Minggu, 25 November 2012

Demi Allah, Saya Tidak Mau Dimadu”

“Demi Allah, Saya Tidak Mau Dimadu”

Nusa Dua l Badilag.net
Tidak benar, seorang perempuan lebih suka nikah sirri ketimbang nikah secara resmi. Tidak benar pula, seorang perempuan lebih suka dijadikan istri kedua ketimbang menjadi perawan tua.
Pernyataan tegas itu disampaikan Ibu Siti, seorang aktivis PEKKA (Perhimpunan Perempuan Kepala Keluarga), di hadapan para peserta lokakarya mediasi di Nusa Dua, Bali, Rabu (21/11/2012).
“Siapa perempuan yang mau dimadu? Demi Allah, saya tidak mau dimadu,” tandas wanita asal Lombok Tengah, NTB ini.
Pernyataan itu disampaikan Ibu Siti untuk menanggapi seorang peserta lokakarya yang menyatakan bahwa tidak semua wanita menolak untuk dimadu.
“Istri tua menolak, tapi istri muda biasanya mau dimadu. Bahkan ada siswi-siswi SMA yang siap dimadu, asalkan dinafkahi,” kata seorang peserta lokakarya. Hal itu diketahuinya berdasarkan interaksinya dengan masyarakat di sekitar lingkungannya dan berdasarkan pengalamannya menangani perkara di ruang sidang.
Nani Zulminarni, koordinator nasional PEKKA, memperkukuh apa yang disampaikan Ibu Siti. Selama melakukan pendampingan di berbagai wilayah di nusantara, Nani mengaku belum pernah menemukan perempuan yang mau nikah sirri. “Yang ada mereka adalah ditipu,” tegasnya.
Menurut Nani, perkawinan yang tidak dicatat merupakan pengkhianatan. Perkawinan seperti itu berpotensi besar untuk merugikan kepentingan pihak istri dan anak-anak.
Stereotype yang selama ini diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat, Nani menambahkan, harus ditinjau ulang. “Jangan nyalahin perempuan. Kenapa juga mau dinikah sirri? Kenapa mau dipoligami?”
Masih kuatnya stereotype yang menyudutkan pihak perempuan, menurut Nani, adalah bukti tidak seimbangnya power relation antara laki-laki dan perempuan. Mereka yang lebih berkuasa di masyarakat, tandas Nani, yang membuat prasangka-prasangka yang belum tentu benar.
Nani juga menyoroti perilaku buruk para suami yang menelantarkan istrinya. “Kami bekerja di 700 desa, dan hampir 50 persen perempuan ditinggal begitu saja. Saya beritahu mereka bahwa mereka dilindungi oleh negara. Makanya sekarang mereka giat-giatnya mencari keadilan,” ungkapnya.
Saat ini, faktanya, angka perceraian terus meningkat. Secara nasional, pada tahun 2011 saja, lebih dari 300 ribu pasangan suam-istri yang bercerai di peradilan agama. Hampir 70 persen perceraian itu diajukan oleh pihak perempuan.
Menurut Nani, keluarga harus direvitalisasi. “Kalau saya lihat di kampung-kampung, perkawinan kayak tamasya. Kawin-cerai, kawin-cerai,” kata aktivis perempuan yang berstatus janda ini.
(hermansyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar