Minggu, 25 November 2012

Mediasi Itu Indah, Meski Tidak Mudah

Seorang wanita cantik bernama Maya tinggal di pulau kecil di lautan pasifik. Dia jatuh cinta pada Rahim, yang tinggal di pulau lain. Rahim juga mencintai Maya. Rahim berjanji dua minggu sekali dia akan mengunjungi Maya. Rahim tidak pernah mengingkari janjinya.
Suatu ketika, hari ulang tahun Rahim jatuh pada tengah pekan. Maya ingin mendatangi Rahim dan hendak memberi kejutan. Ketika jalan ke pantai, hanya ada seorang tukang perahu yang dapat menyeberangkan Maya ke pulau tempat tinggal Rahim. Orang itu bernama Pedro.
“Saya sulit menyeberangkanmu karena ombak laut sedang besar,” kata Pedro.
Maya tak peduli. Dia terus mendesak Pedro. Pedro lantas mengatakan, dia siap menyeberangkan Maya asalkan Maya mau menginap semalam dengan Pedro. Mendengar itu, maya marah. Dia meninggalkan pantai dan mengadu ke temannya. Demba, nama teman Maya, acuh saja. Dia malah meninggalkan Maya.
Karena tidak punya pilihan lain, Maya bersedia menginap di rumah Pedro. Esok harinya, mereka naik perahu menuju pulau yang didiami Rahim.
Ketika akhirnya bertemu Rahim, Maya menceritakan apa yang dialaminya dengan jujur. Rahem langsung marah. Ditinggalkannya Maya sendiri di pulau. Di tempat itu Maya lantas bertemu dengan Johannes, kawan Rahim.
Johannes prihatin dengan keadaan Maya. Dia lalu mengejar Rahem, memarahinya dan memukulinya.
***
Cerita di atas dipaparkan Wiwiek Awiati, anggota Tim Pembaruan Mahkamah Agung, ketika menjadi fasilitator pada hari pertama lokakarya mediasi yang diselenggarakan Ditjen Badilag bersama Family Court of Australia di Nusa Dua, Bali, Rabu (21/11/2012).
“Siapa di antara tokoh-tokoh dalam cerita itu yang paling punya prinsip?” tanya Wiwiek.
Dosen Universitas Indonesia itu lantas meminta para peserta lokakarya untuk membuat daftar tokoh dalam cerita itu dengan nomor urut, dimulai dari tokoh yang paling memegang teguh prinsipnya hingga tokoh yang paling lemah memegang prinsipnya.
“Setelah itu, diskusikan dalam satu meja, apakah ada perbedaan urutan atau tidak. Kalau ada perbedaan, silakan diskusikan, supaya urutannya sama. Waktunya lima menit,” Wiwiek menambahkan.
30 peserta lokakarya, yang duduk secara berkelompok pada enam meja, segera mengerjakan penugasan itu. Karena satu kelompok diharuskan untuk menghasilkan satu suara, maka tiap-tiap anggota kelompok berdiskusi secara serius untuk mencapai konsensus. Hasil diskusi itu lantas ditulis di flow chat yang disediakan untuk tiap-tiap kelompok.
Bila dibandingkan, tiap-tiap kelompok ternyata punya pendapat yang berbeda-beda mengenai urutan tokoh cerita dalam memegang teguh prinsipnya. Wiwiek Awiati kemudian meminta pendapat dua kelompok digabung. Diskusi pun berjalan cukup alot. Hasilnya begini:
“Apakah urutan ini bisa didiskusikan lagi sehingga tinggal satu urutan saja?” tanya Wiwiek. Para peserta lokakarya serempak menjawab, “Tidak”.
***
Urut-urutan nama itu, menurut Wiwiek Awiati, merefleksikan apa yang selama ini kita pahami. Itulah yang disebut dengan nilai. Karena sangat tinggi subjektiitasnya, nilai-nilai itu tidak bisa diadili benar-salahnya. Setelah orang-orang yang memiliki nilai berbeda-beda itu berdiskusi dan saling mendengar, terjadilah proses mediasi.
“Di situlah keindahan mediasi,” kata Wiwiek. “Mediasi adalah proses mendengarkan, memahami.”
Diakui Wiwiek, mediasi kadang tidak mudah. Setiap orang, tandasnya, cenderung membenarkan dirinya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri. Karena itu sering terjadi perbedaan, bahkan benturan nilai. Tugas seorang mediator adalah mencari titik temu.
“Apakah nilai-nilai itu bisa dipertemukan? Bisa ya, bisa tidak. Ada yang bisa didiskusikan, ada yang tidak. So, ada masalah yang bisa diselesaikan dengan mediasi dan ada yang tidak,” tandasnya.
Dalam konteks mediasi perkara keluarga, lanjut Wiwiek, mediator tidak bisa menentukan suami atau istri yang bersalah. Mediator tidak melihat fakta hukum, tapi menelusuri alasan apa yang mendasarinya.
“Kita tidak bisa memberikan judgement sebelum  kita telusuri akar masalahnya. Jadi, tidak mencari siapa yang salah siapa yang benar,” Wiwiek menjelaskan.
***
“Fantastic exercise,” kata Ian Law, trainer asal Relationship Australia—lembaga yang menjadi mitra kerja Family Court of Australia.
Apa yang disampaikan Wiwiek Awiati, menurut Ian, berguna untuk menggambarkan bagaimana kita membuat penilaian dan mengambil keputusan. “Kita selalu membuat keputusan dalam hidup berdasarkan nilai-nilai yang kita anggap benar,” ia menegaskan.
Siti Aminah, peserta lokakarya dari PA Samarinda, juga mengaku mendapat banyak manfaat dari latihan yang dipandu Wiwiek Awiati.
“Kita belajar bagaimana memahami prinsip orang lain, lalu mendiskusikannya agar terjadi titik temu. Itu bagus sekali,” ucapnya.
(hermansyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar