PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH
PERTANIAN
Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor:56 TAHUN 1960 (56/1960)
Tanggal:29 DESEMBER 1960 (JAKARTA)
Tentang:PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN
[ Dengan UU No 1 Tahun 1961 (LN 1961 No.3) disahkan menjadi
Undang-undang ]
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah
pertanian sebagai yang dimaksud dalam pasal 17 Undang-undang No. 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria (Lembaran-Negara tahun 1960 No.
104);
b.bahwa oleh karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
b.bahwa oleh karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
Mengingat :
a.pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;
b.pasal 2, 7, 17 dan 53 Undang-undang No. 5 tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 104);
b.pasal 2, 7, 17 dan 53 Undang-undang No. 5 tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 104);
Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 28
Desember 1960.
Memutuskan :
Menetapkan :
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang
penetapan luas tanah pertanian.
Pasal 1
(1)
Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga
bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri
atau kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang
lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan
dalam ayat 2 pasal ini.
(2)
Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya,
maka luas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditetapkan sebagai
berikut:
Di daerah-daerah yang:
|
Sawah
(hektar) |
atau
|
Tanah Kering
(hektar) |
1. Tidak padat
2. Padat: a. kurang pada b. cukup padat c. sangat padat |
15
10 7,5 5 |
|
20
12 9 6 |
Jika tanah pertanian yang dikuasai
itu merupakan sawah dan tanah-kering, maka untuk menghitung luas maksimum
tersebut, luas sawah dijumlah dengan luas tanah-kering dengahn menilai tanah
kering sama dengan sawah ditambah 30% di daerah-daerah yang tidak padat an 20%
di daerah-daerah yang padat dengan ketentuan, bahwa tanah-pertanian yang
dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hekar.
(3)
Atas dasar ketentuan dalam ayat 2 pasal ini maka penetapan luas maksimum untuk
tiap-tiap daerah dilakukan menurut perhitungan sebagai yang tercantum dalam
daftar yang dilampirkan pada Peraturan ini.
(4)
Luas maksimum tersebut pada ayat 2 pasal ini tidak berlaku terhadap tanah
pertanian:
- yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari Pemerintah;
- yang dikuasai oleh badan-badan hukum.
Pasal 2
(1)
Jika jumlah anggota suatu keluarga melebihi 7 orang, maka bgi keluarga itu luas
maksimum sebagai yang ditetapkan dalam pasal 1 untuk setiap anggota yang
selebihnya ditambah dengan 10%, dengan ketentuan bahwa jumlah tambahan tersebut
tidak boleh lebih dari 50%, sedang jumlah tanah pertanian yang dikuasai
seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun
sawah dan tanah kering.
(2)
Dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus Menteri Agraria dapat
menambah luas maksimum 20 hektar tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan paling
banyak 5 hektar.
Pasal 3.
Orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota
keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas
maksimum wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota
yang bersangkutan didalam waktu 3 bulan sejak mulai berlakunya Peraturan ini.
Kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh
Menteri Agraria.
Pasal 4.
Orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah
pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan
hak-miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan izin
kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Izin tersebut hanya
dapat diberikan jika tanah yang haknya dipindahkan itu tidak melebihi luas
maksimum dan dengan memperhatikan pula ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2).
Pasal 5.
Penyelesaian mengenai tanah yang merupakan kelebihan dari
luas maksimum diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penyelesaian tersebut
dilaksanakan dengan memperhatikan keinginan fihak yang bersangkutan.
Pasal 6.
Barangsiapa sesudah mulai berlakunya Peraturan ini
memperoleh tanah pertanian, hingga tanah pertanian yang dikuasai olehnya dan
anggota-anggota keluarganya berjumlah lebih dari luas maksimum, wajib berusaha
supaya paling lambat 1 tahun sejak diperolehnya tanah tersebut jumlah tanah
pertanian yang dikuasai itu luasnya tidak melebihi batas maksimum.
Pasal 7.
(1)Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak-gadai
yang pada mulai berlakunya Peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih
wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan.
(2)Mengenai hak-gadai yang pada mulai berlakunya. Peraturan
ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya
kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar
uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:
(7 + 1/2) - waktu berlangsungnya
hak-gadai X uang gadai,
7
7
dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah
berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut
tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen.
(3)Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap
hak-gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.
Pasal 8
Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani
sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.
Pasal 9.
(1)Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian
warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau
berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan
termaksud tidak berlaku, kalau sipenjual hanya memiliki bidang tanah yang
luasnya kurang dari 2 hektar dan tanah itu dijual sekaligus.
(2)Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya
Peraturan ini memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar
didalam waktu 1 tahun mereka itu wajib menunjuk salah seorang dari antaranya
yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkannya kepada fihak
lain, dengan mengingat ketentuan ayat (1).
(3)Jika mereka yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak
melaksanakan kewajiban tersebut diatas, maka dengan memperhatikan keinginan
mereka Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, menunjuk salah seorang
dari antara mereka itu, yang selanjutnya akan memiliki tanah yang bersangkutan,
ataupun menjualnya kepada fihak lain.
(4)Mengenai bagian warisan tanah pertanian yang luasnya
kurang dari 2 hektar, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10.
(1)Dipidana dengan hukuman kurungan selama-lama 3 bulan
dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-;
a.barangsiapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal
4;
b.barangsiapa tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal 3, 6 dan 7 (1): c.barangsiapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 9 ayat (1) atau tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal itu ayat (2).
b.barangsiapa tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal 3, 6 dan 7 (1): c.barangsiapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 9 ayat (1) atau tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal itu ayat (2).
(2)Tindak pidana tersebut pada ayat (1) pasal ini adalah
pelanggaran.
(3)Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam
ayat (1) huruf a pasal ini maka pemindahan hak itu batal karena hukum, sedang
tanah yang bersangkutan jatuh pada Negara, tanpa hak untuk menuntut
ganti-kerugian berupa apapun.
(4)Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam
ayat (1) huruf b pasal ini, maka kecuali didalam hal termaksud dalam pasal 7
ayat (1) tanah yang selebihnya dari luas maksimum jatuh pada Negara yaitu jika
tanah tersebut semuanya milik terhukum dan/atau anggota-anggota keluarganya,
dengan ketentuan bahwa ia diberi kesempatan untuk mengemukakan keinginannya
mengenai bagian tanah yang mana yang akan dikenakan ketentuan ayat ini.
Mengenai tanah yang jatuh pada Negara itu tidak berhak atas ganti-kerugian
berupa apapun.
Pasal 11.
(1)Peraturan Pemerintah yang disebut dalam pasal 5 dan dalam
pasal 12 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
10.000,-
(2)Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
adalah pelanggaran.
Pasal 12.
Maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan
pembangunan lainnya serta pelaksanaan selanjutnya dari Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13.
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1960.
Presiden Republik Indonesia,
Ttd
SOEKARNO
pada tanggal 29 Desember 1960.
Presiden Republik Indonesia,
Ttd
SOEKARNO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Desember 1960.
Pejabat Sekretaris Negara,
Ttd
SANTOSO.
pada tanggal 19 Desember 1960.
Pejabat Sekretaris Negara,
Ttd
SANTOSO.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
No' 56 TAHUN 1960
tentang
PENETAPAN LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH PERTANIAN.
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
No' 56 TAHUN 1960
tentang
PENETAPAN LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH PERTANIAN.
UMUM.
(1)Dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila, Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5 tahun
1960) menetapkan dalam pasal 7, bahwa agar supaya tidak merugikan kepentingan
umum maka pemilihan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Keadaan masyarakat tani Indonesia sekarang ini ialah, bahwa
kurang lebih 60% dari pada petani adalah petani tidak bertanah. Sebagian mereka
itu merupakan buruh tani, sebagian lainnya mengerjakan tanah orang lain sebagai
penyewa atau penggarap dalam hubungan perjanjian bagi-hasil. Para petani yang
mempunyai tanah (sawah dan/atau tanah kering) sebagian terbesar masing-masing
tanahnya kurang dari 1 hektar (rata-rata 0,6 ha sawah atau 0,5 ha tanah kering)
yang terang tidak cukup untuk hidup yang layak. Tetapi disamping petani-petani
yang tidak bertanah dan yang bertanah tidak cukup itu, kita jumpai
petani-petani yang menguasai tanah-tanah pertanian yang luasnya berpuluh-puluh,
beratus-ratus bahkan beribu-ribu hektar. Tanah-tanah itu semuanya dipunyai
mereka dengan hak milik, tetapi kebanyakan dikuasainya dengan hak gadai atau
sewa. Bahkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak-gadai dan sewa inilah
merupakan bagian yang terbesar. Kalau hanya melihat pada tanah-tanah yang
dipunyai dengan hak milik menurut catatan di Jawa, Madura, Sulawesi Selatan,
Bali, Lombok hanya terdapat 5.4000 orang yang mempunyai sawah yang luasnya
lebih dari 20 hektar). Mengenai tanah kering yang mempunyai lebih dari 10
hektar adalah 11.000 orang, diantaranya 2.700 orang yang mempunyai lebih dari
20 hektar. Tetapi menurut kenyataannya jauh lebih banyak jumlah orang yang
menguasai tanah lebih dari 10 hektar dengan hak gadai atau sewa. Tanah-tanah
itu berasal dari tanah-tanah kepunyaan para tani yang tanahnya tidak cukup
tadi, yang karena keadaan terpaksa menggadaikan atau menyewakan kepada
orang-orang yang kaya tersebut. Biasanya orang-orang yang menguasai tanah-tanah
yang luas itu tidak dapat mengerjakan sendiri. Tanah-tanahnya dibagi-hasilkan
kepada petani-petani yang tidak bertanah atau yang tidak cukup tanahnya. Bahkan
tidak jarang bahwa dalam hubungan gadai para pemilik yang menggadaikan tanahnya
itu kemudian menjadi penggarap tanahnya sendiri sebagai pembagi-hasil. Dan
tidak jarang pula bahwa tanah-tanah yang luas itu tidak diusahakan
("dibiarkan terlantar") oleh karena yang menguasainya tidak dapat
mengerjakan sendiri, hal mana terang bertentangan dengan usaha untuk menambah
produksi bahan makanan.
2.Bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang
berlebih-lebihan, sedang yang sebagian terbesar lainnya tidak mempunyai atau
tidak cukup tanahnya adalah terang bertentangan dengan azas sosialisme
Indonesia, yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan
rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang adil dan merata pula
dari hasil tanah-tanah tersebut. Dikuasainya tanah-tanah yang luas ditangan
sebagian kecil para petani itu membuka pula kemungkinan dilakukannya
praktek-praktek pemerasan dalam segala bentuk (gadai, bagi-hasil dan
lain-lainnya), hal mana bertentangan pula dengan prinsip sosialisme Indonesia.
(3)Berhubung dengan itu maka disamping usaha untuk memberi
tanah pertanian yang cukup luas, dengan jalan membuka tanah secara
besar-besaran diluar Jawa dan menyelenggarakan transmigrasi dari daerah-daerah
yang padat. Undang-undang Pokok Agraria dalam rangka pembangunan masyarakat
yang sesuai dengan azas-azas sosialisme Indonesia itu, memandang perlu adanya
batas-batas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai suatu keluarga, baik
dengan hak milik maupun dengan hak yang lain. Luas maksimum tersebut menurut
Undang-undang Pokok Agraria harus ditetapkan dengan peraturan perundangan didalam
waktu yang singkat [pasal 17 ayat (1) dan (2)]. Tanah-tanah yang merupakan
kelebihan dari maksimum itu diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat petani yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah [pasal 17 Undang-undang Pokok
Agraria ayat (3)]. Dengan demikian maka pemilikan tanah pertanian selanjutnya
akan lebih merata dan adil. Selain memenuhi syarat keadilan maka tindakan
tersebut akan berakibat pula bertambahnya produksi, karena para penggarap
tanah-tanah itu yang telah menjadi pemiliknya, akan lebih giat didalam
mengerjakan usaha pertaniannya.
(4)Selain luas maksimum Undang-undang Pokok Agraria
memandang perlu pula diadakannya penetapan luas minimum, dengan tujuan supaya
tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai
taraf penghidupan yang layak. Berhubung dengan berbagai faktor yang belum
memungkinkan dicapainya batas minimum itu sekaligus dalam waktu yang singkat,
maka ditetapkan, bahwa pelaksanaannya akan dilakukan secara beransur-angsur
(Undang-undang Pokok Agraria pasal 17 ayat 4), artinya akan diselengggarakan
taraf demi taraf. Pada taraf permulaan maka penetapan minimum bertujuan untuk
mencegah dilakukannya pemecahan tanah lebih lanjut, karena hal yang demikian
itu akan menjauhkan kita dari usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani
sebagai yang dimaksudkan diatas. Penetapan minimum tidak berarti bahwa
orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari batas itu akan dipaksa untuk
melepaskan tanahnya.
(5)Kiranya tidak memerlukan penjelasan, bahwa untuk
mempertinggi taraf hidup petani dan taraf hidup rakyat pada umumnya, tidaklah
cukup dengan diadakannya penetapan luas maksimum dan minimum saja, yang diikuti
dengan pembagian kembali tanah-tanahnya yang melebihi maksimum itu. Agar supaya
dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan maka usaha itu perlu disertai
dengan tindakan-tindakan lainnya, misalnya pembukaan tanah-tanah pertanian
baru, transmigrasi, industrialisasi, usaha-usaha untuk mempertinggi
produktiviteit (intensifikasi), persediaan kredit yang cukup yang dapat
diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.
(6)Menurut pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria luas
maksimum dan minimum itu harus diatur dengan peraturan perundangan. Ini berarti
bahwa diserahkanlah pada kebijaksanaan Pemerintah apakah hal itu akan diatur
oleh Pemerintah sendiri dnegan Peraturan Pemerintah atau bersama-sama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan Undang-undang. Mengingat akan pentingnya masalah
tersebut Pemerintah berpendapat bahwa soal itu sebaiknyalah diatur dengan
peraturan yang bertingkat Undang-undang. Dalam pada itu karena keadaannya
memaksa kini diaturnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
(7) a.Luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap daerah
tingkat II dengan mengingat keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor
sebagai : 1.tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi.
2.kepadatan penduduk.
3.jenis-jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan
antara sawah dan tanah-kering, diperhatikan apakah ada perairan yang teratur
atau tidak).
4.besarnya usaha tani yang sebai-baiknya ("the best
farmsize") menurut kemampuan satu keluarga, dengan mengerjakan beberapa
buruh tani.
5.tingkat kemajuan tehnik pertanian sekarang ini.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas yang
berbeda-beda keadaannya diberbagai daerah di Negara kita ini, maka diadakanlah
perbedaan antara daerah-daerah yang padat dan tidak padat. Daerah-daerah yang
padat dibagi lagi dalam daerah yang sangat padat, cukup padat dan kurang padat.
Pula diadakan perbedaan antara batas untuk sawah dan tanah kering. Untuk tanah
kering batasnya adalah sama dengan batas untuk sawah ditambah dengan 20%
didaerah-daerah yang padat dan dengan 30% didaerah-daerah yang tidak padat.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (2) maka penetapan maksimum itu ialah
paling banyak (yaitu untuk daerah-daerah yang tidak padat) 15 hektar sawah atau
20 hektar tanah kering. Untuk daerah-daerah yang sangat padat maka angka-angka
itu adalah masing-masing 5 hektar dan 6 hektar. Jika sawah dipunyai
bersama-sama dengan tanah kering maka batasnya adalah paling banyak 20 hektar,
baik didaerah yang padat maupun tidak padat. b.Yang menentukan luas maksimum
itu bukan saja tanah-tanah miliknya sendiri, tetapi juga tanah-tanah kepunyaan
orang lain yang dikuasai dengan hak gadai, sewa dan lain sebagainya seperti
yang dimaksudkan diatas. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna-usaha
atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas (misalnya hak pakai)
yang didapat dari Pemerintah tidak terkena ketentuan maksimum tersebut. Letak
tanah-tanah itu tidak perlu mesti disatu tempat yang sama, tetapi dapat pula
dibeberapa daerah, misalnya diduda atau tiga Daerah tingkat II yang berlainan.
c.Penetapan luas maksimum memakai dasar keluarga, biarpun
yang berhak atas tanahnya mungkin seorang-seorang. Berapa jumlah luas tanah
yang dikuasai oleh anggota-anggota dari suatu keluarga, itulah yang menentukan
maksimum luas tanah keluarga itu. Jumlah anggota keluarga ditetapkan paling
banyak 7 orang. Jika jumlahnya melebihi 7 orang maka bagi keluarga itu luas
maksimum untuk setiap anggota keluarga yang selebihnya ditambah 10%, tetapi
jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50%, sedangkan jumlah tanah
pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik
sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah. Misalnya untuk keluarga didaerah
tidak padat (dengan batas maksimum 15 hektar) yang terdiri dari 15 anggota,
maka batas maksimumnya dihitung sebagai berikut. Jumlah tambahannya 8 X 10% X
15 hektar sawah, tetapi tidak boleh lebih dari 7,5 hektar - 22,5 hektar. Tetapi
oleh karena tanah yang dikuasai seluruhnya tidak boleh dari 20 hektar, maka
luas maksimum untuk keluarga itu ialah 20 hektar. Kalau yang dikuasai itu tanah
kering maka keluarga tersebut tidak mendapat tambahan lagi, karena batas buat
tanah kering untuk daerah yang tidak padat sudah ditetapkan 20 hektar.
d.Ketentuan maksimum tersebut hanya mengenai tanah
pertanian. Batas untuk tanah perumahan akan ditetapkan tersendiri. Demikian
pula luas maksimum untuk badan-badan hukum.
(8)Luas minimum ditetapkan 2 hektar, baik untuk sawah maupun
tanah-kering. Sebagai telah diterangkan diatas batas 2 hektar itu merupakan
tujuan, yang akan diusahakan tercapainya secara taraf demi taraf. Berhubung
dengan itu maka dalam taraf pertama perlu dicegah dilakukannya
pemecahan-pemecahan pemilikan tanah yang bertentangan dengan tujuan tersebut.
Untuk itu maka diadakan pembatasan-pembatasan seperlunya didalam hal pemindahan
hak yang berupa tanah pertanian (pasal 9). Tanpa pembatasan-pembatasan itu maka
dikhawatirkan bahwa bukan saja usaha untuk mencapai batas minimum itu tidak
akan tercapai, tetapi bahkan kita akan tambah menjauh dari tujuan tersebut.
(9) a.Dalam Peraturan ini diatur pula soal gadai tanah
pertanian. Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan
tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang padanya. Selama utang
tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang tadi ("pemegang-gadai"). Selama itu hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang-gadai, yang dengan demikian merupakan bunga
dari utang tersebut. Penebusan tanah itu tergantung pada kemauan dan kemampuan
yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh-puluh
tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh para ahli-waris penggadai dan
pemegang-gadai, karena penggadai tidak mampu untuk menebus tanahnya kembali.
(Dalam pada itu dibeberapa daerah dikenal pula gadai dimana hasil tanahnya
tidak hanya merupakan bunga, tetapi merupakan pula angsuran. Gadai demikian itu
disebut "jual angsur". Berlainan dengan gadai-bisa maka dalam
jual-angsur setelah lampau beberapa waktu tanahnya kembali kepada penggadai
tanpa membayar uang tebusan). Besarnya uang gadai tidak saja tergantung pada
kesuburan tanahnya, tetapi terutama pada kebutuhan penggadai akan kredit. Oleh
karena itu tidak jarang tanah yang subur digadaikan dengan uang-gadai yang
rendah. Biasanya orang menggadaikan tanahnya hanya bila ia berada dalam keadaan
yang sangat mendesak. Jika tidak mendesak kebutuhannya maka biasanya orang
lebih suka menyewakan tanahnya. Berhubung dengan hal-hal diatas itu maka
kebanyakan gadai itu diadakan dengan imbangan yang sangat merugikan penggadai
dan sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan demikian maka teranglah
bahwa gadai itu menunjukkan praktek-praktek pemerasan, hal mana bertentangan
dengan azas sosialisme Indonesia. Oleh karena itu maka didalam Undang-undang
Pokok Agraria hak gadai dimasukkan dalam golongan hak-hak yang sifatnya
"sementara", yang harus diusahakan supaya pada waktunya dihapuskan.
Sementara belum dapat dihapuskan maka hak gadai harus diatur agar dihilangkan
unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan (pasal 53). Hak gadai itu baru dapat
dihapuskan maka hak gadai harus diatur agar dihilangkan unsur-unsurnya yang
bersifat pemerasan (pasal 53). Hak gadai itu baru dapat dihapuskan (artinya
dilarang jika sudah dapat disediakan kredit yang mencukupi keperluan para
petani.
b.Apa yang diharuskan oleh pasal 53 Undang-undang Pokok
Agraria itu diatur sekaligus dalam Peraturan ini (pasal 7), karena ada
hubungannya langsung dengan pelaksanaan ketentuan mengenai penetapan maksimum
tersebut diatas. Tanah-tanah yang selebihnya dari maksimum diambil oleh
Pemerintah, yaitu jika tanah itu milik orang yang bersangkutan. Kalau tanah
yang selebihnya itu tanah-gadai maka harus dikembalikan kepada yang empunya.
Didalam pengembalian tanah-tanah gadai tersebut tentu akan timbul persoalan
tentang pembayaran kembali uang-gadainya. Peraturan ini memecahkan persoalan
tersebut, dengan berpedoman pada kenyataan sebagai yang telah diuraikan diatas.
Yaitu, bahwa dalam prakteknya hasil tanah yang diterima oleh pemegang gadai
adalah jauh melebihi bunga yang layak dari pada uang yang dipinjamkan. Menurut
perhitungan maka uang gadai rata-rata sudah diterima kembali oleh pemegang
gadai dari hasil tanahnya dalam waktu 5 sampai 10 tahun, dengan ditambah bunga
yang layak (10%). Berhubung dengan itu maka ditetapkan bahwa tanah-tanah yang
sudah digadai selama 7 tahun (angka tengah-tengah diantara 5 dan 10 tahun) atau
lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar
uang tebusan. Mengenai gadai yang berlangsung belum sampai 7 tahun, pula
mengenai gadai-gadai baru diadakan ketentuan dalam pasal 7 ayat, 2 dan 3,
sesuai dengan azas-azas tersebut diatas.
(10)Kemudian agar ketentuan-ketentuan Peraturan ini dapat
berjalan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka dalam pasal 10 dan 11
diadakan sanksi-sanksi pidana seperlunya.
(11)Soal pemberian ganti-kerugian kepada mereka yang
tanahnya diambil oleh Pemerintah, soal pembagian kembali tanah-tanah tersebut
dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan penyelesaian tanah yang merupakan
kelebihan dari luas maksimum menurut pasal 5 akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah, sesuai dengan ketentuan pasal 17 ayat 3 Undang-undang Pokok
Agraria.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1.
Ayat 1 :Perkataan "orang" menunjuk pada mereka
yang belum/tidak berkeluarga. Sedang "orang-orang" menunjuk pada
mereka yang bersama-sama merupakan satu keluarga. Siapa-siapa yang menjadi
anggota suatu keluarga harus dilihat pada kenyataan dalam penghidupannya. Yang
termasuk anggota suatu keluarga ialah yang masih menjadi tanggungan sepenuhnya
dari keluarga itu. Sebagaimana telah dijelaskan didalam Penjelasan Umum angka
(7b) maka tanah-tanah yang dimaksudkan itu bisa dikuasai sendiri oleh anggota
keluarga masing-masing, tetapi dapat pula dikuasai bersama(misalnya milik
bersama sebagai warisan yang belum/tidak dibagi). Tanah-tanah yang dikuasai itu
bisa miliknya sendiri bisa kepunyaan orang lain yang dikuasai dengan sewa,
pakai atau gadai dan bisa miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain. Orang
yang mempunyai tanah dengan hak milik atau hak gadai, tanah mana olehnya
disewakan atau dibagi-hasilkan kepada orang atau orang-orang lain, termasuk
dalam pengertian orang yang ..menguasai" tanah tersebut menurut pasal ini.
Jadi pengertian "menguasai" itu harus diartikan baik menguasai secara
langsung, maupun tidak langsung.
Ayat 2 :Pokok-pokoknya sudah dijelaskan didalam Penjelasan
Umum angka (7a). Jika yang dikuasai itu sawah dan tanah kering maka cara
menghitung maksimumnya ialah sebagai berikut : Misalnya didaerah yang kurang
padat oleh suatu keluarga dikuasai 5 ha sawah dan 9 ha tanah kering. Maka 5 ha
sawah dihitung menjadi tanah kering yaitu 120% X 5 ha = 6ha. Jadi tanah yang
dikuasai jumlah sama dengan 6 + 9 ha = 15 ha tanah kering. Karena untuk daerah
yang kurang padat maksimumnya 12 ha tanah kering, maka keluarga itu harus
melepaskan 15 ha - 12 ha = 3 ha tanah keringnya. Dengan demikian maka
maksimumnya ialah 5 ha sawah dan 6 ha tanah kering atau 11 ha. Jika sawah yang
akan dilepaskan maka 9 ha tanah kering itu dihitung menjadi sawah, yaitu sama
dengan sawah 5/6 X 9 ha = 7,5. Dengan demikian maka jumlah tanahnya adalah 5 ha
+ 7,5 ha = 12,5 ha sawah. Karena untuk daerah tersebut maksimumnya 10 ha,maka
sawah yang harus dilepaskan adalah 12,5 ha 10 ha = 2,5 ha. Bagi keluarga itu
maksimumnya menjadi 2,5 ha sawah dan 9 ha tanah kering atau 11,5 ha. Perlu
mendapat perhatian bahwa bagaimanapun juga jumlah luas tanah sawah dan tanah
kering itu tidak boleh lebih dari 20 ha, baik didaerah yang padat maupun tidak
padat.
Pasal 2.
Jumlah 7 orang adalah rata-rata keluarga Indonesia sekarang
ini. Lebih lanjut sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (7c).
Pasal 3.
Perkataan "orang-orang" menunjuk kepada
orang-orang yang tidak merupakan anggota sesuatu keluarga. Bagi
keluarga-keluarga maka kewajiban lapor dibebankan kepada kepala keluarganya,
biarpun tanah-tanah yang dilaporkan itu adalah kepunyaan anggota-anggota
keluarganya. Kepala-keluarga biasa laki-laki ataupun wanita. Sudah barang tentu
ketentuan dalam pasal ini tidak mengurangi kewajiban penjabat-penjabat yang
bersangkutan untuk secara aktip mengumpulkan keterangan-keterangan yang
dimaksudkan itu. Pasal 4.
Ketentuan ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai orang
menghindarkan diri dari akibat penetapan luas maksimum. Bagian tanah yang
selebihnya dari maksimum menurut pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria akan
diambil oleh Pemerintah, yang kemudian akan mengatur pembagiannya kepada para
petani yang membutuhkan. Berhubung dengan itu maka bagian tersebut tidak boleh
dialihkan oleh pemilik kepada fihak lain. Adapun bagian tanah yang boleh terus
dimiliknya (yaitu sampai luas maksimum) sudah barang tentu boleh dialihkannya
kepada orang lain, asal peralihan itu tidak mengakibatkan hal-hal yang diebut
dalam pasal 9. Dalam pada itu oleh karena penetapan bagian mana yang boleh
terus dimilikinya itu memerlukan waktu, hingga pada waktu itu mungkin belum ada
kepastian apakah yang hanya akan dialihkan itu termasuk bagian tersebut atau
tidak, maka peralihan itu memerlukan idzin Kepala Agraria Daerah yang
bersangkutan. Kalau yang dimiliki itu misalnya 15 ha sawah didaerah yang kurang
padat (yang maksimumnya 10 ha) maka yang boleh dialihkan oleh pemiliknya ialah
paling banyak 10 ha, karena yang 5 ha selebihnya akan diambil oleh Pemerintah.
Perlu kiranya diperhatikan, bahwa yang terkena oleh ketentuan pasal ini ialah
pemindahan hak atas tanah milik yang melampaui maksimum. Jika yang dikuasai itu
tanah milik dan tanah gadai, misalnya masing-masing 7 ha dan 5 ha, maka untuk
mengalihkan 7 ha tanah milik tersebut tidak diperlukan idzin.
Pasal 5.
Lihat Penjelasan Umum angka (11). Kiranya sudahlah
selayaknya jika diperhatikan keinginan fihak-fihak yang bersangkutan (yaitu
mereka yang tanahnya diambil oleh Pemerintah itu) mengenai penentuan bagian
tanah yang mana akan diambil oleh Pemerintah dan yang mana boleh dikuasainya
terus. Dalam pada itu Pemerintah tidak terikat pada keinginan yang diajukan
itu. Misalnya tidaklah akan diperhatikan keinginan yang bermaksud supaya yang
diambil oleh Pemerintah hanya bagian-bagian tanah yang tidak dapat ditanami.
Pasal 6.
Memperoleh tanah menurut pasal ini bisa karena pembelian
ataupun pewarisan hibah, perkawinan dan lain sebagainya. Misalnya didaerah yang
tidak padat seorang menguasai sawah dengan hak milik seluas 10 ha dan hak gadai
5 ha. Kemudian ia membeli sawah 5 ha. Didalam waktu 1 tahun ia diwajibkan untuk
melepaskan 5 ha, misalnya semua tanah yang dikuasainya dengan hak gadainya itu
atau sebagian tanah gadai dan sebagian tanah miliknya.
Pasal 7.
Azasnya sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum angka (9b).
Mengenai ketentuan ayat 2 dapat dikemukakan contoh sebagai berikut. Uang gadai
14.000,- dan gadai sudah berlangsung 3 tahun. Maka uang tebusannya ialah
7� -
3 X Rp. 14.000,- = Rp. 9.000,- 7
Hasil yang diterima pemegang gadai selama 3 tahun dianggap
sebagai 3 kali angsuran @ Rp. 20.000,- ditambah bunganya.
Faktor � adalah dimaksud sebagai ganti kerugian, 7
bila gadainya tidak berlangsung sampai 7 tahun. Dalam pada
itu tidak ada keharusan bagi penggadai untuk menebus tanahnya kembali.
Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak hanya mengenai tanah-tanah gadai yang harus
dikembalikan, tetapi mengatur gadai pada umumnya.
Pasal 8.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (4) dan (8).
Usaha-usaha yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan, supaya setiap keluarga
petani mempunyai tanah 2 ha itu ialah terutama extensifikasi tanah pertanian
dengan pembukaan tanah secara besar-besaran diluar Jawa, transmigrasi dan
industrialisasi. Tanah 2 ha itu bisa berupa sawah atau tanah kering atau sawah
dan tanah kering.
Pasal 9.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (8). Tanah yang
luasnya 2 ha atau kurang tidak boleh dialihkan untuk sebagian, karena dengan
demikian akan timbul bagian atau bagian-bagian yangkurang dari 2 ha. Kalau akan
dialihkan maka haruslah semuanya. Tanah itu dapat dialihkan semuanya kepada
satu orang. Kalau dialihkan semuanya kepada lebih dari seorang maka mereka yang
menerima itu masing-masing harus sudah memiliki tanah pertanian paling sedikit
2 ha atau dengan peralihan tersebut masing-masing harus memiliki paling sedikit
2 ha. Mengenai tanah-tanah yang lebih dari 2 ha larangan itupun berlaku pula,
jika karena peralihan itu timbul atau bagian-bagian yang luasnya kurang dari 2
ha. Peralihan untuk sebagian diperbolehkan, jika yang menerima itu sudah memiliki
tanah pertanian paling sedikit 2 ha atau jika dengan peralihan tersebut lalu
memiliki tanah paling sedikit 2 ha dan jika sisanya yang tidak dialihkan
luasnyapun masih paling sedikit 2 ha. Misalnya tanah 3 ha boleh dijual 1 ha
kepada seorang yang memiliki 1 ha pula. Sisa yang tidak dijual masih 2 ha.
Larangan tersebut tidak berlaku mengenai pembagian warisan yang berupa tanah
pertanian.
Pasal 10 dan 11.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (10). Apa yang
ditentukan dalam pasal 10 ayat 3 dan 4 tidak memerlukan keputusan pengadilan.
Tetapi berlaku karena hukum setelah ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan
untuk dijalankan, yang menyatakan, bahwa benar terjadi tindak-pidana yang
dimaksudkan dalam ayat 1.
Pasal 12.
Oleh karena pembatasan mengenai tanah-tanah untuk perumahan
tidak sepenting tanah-tanah-pertanian dan tidak menyangkut banyak orang
sebagaimana halnya dengan tanah-tanah pertanian, maka soal tersebut akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah, demikian juga halnya dengan pelaksanaan
selanjutnya dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Yang
demikian itu tidak pula bertentangan dengan pasal 17 Undang-undang Pokok
Agraria.
Pasal 13.
Tidak memerlukan penjelasan.
Termasuk Lembaran-Negara No. 174 tahun 1960.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar