PERATURAN
PEMERINTAH NO 28 TAHUN 1977
tentang
PERWAKAFAN
TANAH MILIK
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.bahwa
wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu
sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama
Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila;
b.bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan ;
c.bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tatacara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat
:
1.Pasal
5 ayat (2) Undang-undang 1945;
2.Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara ;
3.Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4.Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun
1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan
:
PERATURAN
PEMERINTAHAN TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Yang
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan
(1)Wakaf
adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama
lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran agama islam.
(2)Wakif
adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya.
(3)Ikrar
adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
(4)Nadzir
adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.
BAB II
FUNGSI
WAKAF
Bagian
Pertama
Pasal 2
Fungsi
wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian
Kedua
Unsur-unsur
dan syarat-syarat wakaf
Pasal 3
(1)Badan-badan
hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya
serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah
miliknya dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2)Dalam
hal Badan-badan Hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang
sah menurut hukum.
Pasal 4
Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah
milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
Pasal 5
(1)Pihak
yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas
kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud
Pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf,
dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
*19098
(2)Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1)
dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 6
(1)Nadzir
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal 1 yang terdiri dari perorangan harus
memenuhi syarat-syarat berikut
a.warganegara
Republik Indonesia;
b.beragama Islam;
c.sudah dewasa;
d.sehat jasmaniah dan rohaniah;
e.tidak berada dibawah pengampuan;
f.bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
b.beragama Islam;
c.sudah dewasa;
d.sehat jasmaniah dan rohaniah;
e.tidak berada dibawah pengampuan;
f.bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(2)Jika
berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut :
a.badan
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
b.mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(3)Nadzir
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.
(4)Jumlah
Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud dalam ayat (3),
ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.
Bagian
Ketiga
Kewajiban
dan Hak-hak Nadzir
Pasal 7
(1)Nadzir
berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan
tujuan wakaf
(2)Nadzir
diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut
kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)Tatacara
pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama.
Pasal 8
Nadzir
berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya
ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB III
TATACARA
MEWAKAFKAN DAN PENDAFTARANNYA
Bagian
Pertama
Tatacara
perwakafan tanah milik
Pasal 9
(1)Pihak
yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2)Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3)Isi
dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4)Pelaksanaan
Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri
dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(5)Dalam
melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah
diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2)
surat surat berikut :
a.sertifikat
hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
Bagian
Kedua
Pendaftaran
wakaf tanah milik
Pasal 10
(1)Setelah
Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9,
maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan,
diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq.
Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik
yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2)Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah cq. kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima
permohonan tersebut dalam ayat (I) mencatat perwakafan tanah milik yang
bersangkutan pada bukti tanah dan sertifikatnya.
(3)Jika
tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang
dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan
sertifikatnya.
(4)Oleh Menteri
Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksudkan dalam ayat
(2) dan (3).
(5)Setelah
dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya
seperti dimaksud dalam ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib
melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
BAB V
*19100
PERUBAHAN, PENYELESAIAN PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN PERWAKAFAN TANAH MILIK
Bagian
Pertama
Perubahan
perwakafan tanah milik
Pasal 11
(1)Pada
dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan
perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar
Wakaf.
(2)Penyimpangan
dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Agama, yakni :
a.karena
tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b.karena kepentingan umum.
b.karena kepentingan umum.
(3)Perubahan
status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat
ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat
untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Bagian
Kedua
Penyelesaian
Perselisihan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 12
Penyelesaian
perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan
melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian
Ketiga
Pengawasan
Perwakafan Tanah Milik
Pasal 13
Pengawasan
perwakafan tanah milik dan tatacaranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan
lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB V
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 14
Barangsiapa
melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah).
Pasal 15
*19101
Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama
Badan Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib
dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi
perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau
penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.
BAB VI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 16
(1)Perwakafan
tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang bersangkutan harus didaftarkan
kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2)Cara-cara
dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1) ditentukan lebih lanjut oleh
Menteri Agama.
Pasal 17
(1)Peraturan
dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana
tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931,
Nomor 13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan
pelaksanaannya, sepanjang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2)Hal-hal
yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing.
BAB VII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 18
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan
di Jakarta pada 17 Mei 1977 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
*19102 SUDHARMONO, SH.
PENJELASAN
ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG
PERWAKAFAN TANAH MILIK
I.UMUM. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ia tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum, dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga banyaklah benda-benda wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya. Malahan dapat terjadi, benda-benda yang diwakafkan itu seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris pengurus(Nadzir).
Kejadian-kejadian
tersebut diatas menimbulkan keresahan dikalangan umat beragama, khususnya
mereka yang menganut agama Islam, dan menjurus ke arah antipati. Dilain pihak
banyak terdapat persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya
status tanahnya, sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka tidak
saja akan mengurangi kesadaran beragama dari mereka yang menganut agama
Islam,bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-usaha Pemerintah untuk
menggalakkan semangat dan bimbingan kewajiban ke arah beragama,sebagaimana
terkandung dalam ajaran Pancasila dan digariskan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk
perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari
kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya
kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan
dikemudian hari.
Dalam
Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan
bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh
karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti
halnya pemegang hak milik. Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut
bersifat untuk selama-lamanya (abadi), maka hak atas tanah yang *19103 jangka
waktunya ter-batas tidak dapat diwakafkan.
Selanjutnya
dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai kepengurusan dari wakif
(Nadzir), tatacara perwakafan, tatacara pemberian hak dan tata cara untuk
mendapatkan kepastian hak atas tanah yang diwakafkan.
II.
PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Ayat (1)
sampai dengan ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kelompok orang dalam ayat ini ialah kelompok orang yang
merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu pengurus.
Pasal 2
Cukup
jelas.
Pasal 3
Dalam
pasal ini dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi,seseorang yang
mewakafkan. Pencantuman secara terperinci syarat-syarat ini dimaksudkan untuk
menghindari tidak sahnya perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern
(cacad atau kurang sempurna cara berfikir) maupun faktor ekstern karena merasa
dipaksa orang lain. Ketentuan-ketentuan ini berlaku juga bagi badan hukum dan
Yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan dengan penyesuaian persyaratan
seperlunya sesuai dengan persyaratan subyek hukum tersebut menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
Sebagaimana
telah dikemukakan, perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci,
mulia, dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubung dengan itu, maka
tanah-tanah yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan
tidak ada cacadnya ditinjau dari sudut pemilikan. Selain daripada itu
persyaratan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya atau terbawa-bawanya
lembaga perwakafan ini untuk sering berhadapan dengan Pengadilan yang dapat
memerosotkan wibawa dan syariat agama Islam. Berdasarkan pandangan tersebut
diatas, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti hipotik, crediet verband,
tanah dalam proses perkara dan sengketa, tidak dapat diwakafkan sebelum
masalahnya diselesaikan terlebih dahulu.
Pasal 5
Cukup
jelas.
Pasal 6
Dalam
pasal ini diatur tentang persyaratan Nadzir (pengurus) dari wakaf, sehingga
pengurus baik yang *19104 terdiri dari kelompok orang-orang maupun suatu badan
hukum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Jumlah Nadzir untuk suatu daerah
perlu dibatasi dan di daftar dengan maksud untuk mengurangi benih-benih
perselisihan disebabkan banyak orang yang mengurusi sesuatu hal atas benda yang
sama. Pendaftaran dimaksudkan untuk menghindari perbuatan perwakafan yang
menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan pengawasan.
Pasal 7
Dalam
rangka memudahkan pengawasan perwakafan tanah, maka nadzir yang telah diangkat
diharuskan memberikan laporan secara berkala terhadap keadaan perwakafan tanah
yang diurusnya dan penggunaan dari hasil-hasil dari wakaf itu. Pelaporan ini
dimaksudkan juga untuk memudahkan pengawasan.
Pasal 8
Pasal
ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian fasilitas
kepada Nadzir. Dengan telah diberinya imbalan yang pantas terhadap kebutuhan
Nadzir ini, maka diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan wakaf.
Pasal 9
Pasal
ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis,tidak cukup hanya
dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik
yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan
pendaftaran pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari tentang tanah yang
diwakafkan. Untuk keperluan itu seseorang yang hendak mewakafkan tanah harus
membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan (sertifikat/kekitir tanah) dan
surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan
perwakafan atas tanah milik tersebut. Untuk keperluan tersebut, maka diperlukan
pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula
mengenai bentuk dan isi Ikrar Wakaf perlu diseragamkan.
Pasal 10
Salah
satu hal yang selama ini belum pernah diatur dan dilaksanakan secara seksama
adalah pendaftaran tanah-tanah yang diwakafkan menurut ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya. Pendaftaran
tanah perwakafan ini sangat penting artinya baik ditinjau dari segi tertib
hukum maupun dari segi administrasi penguasaan dan penggunaan tanah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan agraria. Dengan telah didaftarkan dan
dicatatnya waktu *19105 tersebut dalam sertifikat tanah hak milik yang
diwakafkan, maka tanah wakaf itu telah mempunyai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 11
Pada
waktu yang lampau, perubahan status tanah yang diwakafkan dapat dilakukan
begitu saja oleh Nadzirnya tanpa alasan-alasan yang meyakinkan. Hal-hal yang
demikian sudah barang tentu akan menimbulkan reaksi dalam masyarakat terutama
dari mereka yang langsung berkepentingan dengan perwakafan tanah tersebut.
Dalam Peraturan Pemerintah diadakan pembatasan-pembatasan yang ketat dan
disamping itu maksud perubahan status harus terlebih dahulu mendapat izin dari
Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan cara pembatasan-pembatasan
yang demikian ini diharapkan dapat dihindarkan praktek-praktek yang merugikan
perwakafan. Untuk kepentingan administrasi pertanahan perubahan status wakaf
diharuskan untuk didaftarkan pada pejabat yang berwenang.
Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam Pasal 11 Ayat (2)
disamping terkena sanksi seperti dimaksud dalam Pasal 15, juga perbuatan itu
batal dengan sendirinya menurut hukum.
Pasal 12
Penyelesaian
perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini yang termasuk yurisdiksi Pengadilan
Agama adalah masalah sah atau tidaknya perbuatan mewakafkan seperti dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah ini dan lain-lain masalah yang menyangkut masalah
wakaf berdasarkan syariat Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah-masalah
lainnya yang secara nyata menyangkut Hukum Perdata dan Hukum Pidana
diselesaikan melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.
Pasal 13
Pada
umumnya perwakafan tanah terjadi di daerah-daerah tingkat Kecamatan. Untuk
memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib baik di
tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan Pusat. Mengenai cara pengawasan
menurut jalur timbal-balik akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup
jelas.
Pasal 16
Pasal
ini merupakan pasal peralihan perwakafan tanah yang terjadi sebelum Peraturan
Pemerintah ini dikeluarkan. Kewajiban menyesuaikan perwakafan yang telah ada
dengan Peraturan Pemerintah ini *19106 yang harus dilakukan oleh Nadzir yang
bersangkutan tidak hanya cukup dengan mendaftarkan pada Kantor Urusan Agama
setempat, melainkan juga harus dengan menyelesaikan status tanah dan
pendaftaran haknya melalui acara yang diperlukan pada perwakafan tanah milik
seperti dimaksud dalam Pasal 10. Berhubung masalah penyesuaian perwakafan yang
telah ada dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini diperlukan
waktu dan kebijaksanaan khusus, maka tatacara, jangka waktu penyesuaian
demikian pula kemungkinan perpanjangannya akan diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agama.
Pasal 17
Cukup
jelas.
Pasal 18
Cukup
jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar