Sabtu, 10 November 2012

WAKAF MENURUT PP 28/1977 DAN KHI


WAKAF
MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK
DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonesia yang pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya pembangunann di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk meme­ nuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pem­bangunan-pembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat dan pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data tata guna tanah menunjukkan bahwa masih terdapat peta-peta dengan gambaran tanah rusak terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orang-orang yang menggarapnya.[1]
Di samping hal di atas ada keluhan masyarakat dan instansi yang mengelola tanah wakaf bahwa sebelum dikeluar­ kan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, pengurusan dan pengelolaan tanah-tanah wakaf kurang teratur dan kurang terkendalikan, sehingga sering terjadi penyalahgunaan wakaf.[2] Kondisi demikianlah yang mendorong pemerintah untuk mengatasi masalah yang muncul dari praktik perwakafan di Indonesia.
Hal ini tergambar dari latar belakang dikeluar­ kannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.
Ada beberapa yang menjadi latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977, yakni:
a. Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah selain dari belum memenuhi kebutuhan, juga diatur secara tuntas dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf itu sendiri. Ini disebabkan karena beraneka ragamnya bentuk wakaf (wakaf keluarga dan wakaf umum) dan tidak adanya keharusan mendaftarkan benda-benda yang diwakafkan itu. Akibatnya banyak benda-benda yang diwakafkan tidak diketahui lagi keadaannya, malah ada diantaranya yang telah menjadi milik ahli waris pengurus (nadzir) wakaf bersangkutan. Hal-hal ini kemudian (b) menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam yang menjurus pada perasaan antipati terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga itu dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam.
 Selain dari itu (c) dalam masyarakat banyak terjadi persengketaan mengenai tanah wakaf karena tidak jelasnya status tanah wakaf yang bersangkutan.
[3] Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam hal perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah Bab Agama, dinyatakan bahwa negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hazairin, norma dasar yang tersebut dalam pasal 29 ayat (1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa "Negara Republik Indonesia" wajib mebantu pelaksanaan syari'at Islam bagi orang Islam, syari'at Nasrani bagi orang Nasrani dan syari'at Hindu Dharma bagi orang Hindu Dharma, apabila dalam pelaksanaan syari'at itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara.[4]
Kekuasaan Negara yang wajib membantu pelaksanaan syari'at masing-masing agama yang diakui dalam negara Republik Indonesia ini adalah Kekuasaan Negara yang berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh syari'at yang berasal dari agama yang dianut warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.[5] Di samping itu pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin kemerde­kaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Di lihat dari ayat (1) dan (2) pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tersebut jelas bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk ibadat kepada Allah yang termasuk ibadah maliyah yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mal) yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.[6] Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Agar hak dan kewajiban serta kepentingan masya­rakat itu dapat berjalan dengan baik, sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengatur masalah wakaf dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan itu ketertiban dalam praktik perwakafan ini dapat terwujud hingga manfaatnya pun dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebagai suatu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan masalah tanah, wakaf di Indonesia sudah diatur pelaksanaan­ nya dengan beberapa peraturan perundang-undangan, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Adapun peraturan perun­dang-undangan yang langsung mengenai perwakafan tanah milik adalah seperangkat peraturan yang dikeluarkan mulai tahun 1977 sampai dengan tahun 2006 adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwa­kafan Tanah Milik.
Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah milik ini terdiri dari tujuh bab, delapan belas pasal, dengan susunan sebagai berikut: Bab I mengenai ketentuan umum yang berisi definisi tentang wakaf, wakif, ikrar wakaf dan nazir. Bab II mengenai fungsi wakaf yang terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama memuat rumusan fungsi wakaf, bagian kedua memuat unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, bagian tiga memuat ketentuan mengenai kewajiban dan hak-hak nazir. Bab III memuat ketentuan mengenai tata cara mewakafkan dan pendaftarannya, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengenai tata cara perwakafan tanah milik, bagian kedua tentang pendaftaran tanah milik. Bab IV berisi tentang perubahan, penyelesaian dan pengawasan perwakafan tanah milik. Bab IV terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi ketentuan mengenai perubahan perwakafan tanah milik, bagian kedua memuat ketentuan mengenai penyelesaian perse­lisihan perwakafan tanah milik, dan bagian ketiga mengenai pengawasan perwakafan tanah milik. Bab V mengenai ketentuan pidana. Bab VI memuat ketentuan peralihan dan Bab VII memuat ketentuan penutup. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 ini akan diba­has secara rinci dalam bab IV.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah mengenai perwakafan tanah milik. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 ini terdiri dari lima bab dan empat belas pasal. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut : Bab I ketentuan umum yang memuat pernyataan bahwa tanah yang diwakafkan harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik, ketentuan mengenai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, bentuk Akta Ikrar Wakaf dan biaya-biaya yang berkenaan dengan pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan keten­tuan para saksi. Bab II berisi tentang pendaftaran dan pencatatan perwakafan tanah hak milik. Bab III memuat ketentuan mengenai biaya pendaftaran dan pencatatan dalam sertifikat. Bab IV memuat ketentuan peralihan dan Bab V berisi ketentuan yang menjelaskan tentang mulai berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 ini.
3. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Menteri Agama ini terdiri dari sepuluh bab, dua puluh pasal. Adapun susunannya adalah sebagai berikut: Bab I ketentuan umum yang memuat rumusan berbagai istilah dalam perwakafan. Bab II mengenai ikrar wakaf dan aktanya, Bab III memuat ketentuan mengenai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama. Bab ini juga memuat tugas-tugas Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Bab IV memuat ketentuan tentang nazir, kewajiban dan haknya. Bab V menge­nai perubahan perwakafan tanah milik, Bab VI mengenai pengawasan dan bimbingan, Bab VII mengenai tata cara pendaftaran wakaf yang terjadi sebelum PP. No. 28 Tahun 1977, Bab VIII mengenai penyelesaian perselisihan perwakafan, Bab IX mengenai biaya, dan Bab X memuat ketentuan penutup.
4. Instruksi Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor:1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan 1 Tahun 1978 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini ditujukan kepada para Gubernur Kepala Daerah dan para Kepala Kantor Wilayah Departe­men Agama Seluruh Indonesia untuk pertama: melaksanakan dengan sebaik-baiknya ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwa­kafan Tanah Milik dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, serta Peraturan Men­teri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelak­sanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Milik. Kedua: memerintahkan kepada Instansi dan Pejabat bawahannya untuk mentaati dan melaksanakan Instruksi ini serta segenap peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ketiga: mengamankan dan mendaftarkan Perwakafan Tanah Milik yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tanpa biaya apapun kecuali biaya pengukuran dan meterai. Keempat: memberikan laporan tentang pelaksanaan instruksi ini kepada Men­teri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Kelima: instruksi ini diberlakukan sejak tanggal 23 Januari 1978.
5. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksa­ naan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini terdiri dari lima pasal dengan dua kelompok lampiran. Lampiran I berisi 14 bentuk formulir yang dipergunakan dalam perwakafan tanah milik. Sedang­kan lampiran II memuat pelaksanaan mengenai perwakafan yang meliputi : (1) tata cara perwakafan tanah milik, 2) surat-surat yang harus dibawa dan diserahkan oleh wakif kepada PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf), (3) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang meliputi penunjukan dan tugas-tugasnya, (4) Nazir, kewajiban dan haknya, (5) biaya administrasi dan pencatatan tanah wakaf, (6) tata cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977, dan (7) penyelesaian perselisihan perwakafan.
6. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/setingkat di seluruh Indone­sia untuk mengangkat/memberhentikan setiap kepala KUA Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.
7. Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Men­teri Agama No. 73 Tahun 1978.
8. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/14/1980 tanggal 25 Juni 1980 tentang Pemakaian Bea Materai dengan lampiran Surat Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir wakaf mana yang bebas materai, dan jenis formulir yang dikenakan bea materai, dan berapa besar materainya.
9. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/07/1981 tanggal 17 Februari 1981 kepada Guber­nur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik dan permohonan keringanan atau pembebasan dari semua pembebanan biaya.
10. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/11/1981 tanggal 16 April tentang Petunjuk Pemberian Nomor pada formulir perwakafan Tanah Milik.
Di samping peraturan-peraturan yang langsung berkenaan dengan masalah perwakafan, sebagaimana sudah disebutkan ada juga beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak langsung yakni peraturan perundang-undangan yang menyebut tentang perwakafan tanah milik. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, tanggal 24 September 1960. Pasal 49 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960 memberi isyarat bahwa "Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
2. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tanggal 23 Maret 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini berlaku umum, artinya semua tanah. Oleh karena itu peraturan ini juga berlaku untuk tanah wakaf.
3. Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah. Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 23 September 1961.
4. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tentang Penun­jukan Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 ini dikeluarkan sebagai realisasi dari apa yang dimaksud oleh pasal 21 ayat (2) UUPA yang berbunyi "Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya". Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 menyebutkan bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah selain bank-bank yang didirikan oleh Negara (huruf a), perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU No. 79 tahun 1958, juga disebutkan pada huruf c bahwa badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama. Adapun pasal 1 huruf d menyebutkan badan-badan social yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial juga dapat mempunyai hak milik atas tanah.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1978 tentang Biaya Pendaftaran Tanah.
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan ini kemudian ditambah atau disempurnakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1978 tentang Keten­tuan Mengenai Biaya Pendaftaran Tanah untuk Badan-badan Hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1978. Pada Pasal 4a ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 ditentukan bahwa "Untuk badan-badan hukum sosial dan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri atas pertimbangan dari Menteri yang bersangkutan, berlaku ketentuan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifi­kat sebagai yang ditetapkan di dalam bab II, sepanjang tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan kegiatan sosial atau keagamaan". Tanah yang diwakafkan selain untuk kegiatan keaga­maan juga untuk kegiatan sosial tentu sesuai dengan ketentuan yang disebut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 tersebut di atas. Dari ketentuan di atas tampak bahwa dalam penyer­tifikatan tanah wakaf biayanya relatif murah, karena bagi badan hukum selain badan hukum sosial dan keaga­maan dikenakan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebesar 10 kali tarif yang ditetapkan dalam Bab II Peraturan Menteri Dalam Negeri ini.
6. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982 tentang Penyertifikatan Tanah Bagi Badan Hukum Keaga­maan, Badan Hukum Sosial dan Lembaga Pendidikan yang menjadi Obyek Proyek Operasi Nasional Agraria.
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri ini dengan jelas disebutkan bahwa dalam penyertifikatan tanah secara masal, maka tanah-tanah yang dikuasai/dipunyai oleh Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial, dan Lembaga Pendidikan yang dipergunakan secara langsung untuk kepentingan di bidang keagamaan, sosial, dan pendidikan dapat dijadikan obyek Proyek Nasional Agraria.
7. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.178/DJA/1982 tentang Penunjukan Badan Kesejahtaraan Masjid (BKM) pusat sebagai badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik.
Dari beberapa peraturan penting yang berhubungan dengan peraturan perwakafan tanah milik yang telah dikemukakan baik peraturan perundang-undangan yang langsung maupun yang tidak langsung, jelas bahwa perwakafan di Indonesia mendapat perhatian besar dari pemerintah. Perhatian pemerin­tah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan, pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwe­nang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah. Dengan adanya peraturan-peraturan dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tersebut diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan tertib dan teratur tanpa ada pe­nyimpangan-penyimpangan sebagaimana sudah disebutkan. Ter­tibnya tanah wakaf memungkinkan wakaf itu berfungsi sebagai­mana mestinya yakni sebagai salah satu sarana untuk mengem­bangkan kehidupan keagamaan bagi umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk mencapai kesejahteraan materiil dan spiritual baik di dunia maupun di akhirat kelak. Akan tetapi dalam kenyataannya peraturan-peraturan yang sebenarnya diharapkan dapat menertibkan tanah wakaf di Indonesia ini sampai dengan tahun 1990 belum juga mampu mengatasi permasalahan perwakafan yang terjadi dalam masya­rakat. Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada tersebut pada tanggal 30 Nopember 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. 24 Tahun 1990
Dari instruksi bersama tersebut diinstruksikan kepada Kepala kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kotamadia dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadia seluruh Indonesia, mengenai: pertama: untuk mengadakan koordinasi sebaik-baiknya dalam penyelesaian sertifikat tanah wakaf. Kedua: mengupayakan penyelesaian sertifikat tanah wakaf tersebut selambat-lambatnya pada akhir Pelita V. Ketiga: menggunakan tolok ukur satuan biaya Proyek Operasi Nasional Pertanahan (PRONA) sebagai dasar pembiayaan penyelesaian sertifikat tanah wakaf. Keempat: merencanakan penyerahan secara masal sertifikat tanah wakaf dalam rangkaian acara hari ulang tahun Undang-undang Pokok Agraria ke-31 tanggal 24 September 1991 dan Hari Amal Bakti Departemen Agama ke-46 tanggal 3 Januari 1992 yang penyerahannya akan dilakukan oleh Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kelima: mengintensifkan tanah wakaf baik yang bersumber dari APBN, APBD maupun dari masyarakat. Keenam: melaporkan kepada Gubernur Kepala daerah Tingkat I, Kepala Badan Pertanahan dan Menteri Agama RI apabila dalam sertifikat tanah wakaf tersebut mengalami kesulitan/hambatan tentang pembiayaan, tenaga teknis, peralatan dan kebutuhan lainnya. Ketujuh: Instruksi ini supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya dan setiap tiga bulan melaporkan perkembangannya kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Agama RI. Kedelapan: Instruksi ini mulai berlaku sejak dikeluarkan, yakni tanggal 30 Nopember 1990.
Peraturan-peraturan yang telah dikemukakan tersebut pada umumnya dilengkapi dengan surat keputusan atau instruk­ si dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di masing-masing propinsi di seluruh Indonesia. Gubernur DKI Jakarta misal­nya, telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 154 Tahun 1991 tentang Pelayanan Sertifikat Tanah-tanah wakaf di DKI Jakarta. Instruksi ini ditujukan kepada para Walikota; para Kepala Kantor Perta­nahan; Kepala Suku Dinas Tata Kota; para Kepala Kantor Pelayanan PBB; para Camat dan para Lurah. Di samping itu Gubernur KDKI Jakarta juga membantu dana untuk biaya penyertifikatan tanah-tanah wakaf dengan dana yang berasal dari APBD dan BAZIS DKI Jakarta tahun 1991/1992 dan 1992/1993. Bantuan ini dituangkan dalam Surat Gubernur KDKI Jakarta No. 1950/073.521, tanggal 30 Mei 1991. Instruksi bersama antara Menteri Agama dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional ternyata cukup mendorong setiap propinsi untuk segera menertibkan tanah wakaf yang berada di wilayahnya. Hal ini nampak misalnya di kelima wilayah yang ada di DKI Jakarta. Setiap bulan masing-masing Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan harus melaporkan perkem­bangan sertifikat tanah wakaf kepada Kepala Kantor Departe­men Agama masing-masing kota, kemudian laporan ini diterus­kan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jakar­ ta.[7]
Di samping DKI Jakarta, propinsi-propinsi lain juga berusaha menertibkan tanah-tanah wakaf dan berusaha meman­faatkan sebagaimana mestinya. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan beberapa peraturan yang mendukung terlaksananya Peraturan Pemerintah tersebut, maka seluruh peraturan atau ketentuan-ketentuan perwakafan tanah milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad No. 6196 Tahun 1905; No. 12573 Tahun 1931; No. 13390 Tahun 1934 dan No. 13480 Tahun 1935 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sepanjang yang berten­tangan dengan peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaimana diketahui bahwa selama pembinaan teknis yustisial peradilan agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama, yang cenderung simpang siur. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksa­nakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepas­tian hukum.[8]
Untuk mengatasi masalah di atas Prof. Dr. H. Busthanul Arifin,SH mengemukakan gagasan perlunya disusun Kompilasi Hukum Islam. Rancangan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan, selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama sekarang ini, yang telah diterima baik oleh para ulama dan sarjana hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Febru­ari 1988. Melalui Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga bidang hukum terse­but. Menteri Agama, sebagai Pembantu Presiden, dalam Surat Keputusannya nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut, meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama, termasuk Peradilan Agama di dalamnya, dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam dimaksud. Dalam bagian kedua diktum Keputusan Menteri Agama tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden itu disebutkan pula bahwa seluruh lingkungan instansi itu agar menerapkan Kom­pilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah-masalah dibi­dang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.[9]
Di samping peraturan-peraturan yang langsung berkenaan dengan masalah perwakafan, sebagaimana sudah disebutkan ada juga beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak langsung yakni peraturan perundang-undangan yang menyebut tentang perwakafan tanah milik. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah sebagai berikut :
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, tanggal 24 September 1960. Pasal 49 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960 memberi isyarat bahwa "Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tanggal 23 Maret 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini berlaku umum, artinya semua tanah. Oleh karena itu peraturan ini juga berlaku untuk tanah wakaf.
Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah. Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 23 September 1961.
Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tentang Penun­jukan Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1978 tentang Biaya Pendaftaran Tanah. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan ini kemudian ditambah atau disempurnakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1978 tentang Keten­tuan Mengenai Biaya Pendaftaran Tanah untuk Badan-badan Hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1978. Pada Pasal 4a ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 ditentukan bahwa "Untuk badan-badan hukum sosial dan keaga­maan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri atas pertimbangan dari Menteri yang bersangkutan, berlaku ketentuan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifi­kat sebagai yang ditetapkan di dalam bab II, sepanjang tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan kegiatan sosial atau keagamaan".
Tanah yang diwakafkan selain untuk kegiatan keaga­maan juga untuk kegiatan sosial tentu sesuai dengan ketentuan yang disebut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 tersebut di atas. Dari ketentuan di atas tampak bahwa dalam penyer­tifikatan tanah wakaf biayanya relatif murah, karena bagi badan hukum selain badan hukum sosial dan keaga­maan dikenakan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebesar 10 kali tarif yang ditetapkan dalam Bab II Peraturan Menteri Dalam Negeri ini.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982 tentang Penyertifikatan Tanah Bagi Badan Hukum Keaga­maan, Badan Hukum Sosial dan Lembaga Pendidikan yang menjadi Obyek Proyek Operasi Nasional Agraria.
7. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.178/DJA/1982 tentang Penunjukan Badan Kesejahtaraan Masjid (BKM) pusat sebagai badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik.
Dari beberapa peraturan penting yang berhubungan dengan peraturan perwakafan tanah milik yang telah dikemukakan baik peraturan perundang-undangan yang langsung maupun yang tidak langsung, jelas bahwa perwakafan di Indonesia mendapat perhatian besar dari pemerintah. Perhatian pemerin­tah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan, pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwe­nang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah. Dengan adanya peraturan-peraturan dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tersebut diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan tertib dan teratur tanpa ada pe­nyimpangan-penyimpangan sebagaimana sudah disebutkan. Akan tetapi dalam kenyataannya peraturan-peraturan yang sebenarnya diharapkan dapat menertibkan tanah wakaf di Indonesia ini sampai dengan tahun 1990 belum juga mampu mengatasi permasalahan perwakafan yang terjadi dalam masya­rakat. Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada tersebut pada tanggal 30 Nopember 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan beberapa peraturan yang mendukung terlaksananya Peraturan Pemerintah tersebut, maka seluruh peraturan atau ketentuan-ketentuan perwakafan tanah milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad No. 6196 Tahun 1905; No. 12573 Tahun 1931; No. 13390 Tahun 1934 dan No. 13480 Tahun 1935 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sepanjang yang berten­tangan dengan peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaimana diketahui bahwa selama pembinaan teknis yustisial peradilan agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama, yang cenderung simpang siur. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang m enghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksa­nakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepas­tian hukum (Departemen Agama RI, 1992: 139).[10]
Untuk mengatasi masalah di atas Prof. Dr. H. Busthanul Arifin,SH mengemukakan gagasan perlunya disusun Kompilasi Hukum Islam. Rancangan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan, selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama sekarang ini, yang telah diterima baik oleh para ulama dan sarjana hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Febru­ari 1988. Melalui Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga bidang hukum terse­but. Menteri Agama, sebagai Pembantu Presiden, dalam Surat Keputusannya nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut, meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama, termasuk Peradilan Agama di dalamnya, dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam dimaksud. Dalam bagian kedua diktum Keputusan Menteri Agama tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden itu disebutkan pula bahwa seluruh lingkungan instansi itu agar menerapkan Kom­pilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah-masalah dibi­dang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan (Departemen Agama, 1992: 162-165).
Meskipun sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah perwakafan, kenyataan menunjukkan bahwa dilihat dari tertibnya administrasi, perwakafan di Indonesia memang meningkat karena sudah cukup banyak tanah wakaf yang bersertifikat, akan tetapi dampaknya bagi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat belum nampak. Hal ini barangkali karena wakaf yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tersebut hanyalah tanah milik, sedangkan wakaf dalam bentuk benda bergerak belum diatur. Karena benda-benda bergerak di Indonesia belum ada peraturannya, maka perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan, ditambah lagi kebanyakan nadzir wakaf juga kurang professional dalam pengelolaan wakaf, sehingga mereka belum bisa mengembangkan wakaf secara produktif.
Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka Undang-undang Wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu sudah selayaknya umat Islam menyambut baik Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam Undang-undang Wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf yang diatur dalam Undang-undang Wakaf tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam termasuk wakaf uang, saham dan lain-lain.
[1] Soeprapto, "Perubahan Peruntukan/Penggunaan Tanah Wakaf dari Sudut Agraria", mimeo, Makalah disampaikan Temu Wicara Perwakafan Tanah Milik, Departemen Agara RI, (Jakar­ta, 19-20 September 1987), h. 4
[2] Sutarmadi, Muhda Hadisaputra dan Amidhan, Pedoman Praktis Perwakafan (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid, 1990), h. 6

[3] Mohammad Daud Ali, op.cit., hal. 99-100.
[4] Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 34
[5]Ibid., h. 75
[6]Ibid., hal. 98-99
[7] Hasil wawancara penulis dengan Kepala Kantor Departe­men Agama Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan pemantauan penulis selama penelitian. Selama penelitian penulis juga sering mengikuti pertemuan yang dilakukan antara Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan Kepala Kantor Agama Departemen Agama (Wilayah) dalam menyelesaikan permasalahan wakaf di wilayah masing-masing.
[8] Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1992), h. 139
[9] Ibid., h. 162-165
[10] Ibid., hal. 139






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar