membuahkan hasil, walaupun sedikit. Dan itu menjadikan Nabi Nuh a.s. salah seorang Nabi yang mulia yang masuk kedalam ulul azmi yaitu Nabi yang memiliki kesabaran yang luar biasa ketika menjalankan amanah Allah SWT untuk mensyiarkan ajaran-Nya pada kaumnya selama 950 tahun. Seperti Nabi Nuh a.s., kitapun harus lebih bersabar karena siapa tahu dengan kesabaran kita, anak atau peserta didik dapat merasakan usaha kita yang begitu besar dan meluluhkan perilaku-perilaku menyimpang mereka sehingga sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh pendidikan Islam. 5. Memberikan tauladan yang baik Keteladanan yang penulis maksudkan adalah orang tua atau pendidikan tidak jarkoni. Jadi, apa yang disampaikan haruslah diterapkan pada diri sediri, sehingga orang lain dapat mencontohnya dengan tulus. Dalam menyampaikan risalah-Nya, Nabi Nuh a.s. memberikan keteladanan yang baik pada kaumnya, sehingga mereka bisa menerimanya dengan baik. Kalaupun ada yang tidak bisa menerimanya, itu karena hati mereka memang telah buta dari petunjuk Allah SWT, sebagaimana Firman Allah SWT di akhir ayat 64: Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya) (Q.S. Al-A’raaf ayat 64) Oleh karena itu, keteladanan harus diperhatikan karena merupakan salah satu factor penting dalam pendidikan Islam. 6. Memberikan hukuman yang disesuaikan dengan kesalahan yang diperbuat. Hal ini berarti, tidak boleh ada hukuman sepanjang tidak ada kesalahan. Hukuman hanya boleh diberikan jika ada kesalahan dan si terhukum harus diberi tahu bahwa hukuman yang diberikan adalah sebagai akibat perbuatannya, dan bukan perbuatan orang lain. Kisah Nabi Nuh a.s. dapat kita jadikan contoh, bahwa ketika Allah SWT menghukum kaumnya, itu disesuaikan dengan kesalahan kaumnya yang mengingkari keEsaan Allah SWT dan mendustakan ayat-ayat-Nya. Allah berFirman: Dan Kami menenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami (Q.S.Al-A’raaf ayat 64). Dengan begitu, hukuman yang diberikan dapat menumbuhkan kesadaran akan kekeliruan yang dilakukan anak atau peserta didik setelah melakukan kesalahan. 7. Hukuman harus diberikan oleh orang lain atau pihak yang mempunyai otoritas untuk menghukum. Dan Kami menenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Penggalan akhir ayat 64 Q.S. Al-A’raaf di atas menunjukkan bahwa Allah SWT lah yang menghukum kaum Nabi Nuh a.s. yang tetap ingkar terhadap ajaran tauhid dan tetap menyembah berhala-berhala yang mereka buat sendiri. Allah SWT tidak memerintahkan Nabi Nuh a.s. untuk menghukum kaumnya, tetapi ketika waktunya sudah tepat Allah SWT sendirilah yang memberikan hukuman itu. Bukankah sebelumnya Allah SWT telah mengingatkan mereka melaui risalah yang disampaikan oleh Nabi Nuh a.s., namun mereka tetap ingkar. Dalam hal ini, penulis pahami bahwa orang-orang tertentu seperti guru, orang tua, pemuka masyarakat, pelatih dan lainnya adalah orang-orang yang diberi kewenangan oleh system social untuk menjadi oknum yang mempunyai hak untuk menghukum. Hukuman tidak boleh diberikan oleh orang lain yang tidak berkompeten untuk menghukum, karena mereka tidak mengetahui seberapa besar kesalahan dan pelanggaran yang diperbuat dapat cocok diterapkan sebuah hukuman khususnya dalam pendidikan Islam. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai aplikasi hukuman dalam perspektif pendidikan Islam kajian Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa dalam Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64 terdapat alat pendidikan yang disebut dengan istilah hukuman. Pemberian hukuman merupakan salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang (orang tua atau pendidik) kepada orang lain (anak atau anak didik) berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan merugikan diri sendiri maupun orang lain, agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya. 2. Orang tua atau pendidik berhak menerapkan hukuman sebagai alternatif terakhir apabila nasehat dan peringatan-peringatan tidak mampu memperbaiki kekeliruan yang terjadi. Karena itu penerapan hukuman harus selalu dikaitkan dengan pendidikan Islam. 3. Perananan hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik mereka ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas kesalahannya. 4. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan hukuman dalam pendidikan Islam adalah hukuman sebagai alternatif terakhir yang dilakukan agar sebuah tingkah laku yang diharapkan terjadi, hukuman harus diberikan oleh orang lain yang mempunyai otoritas menghukum, hukuman tidak boleh menghilangkan harkat dan martabat seseorang, hukuman harus diasosiasikan dengan kesalahan yang diperbuat, sebisa mungkin hukuman tidak diberikan berupa hukuman fisik dan hukuman yang diberikan tidak boleh melampaui kemampuan seeorang untuk menanggungnya karena tidak akan menimbulkan efek apapun, kecuali hanya memberatkannya 5. Aplikasi hukuman dalam pendidikan Islam hendaknya diberikan secara bijaksana, langsung, konsisten, bukan karena balas dendam dan disesuaikan dengan kesalahan yang dilakukan agar hukuman bisa efektif dalam upaya memperbaiki tingkah laku. B. SARAN-SARAN Setelah mengadakan penelitian, maka saran-saran yang perlu penulis sampaikan yaitu: 1. Bagi pelaksana hukuman dalam pendidikan Islam, khususnya orang tua atau pendidik diharapkan ketika terpaksa menggunakan hukuman hendaknya disesuaikan dengan kesalahan yang diperbuat. Seorang pendidik tidak boleh mengabaikan pemberian hukuman yang efektif sehingga membuat anak jera dan bertanggung jawab akan kesalahannya. Di sini, pendidik (orang tua) harus berlaku bijaksana dalam memberikan hukuman pada anak didiknya. 2. Bagi pihak lain yang diberi kewenangan oleh system social untuk menjadi oknum yang mempunyai hak untuk memberikan hukuman, diharapkan tidak lalai dalam melakukan pengawasan dalam usaha perbaikan tingkah laku seseorang. 3. Bagi peneliti selanjutnya, bahwa penelitian tentang aplikasi hukuman berdasarkan perspektif pendidikan Islam ini baru didasarkan atas Q.S. Al-A’raaf ayat 59-64, karena itu untuk lebih memperluas konsepsi penerapan hukuman dalam pendidikan Islam hendaknya perlu dikaji ayat-ayat lain yang lebih relevan. C. KATA PENUTUP Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat Qudrat dan Iradat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak ada perasaan yang paling bahagia kecuali setelah dapat menyelesaikan suatu tugas akhir yang telah menjadi kewajiban ini. Namun demikian, sebagaimana manusia tidak luput dari sifat kekurangan dan kekhilafan, mengingat kemampuan penulis yang sangat terbatas, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Dengan selesainya penulisan skripsi ini mudah-mudahan dapat memberi manfaat khusus terhadap penulis sendiri maupun orang lain. Akhir kata penulis ucapkan segala puji bagi Allah SWT seru sekalian alam. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Adil Fathi. 2005. Pahami Anak Anda Anda Akan Sukses Mendidiknya., Terj. Imam Awaluddin. Jakarta: Al-Kautsar. Al- Abrasyi, M. Athiyah. 1993. Dasar-DasarPokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Al- Rasyidin., dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Aly, Hery Noer. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. ——————dan Munzier. 2000. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani. Aniaya 25 Murid…Oknum Guru SD Negeri 23 Mataram Ditahan. www.balipost.com. Download pada tanggal 20 Desember 2006 An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Pers. ——————————–. 1992. Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat. Bandung: Diponegoro. ——————————–. 1987. Prinsip-Prinsip Metode Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif. Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Arifin, HM. 2000. Kapita Salekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara. ————–. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. ————–.1994. Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Bumi Aksara. Asnawi, Muhammad. 2004. Qur’an Hadits Untuk MA Kelas X. Semarang: Gani dan Son. Azizah, Nur. 2006. Implementasi Konsep Hukuman Dalam Pendidikan Islam (Studi Kasus Ponpes Modern Al-Islah Dorowati Klirong Kebumen). Purwokerto: STAIN Purwokerto. Baharits, Adnan Hasan Shalih. 1996. Tanggung Jawab Terhadap Anak Laki-Laki. Terj.: Sihabuddin. Jakarta: Gema Insani Pers. Barnadib, Sutari Imam. 1989. Pengantar Ilmu Pengantar Sistematis. Yogyakarta: Andi Offset. —————————-. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adi Cipta. Chance, Paul Chance. 1978. Learning and Behavior. California: Wadsworth Publishing Companya. Cropley, AJ. 1995. Pendidikan Seumur Hidup” Suatu Analisis Psikologis”. Terj. M. Sardjan Kadir. Surabaya: Usaha Nasional. Dailamy. Tt, Hadits-Hadits Tentang Pendidikan. Purwokerto. Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Dawud, Abu. 1992. Terjemahan Sunan Abu Dawud. Terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin. Semarang: Asy-Syifa. DEPAG. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Effhar Offset. DEPDIKBUD. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dimas, Muhammad Rasyid. 2005. Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak, Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak. Terj. Umma Farida. Jakarta: Al-Kautsar. Djalal, Abdul. 2000. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu. Faiz, Fahruddin. 2003. Hermeutika Qur’an Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi dan Tafsir Al-Manar dan Al-Azhar., Yogyakarta: Qalam. Gomma, Abla Basat. 2006. Mendidik Mentalitas Anak Panduan Bagi Orangtua Untuk Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa Pada Anak-anaknya. Terj. Mohd. Zaky Abdillah. Solo: Samudra. Guru Aniaya Dua Murid. www.kompas.com. Download pada tanggal 20 Desember 2006 Hadi, Sutrisno. 2001. Metodologi Research I. Yogyakarta: Andi Offset. HAMKA. 2003. Tafsir Al-Azhar Jilid 4. Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd. Hukuman. http://fertobhades.wordpress.com/2006/11/12/hukuman/. Download pada tanggal 9 Februari 2007. Indrakusuma, Amir Daien. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Istadi, Irawati. 2005. Agar Hadiah dan Hukuman Efektif. Jakarta: Pustaka Inti. —————-. 2006. Melipatgandakan Kecerdasan Emosi. Jakarta: Pustaka Inti Katsir, Ibnu. 2004. Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy. Surabaya: Bina Ilmu. Keraf, Gorys. 1997. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende: Nusa Inda. Kristianti, Anah. 2006. Studi Komparatif antara Konsep Reward dalam Quantum Teaching dengan Pendidikan Islam. Purwokerto: STAIN Purwokerto. Majid, Abdul., dan Dian Andayani. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004). Bandung: Remaja Rosdakarya. Marimba, Ahmad D. 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif. Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdayarya. Mudyahardjo, Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya. Mujib, Abdul., dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Muhadjir, Noeng. 1993. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mutamam, Hadi. 2001. Hikmah Dalam Qur’an. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah. Nasoetion, Andi Hakim, dkk. 2001. Pendidikan Agama dan Akhlak Bagi Anak dan Remaja. Nasoetion, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UII Press. Nawawi, Imam. 1986. Kasyifatu As-Saja (Syarah Safinat An-Naja). Semarang: Toha Putra. Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Nuri, Amat. 2003. Ilmu Pendidikan (Pengantar Perkuliahan). Purwokerto: STAIN Purwokerto. Poerwardarminta, WJS. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Purwanto, M. Ngalim. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. ——————————–. 1998. Ilmu Pendidikan Praktis dan Teoritis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Quthub, Muhammad. 1993. Sistem Pendidikan Islam. Terj. Salman Harun, Bandung: Al-Ma’arif. Quthub, Sayyid. 2003. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Pers. Rahman, Jamaal ‘Abdur. 2005. Tahapan Mendidik Anak. Terj. Barun Abubakar Ihsan Zubaidi. Bandung: Irsyad Baitus Salam. Ramayulis, dkk. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching. Rifa’i, Mohammad. 2000. Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan. Semarang: Wicaksana. Rusn, Abidin. 1998. PemikiranAl-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sahim, Muhammad bin ‘Abdullah As-. 2002. 15 Kesalahan Fatal Anak dan Cara Islami Memperbaikinya. Terj. Abu Shafiya. Yogyakarta: Media Hidayah. Saleh, Abdurrahman. 2005. Teori-Teori Pendidikan di dalam Al-Qur’an, Terj. HM. Arifin dan Zainudin. Jakarta: Rineka Cipta. Sastrapraja, M. 1981. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha Nasional. Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash-. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur 3. Semarang: Pustaka Rizki Putra. —————————————————–. 1998. Al Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 5. Jakarta: Lentera Hati. Soedjono, Ag. Tt. Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, Bandung: Ilmu. Surakhmad, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Suratno, Siti Chamimah. 2002. Ensiklopedi Al-Qur’an Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. Surya, Mohamad. 2003. Bina Keluarga. Semarang: Aneka Ilmu. Suyanto, dan Djihad Hasyim. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta: Adicita Karyanusa. Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Rosda Group. Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tiga Guru Dituduh Aniaya Murid. www.lantas.metro.polri.go.id. Download pada tanggal 20 Desember 2006 Tim Puslitbang. 2003. Pedoman Transliterasi Arab Latin Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor: 158/1987 dan Menteri P&K Nomor: 0543/1987. Jakarta: Departemen Agama RI. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan. Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2005. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang SISDIKNAS UU RI No. 20 Tahun 2003 Beserta Penjelasannya. Bandung: Nuansa Aulia. Ulwan, Abdullah Nasikh. 1994. Pendidikan Anak Dalam Islam. Terj. Jamaludin Miri. Jakarta: Pustaka Amani. Wahyuni, Eva Sri. 2005. Pelaksanaan Metode Hukuman di Ponpes Utri Raudatul Qur’an Kec. Kemranjen, Kab. Banyumas. Purwokerto: STAIN Purwokerto. Wikipedia Indonesia. Surat al-A’raaf. http://id.wikipedia.org/wiki/Surat_Al_A%E2%80%99Raaf. Download pada tanggal 9 Februari 2007. Zainu, Syaikh Jamil. 2005. Seruan Kepada Pendidik dan Orangtua. Terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya. Solo: Pustaka Hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar