“Demi Allah, Saya Tidak Mau Dimadu”
Nusa Dua l Badilag.net
Tidak benar, seorang perempuan lebih
suka nikah sirri ketimbang nikah secara resmi. Tidak benar pula, seorang
perempuan lebih suka dijadikan istri kedua ketimbang menjadi perawan
tua.
Pernyataan tegas itu disampaikan Ibu
Siti, seorang aktivis PEKKA (Perhimpunan Perempuan Kepala Keluarga), di
hadapan para peserta lokakarya mediasi di Nusa Dua, Bali, Rabu
(21/11/2012).
“Siapa perempuan yang mau dimadu? Demi Allah, saya tidak mau dimadu,” tandas wanita asal Lombok Tengah, NTB ini.
Pernyataan itu disampaikan Ibu Siti
untuk menanggapi seorang peserta lokakarya yang menyatakan bahwa tidak
semua wanita menolak untuk dimadu.
“Istri tua menolak, tapi istri muda
biasanya mau dimadu. Bahkan ada siswi-siswi SMA yang siap dimadu,
asalkan dinafkahi,” kata seorang peserta lokakarya. Hal itu diketahuinya
berdasarkan interaksinya dengan masyarakat di sekitar lingkungannya dan
berdasarkan pengalamannya menangani perkara di ruang sidang.
Nani Zulminarni, koordinator nasional
PEKKA, memperkukuh apa yang disampaikan Ibu Siti. Selama melakukan
pendampingan di berbagai wilayah di nusantara, Nani mengaku belum pernah
menemukan perempuan yang mau nikah sirri. “Yang ada mereka adalah
ditipu,” tegasnya.
Menurut Nani, perkawinan yang tidak
dicatat merupakan pengkhianatan. Perkawinan seperti itu berpotensi besar
untuk merugikan kepentingan pihak istri dan anak-anak.
Stereotype yang selama ini diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat, Nani menambahkan, harus ditinjau ulang. “Jangan nyalahin perempuan. Kenapa juga mau dinikah sirri? Kenapa mau dipoligami?”
Masih kuatnya stereotype yang menyudutkan pihak perempuan, menurut Nani, adalah bukti tidak seimbangnya power relation
antara laki-laki dan perempuan. Mereka yang lebih berkuasa di
masyarakat, tandas Nani, yang membuat prasangka-prasangka yang belum
tentu benar.
Nani juga menyoroti perilaku buruk para
suami yang menelantarkan istrinya. “Kami bekerja di 700 desa, dan hampir
50 persen perempuan ditinggal begitu saja. Saya beritahu mereka bahwa
mereka dilindungi oleh negara. Makanya sekarang mereka giat-giatnya
mencari keadilan,” ungkapnya.
Saat ini, faktanya, angka perceraian
terus meningkat. Secara nasional, pada tahun 2011 saja, lebih dari 300
ribu pasangan suam-istri yang bercerai di peradilan agama. Hampir 70
persen perceraian itu diajukan oleh pihak perempuan.
Menurut Nani, keluarga harus
direvitalisasi. “Kalau saya lihat di kampung-kampung, perkawinan kayak
tamasya. Kawin-cerai, kawin-cerai,” kata aktivis perempuan yang
berstatus janda ini.
(hermansyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar