Seorang wanita cantik bernama Maya
tinggal di pulau kecil di lautan pasifik. Dia jatuh cinta pada Rahim,
yang tinggal di pulau lain. Rahim juga mencintai Maya. Rahim berjanji
dua minggu sekali dia akan mengunjungi Maya. Rahim tidak pernah
mengingkari janjinya.
Suatu ketika, hari ulang tahun Rahim
jatuh pada tengah pekan. Maya ingin mendatangi Rahim dan hendak memberi
kejutan. Ketika jalan ke pantai, hanya ada seorang tukang perahu yang
dapat menyeberangkan Maya ke pulau tempat tinggal Rahim. Orang itu
bernama Pedro.
“Saya sulit menyeberangkanmu karena ombak laut sedang besar,” kata Pedro.
Maya tak peduli. Dia terus mendesak
Pedro. Pedro lantas mengatakan, dia siap menyeberangkan Maya asalkan
Maya mau menginap semalam dengan Pedro. Mendengar itu, maya marah. Dia
meninggalkan pantai dan mengadu ke temannya. Demba, nama teman Maya,
acuh saja. Dia malah meninggalkan Maya.
Karena tidak punya pilihan lain, Maya
bersedia menginap di rumah Pedro. Esok harinya, mereka naik perahu
menuju pulau yang didiami Rahim.
Ketika akhirnya bertemu Rahim, Maya
menceritakan apa yang dialaminya dengan jujur. Rahem langsung marah.
Ditinggalkannya Maya sendiri di pulau. Di tempat itu Maya lantas bertemu
dengan Johannes, kawan Rahim.
Johannes prihatin dengan keadaan Maya. Dia lalu mengejar Rahem, memarahinya dan memukulinya.
***
Cerita di atas dipaparkan Wiwiek Awiati,
anggota Tim Pembaruan Mahkamah Agung, ketika menjadi fasilitator pada
hari pertama lokakarya mediasi yang diselenggarakan Ditjen Badilag
bersama Family Court of Australia di Nusa Dua, Bali, Rabu (21/11/2012).
“Siapa di antara tokoh-tokoh dalam cerita itu yang paling punya prinsip?” tanya Wiwiek.
Dosen Universitas Indonesia itu lantas
meminta para peserta lokakarya untuk membuat daftar tokoh dalam cerita
itu dengan nomor urut, dimulai dari tokoh yang paling memegang teguh
prinsipnya hingga tokoh yang paling lemah memegang prinsipnya.
“Setelah itu, diskusikan dalam satu
meja, apakah ada perbedaan urutan atau tidak. Kalau ada perbedaan,
silakan diskusikan, supaya urutannya sama. Waktunya lima menit,” Wiwiek
menambahkan.
30 peserta lokakarya, yang duduk secara
berkelompok pada enam meja, segera mengerjakan penugasan itu. Karena
satu kelompok diharuskan untuk menghasilkan satu suara, maka tiap-tiap
anggota kelompok berdiskusi secara serius untuk mencapai konsensus.
Hasil diskusi itu lantas ditulis di flow chat yang disediakan untuk tiap-tiap kelompok.
Bila dibandingkan, tiap-tiap kelompok
ternyata punya pendapat yang berbeda-beda mengenai urutan tokoh cerita
dalam memegang teguh prinsipnya. Wiwiek Awiati kemudian meminta pendapat
dua kelompok digabung. Diskusi pun berjalan cukup alot. Hasilnya
begini:
“Apakah urutan ini bisa didiskusikan
lagi sehingga tinggal satu urutan saja?” tanya Wiwiek. Para peserta
lokakarya serempak menjawab, “Tidak”.
***
Urut-urutan nama itu, menurut Wiwiek
Awiati, merefleksikan apa yang selama ini kita pahami. Itulah yang
disebut dengan nilai. Karena sangat tinggi subjektiitasnya, nilai-nilai
itu tidak bisa diadili benar-salahnya. Setelah orang-orang yang memiliki
nilai berbeda-beda itu berdiskusi dan saling mendengar, terjadilah
proses mediasi.
“Di situlah keindahan mediasi,” kata Wiwiek. “Mediasi adalah proses mendengarkan, memahami.”
Diakui Wiwiek, mediasi kadang tidak
mudah. Setiap orang, tandasnya, cenderung membenarkan dirinya
berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri. Karena itu sering
terjadi perbedaan, bahkan benturan nilai. Tugas seorang mediator adalah
mencari titik temu.
“Apakah nilai-nilai itu bisa
dipertemukan? Bisa ya, bisa tidak. Ada yang bisa didiskusikan, ada yang
tidak. So, ada masalah yang bisa diselesaikan dengan mediasi dan ada
yang tidak,” tandasnya.
Dalam konteks mediasi perkara keluarga,
lanjut Wiwiek, mediator tidak bisa menentukan suami atau istri yang
bersalah. Mediator tidak melihat fakta hukum, tapi menelusuri alasan apa
yang mendasarinya.
“Kita tidak bisa memberikan judgement sebelum kita telusuri akar masalahnya. Jadi, tidak mencari siapa yang salah siapa yang benar,” Wiwiek menjelaskan.
***
“Fantastic exercise,” kata Ian Law,
trainer asal Relationship Australia—lembaga yang menjadi mitra kerja
Family Court of Australia.
Apa yang disampaikan Wiwiek Awiati,
menurut Ian, berguna untuk menggambarkan bagaimana kita membuat
penilaian dan mengambil keputusan. “Kita selalu membuat keputusan dalam
hidup berdasarkan nilai-nilai yang kita anggap benar,” ia menegaskan.
Siti Aminah, peserta lokakarya dari PA Samarinda, juga mengaku mendapat banyak manfaat dari latihan yang dipandu Wiwiek Awiati.
“Kita belajar bagaimana memahami prinsip orang lain, lalu mendiskusikannya agar terjadi titik temu. Itu bagus sekali,” ucapnya.
(hermansyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar