Membumikan Al-Quran
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Keotentikan Al-Quran
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan
berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan
kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu
dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya
Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya) (QS 15:9).
Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran,
jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta
berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh
manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang
dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa
yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh
para sahabat Nabi saw.
Tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh
bukti-bukti lain? Dan, dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk
mereka yang tidak percaya akan jaminan Allah di atas? Tanpa ragu kita
mengiyakan pertanyaan di atas, karena seperti yang ditulis oleh almarhum
'Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar: "Para
orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran,
tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya."1
Hal ini disebabkan oleh bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan mereka kepada
kesimpulan tersebut.
Bukti-bukti dari Al-Quran Sendiri
Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada
baiknya saya kutipkan pendapat seorang ulama besar Syi'ah kontemporer, Muhammad
Husain Al-Thabathaba'iy, yang menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas
dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak
dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan
sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut
Thabathaba'iy memperkenalkan dirinya sebagai Firman-firman Allah dan
membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti
keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti
kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita
sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa pergantian atau
perubahan --tulis Thabathaba'iy lebih jauh-- adalah berkaitan dengan sifat dan
ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui
sebagaimana keadaannya dahulu.2
Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad
Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam Al-Quran sendiri terdapat bukti-bukti
sekaligus jaminan akan keotentikannya.3
Huruf-huruf hija'iyah yang terdapat pada awal
beberapa surah dalam Al-Quran adalah jaminan keutuhan Al-Quran sebagaimana
diterima oleh Rasulullah saw. Tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun
dari kata-kata yang digunakan oleh Al-Quran. Kesemuanya habis terbagi 19,
sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm Ali(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him.
(Huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab).
Huruf (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50,
ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19.
Huruf-huruf kaf, ha', ya', 'ayn, shad, dalam
surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19.
Huruf (nun) yang memulai surah Al-Qalam,
ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Kedua, huruf (ya') dan (sin) pada surah
Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15 X 19. Kedua huruf (tha') dan
(ha') pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19
X 18.
Huruf-huruf (ha') dan (mim) yang terdapat pada
keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha' mim, kesemuanya
merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing-masing berjumlah 2.166.
Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan
langsung dari celah ayat Al-Quran, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai
bukti keotentikan Al-Quran. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau
berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain,
maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.
Angka 19 di atas, yang merupakan perkalian dari
jumlah-jumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan Al-Quran sendiri, yakni
yang termuat dalam surah Al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks
ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran Al-Quran.
Demikianlah sebagian bukti keotentikan yang
terdapat di celah-celah Kitab Suci tersebut.
Bukti-bukti Kesejarahan
Al-Quran Al-Karim turun dalam masa sekitar 22
tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, dua puluh dua tahun, dua bulan
dan dua puluh dua hari.
Ada
beberapa faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembicaraan
kita ini, yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas
Al-Quran.
(1) Masyarakat Arab, yang hidup
pada masa turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis.
Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan,
orang Arab --bahkan sampai kini-- dikenal sangat kuat.
(2) Masyarakat Arab --khususnya pada masa
turunnya Al-Quran-- dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja:
Kesederhanaan ini, menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping
menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
(3) Masyarakat Arab sangat gandrung lagi
membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam
bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
(4) Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi
keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin,
tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum
musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat
Al-Quran yang dibaca oleh kaum Muslim. Kaum Muslim, disamping mengagumi
keindahan bahasa Al-Quran, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa
ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
(5) Al-Quran, demikian pula Rasul saw.,
menganjurkan kepada kaum Muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari
Al-Quran dan anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat.
(6) Ayat-ayat Al-Quran turun berdialog dengan
mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu, ayat-ayat Al-Quran turun
sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses
penghafalannya.
(7) Dalam Al-Quran, demikian pula hadis-hadis
Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu
bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita --lebih-lebih kalau
berita tersebut merupakan Firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.
Faktor-faktor di atas menjadi penunjang
terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-Quran. Itulah sebabnya, banyak
riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw.
yang menghafalkan Al-Quran. Bahkan dalam peperangan Yamamah, yang terjadi
beberapa saat setelah wafatnya Rasul saw., telah gugur tidak kurang dari tujuh
puluh orang penghafal Al-Quran.4
Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal
ayat-ayat Al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu,
beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah
menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. lalu memanggil
sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang
baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam
surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu,
kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang
menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat
tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya disamping kemungkinan
besar tidak mencakup seluruh ayat Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang
diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.5
Penulisan Mushhaf
Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa ketika
terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur. Hal
ini menjadikan 'Umar ibn Al-Khaththab menjadi risau tentang "masa depan
Al-Quran". Karena itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar
mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada
mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut --dengan alasan bahwa pengumpulan
semacam itu tidak dilakukan oleh Rasul saw.-- namun pada akhirnya 'Umar r.a.
dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai
oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.
Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk
menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan --apalagi beliau
termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh Rasul pada masa hidup beliau untuk
menuliskan wahyu Al-Quran. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi,
Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum
Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Quran yang mereka miliki ke Masjid
Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Dalam hal ini, Abu Bakar
r.a. memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskah kecuali yang
memenuhi dua syarat:
Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat
lain.
Kedua, tulisan tersebut benar-benar adalah yang
ditulis atas perintah dan di hadapan Nabi saw. Karena, seperti yang dikemukakan
di atas, sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri.
Untuk membuktikan syarat kedua tersebut,
diharuskan adanya dua orang saksi mata.
Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan
kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja'akum
Rasul min anfusikum 'aziz 'alayh ma 'anittun harish 'alaykum bi almu'minina
Ra'uf al-rahim (QS 9:128). Tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw.
tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di
tangan seorang sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah,
terlihat betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan
naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan
Al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data
sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak
berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw.,
lima belas abad yang lalu.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu dikemukakan
bahwa Rasyad Khalifah, yang menemukan rahasia angka 19 yang dikemukakan di
atas, mendapat kesulitan ketika menemukan bahwa masing-masing kata yang
menghimpun Bismillahirrahmanirrahim, kesemuanya habis terbagi 19, kecuali
Al-Rahim. Kata Ism terulang sebanyak 19 kali, Allah sebanyak 2.698 kali, sama
dengan 142 X 19, sedangkan kata Al-Rahman sebanyak 57 kali atau sama dengan 3 X
19, dan Al-Rahim sebanyak 115 kali. Di sini, ia menemukan kejanggalan, yang
konon mengantarnya mencurigai adanya satu ayat yang menggunakan kata rahim,
yang pada hakikatnya bukan ayat Al-Quran. Ketika itu, pandangannya tertuju
kepada surah Al-Tawbah ayat 128, yang pada mulanya tidak ditemukan oleh Zaid.
Karena, sebagaimana terbaca di atas, ayat tersebut diakhiri dengan kata rahim.
Sebenarnya, kejanggalan yang ditemukannya akan
sirna, seandainya ia menyadari bahwa kata rahim pada ayat Al-Tawbah di atas,
bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat Nabi Muhammad saw. Sehingga
ide yang ditemukannya dapat saja benar tanpa meragukan satu ayat dalam
Al-Quran, bila dinyatakan bahwa kata rahim dalam Al-Quran yang menunjuk sifat
Allah jumlahnya 114 dan merupakan perkalian dari 6 X 19.
Penutup
Demikianlah sekelumit pembicaraan dan bukti-bukti
yang dikemukakan para ulama dan pakar, menyangkut keotentikan ayat-ayat
Al-Quran. Terlihat bagaimana Allah menjamin terpeliharanya Kitab Suci ini,
antara lain berkat upaya kaum beriman.
Catatan kaki
1
'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab
Al-Lubnaniy, Beirut, t.t., h. 50.
2
Muhammad Husain Al-Thabathabaly, Al-Qur'an fi Al-Islam, Markaz I'lam Al-Dzikra
Al-Khamisah li Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah, Teheran, h. 175.
3
Mustafa Mahmud, Min Asrar Al-Qur'an, Dar Al-Ma'arif, Mesir, 1981, h. 64-65.
4
'Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan i 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy,
Kairo, 1980, jilid 1, h. 250.
5
Ibid., h. 252.
Bukti Kebenaran Al-Quran
Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di
antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran
tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang
siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan
(baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam
Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga,
menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS
10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih
kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).
Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan
jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan
mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).
Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang
sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia
memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat
yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini
dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."
Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi
Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat
manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa
juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan,
berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh
makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun
membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang
menuju air kehidupan itu.
Dalam syari'at ditemukan sekian banyak
rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula
yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya,
yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama
dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai
ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan
dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah"
atau larangan-larangan agama.
Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan
lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan
lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini,
siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang
sangat jauh itu?
Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara
lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat
terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas
menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya
akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru,
karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian.
Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah
"Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit
kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas.
"Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya
itu dinamai "agama".
Sayang bahwa tidak semua manusia dapat
berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya.
Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan
kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka
yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.
Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak
mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu.
Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi
yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.
Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul
diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan
hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan
pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai
"mukjizat".
Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki
mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan
karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas
berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat
manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.
Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan
karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin
bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal,
kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di
sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.
Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang
dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa
seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari
Allah SWT.
Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi,
bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan
menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang
relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir,
Persia atau
Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau
sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai
menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang
tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa
mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit."
Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis
pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).
Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai
berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak
mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan
memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui
"perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua
hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama
ini.
Seperti diketahui, seringkali Al-Quran
"turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari
peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini
dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi
peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi
teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan
analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal
yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi
antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang
bertolak belakang.
Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li
Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak
contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat
singkat sebagai berikut.
A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:
- Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
- Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
- Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;
- Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;
- Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;
- Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;
- Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;
- Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;
- Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.
B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan
sinonimnya/makna yang dikandungnya.
- Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;
- Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;
- Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
- Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
- Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;
- Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.
C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
- Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;
- Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;
- Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;
- Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;
- Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.
D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan kata penyebabnya.
- Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;
- Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;
- Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;
- Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.
E. Di samping keseimbangan-keseimbangan
tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk
tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata
hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah
keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi
lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas
kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada
"tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni
dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12,
Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang
terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan,
baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira),
atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini
seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita
tersebut, yakni 518 kali.
Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang
kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.
Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya.
Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada
ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan
diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak
seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200
tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli
purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari
data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan
yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908,
Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka
pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad
utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak
pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?
Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum
Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta
peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin
dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.
Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah
isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa
"Cahaya matahari bersumber dari dirinya
sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)"
(perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria,
sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan
"ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya
belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini.
Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!
Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali
menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah
benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan
petunjuk-petunjuknya.
Kebenaran Ilmiah Al-Quran
Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil
yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan
penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia,
keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil.
(QS 2:185).
Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan
ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama
sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali
menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang
terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua
bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak
sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau --antara
lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan
apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka
yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran
dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran
teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang
lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula
dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu
pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau
bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi
yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan
ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang
bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain,
meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan
pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum
dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah)8
mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang
diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi
"hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau
menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj
Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu
pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan
menuju tercapainya masalah tersebut."9
Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan
ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi
bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang
mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh."
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi
juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu
pengetahuan itu.10
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika
mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari
suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan
tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada
akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri. Hal
ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang
disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Quran
dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang
menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah
berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya
menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua
atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:36).
Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim
baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal
yang dapat menghalangi kemajuannya.
Sistem Penalaran menurut Al-Quran
Salah satu faktor terpenting yang dapat
menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan
kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga
fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang
mempunyai hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan pada
pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai
ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak
terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik, bila
tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan jelek bila dinyatakannya
jelek. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide
didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri,
tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang menguatkan atau melemahkannya
(materi dan pribadi).
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama
dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolongan orang
Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Quraniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran),
adalah bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim
cepat-cepat meninggalkan medan
pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah saw., yang diisukan
oleh kaum musyrik. Sikap keliru ini lahir akibat pandangan mereka terhadap
nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum
mencapai tingkat kedewasaannya.
Al-Quran tidak menginginkan masyarakat baru yang
dibentuk dengan memandang atau menilai suatu ide apa pun coraknya hanya
terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali seorang Rasul. Sebelum dia
telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu
berpaling ke agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi kafir; ia
pasti tidak merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran
kepada orang-orang yang bersyukur kepadaNya (QS 3:144).
Ayat tersebut walaupun dalam bentuk istifham,
tetapi --sebagaimana diterangkan oleh para ulama Tafsir-- menunjukkan
"istifham taubikhi istinkariy"11
yang berarti larangan menempatkan "al-fikrah Al-Qur'aniyyah" hanya
sampai pada fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada masyarakat untuk
lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang
lebih tinggi sampai pada fase ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini juga
melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan
dalam alam pikiran manusia.
Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu
pengetahuan alam masyarakat, Al-Quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
merupakan ujian kepada mereka: Tanyakanlah hai
Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak
mengetahui? (QS 39:9).
Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa
besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat.
Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai Ahl
Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka
mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? (QS
3:66).
Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka
yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi
ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang
kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian
menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun,
Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ia-lah yang membantu Muhammad bin Ahmad
menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa
Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut,
Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting
daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan,
para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang
menjadi korban hasil penemuannya.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan
petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat
dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya
untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa
mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat
untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga
mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau
dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran
tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk
menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu
pengetahuan.
Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science)
yang tidak dapat diingkari --meskipun oleh para ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak
mengenal kata "kekal". Apa yang dianggap salah di masa silam
misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern.
Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah
silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi
terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu,
misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah
kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep
tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi
dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat
perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya,
tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan
persoalan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari
kemajuan ilmu pengetahuan.
Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin
Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu
kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai "summary of
statictical averages" (ikhtisar dari rerata statistik).
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum
aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian
dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak
sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah
--terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan
kenyataannya belum tentu demikian.
Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena
sering kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan pancaindera atau
perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja
adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori.
Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada
suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya
Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera,
dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu
bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa bayangan
tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata, setelah beberapa
saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan
spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak pernah berhenti;
begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang
dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada
bumi."12
Segala undang-undang ilmiah yang diketahui hanya
menyatakan saling bergantinya "psychological states" (keadaan-keadaan
jiwa) yang ditentukan pada diri kita oleh sebab-sebab tertentu (mengambil sebab
dari musabab atau dari ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala
undang-undang ilmiah pada hakikatnya relatif dan subjektif.
Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya
melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek
dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat
pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa
yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya
hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas.
Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu
pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat
Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti
ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau
belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh
Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran
Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat
kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian
juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran sangat
berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang bahayanya dengan apa
yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan
peredarannya mengelilingi matahari.
Perkembangan Tafsir
Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh
yang sangat mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga berarti
mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Dalam abad pertama Islam, para ulama sangat
berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah bertanya
kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat abba dalam ayat: wa fakihah wa
abba. Beliau menjawab: "Di bumi apakah aku
berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam
Al-Quran menurut pendapatku".
Bahkan, sebagian di antara para ulama, bila
ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apa pun.
Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn Musayyab, bila ditanya mengenai
tafsir suatu ayat, beliau berkata: "Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran
sedikit pun." Demikian juga halnya dengan Sali bin 'Abdullah bin 'Umar,
Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i, dan lain-lain.
Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama
berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Quran selama ia
memiliki syarat-syarat tertentu seperti: pengetahuan bahasa yang cukup,
misalnya, menguasai nahw, sharaf, balaghah, dan isytiqaq; juga Ilmu Ushuluddin,
Ilmu Qira'ah, Asbab Al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain sebagainya.
Sejarah penafsiran Al-Quran dimulai dengan
menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah saw., atau
pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian berkembang, sehingga dengan
tidak disadari, bercampurlah hadis-hadis shahih dengan Isra'iliyat (kisah-kisah
yang bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama
atau pikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak
penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan
pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para
sahabat yang dianggap benar.
Tafsir Al- Thabari, misalnya, adalah satu kitab
tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian
penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih (menguatkan) salah satu pendapat di
antaranya. Sedangkan Tafsir Fakhr Al-Razi (w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab
yang lebih banyak menggambarkan pendapat Fahr Al-Razi sendiri; sementara
riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak dituliskan, kecuali dalam batas-batas
yang sangat sempit.
Demikianlah, dan dari masa ke masa timbullah
kemudian beraneka warna corak tafsir: ada yang berdasarkan nalar penulisnya
saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara
keduanya. Persoalan-persoalan yang dibahas pun bermacam-macam: ada yang hanya
membahas arti dari kalimat-kalimat yang sukar saja (Tafsir Gharib), seperti
Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy
dan Al-Khazin; ada yang memperhatikan persoalan balaghah (sastra bahasa)
seperti Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu pengetahuan, logika dan filsafat
seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti Al-Qurthubiy; dan ada pula yang
hanya merupakan "terjemahan" kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir
Al-Jalalain.
Agaknya benar juga pandangan sementara pakar,
bahwa "Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu kitab apa pun yang telah
ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan pendapat para ahli
terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya Al-Quran."
Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Tafsir Fakhr
Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari penafsiran ilmiah terhadap
ayat-ayat Al-Quran, sehingga sebagian ulama tidak menamakan kitabnya sebagai
Kitab Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat dan logika disinggung dengan
sangat luas.
Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis:
"Al-Fakhr Al-Razi di dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara
luas yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya sebagian ulama berkata:
'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir'."13
Kelanjutan dari penafsiran ilmiah ini adalah
penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru.
Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa planet hanya
tujuh (sebagaimana pendapat ahli-ahli Falak ketika itu) dengan ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori tujuh planet tersebut ternyata salah.
Karena planet-planet yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya saja
berjumlah 10 planet, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi langit,
kesepuluh planet itu hanya laksana setetes air dalam lautan bila dibandingkan
dengan banyaknya bintang di seluruh angkasa raya.
Setiap galaksi, menurut mereka, rata-rata
memiliki seratus biliun bintang, sedangkan seluruh ruang alam semesta didiami
oleh berbiliun-biliun galaksi.
Jadi, yang membenarkan bahwa planet hanya tujuh
berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata telah keliru. Kekeliruan tersebut
merupakan satu dosa besar bila dia memaksakan orang untuk mempercayai pendapat
tersebut atas nama Al-Quran, atau dia meyakini hal tersebut sebagai satu akidah
Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai segala sesuatu yang terdapat di dalam
Al-Quran. Bila seseorang membenarkan satu teori ilmiah berdasarkan Al-Quran,
berarti pula dia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai teori tersebut.
Kekeliruan mereka itu serupa dengan kekeliruan
sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin (1804-1872) dengan beberapa ayat
Al-Quran, atau mereka yang membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak
sedikit dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles
Darwin, 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab
Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I)
sebagai berikut: "Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya
dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan
pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan
dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir."
Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah
sejenis makhluk yang --oleh para penganut evolusionisme-- disebut Anthropoides.
Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan lainnya, ketika mengatakan atau
menemukan teori tersebut, bukannya merujuk kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan
penyelidikan dan penelitian mereka. Walaupun demikian, ada sementara Muslim
yang kemudian berusaha membenarkan teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran
seperti: Mengapakah kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah,
sedangkan Dia telah menjadikan kamu berfase-fase (QS 71:13-14).
Fase-fase ini menurut mereka bukan sebagaimana
apa yang kami pahami dan yang diterangkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun
ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai dengan paham penganut-penganut
teori Darwin
dalam proses kejadian manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai
sesuatu yang tak bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di
permukaan bumi (QS 13:17) dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for
life" yang menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi, dan
yang semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan membenarkan
teori Darwin,
tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran. 'Abbas Mahmud
Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, sebagai
berikut: "Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari
diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran
argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya berdasarkan
Al-Quran Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul
manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan
penafsiran-penafsiran lainnya."14
Atau apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha
dalam majalah Al-Manar. "Teori Darwin tidak membatalkan --bila teori
tersebut benar dan merupakan hal yang nyata-- tentang satu dasar dari
dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran.
Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin. Mereka itu orang-orang mukmin dengan
keimanan yang benar dan Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan
sembahyang dan kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa dan
kekejaman yang dilarang Allah SWT sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka.
Tetapi teori tersebut adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun."15
Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan
teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran; setiap ditemukan suatu teori
cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk membenarkan atau
menyalahkannya, karena apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau
sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang sangat baik untuk
menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat
guna membantah cemoohan ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu:
Janganlah kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal ini
menjadikan mereka mencerca Allah dengan melampaui batas, karena kebodohan
mereka (QS 6:108).
Ayat ini melarang kita mencemoohkan mereka,
karena cercaan kita merupakan sebab dari cercaan mereka kepada Allah SWT.
Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan membenarkan atau menyalahkan
suatu teori dengan ayat-ayat Allah (Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak
membahas persoalan-persoalan tersebut secara mendetil. Tidak membahas secara
mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang
menyinggung secara sepintas lalu kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum
ditemukan atau diketahui oleh manusia di masa turunnya Al-Quran, seperti firman
Allah SWT:
Apakah orang-orang kafir tidak berpikir sehingga
tidak mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya bersatu/bertaut, kemudian kami
ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air (QS
21:30).
Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi,
tadinya merupakan suatu gumpalan. Dan pada suatu masa yang tidak diterangkan
oleh Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisah oleh Allah SWT. Hanya
ini yang dimengerti dari ayat tersebut dan merupakan kewajiban setiap Muslim
untuk mempercayainya. Seorang Muslim tidak dapat menyatakan bahwa ayat tersebut
menguatkan suatu teori, atau lebih tepat dikatakan sebagai hipotesis tentang
pembentukan matahari dan planet-planet lainnya, apa pun teori tersebut.
Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya
mengenai terjadinya planet-planet tata surya. Ia boleh berkata bahwa ia berasal
bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan pecah dan terpisah-pisah
menjadi planet-planet kecil akibat panas yang sangat keras. Ia juga dapat
menyatakan bahwa terjadinya planet sebagai akibat tabrakan antara dua matahari,
atau disebabkan karena pecahnya matahari itu sendiri, dan lain-lain. Setiap
orang bebas dan berhak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia
tidak berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut dengan
memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya. Karena dengan demikian ia
menjadikan pendapat tersebut sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan
ia juga tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran kecuali
bila ia membawakan satu nash yang membatalkannya.
Catatan kaki
8
Jumlah yang populer dan luas dipegang adalah 6.666 ayat. Tetapi, jumlah ini
tidak diketahui dasarnya. Terdapat juga pandangan lain. Perbedaan jumlah ini
disebabkan oleh perbedaan cara menghitung basmalah di setiap awal surat sebagai ayat
tersendiri. Juga ayat seperti Alif lam mim, dan lain-lain.
9
Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h. 30.
10
Ibid.
11
Pertanyaan yang mengandung kecaman, sekaligus larangan untuk melakukannya.
12
Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, komentar 'Abdul Halim Mahmud, Anglo
Al-Mishriyyah, Kairo, 1964, h. 15.
13
Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith, Dar Al-Fikr, Kairo 1979, Jilid I, h. 13.
14
Bandingkan dengan 'Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Insan fi Al-Quran Al-Karim, Dar
Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 171.
15
Al-Manar, Sya'ban 1327/September 1909.
Hikmah Ayat Ilmiah Al-Quran
Ada
sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh Al-Quran, tetapi tujuan pemaparan
ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan ke-Esa-an-Nya,
serta mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan penelitian
demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya. Mengenai hal ini, Mahmud
Syaltut mengatakan dalam tafsirnya: "Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan
Al-Quran untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai
teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan."16
Didalam asbab al-nuzul diterangkan bahwa pada
suatu hari datang seseorang kepada Rasul dan bertanya: "Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang,
kemudian membesar sampai menjadi sempurna pumama?" Lalu, Rasulullah
saw., mengembalikan, jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah SWT yang
berfirman: Mereka bertanya kepadamu perihal bulan.
Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi manusia dan mengerjakan haji
(QS 2:189). Jawaban Al-Quran bukan jawaban ilmiah, tetapi jawabannya sesuai
dengan tujuan-tujuan pokoknya.
Ada
juga yang bertanya mengenai "ruh", lalu Al-Quran menjawab: Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: "Ruh
adalah urusan Tuhanku, kamu sekalian hanya diberi sedikit ilmu pengetahuan."
(QS 17:85).
Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena
tujuan pokok Al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi
tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya
di dunia dan di akhirat kelak. Syaikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua
ayat tersebut, lalu menulis. "Tidakkah terdapat dalam hal ini (kedua ayat
tersebut) bukti nyata yang menerangkan bahwa Al-Quran bukan satu kitab yang dikehendaki
Allah untuk menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran ilmiah dalam alam
semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan tasyri'."17
Dari sini jelas pula bahwa yang dimaksud oleh
ayat ma farrathna fi al-kitab min syay' (QS
6:38) dan ayat: wa nazzalna 'alayka al-kitab
tibyanan likulli syay' QS 16:89) adalah bahwa Al-Quran tidak
meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran, yaitu
masalah-masalah akidah, syari'ah dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti
oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.
Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas?
Sejak pertengahan abad ke-19, umat Islam
menghadapi tantangan hebat, bukan hanya terbatas dalam bidang politik atau
militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Tantangan ini
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pandangan hidup serta pemikiran
golongan besar umat Islam. Di sana-sini mereka melihat kekuatan Barat dan
kemajuan ilmu pengetahuan, dan di lain pihak mereka merasakan kelemahan umat
serta kemunduran dalam lapangan kehidupan dan ilmu pengetahuan. Keadaan yang
serupa ini menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex pada
sebagian besar kaum Muslim.
Para cendekiawan
Islam berusaha memberi reaksi walaupun dengan cara-cara yang tidak tepat. Ada di antara mereka yang
mengambil sifat apatis, acuh tak acuh terhadap kemajuan tersebut; ada pula yang
dengan spontan meletakkan senjata untuk menyerah dengan mengikuti segala
sesuatu yang bercorak Barat --meskipun dalam hal-hal yang menyangkut
kepribadian atau adat-istiadat. Adapula yang menentang haluan ini dengan
mengajak masyarakat Islam menerima dan mempelajari ilmu pengetahuan dan sistem
yang dipergunakan Barat dalam mencapai kemajuan tanpa meninggalkan kepribadian
atau prinsip-prinsip agama.
Bukan tempatnya di sini membicarakan sejarah
perkembangan pemikiran umat Islam dari masa ke masa. Tetapi satu hal yang tidak
dapat diingkari adalah bahwa sebagian umat Islam sejak pertengahan abad ke-19
diliputi oleh perasaan rendah diri dan berusaha mengadakan kompensasi atau
melarikan diri dengan bermacam-macam cara. Salah satu caranya ialah mengingat
kejayaan-kejayaan Islam dan peninggalan nenek moyang, yang kemudian melahirkan
apa yang disebut dengan adab al-fakhri wa al-tamjid (sastra kebanggaan dan
kejayaan). Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran masyarakat Islam sangat
besar dalam menafsirkan Al-Quran.
Setiap ada penemuan baru, para cendekiawan Islam
cepat-cepat berkata: Al-Quran sejak lama, sejak sekian abad, telah menyatakan
hal ini; Al-Quran mendahului ilmu pengetahuan dalam penemuannya; dan
sebagainya, yang semua itu tiada lain adalah kompensasi perasaan inferiority
complex tadi. Di lain pihak para penemu tadi hanya tersenyum mengejek melihat
keadaan umat Islam, dan senyuman itu terkadang disertai dengan kata-kata sinis:
Kalau demikian mengapa tuan-tuan tidak menyampaikan hal ini sebelum kami
menghabiskan waktu dalam penyelidikan?
Tidak dapat diingkari bahwa mengingat kejayaan
lama merupakan obat bius yang dapat meredakan rasa sakit, meredakan untuk
sementara, tetapi bukan menyembuhkannya. Ia hanya sekadar memberikan jawaban
sementara terhadap tantangan Barat. Di balik itu ia menunjukkan kelemahan umat.
Memang, mengingat kejayaan lama kadang-kadang dapat merupakan pendorong untuk
maju ke depan, atau setidak-tidaknya dapat menjaga kepribadian masyarakat.
Tetapi kita juga harus waspada dan berhati-hati terhadap pengaruh-pengaruh
negatif dari cara demikian yang bila berlarut-larut dapat membekukan pemikiran.
Membanggakan kejayaan lama dapat membangkitkan emosi dan memberikan kepuasan,
tetapi ia juga dapat menimbulkan negatifisme dan konservatifisme; sementara
kedua sifat ini tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan
progresif.
Faktor kedua yang menjadikan sebagian cendekiawan
Islam membenarkan satu teori ilmiah, menurut hemat kami, adalah akibat
pertentangan yang hebat antara gereja dan ilmuwan sejak abad ke-18 di Eropa.
Pertentangan ini disebabkan oleh karena penafsir-penafsir Kitab Perjanjian
Lama/Baru yang menganut teori-teori tertentu yang diyakini kebenaran dan
kesuciannya, sehingga siapa yang mengingkarinya dianggap kafir (keluar dari
agama) dan berhak mendapat kutukan. Di lain pihak para ilmuwan mengadakan
penyelidikan-penyelidikan ilmiah, tetapi hasil penyelidikan mereka bertentangan
dengan kepercayaan yang dianut oleh gereja.
Pertentangan antara kedua belah pihak terjadi
ketika ilmuwan menyatakan bahwa umur dunia --berdasarkan penelitian geologi--
lebih tua daripada umur yang ditetapkan oleh gereja yang berdasarkan penafsiran
Kitab Suci. Pertentangan ini memuncak dengan lahirnya teori Charles Darwin
(1859) tentang The Origin of Man dan teori-teori lainnya, yang semua itu
dihadapi gereja dengan cara penindasan dan kekejaman. Akibatnya tidak sedikit
ahli-ahli ilmu pengetahuan yang menjadi korban hasil penemuannya, seperti
Galileo, Arius, Bruno Bauer, George van Paris, dan lain-lain. Hal ini
menimbulkan keyakinan di kalangan umum bahwa ilmu pengetahuan bertentangan
dengan agama. Di sini kita tidak bermaksud menceritakan sejarah agama Kristen,
tetapi pada butir terakhir ini kita ingin berhenti sejenak untuk melihat bagaimana
pengaruhnya terhadap alam pikiran cendekiawan Muslim.
Dalam dunia Kristen timbul golongan pembela agama
yang disebut "apologetika" yang bertujuan menyucikan kembali agama
dari setiap anasir yang hendak diselewengkannya. Pertentangan antara agama dengan
ilmu pengetahuan ini (terutama dalam dunia Kristen) memberikan pengaruh kepada
sementara cendekiawan Muslim yang kuatir kalau-kalau penyakit pertentangan ini
timbul pula dalam dunia Islam, sehingga mereka senantiasa berusaha membuktikan
hubungan yang sangat erat antara ilmu pengetahuan dengan agama (terutama
Al-Quran). Dari titik tolak ini, mereka sering tergelincir karena terdorong
oleh emosi dan semangat yang meluap-luap untuk membuktikan tidak adanya
pertentangan tersebut di dalam agama Islam. Tetapi, sebenarnya mereka terlampau
jauh melangkah untuk membuktikan hal itu.
Sejarah cukup menjadi saksi bahwa ahli-ahli
Falak, Kedokteran, Kimia, Ilmu Pasti, dan lain-lain cabang ilmu pengetahuan,
telah mencapai hasil yang mengagumkan di masa kejayaan Islam. Mereka itu adalah
ahli-ahli dalam bidang tersebut sedang di saat yang sama mereka juga
menjalankan kewajiban agama Islam dengan baik. Tiada pertentangan antara
kepercayaan yang mereka anut dengan hasil penemuan mereka, yang dapat dikatakan
baru ketika itu --bahkan sebagian dari hasil-hasil karya mereka masih
dipelajari di negara-negara modern hingga sekarang ini. Antara agama dan ilmu
pengetahuan tidak mungkin timbul pertentangan, selama keduanya menggunakan
metode dan bahasa yang tepat. Manusia mempunyai keinginan untuk mengabdi kepada
Tuhan, dan keinginan mengetahui serta menarik kesimpulan sesuai dengan akalnya.
Bila kita mengingat kepentingan kedua hal itu, maka tak mungkin terjadi
pertentangan.
Richard Gregory dalam Religion in Science and
Civilization menulis: "Agama dan ilmu
pengetahuan adalah dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan insani di
seluruh taraf-taraf peradaban; agama adalah suatu reaksi kepada satu gerak
batin menuju apa yang diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan
takzim; sedangkan ilmu pengetahuan merupakan tumpukan pengetahuan tentang objek
alam yang hidup dan yang mati." Selanjutnya, dia berkata: "Di dalam sinar kebaktian kepada cita-cita tinggi, maka
ilmu pengetahuan sangat perlu bagi kehidupan kita dan agama menentukan arti
hidup manusia; kedua-duanya itu dapat menemukan lapangan umum untuk bekerja,
tanpa ada pertentangan antara keduanya."
Dalam proses memadukan ilmu pengetahuan dan
agama, sementara cendekiawan Muslim membawa hasil-hasil penyelidikan ilmu pengetahuan
kepada Al-Quran kemudian mencari-carikan ayat-ayat yang mungkin menguatkannya,
sehingga tidak heran kalau kita mendapati penafsiran-penafsiran yang amat
berjauhan dengan arti serta tujuan ayat-ayat tersebut.
Dalam kitab Al-Quran wa Al-'Ilm Al-Hadits
karangan Al-Ustadz 'Abdurraziq Naufal, terdapat satu contoh yang sangat nyata
mengenai apa yang dipaparkan di atas, Ia membahas ayat yang berbunyi: Dan apabila telah dekat masa azab menimpa mereka. Kami
keluarkan seekor binatang dari bumi yang berbicara dengan mereka bahwasanya
manusia tiada menyakini ayat-ayat/tanda-tanda kebesaran Kami (QS 27:82).
Ayat ini menurutnya membicarakan tentang sputnik dan penjelajahan angkasa luar.
Selanjutnya, ia mengatakan: "Sesungguhnya
Rusia telah meluncurkan pesawat angkasa yang mengangkut binatang-binatang,
kemudian mereka mengembalikannya ke bumi, sehingga binatangbinatang tersebut
berbicara mengenai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang sangat nyata dan
mengungkapkan sebagian dari misteri yang meliputi alam semesta yang penuh
keajaiban ini."
Di sini kita tidak mempunyai suatu komentar lebih
tepat dari apa yang pernah dilontarkan oleh Prof. Dr. 'Abdul-Wahid Wafi, salah
seorang dosen penulis pada Universitas Al-Azhar: "Mungkin
dia mengira bahwa anjing bernama 'Laika' (yaitu anjing yang dikirim Rusia ke
angkasa luar) telah berbicara dengan bahasa anjing dan mencerca manusia karena
tidak mempercayai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang nyata."
Di Indonesia, ayat 33 surah Al-Rahman dijadikan
dasar oleh sebagian cendekiawan kita untuk membuktikan bahwa Al-Quran
membicarakan persoalan-persoalan angkasa luar. Mereka menyatakan bahwa sejak 14
abad yang lalu, Al-Quran telah menegaskan bahwa manusia sanggup menuju ke ruang
angkasa selama mereka mempunyai kekuatan, yaitu kekuatan ilmu pengetahuan. Kita
tidak mengingkari bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk sampai ke bulan dan
planet-planet lainnya. Bahkan manusia telah mendarat di bulan. Tetapi sulit
dimengerti hubungan ayat ini dengan persoalan tersebut.
Menurut hemat penulis, ayat ini membicarakan
keadaan di akhirat kelak, yang menyampaikan tantangan Tuhan kepada manusia dan
jin. Ayat tersebut berarti: "Wahai sekalian
manusia dan jin bila kamu sekalian sanggup keluar dari lingkungan langit dan
bumi untuk melarikan diri dari kekuasaan dan perhitungan yang kami adakan, maka
keluarlah, larilah. Kamu sekalian tidak dapat keluar kecuali dengan kekuatan,
sedang kalian tidak mempunyai kekuatan."
Perintah dalam ayat tersebut menunjukkan
ketidakmampuan kedua golongan manusia dan jin untuk melaksanakannya. Ayat
tersebut dipahami demikian mengingat ayat sebelumnya yang berbunyi: Kami akan menghisab (mengadakan perhitungan) khusus
dengan kamu wahai manusia dan jin, maka manakah di antara nikmat-nikmat Tuhanmu
yang kamu ingkari? Wahai golongan jin dan manusia bila kamu sekalian sanggup
untuk keluar dari langit dan bumi ... (QS 55: 31-33).
Perhitungan khusus atau hisab tersebut akan
diadakan di hari kemudian, bukan di dunia. Kalaulah ayat Ya ma'syar al-jinni wa al-insi tersebut dianggap
membicarakan keadaan di dunia dan menunjukkan kesanggupan manusia untuk
melintasi angkasa luar, maka hendaknya, anggapan tersebut tidak segera
dibenarkan setelah memperhatikan ayat berikutnya, yang berbunyi: Dikirim kepada golongan kamu berdua (wahai jin dan
manusia) bunga api dan cairan tembaga sehingga kamu sekalian tak dapat
mempertahankan diri (tak dapat keluar dari lingkungan langit dan bumi)
(QS 55:35).
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa usaha
manusia dan jin untuk keluar dari lingkungan langit dan bumi akan gagal. Dari
sini hanya ada dua alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat tadi: Pertama, ayat
33 dari surah Al-Rahman membicarakan persoalan dunia serta kesanggupan manusia
keluar dari lingkungan langit dan bumi dalam arti keluar angkasa. Dan kedua,
ayat tersebut membicarakan keadaan di akhirat serta kegagalan manusia keluar
dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan diri dari hisab dan perhitungan
Tuhan.
Jika dipilih alternatif pertama, maka ini akan
mengakibatkan dua hal yang sangat berbahaya bagi pandangan orang terhadap
Al-Quran, yaitu
- Bahwa Al-Quran bertentangan satu dengan yang lainnya, karena ayat 34 menerangkan kesanggupan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi, sementara ayat 35 menerangkan kegagalan manusia keluar dari keduanya.
- Al-Quran --dalam hal ini ayat 35-- bertentangan dengan kenyataan ilmiah, karena ayat tersebut menyatakan kegagalan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi. Sedangkan manusia abad ke-20 ini telah berhasil mendarat di luar lingkungan bumi (yaitu bulan).
Tetapi jika dipilih alterantif kedua, yaitu bahwa
ayat-ayat tersebut membicarakan keadaan di akhirat, maka tidak akan didapati
sedikit pun pertentangan. Firman Allah: Jika
sekiranya Al-Quran datangnya bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan
mendapat banyak pertentangan di dalamnya (QS 4:82).
Dalam ayat di atas tidak ada pertentangan, karena
ayat itu menerangkan ancaman Tuhan kepada manusia dan jin, dan menyatakan
ketidaksanggupan mereka keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan
diri dari perhitungan yang akan terjadi kelak di akhirat; karena mereka tidak
mempunyai kekuatan.
Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini?
Seseorang tidak dapat membenarkan satu teori
ilmiah atau penemuan baru dengan ayat-ayat Al-Quran. Dari sini mungkin akan
timbul pertanyaan: kalau demikian apakah Al-Quran harus dipahami sesuai dengan
paham para sahabat dan orang-orang tua kita dahulu? Tidak! Setiap Muslim,
bahkan setiap orang, wajib memahami dan mempelajari Kitab Suci yang
dipercayainya. Bahkan, dalam mukadimah Tafsir Al-Kasysyaf, Al-Zamakhsyari
berpendapat bahwa mempelajari tafsir Al-Quran merupakan "fardhu
'ayn".
Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami
Al-Quran. Tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai dengan
pemahaman orang-orang dahulu kala. Karena seorang Muslim diperintahkan oleh
Al-Quran untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemoohkan mereka yang
hanya mengikuti orang-orang tua dan nenekmoyang tanpa memperhatikan apa yang
sebenarnya mereka lakukan; adakah mereka ala hudan (dalam kebenaran) atau 'ala
dhalal (dalam kesesatan).
Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap Muslim
(siapa saja) dapat mengeluarkan pendapatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran tanpa
memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk itu. Setiap Muslim yang memenuhi
syarat, wajib memahami Al-Quran, karena ayat-ayatnya tidak diturunkan hanya
khusus untuk orang-orang Arab di zaman Rasulullah dahulu, dan bukan juga khusus
untuk mereka yang hidup di abad keduapuluh ini. Tetapi Al-Quran adalah untuk
seluruh manusia sejak dari zaman turunnya hingga hari kiamat kelak.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran,
diperintahkan untuk memikirkan isi Al-Quran sesuai dengan akal pikiran mereka.
Benar, akal adalah anugerah dari Allah SWT, tetapi cara penggunaannya berbeda
antara seseorang dengan lainnya yang disebabkan oleh perbedaan antara mereka
sendiri: latar belakang pendidikan, pelajaran, kebudayaan serta
pengalaman-pengalainan yang dialami selama hidup seseorang. 'Abbas Mahmud
Al-'Aqqad menulis: "Kita berkewajiban memahami Al-Quran di masa sekarang
ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad
saw."18
Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti
menafsirkan Al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan
baru. Kita dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil
percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan
ta'ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat Al-Quran tanpa
mempercayai setiap hipotesis atau pantangan.
Contohnya, dahulu dan bahkan hingga kini,
ulama-ulama menafsirkan arti kata al-'alaq dalam ayat-ayat yang menerangkan
proses kejadian janin dengan al-dam al-jamid atau segumpal darah yang beku. Penafsiran
ini didapati di seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu. Bahkan terjemahan dalam
bahasa Inggrisnya pun adalah the clot: darah yang setengah beku. Al-'alaq yang
diterangkan di atas merupakan periode kedua dari kejadian janin. Firman Allah
dalam surah Al-Muminun ayat 12-14 diterjemahkan oleh Prof. M. Hasby Ashiddieqi
dalam tafsirnya, An-Nur, demikian: "Dan sesungguhnya telah Kami jadikan
manusia dari tanah yang bersih, kemudian Kami jadikannya air mani yang disimpan
dalam tempat yang kukuh, kemudian Kami jadikan air mani itu segumpal darah,
lalu Kami jadikannya sepotong daging; dari daging itu Kami jadikan tulang,
tulang itu Kami bungkus dengan daging, dan kemudian Kami menjadikannya makhluk
yang baru (manusia yang sempurna). Maha berbahagia Allah Tuhan sepandai-pandai
yang menjadikan sesuatu."
Memperhatikan ayat ini, jelaslah bahwa periode
kedua dari kejadian manusia adalah al-alaq setelah al-nuthfah. Dan dapat
disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas lima periode: (1) Al-Nuthfah; (2) Al-Alaq;
(3) Al-Mudhghah; (4) Al-'Idzam; dan (5) Al-Lahm.
Apabila seseorang mempelajari embriologi dan
percaya akan kebenaran Al-Quran, maka dia sulit menafsirkan kalimat al-'alaq
tersebut dengan segumpal darah yang beku. Menurut embriologi, proses kejadian
manusia terbagi dalam tiga periode:
1. Periode Ovum
Periode ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan)
karena adanya pertemuan antara set kelamin bapak (sperma) dengan sel ibu
(ovum), yang kedua intinya bersatu dan membentuk struktur atau zat baru yang
disebut zygote. Setelah fertilisasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua,
empat, delapan, enam belas sel, dan seterusnya. Selama pembelahan ini, zygote
bergerak menuju ke kantong kehamilan, kemudian melekat dan akhirnya masuk ke
dinding rahim. Peristiwa ini dikenal dengan nama implantasi.
2. Periode Embrio
Periode ini adalah periode pembentukan
organ-organ. Terkadang organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama sekali
tidak terbentuk, misalnya jika hasil pembelahan zygote tidak bergantung atau
berdempet pada dinding rahim. Ini dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran
dengan cacat bawaan.
3. Periode Foetus
Periode ini adalah periode perkembangan dan
penyempumaan dari organ-organ tadi, dengan perkembangan yang amat cepat dan
berakhir pada waktu kelahiran.
Kembali kepada ayat di atas, kita melihat bahwa
periode pertama menurut Al-Quran adalah 'al-nuthfah, periode kedua al-'alaq dan
periode ketiga al-mudhghah. Al-mudhghah --yang berarti sepotong daging--
menurut Al-Quran (surah Al-Hajj ayat 5) terbagi dalam dua kemungkinan:
mukhallaqah (sempurna kejadiannya) dan ghayru mukhallaqah (tidak sempurna).
Dari sini bila diadakan penyesuaian antara
embriologi dengan Al-Quran dalam proses kejadian manusia, nyata bahwa periode
ketiga yang disebut Al-Quran sebagai al-mudhghah merupakan periode kedua
menurut embriologi (periode embrio). Dalam periode inilah terbentuknya
organ-organ terpenting. Sedangkan periode keempat dan kelima menurut Al-Quran
sama dengan periode ketiga atau foetus.
Dalam membicarakan al-'alaq --yang oleh para
mufassirin diartikan dengan segumpal darah-- didapati pertentangan antara
penafsiran tersebut dengan hasil penyelidikan ilmiah. Karena periode ovum
terdiri atas ektoderm, endoderm dan rongga amnion, yang terdapat di dalamnya
cairan amnion. Unsur-unsur tersebut tidak mengandung komponen darah.
Dari titik tolak ini mereka menolak penafsiran
al-'alaq dengan segumpal darah, cair atau beku. Mereka berpendapat bahwa
al-alaq adalah sesuatu yang bergantung atau berdempet. Penafsiran ini sejalan
dengan pengertian bahasa Arab, dan sesuai pula dengan embriologi yang dinamai
implantasi. Bahasa Arab tidak menjadikan arti al-'alaq khusus untuk darah beku,
tetapi salah satu dari artinya adalah bergantungan atau berdempetan.
Al-Raghib Al-Ashfahaniy, menerangkan beberapa
arti al-alaq menurut bahasa Arab, di antaranya: bergantung dan berdempetan.
Dalam kamus Al-Mishbah Al-Munir, arti al-'alaq adalah "sesuatu yang hitam
seperti cacing di dalam air, bila diminum oleh binatang ia akan bergantung atau
terhalang di kerongkongannya".19
Di samping itu, dalam bahasa Arab sesuatu dapat
dinamakan sesuai dengan keadaan dan sifatnya, seperti: Innama sumiya al-qalb li
taqallubihi.20
Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian di atas adalah:
- Al-Quran adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyri', dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
- Tiada pertentangan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
- Memahami hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tetapi dengan melihat adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju.
- Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Quran bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Al-Quran dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan.
- Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Quran) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuwan yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
- Memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur'aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsp atau ketentuan bahasa.
Catatan kaki
16
Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Qalam, Kairo, cet. II, t.t.,
h. 21.
17
Ibid., h. 22.
18
'Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, 1974, h. 197.
19
Lihat Mu'jam Mufradat li Alfazh Al-Quran, diedit oleh Nadim Mar'asyli, Dar
Al-Fikr, Beirut t.t., h. 355.
20
Qalb dalam bahasa Arab berarti "berbolak-balik", karena sifatnya yang
berbolak-balik: sekali senang, sekali susah, sekali cinta, sekali benci. Yang
berdempet/bergantung di dinding rahim dinamai alaq (bergantung), karena
keadaannya ketika itu "bergantung"/berdempet.
Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia
Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal
pokok:
Pertama, tujuan.
- Akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu, dan segala kaitannya dengan, antara lain, Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
- Budi pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat, dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang, tanggung jawab, dan lain-lain.
- Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dirinya, dan alam sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh
Al-Quran melalui empat cara:
- Menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya, agar manusia --melalui perhatiannya tersebut-- mendapat manfaat berganda: (a) menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
- Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari pengalaman masa lalu.
- Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang jawaban-jawabannya diberikan oleh Al-Quran).
- Janji dan ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin dan kebahagiaan hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di akhirat dengan surga atau neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh
Al-Quran seperti yang disebut di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai
butir-butir tersebut, ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada garis
besarnya dapat terlihat dalam tiga hal pokok:
- Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab.
- Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya.
- Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Quran seperti yang
dikemukakan secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa
Al-Quran berbicara tentang ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara
tentang filsafat dalam segala bidang pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban
yang konkret menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya:
memberi petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi
persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan (QS 2:213).
Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah tersebut,
terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan
ini.
Al-Quran menggunakan kata 'ilm dalam berbagai
bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai "proses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan" (QS 2:31-32). Pembicaraan
tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di
samping klasifikasi dan ragam disiplinnya.
Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa
ilmu menurut Al-Quran mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi
manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau
metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan
oleh para filosof --Muslim atau non-Muslim-- pada masa-masa silam, atau
klasifikasi yang belakangan ini dikenal seperti, antara lain, ilmu-ilmu sosial,
maka pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan
Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua katagori:
- Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya.
- Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan dengan Syari'ah sebagai sumber nilai.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan
ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh
komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau
kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini,
satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara
ajaran Al-Quran dengan sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu
meliputi batas-batas alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami
mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan
eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi
(antara lain, QS 16:78).
Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada
realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya
tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh
firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa
yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia (iblis) dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak dapat kamu
melihat mereka (QS 7:27).
"Apa-apa" tersebut sebenarnya ada dan
merupakan satu realitas, tapi tidak ada dalam dunia empiris. Ilmuwan tidak
boleh mengatasnamakan ilmu untuk menolaknya, karena wilayah mereka hanyalah
wilayah empiris. Bahkan pada hakikatnya alangkah banyaknya konsep abstrak yang
mereka gunakan, yang justru tidak ada dalam dunia materi seperti misalnya berat
jenis benda, atau akar-akar dalam matematika, dan alangkah banyak pula hal yang
dapat terlihat potensinya namun tidak dapat dijangkau hakikatnya seperti cahaya.
Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS
17:85). Kebanyakan manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka tidak mampu
menjangkau nomena (QS 30:7). Dari sini dapat dimengerti adanya
pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Al-Quran dan yang --di sadari atau
tidak-- telah diakui dan dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang
diungkapkan di atas.
Pengertian ilmu dalam tulisan ini hanya akan
terbatas pada pengertian sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan kata lain
dalam pengertian science yang meliputi pengungkapan sunnatullah tentang alam
raya (hukum-hukum alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang memungkinkan
seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah dalam kondisi tertentu.
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan
ketika berbicara tentang kandungan Al-Quran, bahwa Kitab Suci ini antara lain
menganjurkan untuk mengamati alam raya, melakukan eksperimen dan menggunakan
akal untuk memahami fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan persamaan dengan
para ilmuwan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan yang sangat berarti
antara pandangan atau penerapan keduanya.
Sejak semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik
alam raya ini ada Tuhan yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia (antara
lain QS 2:164; 51:20-21), dan bahwa tanda-tanda wujud-Nya itu akan
diperlihatkan-Nya melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti
kebenaran Al-Quran (QS 41:53).
Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran merupakan
wahyu-wahyu Tuhan untuk menjelaskan hakikat wujud ini dengan mengaitkannya dengan
tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (QS 51-56), maka alam raya ini --yang
merupakan ciptaan-Nya-- harus berfungsi sebagaimana fungsi Al-Quran dalam
menjelaskan hakikat wujud ini dan mengaitkannya dengan tujuan yang sama. Dan
dengan demikian, ilmu dalam pengertian yang sempit ini sekalipun, harus
berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas tempat-tempat yang benar dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing manusia ke arah
pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud
dan keperluan."
Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep
tentang "tempat yang tepat" berhubungan dengan dua wilayah penerapan.
Di satu pihak, ia mengacu kepada wilayah ontologis yang mencakup manusia dan
benda-benda empiris, dan di pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup
aspek-aspek keagamaan dan etis.
Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan
bagaimana Al-Quran selalu mengaitkan perintah-perintahnya yang berhubungan
dengan alam raya dengan perintah pengenalan dan pengakuan atas kebesaran dan
kekuasaan-Nya. Bahkan, ilmu --dalam pengertiannya yang umum sekalipun-- oleh
wahyu pertama Al-Quran (iqra'), telah dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini
berarti bahwa "ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional
atau nasional, dengan mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu
pada saat --dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr. 'Abdul Halim Mahmud, Syaikh
Jami' Al-Azhar, menjadi "demi karena (Tuhan) Pemeliharamu, sehingga harus
dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya.
Juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa kebahagiaan dan cahaya ke
seluruh penjuru dan sepanjang masa."
Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di
atas, disamping menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah
intelligible (dapat dijangkau oleh akal dan daya manusia), juga menggarisbawahi
bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah dimudahkan untuk
dimanfaatkan manusia (QS 43:13). Dan dengan demikian, ayat-ayat sebelumnya dan
ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran ganda: tafakkur yang
menghasilkan sains, dan tashkhir yang menghasilkan teknologi guna kemudahan dan
kemanfaatan manusia. Dan dengan demikian pula, kita dapat menyatakan tanpa ragu
bahwa "Al-Quran" membenarkan --bahkan mewajibkan-- usaha-usaha
pengembangan ilmu dan teknologi, selama ia membawa manfaat untuk manusia serta
memberikan kemudahan bagi mereka.
Tuhan, sebagaimana diungkapkan Al-Quran,
"menginginkan kemudahan untuk kamu dan tidak menginginkan kesukaran"
(QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin menjadikan sedikit kesulitan pun untuk
kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa segala produk perkembangan ilmu diakui
dan dibenarkan oleh Al-Quran selama dampak negatif darinya dapat dihindari.
Saat ini, secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu
tidak mampu menciptakan kebahagiaan manusia. Ia hanya dapat menciptakan
pribadi-pribadi manusia yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia
itu mampu berbuat segala sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan
seorang pemabuk yang memegang sebilah pedang, atau seorang pencuri yang
memperoleh secercah cahaya di tengah gelapnya malam.
Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini telah
terdengar suara-suara yang menggambarkan kesadaran tentang keharusan mengaitkan
sains dengan nilai-nilai moral keagamaan.
Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu
permusyawaratan ilmiah tentang "cultural relations for the future"
(hubungan kebudayaan di kemudian hari) dan ditemukan dalam laporannya tentang
"reconstituting the human community" yang kesimpulannya, antara lain,
sebagai berikut: "Untuk menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan
kepribadian, kita harus menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual."
Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah
diungkapkan oleh filosof Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak
negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Beliau menulis: "Kemanusiaan saat
ini membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi
spiritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal
yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual."
Apa yang diungkapkan itu adalah sebagian dari
ajaran Al-Quran menyangkut kehidupan manusia di alam raya ini, termasuk
perkembangan ilmu pengetahuan.
Segi lain yang tidak kurang pentingnya untuk
dibahas dalam masalah Al-Quran dan ilmu pengetahuan adalah kandungan
ayat-ayatnya di tengah-tengah perkembangan ilmu.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu
pembuktian tentang kebenaran Al-Quran adalah ilmu pengetahuan dari berbagai
disiplin yang diisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat
Al-Quran yang berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada
masa turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu,
seperti:
- Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47).
- Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya matahari (QS 10:5).
- Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan-lapisan yang berasal dari perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan awan (QS 27:88).
- Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis sehingga menghasilkan energi (QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar al-akhdhar (pohon yang hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil (hijau daun), karena zat-zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun saja tapi di semua bagian pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau.
- Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan 7; 96:2).
Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah
kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur'an,
Bible dan Sains Modern, bahwa tidak satu ayat pun dalam Al-Quran yang
bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari sini ungkapan "agama dimulai dari sikap
percaya dan iman", oleh Al-Quran, tidak diterima secara penuh. Bukan saja
karena ia selalu menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan
karena ada dari ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan
pembuktian logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang
berdasarkan "taqlid" tidak luput dari kekurangan, tapi juga karena
Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau
bersama-sama dan kapan saja, untuk membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan
menandinginya walaupun hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat
Apakah filsafat itu, dan bagaimana
perkembangannya? Adalah satu pertanyaan yang memerlukan jawaban singkat sebelum
permasalahan yang diketengahkan ini diuraikan.
Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat
merupakan jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu
pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap dasar-dasar keputusan,
prasangka-prasangka dan kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran
filsafat bersifat mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh
dari A-Z, mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan
teknik.
Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan
yang mungkin ada, baik "ada yang umum" (ontologi 'ilm al-kainat)
maupun "ada yang khusus atau mutlak" (Tuhan). Atau, dengan kata lain,
objek penelitian filsafat mencakup pembahasan-pembahasan logika, estetika,
etika, politik dan metafisika.
Melihat demikian luasnya pembahasan filsafat
tersebut, maka pembahasan kita kali ini dibatasi pada bagian "ada yang
umum". Itu pun hanya dalam masalah yang menjadi pusat perhatian pemikir
dewasa ini dan yang merupakan penentu jalannya sejarah kemanusiaan, yakni
"manusia". Karena, memang, dewasa ini orang tidak banyak lagi
berbicara tentang bukti wujud Tuhan atau kebenaran wahyu, tidak pula menyangkut
pertentangan agama dengan aliran-aliran materialisme, tapi topik pembicaraan
adalah "manusia" karena pandangan tentang hakikat manusia akan
memberikan arah dari seluruh sikap dan memberikan penafsiran terhadap semua
gejala.
Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai
salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk-makhluk lainnya,
pandangan yang sejalan dengan keyakinan agama serta menganggap bahwa bumi
tempat manusia hidup merupakan pusat dari alam semesta. Tapi pandangan ini digoyahkan
oleh Galileo yang membuktikan bahwa bumi tempat tinggal manusia, tidak
merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari planet-planet yang
mengitari matahari. Pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah ini,
bertentangan dengan penafsiran Kitab Suci (Kristen) dan membuka satu lembaran
baru dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan dan krisis
lainnya.
Disusul kemudian dengan teori evolusi yang
dikemukakan oleh Darwin.
Segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya diakibatkan oleh teori
tersebut, tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan yang
ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan masa
sesudahnya. Dari Darwin perjalanan dilanjutkan oleh Sigmund Freud yang
mengadakan pengamatan terhadap sekelompok orang-orang sakit (abnormal) dan yang
pada akhimya berkesimpulan, bahwa manusia pada hakikatnya adalah "makhluk
bumi" yang segala aktivitasnya bertumpu dan terdorong oleh libido,
sedangkan agama -menurutnya-- berpangkal dari Oedipus complex dan, dengan
demikian, Tuhan tidak lain kecuali ilusi belaka.
Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri
dan ilmu pengetahuan sejak masa renaissance, mengantarkan masyarakat untuk
lebih jauh menolak kekuasaan agama secara total yang mengakibatkan pula
kekaguman yang berlebihan kepada otoritas sains yang terlepas dari nilai-nilai
spiritual keagamaan, dan yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada peristiwa
pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada waktu Perang Dunia II. Setelah itu
terjadi beberapa hal yang mendasar: agama, antara lain, mulai disebut-sebut
walaupun dengan suara yang sayup-sayup. Pretensi sains dipermasalahkan.
Eksistensialisme mulai berbicara lagi:
"Sebenarnya tak ada arah yang harus dituju, pergilah ke mana engkau sukai.
Engkau mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala sesuatu. Mari kita
berpegang erat-eras pada kebebasan kita. Sosialisme telah merebut
segala-galanya dan menyerahkan kepada negara. Agama juga mengembalikan segala
sesuatu kepada Tuhan, sedangkan Tuhan di luar esensi manusia. Jadi agama juga
menghalangi kebebasan manusia. Agama menipu para pengecut sehingga ia --demi
mengalihkan manusia dari eksistensinya-- menciptakan surga yang kekal di
langit, dan --untuk memberikan rasa takut-- neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu." Demikian antara lain pandangan Sartre, salah satu tokoh
aliran ini.
Sebelum kita sampai pada pandangan Al-Quran, ada
baiknya kita mengutip pendapat Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan fisika,
kelahiran Prancis yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam buku
kenamaannya, Man the Unknown, antara lain: "Pengetahuan manusia tentang
makhluk hidup dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang
telah dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah
makhluk yang kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran
untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan secara
utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami hubungannya
dengan alam sekitarnya."
Selanjutnya, ia mengatakan: "Kebanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para ahli yang mempelajari manusia
hingga kini masih tetap tanpa jawaban, karena terdapat daerah-daerah yang tidak
terbatas dalam diri (batin) kita yang tidak diketahui".
Keterbatasan pengetahuan, menurutnya, disebabkan
karena keterlambatan pembahasan tentang manusia, sifat akal manusia dan
kompleksnya hakikat manusia. Kedua faktor terakhir adalah faktor permanen,
sehingga tidaklah berlebihan menurutnya "jika kita mengambil kesimpulan
bahwa setiap orang dari kita terdiri dari iring-iringan bayangan yang berjalan
di tengah-tengah hakikat yang tidak diketahui."
Dari segi pandangan seorang beragama, kiranya
dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui hal tersebut dibutuhkan pengetahuan dari
pencipta Yang Maha Mengetahui melalui wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia
adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang
dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya.
Nah, apa yang dikatakan Al-Quran tentang manusia?
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang berbicara tentang manusia; bahkan manusia
adalah makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian Wahyu
Pertama (QS 96:1-5). Manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS 11:3),
mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya tentang
kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di bawah alam sadarnya (QS 30:43). Ia diberi
kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk memilih jalannya
masing-masing (QS 33:72; 76:2-3). Ia diberi kesabaran moral untuk memilih mana
yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan nurani mereka atas bimbingan wahyu
(QS 91:7-8). Ia adalah makhluk yang dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan
dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS 17:70) serta ia pula yang telah
diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS 95:4).
Namun di lain segi, manusia ini juga yang
mendapat cercaan Tuhan. Ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS 14:34), dan
sangat banyak membantah (QS 22:67). Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran
bertentangan satu sama lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi
untuk menempati tempat terpuji, atau meluncur ke tempat yang rendah sehingga
tercela.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan
dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan
kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS 38:71-72). Dengan "tanah" manusia
dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh
makan, minum, hubungan seks, dan sebagainya, dan dengan "Ruh" ia
diantar ke arah tujuan non-materi yang tak berbobot dan tak bersubstansi dan
yang tak dapat diukur di laboratorium atau bahkan dikenal oleh alam material.
Dimensi spiritual inilah yang mengantar mereka
untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dan
sebagainya. Ia mengantarkan mereka kepada suatu realitas yang Maha Sempurna,
tanpa cacat, tanpa batas dan tanpa Akhir: wa anna ila rabbika Al-Muntaha -- dan
sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah berakhirnya segala sesuatu (QS 53:42). Hai
manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja dengan penuh kesungguhan menuju
Tuhanmu dan pasti akan kamu menemui-Nya" (QS 84:6).
Dengan berpegang kepada pandangan ini, manusia
akan berada dalam satu alam yang hidup, bermakna, serta tak terbatas, yang
dimensinya melebar keluar melampaui dimensi "tanah", dimensi material
itu.
Al-Quran tidak memandang manusia sebagai makhluk
yang tercipta secara kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia
diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas,
Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Ia
dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak
kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11), serta ditundukkan dan
dimudahkan kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13).
Antara lain, ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS 51:56) serta dianugerahkan
kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (QS 2:38).
Penutup
Demikian filsafat materialisme dengan aneka ragam
panoramanya berbicara tentang manusia. Dan demikian pula Al-Quran. Keduanya
telah menjelaskan pandangannya. Keduanya telah mengajak manusia untuk menemukan
dirinya, tapi yang pertama berusaha untuk menyeretnya ke debu tanah dari Ruh
Tuhan, sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat dari debu tanah menuju
Tuhan Yang Mahaesa.
Sejarah Perkembangan Tafsir
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang
berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada
sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut
ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung
sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan
tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua
kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat
menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya,
mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan
semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan
beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum
dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam,
seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang
merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan
sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in,
khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh
tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin
Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu
'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu
berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di
Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu
penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in,
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa
ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan
berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari
sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar
sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di
tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan
timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada
masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran
berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah
bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan
lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi
peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga
bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti
dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan
yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar
dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang
lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda
lihat."21
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair
kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan
arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai
pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat
selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam
interpretasi tunggal."22
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini
antara lain: (a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang
non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab
sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada
mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang
ini. (b) Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang
mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain
ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa
hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau
tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran
ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami
ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau
hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih,
yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak tasawuf,
akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan
berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan. (f) Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M),
corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada
corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan
masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau
masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah
didengar.
Kodifikasi Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah
perkembangan Tafsir dari segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula
ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal mana dapat dilihat dalam tiga
periode: Periode I, yaitu masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi'in,
di mana Tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar
secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada
masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis
bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti
bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah
Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab
Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga
dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma'ani
Al-Qur'an.
Metode Tafsir
Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat
pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap
mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain.
Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan
Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini
dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan
kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam
Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang
dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga
untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menycluruh dibutuhkan pembahasan
yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat
yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya
Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat,
walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral
yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut
menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide
yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan
ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang
terdapat dalam satu surat
tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum
menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk
menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan
dalam berbagai surat.
Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang
satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan
menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh
Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada
hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.23
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua
pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya,
serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat
tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga
satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun
ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau
surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,
kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna
menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari
segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap
pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).
Catatan kaki
21
'Abd Allah Darraz, Al-Naba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1960, h. 111.
22
Lihat makalah Martin van Bruinessen, "Mohammed Arkoun tentang Al-Quran,"
disampaikan dalam diskusi Yayasan Empati. Pada h. 2. ia mengutip Mohammed
Arkoun, "Algeria,"
dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana
University Press, 1988, h. 182-183.
23
Di beberapa negara Islam selain Mesir, para pakarnya juga melakukan upaya-upaya
penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini. Di Irak, misalnya, Muhammad
Baqir Al-Shadr menulis uraian menyangkut tafsir tentang hukum-hukum sejarah
dalam Al-Quran dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode ini, dan
menamakannya dengan metode tawhidiy (kesatuan).
Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir
Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi
Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun,
memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain,
susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung
makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai
faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap
redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara
pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan
keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, para sahabat Nabi sekalipun,
yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta
memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang
berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud
firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.24
Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah "penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah
sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir)",25
dan bahwa "kepastian arti satu kosakata atau
ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya
tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri."26
Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk
menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi petunjuk
bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh
bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al-Quran
menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan "kurang
tepat", misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya
mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu
kesalahan atau dosa).
Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan
penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau menafsirkan
firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan
dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya
sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat
beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh
masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub
'alayhim (QS 1:7) sebagai "orang-orang Yahudi",27
atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan
untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".28
Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi saw.
bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan antara penafsiran
beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya, ketika menafsirkan shalah
al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar",29
penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan
yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah
berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah.30
Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa
pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau
menafsirkan QS 14:27. Di sana
beliau menafsirkan kata akhirat dengan "kubur".31
Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah
sebagian dari akhirat.
Harus digarisbawahi pula bahwa
penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak yang
kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh
generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw.
sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran".32
Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat
Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan
kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Kebebasan dalam Menafsirkan Al-Quran
Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang
memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap
mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan
bila kita perhatikan pula bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan
masyarakat kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap
manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami
Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan
turunnya Al-Quran.
Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran
seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh
disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh
kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran
seseorang akan berbeda satu dengan lainnya.
Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk
merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena hal ini merupakan
perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang,
walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah
konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran
tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah
timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Quran, sebagaimana
pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap disiplin ilmu. Mengabaikan
pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka
dalam kehidupan.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap
orang bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam bidang kedokteran
atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai pengetahuan tentang
ilmu tersebut.
Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran
Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam
orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan bahwa para sahabat
sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda pendapat atau keliru dalam
memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak dini
telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.
Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang
sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan
bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara
umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang
tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak
diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh
Allah.33
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis
pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b)
menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat
Al-Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila
beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa
kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin
dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan
sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat
Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang
mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam
'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7).34
Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai
dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti
masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang
tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat
tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun berwenang
untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya
berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau
oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini
hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi
saw.35
Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim
Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu Hurairah, tentang ayat
"neraka saqar adalah pembakar kulit manusia" (QS 74:29) untuk
dinisbatkan kepada Rasul saw.36
Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), salah seorang
ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip "tidak
menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia,
tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran."
Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan amal
perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara Tuhan dalam menimbang
amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu,
tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa
yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah
SWT atas dasar keimanan."37
Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas,
dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh
oleh sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang
aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.38
Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran
yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok
dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam
berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah
turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang
prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang
menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di
atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.
Dalam hal ini ada dua hal yang perlu
digarisbawahi:
(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau
berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran. Seseorang yang tidak memenuhi
syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian
tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli
tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.
Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir
semacam Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau Al-Azhar karya
Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang dibacanya,
tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di
atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan
pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka apa yang dilakukannya tidak
dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam
kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.
(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan
dalam penafsiran antara lain adalah:
(a) Subjektivitas mufasir;
(b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau
kaidah;
(c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
(d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian
(pembicaraan) ayat;
(e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab
al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat;
(f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan
terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya
ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu
untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas,
yang mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran,
masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran,
khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan bahasa.
Perubahan Sosial
Ditemukan banyak ayat Al-Quran yang berbicara
tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah
masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif (QS 48:29), juga bahwa
setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (QS 10:49; 15:5, dan lain-lain),
dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang tetap
(hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS 35:43; 48:23, dan lain-lain).
Perubahan-perubahan atau
perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh
potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua
kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat
Al-Quran. Walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah
ibadah (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus
diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah
tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih
dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.39
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sementara ulama berpendapat bahwa
"syari'at" (Al-Quran dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman
masyarakat pada masa turunnya.40
Ini mengakibatkan antara lain pembatasan dalam memahami teks-teks ayat Al-Quran
berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan tingkat pengetahuan masyarakat pada
masa turunnya Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu dewasa
ini.
Pembatasan di atas tentunya tidak dapat diterima,
apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua
manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil untuk menjadikan semua
orang berpikir dengan pola yang sama. Dan karena Al-Quran memerintahkan setiap
orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan pikirannya antara
lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Atas dasar ini,
pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas mengenai pembatasan dalam penafsiran
Al-Quran amat sulit diterima.
Selanjutnya perlu dibedakan antara pemikiran
ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika ilmu
pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini bulat, maka
mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah
jadikan untuk kamu bumi ini terhampar" (QS 71:19) bahwa keterhamparan yang
dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini
terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan ke mana pun seseorang melangkahkan
kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan "Allah
ciptakan" tetapi "jadikan untuk kamu". Demikian juga ketika
eksperimen membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis janin (bayi
dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat "Allah mengetahui apa yang
dikandung oleh setiap perempuan (hamil)" (QS 13:8), pemahaman kata
"apa" beralih dari yang tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi
menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan, bakat,
jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa" dalam istilah
Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu. Di sisi lain, kalimat "Allah
mengetahui" bukan dalam arti "hanya Allah yang mengetahui", bila
yang dimaksud dengan "apa"-nya adalah jenis kelamin janin.
Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran
seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila pembatasan
yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas diterapkan. Namun ini tidak
berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat
dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, apalagi bila
membenarkannya atas nama Al-Quran. Karena itu, pemakaian teori ilmiah yang
belum mapan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini
akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami
oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab Suci yang kemudian terbukti
bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah yang sejati.
Bidang Bahasa
Perlu digarisbawahi bahwa walaupun Al-Quran
menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya,
namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan
pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Quran dalam hal ini
menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik
yang mereka kenal.41
Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini
telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga
digunakan oleh Al-Quran.
Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih
pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa
pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufasir, disamping harus
memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan
ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap setiap kosakata,
dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang
dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk
menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang kemudian.
Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian
khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa pengertian Qurani
tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam hal ini seseorang
mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari
sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.
Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan)
menciptakan manusia dari 'alaq" (QS 96:2) mempunyai banyak arti, antara
lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang berdempet dan
bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di sini seseorang mempunyai
kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan
alasannya.
Perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan
arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia dikemukakan
dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran. Bahkan agama menilai bahwa
mengemukakannya pada saat itu memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya
ia kemudian terbukti keliru.
Catatan kaki
24
Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, Mesir, 1961, jilid 1, h. 59.
25
Ibid., h. 15.
26
Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, t.t., jilid II,
h. 35.
27
Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t.
jilid I, h. 29.
28
Ibid., h. 321.
29
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya.
30
Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi.
31
Ibid.
32
Al-Zahabiy, op.cit. h. 53.
33
Lihat lebih jauh Al-Zarkasyi, Al-Burhan to 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir,
1957, jilid II, h. 164.
34
Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Mesir, cet. 11, h. 3.
35
Lihat Al-Zahabiy, op.cit., h. 59.
36
Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits, Dar Al-Afaq, Beirut, 1980, h. 20.
37
Syaikh Muhammad 'Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Dar Al-Hilal, Mesir, 1962, h. 139.
38
Ibid., h. 26.
39
Abu Ishaq Al-Syathibi, op. cit., jilid II, h. 300.
40
Ibid., hal. 82.
41
Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Penerbit
Mizan, Bandung, 1984, h. 28.
Perkembangan Metodologi Tafsir
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci
itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan
ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu
gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat
ini.42
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap
ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang
sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu
dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Berikut ini, akan dikemukakan selayang pandang tentang
perkembangan metode penafsiran, keistimewaan dan kelemahannya, menurut tinjauan
kacamata kita yang hidup pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
serta era globalisasi dan informasi.
Corak dan Metodologi Tafsir
1. Corak Ma'tsur (Riwayat)
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya
telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran. Kalau kita
mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada
dasarnya --setelah gagal menemukan penjelasan Nabi saw.-- mereka merujuk kepada
penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat
dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn Al-Khaththab, pernah bertanya
tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS
16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah
"pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan
dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari
syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.43
Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba'
at-tabi'in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti
sebelumnya.
Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra' (w. 207
H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma'aniy Al-Qur'an,44
maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan
yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara
riwayat dan bahasa.
Mengandalkan metode ini, jelas memiliki
keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah:
(a) Menekankan pentingnya bahasa
dalam memahami Al-Quran.
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks
ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam
kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir
dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga
pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab
al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari
uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga
ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah
masyarakat tanpa budaya.
Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta
menguraikan ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa
bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemukjizatan
Al-Quran dari segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan
kemukjizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena --jangankan kita
di Indonesia ini-- orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa
bahasa itu.
Metode periwayatan yang mereka terapkan juga
cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya.
Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut
informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan
riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang menyampaikan
riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai
bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang
peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar (yang kokoh).45
Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa "Kami hanya
menyampaikan dan silakan meneliti kebenarannya".46
Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode
riwayat, walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali dapat
ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang ditemui sanadnya pun
membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menetapkan kelemahan dan
kesahihannya. Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir seringkali disibukkan
dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda bahkan bertentangan
satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan ayat terlupakan.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika
mengandalkan riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa antara
generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan
laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak
terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu, penghormatan kepada sahabat,
dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan
demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khair al-qurun
(sebaik-baik generasi),47
masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan
keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikut masih cukup mantap.
Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan
keadaan masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan metode riwayat
membutuhkan pengembangan, di samping seleksi yang cukup ketat.
Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan
nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra'y.
2. Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
a. Metode Tahliliy
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang
mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud
menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efisien,
bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir
menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan mawdhu'iy.48
Terlepas dari catatan-catatan yang dikemukakan menyangkut istilah dan
kategorisasinya.
Yang paling populer dari keempat metode yang
disebutkan itu, adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu'iy. Metode tahliliy,
atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi'iy,49
adalah satu metode tafsir yang "Mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan
ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf."
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang
mufasir tajzi'iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab
al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan
ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu
pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau
kelanjutannya, pada ayat lain.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi,
menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahliliy itu,
tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional
bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran.50
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di
atas, namun yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan kecuali kepada
mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat
dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di
dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu
ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat
dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang
selalu dimulai dengan kalimat "Inkuntum fi raib" atau "Inkuntum
shadiqin".
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti
yang diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan
mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan
tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa
kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita
sependapat dengan Baqir Al-Shadr --ulama Syi'ah Irak itu-- yang menilai bahwa
metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta
kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.51
Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang
hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya
dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak
mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus
tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi
subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir
yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya
--apakah pada diri kita atau metode mereka-- adalah bahwa bahasan-bahasannya
dirasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal ini mungkin karena
sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran
persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga
uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan
Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
b. Metode Mawdhu'iy
"Istanthiq Al-Quran" ("Ajaklah
Al-Quran berbicara" atau "Biarkan ia menguraikan maksudnya") --
konon itu pesan Ali ibn Abi Thalib.
Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir
untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini
lahir metode mawdhu'iy di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat
Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik
yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis
kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Tafsir dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan
Urusan Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal menyinggung
tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik Muslim
maupun non-Muslim tentang apa yang dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal
itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan
bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang
pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya
terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu
berarti bahwa Islam Indonesia
dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan
peradaban.
Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada
benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran
yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Dan
tentunya, pemahaman manusia --termasuk terhadap Al-Quran-- akan banyak
dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari
itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan
masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang
dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai adanya
perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan
masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam satu
bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan perbedaan qira'at yang
dikenal luas dewasa ini.
Namun demikian, hemat penulis, tidaklah wajar
untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan
tafsir Al-Quran ala Indonesia,
Mesir, atau kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya
sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam --akidah,
syari'ah, dan akhlak-- yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran
mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang.
Tetapi juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup
dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin
menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi.
Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai
kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat Indonesia, yang membedakannya dari
masyarakat-masyarakat lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan
untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?
Ada
yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah keberadaannya sebagai
masyarakat plural. Tetapi, walaupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan
sesuatu yang khas Indonesia.
Masyarakat Mesir, Syria,
dan India,
misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai etnis dan agama
hidup berdampingan dengan segala suka-dukanya.
Menjadi kewajiban semua umat Islam untuk
membumikan Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua
berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah
memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya
interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan
kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.
Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini,
penulis ingin menggarisbawahi dua persoalan pokok, yang berkaitan dengan dasar
penafsiran, tanpa menutup mata terhadap dasar-dasar lain.
1. Asbab Al-Nuzul
Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang
hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai harus
dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti
"sebab" dalam rumusan di atas --walaupun tidak dipahami dalam arti
kausalitas, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa
"Al-Qur'an qadim"-- tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat
yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat
dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut mendahului atau paling tidak
bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di pentas bumi itu.
Dalam kaitannya dengan asbab al-nuzul, mayoritas
ulama mengemukakan kaidah al-'ibrah bi 'umum al-lafzh la bi khushush al-sabab
(patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus
terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); sedangkan sebagian kecil
dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya, al-'ibrah bi khushush al-sabab la
bi 'umum al-lafzh (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab
turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Di sini perlu kiranya dipertanyakan:
"Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan
minoritas di atas yang ditekankan?" Tentunya, jika demikian, maka perlu
diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut:
Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul pasti
mencakup: (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan
mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu
tertentu dan tanpa pelaku.
Sayang, selama ini pandangan menyangkut asbab
al-nuzul dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan
mengabaikan "waktu" terjadinya --setelah terlebih dahulu mengabaikan
pelakunya-- berdasarkan kaidah yang dianut oleh mayoritas tersebut.
Para penganut
paham al-'ibrah bi khushush al-sabab, menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk
menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul itu,
tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.52
Pandangan mereka ini, hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan
faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan.
Bukankah, seperti dikemukakan di atas, ayat Al-Quran tidak turun dalam
masyarakat hampa budaya dan bahwa "kenyataan mendahului/ bersamaan dengan
turunnya ayat"?
Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas
oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-manthiq, al-shuriy) yang
selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha' kita. Tetapi, analogi Yang lebih
luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang
mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana halnya pada masa Rasul
dan para sahabat."53
Qiyas yang selama ini dilakukan menurut Ridwan
Al-Sayyid adalah berdasarkan rumusan Imam Al-Syafi'i, yaitu "Ilhaq far'i
bi ashl li ittihad al-'illah", yang pada hakikatnya tidak merupakan upaya
untuk mengantisipasi masa depan, tetapi sekadar membahas fakta yang ada untuk
diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa yang
pernah ada.54
Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat
diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Quran dan
pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh
ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas.
2. Ta'wil
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran
tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran,
apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat
ilmiah, atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan
menyatakan bahwa "Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui
maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa
ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para
mufasir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil,
atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda
dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.
Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama
beraliran rasional dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam
bidang penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna
metaforis pada ayat-ayat Al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa dia
telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan, sehingga mampu
menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan
yang sebelumnya dihadapi itu.
Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid
Al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut
aliran rasional (Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai "juru bicara Ahl
Al-Sunnah".55
Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka
memahami teks-teks keagamaan.
Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil
tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat
pokok bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat Al-Quran:
Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan
hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh
bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari
syarat kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut
harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.
Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa
popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi
menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih
dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks
tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi
syarat pen-ta'wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan
faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta'wil-an dengan
kata yang di-ta'wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang
tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang
tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata).56
Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi' yang secara tegas menyatakan
bahwa "Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang
biasa dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan
seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup
segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat,
tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita
berada."57
Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan
sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan
modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.
Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita
garisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta'wil-kan suatu ayat, semata-mata
berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat
dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah
kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.
Catatan kaki
42
Prof. Dr. Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy,
Mesir, 1989, h. 77.
43
Lihat Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat, Dar Al-Marifah, Beirut, tp. th., Jilid II, h. 18.
44
Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah,
Kairo, 1961, Jilid 1, h. 142.
45
Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, 1367 H,
Jilid 1, h. 8.
46
Mahmud Al-Syarif, Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, Dar Ukaz, Jeddah, 1984,
h. 62.
47
Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa: "Sebaik-baik generasi adalah
generasiku, kemudian disusul oleh sesudahnya (tabi'in), lalu disusul lagi oleh
sesudahnya, dan sesudah mereka tidak lagi dinamai generasi terbaik."
48
Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu'iy, Al-Hadharah
AlArabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977, h. 23.
49
Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi
Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, Beirut, 1980, h. 10.
50
Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah Al-Qur'aniyah, Dar Al-Fikr,
Lebanon, t.t., h. 58.
51
Muhammad Baqir Al-Shadr, op.cit., h. 12.
52
Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan, Al-Halabiy, Mesir, Cet.
III, 1980 Jilid I h. 125.
53
Yusuf Kamil, Al-'Ashriyun Mu'tazilat Al-Yawm, Al-Wafa' Al-Mansurah, Mesir,
1985, h. 22.
54
Ridhwan Al-Sayyid, Al-Islam Al-Mu'ashir, Naz'at fi Al-Hadhir wa Al-Mustaqbal,
Dar .Al-'Ulum Al-Arabiyah, Beirut,
1986, h. 90.
55
Prof. Dr. Muhammad Rajab Al-Bayyumi, Khathawat Al-Tafsir Al-Bayaiy, Majma'
Al-Buhuts, Kairo, 1971, h. 92.
56
Muhammad Rasyid Ridha, op.cit., Jilid III, h. 95.
57
Aisyah Abdurrahman (Bint Al-Syathi') Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilm
li Al-Malayin, Beirut,
1982, h. 887.
Tafsir dan Modernisasi
Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain
sebagai hudan li al-nas dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan
menuju terang benderang (QS 14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa
manusia tadinya merupakan satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai
akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat,
maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan
silang pendapat. Sejak itu, Allah mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci,
agar mereka --melalui Kitab Suci tersebut-- dapat menyelesaikan perselisihan
mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problem-problem mereka
(QS 2:213).
Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi
yang digambarkan di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia untuk mempelajari
dan memahaminya (baca antara lain QS 38:29), sehingga mereka dapat menemukan
--melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat-- apa yang dapat
mengantar mereka menuju terang benderang.
Di sisi lain, Al-Quran menggambarkan masyarakat
ideal sebagai: tanaman yang mengeluarkan tunasnya,
maka tunas itu menjadikan tanaman tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia dan tegak
lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya ...
(QS 48:29).
Penggalan ayat ini menggambarkan betapa
masyarakat ideal tersebut terus-menerus berubah dan berkembang menuju
kesempurnaannya. Kalau gambaran di atas dikaitkan dengan hakikat kemodernan
yang --antara lain-- bercirikan dinamika dan perubahan terus-menerus, serta
dikaitkan dengan fungsi Kitab Suci seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka
kita dapat berkesimpulan bahwa Al-Quran menganjurkan pembaruan atau --dalam
bahasa hadis Rasulullah saw.-- tajdid, atau istilah lainnya
"modernisasi" atau "reaktualisasi".
Arti Tajdid atau Modernisasi
Walaupun semua ulama mengakui dan menyadari
perlunya tajdid, terlepas apakah mereka menilai sahih atau tidak hadis yang
diriwayatkan Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah,58
namun --dalam pengertiannya serta pengalamannya-- telah terjadi
perbedaan-perbedaan yang tidak kecil.
Busthami Muhammad Said59
misalnya, menyimpulkan pengertian tajdid seperti yang dikemukakan oleh Sahl
Al-Sha'luki (w. 387 H) sebagai "Mengembalikan ajaran agama sebagaimana
keadaannya pada masa salaf pertama" (i'adah
al-din ila ma kana 'alayhi ahd al-salaf al-shalih). Sementara itu, Ahmad
ibn Hanbal memahami pengertian tajdid sebagai "penyebarluasan ilmu".60
Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh suatu rumusan bahwa tajdid tidak lain
kecuali "menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti
yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf
al-awwal."
Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai
"usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan
jalan men-ta'wil-kan atau menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat."61
Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau
menafsirkan Al-Quran sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak
sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena Al-Quran harus diyakini berdialog
dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan
memikirkannya. Sementara itu, hasil pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian
faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, serta latar
belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya, bahkan
antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena
memaksa satu generasi untuk mengikuti "keseluruhan" hasil pemikiran
generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan
dengan ciri agama serta tidak sejalan pula dengan hakikat masyarakat yang
senantiasa mengalami perubahan.
Di pihak lain, melakukan tajdid dengan jalan
menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran
Al-Quran yang dinilai "selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat."
Selain itu, menafsirkan dan men-ta'wil-kannya sejalan dengan perkembangan
masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak
kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi
positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan
ilmiah: ada yang bersifat objektif dan telah mapan dan ada pula yang
sebaliknya.
Atas dasar ini, diperlukan beberapa catatan
terhadap ide-ide sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka, walaupun
semuanya berbicara tentang tajdid atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai
batas-batasnya: di satu pihak ada yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa
yang diharapkan, dan di pihak lain ada yang melampaui batas sehingga
menyerempet bahaya.
Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan
Al-Maududi: "Tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman
pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah
dalam pula pemahamannya tentang makna-makna Al-Quran. Tetapi, hal ini bukan
berarti bahwa ia telah memahami Al-Quran melebihi
pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut
dari Nabi saw."62
Pendapat Al-Maududi di atas, walaupun
kelihatannya berbeda dengan pendapat Al-Syathibi (1143-1194), namun hakikatnya
sama. Menurut Al-Syathibi, "Syari'at bersifat ummiyah, tidak boleh
dipahami kecuali sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi saw."63
Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah
"murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari
Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di
antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat Al-Quran. 'Adi ibn Hatim,
misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad (QS 2:187),
dengan arti hakiki (benang).64
Kalau pendapat Al-Maududi tidak sepenuhnya
diterima, maka demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad
Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami Al-Quran adalah ayat ketujuh surah Ali
'Imran, Huwa alladzi anzala 'alaika al-kitab minhu
ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat. Menurut Asad,
ayat inilah yang menjadikan risalah Al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang
menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang menggunakan
redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Quran
--katanya lebih jauh-- memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila
redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam
memahami jiwa ajaran Al-Quran.65
Tetapi, apakah benar dalam Al-Quran terdapat
"banyak" ayat mutasyabih? Dan apakah mutasyabih dapat di-ta'wil-kan
sebagaimana cara yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya hilanglah supra
rasionalitas dalam ajaran agama (mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat
di-ta'wil-kan menjadi "hukum alam" atau bisikan hati nurani, dan
sebagainya)? Tidak, ini yang melampaui batas, tidak pula yang sebelumnya yang
sangat terbatas, yang kita pahami sebagai tajdid atau modernisasi dalam bidang
tafsir.
Pandangan tentang Modernisasi Tafsir
Berikut ini beberapa pokok pandangan yang dapat
dijadikan pegangan dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.
1. Hadis-hadis dan Pendapat-pendapat Sahabat
Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan
hadis-hadis Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran yang paling ideal
adalah tafsir bi alma'tsur, yakni yang berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat
sahabat dalam menafsirkan Al-Quran.
Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran
mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw., demikian pula
sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: (1) la majala li al-'aql fihi
(masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika,
perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi majal al-aql (dalam wilayah
nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan.
Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih,
diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar
jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi
saw. adalah benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada
proporsinya yang tepat. Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi,
baik dari segi motif penafsiran, yang dapat berbentuk ta'rif atau irsyad atau
tashhih, dan sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan
penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk:
(a) Hubungan padanan (tathabuq),
seperti penafsiran al-shalat al-wustha dengan "shalat Ashar";
(b) Hubungan kelaziman (talazum) seperti
penafsiran ud'uni (dalam QS 40:60) dengan "beribadat";
(c) Hubungan cakupan (tadhamun), seperti
penafsiran al-akhirat (dalam QS 14:27) dengan "kubur";
(d) Hubungan percontohan (tamtsil), seperti
penafsiran al-maghdhub 'alayhim (dalam surah Al-Fatihah) dengan
"orang-orang Yahudi", dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan
orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu,
sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam bentuk
contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain.
Di samping keragaman penafsiran seperti yang
dikemukakan di atas, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi,
sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya.
Al-Qarafi66
membagi sikap atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan
beliau sebagai: (1) Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; dan (4) Imam (pemimpin negara
atau masyarakat). Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan
beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial
masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial
ketika itu.
Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila
permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majal li al-'aql fih (bukan
kalam wilayah nalar), maka ia fi hukm al-murfu' (bersumber dari Nabi saw.)
sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak
demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai
dan mana yang tidak.
2. Pembedaan antara yang Qath'iy dan yang Zhanniy
Menurut Al-Syathibi, tidak ada atau sedikit
sekali yang bersifat qath'iy dalam dalil-dalil Syari'at bila yang dimaksud
dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafal pada saat
ia berdiri sendiri.67
Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang
batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy al-dalalah, namun
yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat
bagi suatu interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia
merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari
sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara Syari'at dan fiqih.
Ahmad Abu Al-Majd menulis, "Kita harus
menekankan keharusan pembedaan antara Syari'at dan fiqih: Syari'at adalah
sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath'iy baik dari
segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya
(pengertiannya); sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash."68
Selanjutnya ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi
lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ...
Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia
yang berbeda dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak
dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan
menempati tempatnya."69
Nah, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah
dapat timbul penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang belum
dikenal oleh para pendahulu. Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain:
(a) Angka kematian dapat ditekan
dan rata-rata umur manusia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
(b) Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya,
bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan
genetics engineering (rekayasa genetis).
Dua contoh di atas menjadikan seseorang yang
percaya kepada Al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang berbicara
tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al ghayb yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah.
Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan
semua hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang
sewajarnya dipegang adalah al-muhafazhah 'ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (berpegang kepada
yang lama yang baik, dan kepada yang baru yang lebih baik).
3. Penggunaan Ta'wil dan Metafora
Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan
menggunakan ta'wil atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam
Malik (w. 795 M), misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata "langit
menurunkan hujan."70
Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah SWT.
Keengganan menggunakan ta'wil ini menjadikan sementara ulama salaf menduga
bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah dalam QS
2: 74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada lebah
berdasarkan QS 16:68.71
Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan telah
berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya tawil dalam berbagai
bentuknya. Al-Sayuthi; misalnya, menilai majaz sebagai salah satu bentuk
keindahan bahasa.72
Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul
dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya.
Kini, sementara orang yang menganggap dirinya
sebagai pembaru dalam bidang tafsir, menggunakan pen-ta'wil-an semata-mata
berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Dr. Mustafa
Mahmud, misalnya, men-tawil-kan larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa
"mendekati pohon" sebagai larangan melakukan hubungan seksual.73
Walaupun salah satu argumentasinya adalah argumentasi kebahasaan, namun
penafsiran ini sangat menggelikan pakar bahasa.
Menurut Mustafa, redaksi firman Allah sebelum
mereka mendekati pohon adalah dalam bentuk mutsanna (dual), yakni jangan kamu
berdua mendekati pohon ini (QS 2:35). Tetapi, setelah mereka memakannya (dalam
arti melakukan hubungan seksual), redaksi berikutnya berbentuk jamak, yakni
Turunlah kamu semua dari surga ... Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian
lainnya (QS 2:36). Hal ini menurutnya, adalah bahwa tadinya Adam dan Hawa hanya
berdua, tetapi setelah istrinya mengandung janin maka mereka menjadi bertiga
sehingga wajar bila redaksi beralih menjadi bentuk jamak.74
Apa yang dikemukakan ini jelas bertentangan
dengan teks ayat dan bertentangan pula dengan kaidah kebahasaan. Karena, bahasa
tidak menjadikan janin yang dikandung sebagai wujud penuh, tetapi mengikut
kepada ibu yang mengandungnya dan karenanya walaupun seorang ibu mengandung
--berapa pun bayi yang dikandungnya-- ia tetap dianggap sebagai wujud tunggal.
Contoh di atas membuktikan kekeliruan
pen-ta'wil-an yang dilakukan semata-mata dengan menggunakan nalar tanpa
pertimbangan kaidah kebahasaan.
Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi
setiap penta'wil-an:
(a) Makna yang dipilih sesuai
dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam
bidangnya;
(b) Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa
Arab klasik.75
Sementara pembaru dinilai sangat memperluas
penggunaan ta'wil, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami
motivasi sebagian mereka --seperti motivasi Muhammad Abduh yang menggunakan
akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit
sedapat mungkin wilayah gaib. Namun bila hal ini diperturutkan tanpa batas,
maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional,
sebagaimana ditemukan dalam pemikiran sementara pembaru. Menggunakan akal
sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya
tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti
menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang
Mutlak itu).
Tetapi, tentunya ini bukan berarti kita menerima
begitu saja penafsiran-penafsiran yang tidak logis. Apa yang dikemukakan di
atas hanya berarti apabila suatu redaksi sudah cukup jelas serta pemahamannya
tidak bertentangan dengan akal --walaupun belum dipahami hakikatnya-- maka
redaksi .tersebut tidak perlu di-ta'wil-kan dengan memaksakan suatu makna yang
dianggap logis.
Apa yang dikemukakan di atas juga bukan berarti
hanya menggunakan ta'wil pada ayat-ayat yang telah pernah di-ta'wil-kan oleh
para pendahulu. Perkembangan masyarakat yang dihasilkan oleh potensi
positifnya, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan,
kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam memahami atau menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran, sehingga, bila pada lahirnya teks bertentangan dengan
perkembangan dan penemuan ilmiah, maka tidak ada jalan lain kecuali menempuh
pen-ta'wil-an. Hal demikian tentunya lebih baik daripada pengabaian teks,
sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang dibenarkan Al-Quran dan
ulama. Karena, bukanlah Al-Quran mengenal redaksi yang demikian itu dan ulama
pun telah sepakat untuk menggunakannya?
Catatan kaki
58
Hadis tersebut berbunyi: Inna Allah yab'atsu lihadzihi al-ummah 'ala ra'si
kulli mi'ah sanah man yujaddidu laha dinaha. Lihat Sunan Abi Daud tahqiq
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Al-Tijariyah Al-Kubra, Kairo, 1953; jilid IV,
h. 109.
59
Lihat Busthami Muhammad Said, Mafhum Tajdid Al-Din, Dar Al-Da'wah, Kuwait, cet.
1, 1984.
60
Ibid., h. 25.
61
Abu Al-Hasan Al-Nadawi, Al-Syura Bayn Al-Fikrah Al-Islamiyyah wa Al-Fikrah
Al-Gharbiyyah, Maktabah Al-Taqaddum, Kairo, cet.III, 1977, h. 71.
62
Abu Al-A'la Al-Maududi, Al-Islam fi Muwajahat Al-Tahaddiyat Al-Mu'ashirah, Dar
Al-Qalam, Kuwait, 1974, h. 187.
63
Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, tahqiq Syaikh Abdullah Darraz,
Al-Tijariyah Al-Kubra, Kairo, t.t. jilid II h. 82.
64
Dalam riwayat Bukhari dinyatakan bahwa 'Adi meletakkan tali (benang) hitam dan
putih di bawah bantalnya. Lihat Shahih Al-Bukhari Kitab Al-Shaum, Sulaiman
Mar'iy, Singapura t.t., jilid I, h. 328. Dalam riwayat lain Nabi bersabda
kepadanya: Inna wisadataka izan la'aridh (kalau demikian bantalmu panjang
sekali). Lihat Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman dalam Jam' Al-Fawa'id min
Jami' Al-Ushul wa Majma'Al-Zawaid, Abdullah Hasyim Al-Yamani, Madinah, 1961,
jilid II, h. 178.
65
Lihat Muhammad Asad dalam The Message of Qur'an, II, sebagaimana dikutip oleh
Busthami Muhammad Said, op. cit., h. 178.
66
Al-Qarafi, Al-Ahkam fi Tamyiz Al-Fatawa an Al-Ahkam wa Tasharrufat Al-Qadhi wa
Al-Imam, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Al-Mathba'at Al-Islamiyyah, Halab,
Suria, 1967, h. 86, dan seterusnya.
67
Al-Syathibi, op. cit., jilid I, h. 35.
68
Lihat Artikelnya dengan judul "Muwajahat Ma'a 'Anashir Al-Jumud fi Al-Fikr
Al-Islamiy Al-Mu'ashir,"dalam majalah Al-Arabiy, Kuwait, no. 222, Mei
1977, h. 22.
69
Ibid.
70
Syarif Al-Radhi, Talkhish Al-Bayan, tahqiq Muhammad Abdul Ghani Hassan,
Al-Halabi, Mesir, 1955, h. 11.
71
Al jahiz, Al-Hayawan, tahqiq Abdussalam Harun. Kairo, 1964, jilid II, h. 128.
72
Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Kairo, 1318 H, jilid II, h.
36.
73
Lihat lebih jauh Abdul Muta'al Muhammad Al-Jabri, Syathahat Mushthafa Mahmud,
Dar Al-I'tisham, Kairo, 1967, h. 119.
74
Ibid.
75
Al-Syathibiy, op. cit., h. 100.
Penafsiran Ilmiah Al-Quran
Al-Quran Al-Karim, yang merupakan sumber utama
ajaran Islam, berfungsi sebagai "Petunjuk ke jalan
yang sebaik-baiknya" (QS 17:9) demi kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan
global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad
saw. (QS 16:44; 4:105, dan sebagainya).
Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat
manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24), dengan
perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan
kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui
pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya (Al-Ushul Al-Ammah) atau
mengabaikan perincian-perincian yang tidak termasuk dalam wewenang ijtihad.
Dengan demikian, akan ditemukan kebenaran-kebenaran penegasan Al-Quran, bahwa:
a. Allah akan memperlihatkan
tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh ufuk dan pada diri manusia, sehingga
terbukti bahwa ia (Al-Quran) adalah benar (baca QS 41:53).
b. Fungsi diturunkannya Kitab Suci kepada para
Nabi (tentunya terutama Al-Quran), adalah untuk memberikan jawaban atau jalan
keluar bagi perselisihan dan problem-problem yang dihadapi masyarakat (baca QS
2:213).
Perkembangan Penafsiran Ilmiah
Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran
Al-Quran, wahyu Ilahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapa pun yang
meragukannya untuk menyusun "semisal" Al-Quran. Tantangan tersebut
datang secara bertahap:
a. Seluruh Al-Quran (QS 17:88;
52:34).
b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya (QS
11:13).
c. Satu surah saja (QS 10:38).
d. Lebih kurang semisal satu surah saja (QS
2:23).76
Arti semisal mencakup segala macam aspek yang
terdapat dalam Al-Quran,77
salah satu di antaranya adalah kandungannya yang antara lain berhubungan dengan
ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa turunnya.
Dari sini tidaklah mengherankan jika sementara
pihak dari kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-Quran, atau
kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya
"pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara lain
diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui Al-Quran,
dan bukan sebaliknya.
Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal.
Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan
Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun,
agaknya, tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali (w.
1059 - 1111 M)78
yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum Al-Din dan Jawahir
Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu.
Al-Ghazali mengatakan bahwa: "Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang
terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah
diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim."79
Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam
ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya.
Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, af'al dan sifat-Nya. Pengetahuan
tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut
prinsip-prinsip pokoknya.80
Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku"
(QS 26:80).
"Obat" dan "penyakit",
menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di
bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu
kedokteran.
Agaknya, ulasan yang dikemukakan ini sukar untuk
dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak terbatas, namun apakah
seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang
menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu
tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan "kalam".
Karenanya, tidak semua yang diketahui itu diucapkan.
Fakhruddin Al-Raziy (1209 M), walaupun tidak
sepenuhnya, sependapat dengan Al-Ghazali. Namun, kitab tafsirnya, Mafatih
Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu
alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya
tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali
tafsir.81
Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan
oleh Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi jauhari (1870-1940). Bahkan,
sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan Tafsir Al-Manar-nya,
dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Ia, menurut penilaian
Goldziher, berusaha membuktikan bahwa: "Al-Quran mencakup segala hakikat
ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya),
khususnya di bidang filsafat dan sosiologi."82
Di lain sisi, Al-Syathibi (w. 1388) merupakan
tokoh yang paling gigih menentang sikap di atas secara berlebih-lebihan pula,
sehingga ia mengatakan bahwa "Al-Quran tidak diturunkan untuk maksud
tersebut,"83
dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Quran, harus membatasi diri
menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab
pada masa turunnya Al-Quran. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan
ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan
Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya."84
Namun, apa yang dikemukakan oleh Al-Syathibi
tersebut, juga sukar untuk dipahami, karena kita berkewajiban memahami Al-Quran
sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang
hidup di masa dakwah Muhammad saw.85
Di samping itu, bagaimana kita dapat melaksanakan
maksud ayat seperti "Apakah mereka tak berpikir", dan sebagainya, yang
biasanya menjadi fashilah (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang biologi,
astronomi, dan lainnya, apabila kita tidak memahaminya melalui bantuan
ilmu-ilmu tersebut yang jelas belum dikenal dan berkembang dengan pesat
sebagaimana yang kita alami dewasa ini?
Pendapat kedua tokoh yang memiliki reputasi
tinggi di bidang ilmu keislaman dan yang bertolak belakang itu, masing-masing
mempunyai pendukung sejak masa mereka hingga dewasa ini, walaupun pendapat yang
dipelopori oleh Al-Ghazali lebih tersebar akibat faktor-faktor ekstern, baik
menyangkut konflik yang terjadi di Eropa pada abad kedelapanbelas, antara
pemuka Kristen dan ilmuwan-ilmuwan, maupun kondisi sosial umat Islam serta
pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan.
Untuk mendudukkan persoalan di atas pada proporsinya
yang benar, perlu kiranya ditinjau korelasi antara Al-Quran dan ilmu
pengetahuan.
Korelasi antara Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan
Hemat penulis, membahas hubungan antara Al-Quran
dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adakah
Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya,
karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang
diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya,
tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang
diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupun negatif) terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan.86
Sejarah membuktikan bahwa Galileo --ketika
mengungkapkan penemuan ilmiahnya-- tidak mendapat tantangan dari satu lembaga
ilmiah, kecuali dari masyarakat di mana ia hidup. Mereka memberikan tantangan
kepadanya atas dasar kepercayaan agama. Akibatnya, Galileo pada akhirnya
menjadi korban penemuannya sendiri.
Dalam Al-Quran ditemukan kata-kata
"ilmu" --dalam berbagai bentuknya-- yang terulang sebanyak 854 kali.
Di samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk
menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan
oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara
lain:
- Subjektivitas: (a) Suka dan tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b) Taqlid atau mengikuti tanpa alasan (baca antara lain, QS 33:67; 2:170).
- Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).
- Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (baca, antara lain QS 21:37).
- Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain QS 7:146).
Di samping itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara
lain:
- Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca, antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca, antara lain, QS 10:39).
- Jangan menilai sesuatu karena faktor eksternal apa pun --walaupun dalam pribadi tokoh yang paling diagungkan seperti Muhammad saw.
Ayat-ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim
ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan
Islam dalam berbagai disiplin ilmu. "Tiada yang lebih baik dituntun dari
suatu kitab akidah (agama) menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk
berpikir, ... serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya
untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan di
mana saja ia kehendaki."87
Inilah korelasi pertama dan utama antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan.
Korelasi kedua dapat ditemukan pada
isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al-Quran yang
berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat tersebut
sebagiannya telah diketahui oleh masyarakat Arab ketika itu.88
Namun, apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas dalam perinciannya.
Di lain segi, paling sedikit ada tiga hal yang
dapat disimpulkan dari pembicaraan Al-Quran tentang alam raya dan fenomenanya:
- Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajarinya dalam rangka meyakini ke-Esa-an dan kekuasaan Tuhan. Dari perintah ini, tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).
- Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya itu diciptakan, dimiliki, dan diatur oleh ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut kecuali bila Tuhan menghendakinya. Dari sini, tersirat bahwa: (a) alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah; (b) manusia dapat menarik kesimpulan tentang adanya ketepatan-ketepatan yang bersifat umum dan mengikat yang mengatur alam raya ini (hukum-hukum alam).
- Redaksi yang digunakan oleh Al-Quran dalam uraiannya tentang alam raya dan fenomenanya itu, bersifat singkat, teliti dan padat, sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing."89
Dalam kaitannya dengan butir ketiga ini, kita
perlu menggarisbawahi beberapa prinsip pokok:
a. Setiap Muslim, bahkan setiap
orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci yang
dipercayainya. Namun, walaupun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa
setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapatnya tanpa
memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud tersebut.
b. Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus untuk
orang-orang Arab ummiyin yang hidup pada masa Rasul saw., tidak pula untuk
generasi abad keduapuluh ini, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir
zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran dan dituntut untuk
menggunakan akalnya.
c. Berpikir secara modern, sesuai dengan keadaan
zaman dan tingkat pengetahuan seseorang; tidak berarti menafsirkan Al-Quran
secara spekulatif90
atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para
ahli di bidang ini.
Nah, kaitan prinsip ini dengan penafsiran ilmiah
terhadap ayat-ayat Al-Quran, membawa kita kepada, paling tidak, tiga hal pula
yang perlu digarisbawahi, yaitu (1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3)
Sifat penemuan ilmiah.
1. Bahasa
Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami
kandungan Al-Quran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk memahami arti
suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus
meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian
menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang
berhubungan dengan ayat tadi.
Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya,
menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah) sebagai salah satu referensi
dalam menetapkan arti kata-kata dalam ayat-ayat Al-Quran.91
Bila apa yang ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat Al-Quran dapat saja sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada
masa kini-- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang belum mengenal
perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, kata 'alaq (terdapat dalam QS
96:2) tidak mutlak dipahami dengan "darah yang membeku", karena arti
tersebut bukan satu-satunya arti yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa pra-Islam
atau masa turunnya Al-Quran. Masih ada lagi arti-arti lain seperti
"sesuatu yang bergantung atau berdempet".92
Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi,
seperti apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika membicarakan proses kejadian
manusia, tidak dapat ditolak.
Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa adalah lebih
baik memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan memperhatikan
penggunaan Al-Quran terhadap kata tersebut dalam berbagai ayat dan kemudian
menetapkan arti yang paling tepat dari arti-arti yang digunakan Al-Quran itu.93
Metode ini, antara lain, ditempuh oleh Hanafi
Ahmad dalam tafsirnya ketika memahami bahwa penggunaan kata dhiya' untuk
matahari dan nur untuk bulan (QS 10:5). Ini mengandung arti bahwa sumber sinar
matahari adalah dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan bersumber dari
sesuatu selain dari dirinya (matahari). Pemahaman ini ditarik dari penelitian
terhadap penggunaan kata dhiya' yang terulang --dalam berbagai bentuknya--
sebanyak enam kali dan nur sebanyak lebih kurang 50 kali.94
Disamping kedua metode di atas, perlu pula
kiranya dipertimbangkan tentang perkembangan arti dari suatu kata. Karena
disadari bahwa ketika mendengar atau mengucapkan suatu kata, maka yang
tergambar dalam benak kita adalah bentuk material atau yang berhubungan dengan
materinya. Namun, dilain segi, bentuk materi tadi dapat mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, kata "lampu" bagi
masyarakat tertentu berarti suatu alat penerang yang terdiri dari wadah yang
berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan dengan api. Namun apa yang tergambar
dalam benak kita dewasa ini tentang gambaran material tersebut telah berubah.
Yang tergambar dalam benak kita kini adalah listrik.
Kita tidak dapat membenarkan seseorang
menafsirkan arti sayyarah (QS 12:10 dan 19; dan 5: 96) dengan mobil. Walaupun
demikian, itulah terjemahannya yang secara umum dipakai dewasa ini, karena pada
masa lalu, mobil --dalam pengertian kita sekarang-- belum ada. Namun, kita
dapat membenarkan penafsiran zarrah dalam ayat-ayat Al-Quran, dengan atom
karena kata ini menurut Al-Biqa'iy (885 H/ 1480 M), "digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang amat kecil atau ketiadaan."95
Selain aspek yang dikemukakan di atas,
aspek-aspek kebahasaan lainnya pun perlu mendapat perhatian. Dr. Mustafa
Mahmud, misalnya, ketika menafsirkan surah Al-'Ankabut, ayat 41, mengatakan
bahwa yang membuat sarang laba-laba adalah betina laba-laba bukan jantannya.
Karena, katanya, ayat tersebut menggunakan kata kerja mu'annats
"ittakhadzat" bukan "ittakhadza"
Menurutnya, Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa
tali-temali yang dihasilkan oleh laba-laba dalam membuat sarangnya bukanlah
sesuatu yang rapuh, karena penelitian ilmiah membuktikan bahwa tali-temali
tersebut, dalam kadar yang sama, lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera
alam.96
Prof. Dr. 'Aisyah Abdurrahman binti Al-Syathi',
Guru Besar Studi Ilmu-ilmu Al-Quran Universitas Qarawiyin di Maroko, serta
Sastra Bahasa Arab di Universitas Kairo, menanggapi pendapat di atas. Ia
menyatakan: "Para pelajar bahasa Arab
tingkat pertama mengetahui bahwa bahasa ini menggunakan bentuk mu'annats
(feminin) untuk kata al-ankabut (laba-laba), sebagaimana halnya dengan
bentuk-bentuk mufrad (tunggal) dari kata-kata: namlah, nihlah, dan dawdah
(semut, lebah, dan ulat)".
Dengan demikian, menurutnya, bentuk mu'annats
untuk kata al-'ankabut dalam ayat ini adalah atas pertimbangan bahasa dan tak
ada hubungannya sedikit pun dengan biologi.97
Demikian pula, menetapkan ayat di atas dengan berpendapat bahwa sarang
laba-laba lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam, akan mengakibatkan
runtuhnya ungkapan yang dikenal oleh bahasa Al-Quran, bagi sesuatu Yang sangat
rapuh yakni sarang laba-laba, sehingga jika penafsiran yang diungkapkan itu
benar, maka akan kelirulah redaksi Al-Quran dan kandungannya yang mengatakan
bahwa (serapuh-rapuh rumah tempat berlindung adalah sarang laba laba)."98
Dari sini dapat dipahami mengapa ulama-ulama
Tafsir berkesimpulan bahwa "tidak wajar kita beralih dari pengertian
hakiki suatu kata kepada pengertian kiasan (majazi), kecuali bila terdapat
tanda-tanda yang jelas yang menghalangi pengertian hakiki tersebut".99
Dengan demikian, kita dapat mentoleransi
(walaupun tidak sependapat dengan) para ahli yang memahami ayat 37 surah
Fushshilat, atau ayat 33 surah Al-Anbiya; yang berbicara tentang matahari dan
bulan, malam dan siang, kemudian menggunakan kata ganti hunna yang berbentuk
jamak (plural), bahwa terdapat sekian banyak matahari dan bulan di alam raya.
Tetapi, adalah tidak wajar jika kita menetapkan suatu pengertian terhadap satu
kata atau ayat terlepas dari konteks kata tersebut dengan redaksi ayat secara
keseluruhan dan dengan konteksnya dengan ayat-ayat yang lain.
2. Konteks antara Kata atau Ayat
Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian
satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan
kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Seseorang yang tidak memperhatikan hubungan
antara arsalna al-riyah lawaqi' dengan fa anzalna min aisama' ma'a (QS 15:22),
yakni hubungan antara lawaqi' dan ma'a akan menerjemahkan dan memahami arti
lawaqi' dengan "mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)".100
Namun, bila diperhatikan dengan seksama bahwa kata tersebut berhubungan dengan
kalimat berikutnya, maka hubungan sebab dan akibat atau hubungan kronologis
yang dipahami dari huruf fa pada fa anzalna tentunya pengertian
"mengawinkan tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi tersebut, tidak
akan dibenarkan. Karena, tidak ada hubungan sebab dan akibat antara perkawinan
tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan --juga "jika pengertian itu yang
dikandung oleh arti fa anzalna min al-sama' ma'a", maka tentunya lanjutan
ayat tadi adalah "maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan siaplah buahnya untuk
dimakan manusia".101
Demikian pula hubungan antara satu ayat dengan
ayat yang lain.
Sebelum dinyatakan bahwa ayat 88 surah Al-Naml,
... dan engkau lihat gunung-gunung itu kamu sangka tetap pada tempatnya,
padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan ..., mengemukakan tentang
"teori gerakan bumi, baik mengenai peredarannya mengelilingi matahari
maupun gerakan lapisan pada perut bumi",102
terlebih dahulu harus dipahami konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan
ayat-ayat sesudahnya dan dibuktikan bahwa keadaan yang dibicarakan adalah
keadaan di bumi kita sekarang ini, bukan kelak di hari kemudian.103
Ada
yang menyatakan bahwa ayat 33 surah Al-Rahman telah mengisyaratkan kemampuan
manusia menjelajahi angkasa luar. Tapi dengan memperhatikan konteksnya dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, khususnya dengan ayat 35, Kepada kamu (Jin
dan Manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak akan
dapat menyelamatkan diri, maka pemahamannya itu hendaknya ditinjau kembali agar
ia tidak terperangkap oleh suatu kemungkinan tuduhan adanya kontradiksi antara
dua ayat: ayat 33, berbicara tentang kemampuan manusia menjelajahi angkasa
luar, sedangkan ayat 35, menegaskan ketidakmampuannya.
Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi
kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran ayat-ayat
Al-Quran yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan --bahkan semua
ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin ilmu--
hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy, yaitu dengan jalan menghimpun
ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu
dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan
yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Quran tentang masalah yang
dibahas itu.104
3. Sifat Penemuan Ilmiah
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil
pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain, perkembangan
ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan
sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap
redaksi Al-Quran dapat berbeda-beda.
Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang
dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi
dari segi kebenarannya. Nah, bertitik tolak dari prinsip "larangan
menafsirkan Al-Quran secara spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah
yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Quran.
Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan
Al-Quran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi
ayat-ayatnya, karena Al-Quran --seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan
semula-- tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan, walaupun ada yang
berpendapat bahwa Al-Quran mengandung pokok-pokok segala macam ilmu
pengetahuan.
Ayat 30 surat
Al-Anbiya', yang menjelaskan bahwa langit dan bumi pada suatu ketika merupakan
suatu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, merupakan suatu hakikat ilmiah yang
tidak diketahui pada masa turunnya Al-Quran oleh masyarakatnya. Tetapi ayat ini
tidak memerinci kapan dan bagaimana terjadinya hal tersebut.
Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan
pendapatnya tentang "kapan dan bagaimana", tetapi ia tidak berhak
untuk mengatasnamakan Al-Quran dalam kaitannya dengan pendapatnya jika pendapat
tadi melebihi kandungan redaksi ayat-ayat tersebut. Tetapi, hal ini bukan
berarti bahwa seseorang dihalangi untuk memahami arti suatu ayat sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut sejalan dengan
prinsip ilmu tafsir yang telah disepakati, maka tak ada persoalan.105
Dahulu, misalnya, ada ulama yang memahami arti
sab' samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang mengedari tata surya
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini,
ketika itu, dapat diterima. "Ini adalah suatu ijtihad yang baik yang
merupakan pendapat seseorang, selama dia tidak mewajibkan dirinya mempercayai
hal tersebut sebagai suatu i'tiqad (kepercayaan) dan tidak pula mewajibkan
kepercayaan tersebut kepada orang lain."106
Pemahaman semacam ini tidak dapat dinamakan
"tafsir", tetapi lebih mirip untuk dinamai tathbiq (penerapan).107
Penutup
Melihat kompleksnya permasalahan Al-Quran dan
ilmu pengetahuan, dimana dibutuhkan pengetahuan bahasa dengan segala
cabang-cabangnya serta pengetahuan menyangkut berbagai bidang ilmu pengetahuan
yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Quran, maka sudah pada tempatnya jika
pemahaman dan penafsirannya tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok atau seorang
ahli dalam suatu bidang tertentu saja. Tetapi hendaknya merupakan usaha bersama
dari berbagai ahli dalam pelbagai bidang lain.
Catatan kaki
76
Lihat, 'Abdullah Darraz, Al-Naba' Al-'Azhim, Tatbha'ah Al-Sa'adah, Mesir 1960,
h. 77.
77
'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab
Al-Lubnaniy, Beirut 1982, h. 57.
78
Bandingkan dengan Husain Al-Zahabiy, dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar
Al-Kitab Al-'Arabiy, Kairo, 1963, jilid II, h. 140.
79
Al-Ghazaliy, Ihya' 'Ulum Al-Din, Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, Kairo, 1356 H, jilid
I, h. 301.
80
Al-Ghazaliy, Jawahir Al-Qur'an, Percetakan Kurdistan, cet. I, Mesir, t.t., h.
31-32.
81
Fakhruddin Al-Raziy, Tafsir Mafatih Al-Ghayb, Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah,
Teheran, cet. III, jilid II, h. 215.
82
Ignaz Goldziher, Mazahib Al-Tafsir Al-Islamiy, terjemahan ke dalam bahasa Arab
oleh Dr. Abdul Mun'im Al-Najjar, Al-Sunnah Al-Muhammadiyah, Kairo, 1955, h.
375.
83
Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, tt., jilid II, h. 80.
84
Ibid., h. 81-82.
85
'Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Hilal, Cairo,tt.,
h. 180
86
Malik bin Nabi, Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikr Al-Islamiy
Al-Hadits, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, cet. VI, h. 123.
87
Al-'Aqqad op cit., h. 12.
88
Wahiduddin Khan, Ilme Jadid Ka Challenge, terjemahan bahasa Arab oleh Dr.
'Abdussabur Syahin, Al-Mukhtar Al-Islamiy, Kairo 1976, cet. VI, h. 123.
89
Bandingkan dengan, 'Abdul 'Azhim Al-Zarqaniy dalam Manahil Al-'Irfan,
Al-Halabiy, Kairo 1980, jilid II, h. 356-558.
90
Lihat Al-'Aqqad, op cit., h. 174, dan 'Abdul Lathif Al-Subki dalam Nafahat
Al-Qur'an, Al-Majlis Al-'Alahisyyun Al-Islamiyyah, Kairo, 1964, h. 17.
91
Lihat Al-Zahabiy, op cit., jilid I, h. 217.
92
Al-Raghib Al-Asfahaniy, Mufradat Gharib Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1961, h.
347.
93
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, cet. III 1367 H, h. 22.
94
Hanafi Ahmad, Al-Tafsir Al-'Ilmiy li Al-Ayat Al-Kawniyyah fi Al-Qur'an, Dar
Al-Ma'arif, Kairo, cet. II, tt. h. 140-141. Kata dhiya' digunakan untuk api,
kilat, minyak zaitun, matahari, Taurat (sebelum diberikan kepada Nabi Musa
a.s.), dan cahaya. Kesemuanya itu bersumber dari dirinya sendiri dan bukan
pantulan cahaya. Jika demikian, cahaya matahari bukan pantulan sebagaimana
bulan
95
Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'iy, Nazm Al-Durar, Dar Al-Salafiah, Bombay, 1976, jilid V, h. 281.
96
Mustafa Mahmud, Al-Qur'an Muhawalah li Fahmi 'Ashriy, Dar Al-Ma'arif, Kairo,
1970, h. 211-212.
97
'Aisyah 'Abdurrahman, Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilmi li
Al-Malayin, Beirut,
1982, cet. V, h. 329.
98
Ibid., h. 361.
99
Muhammad Ahmad Al-Gamrawiy, Al-Islam fi 'Ashr Al-'Ilmiy, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah Al-Sa'adah Kairo 1978, h. 375.
100
Lihat Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama,Yayasan Penyelenggara
Penerjemahan/Penafsir Al-Quran, 1967, h. 392.
101
Al-Gamrawiy, op cit., h. 405.
102
A. Amiruddin "Penyelenggara Pemahaman Ajaran Islam, Menghadapi Kemajuan
Ilmu dan Teknologi", PHBI, Departemen Agama, 1984, h. 19.
103
Lihat Al-Qasimiy, Mahasin Al-Ta'wil, Al-Halabiy, cet. I, 1959, jilid XIII, h.
4689, dan seterusnya.
104
Lihat lebih lanjut tentang uraian tafsir ini, di Bab "Metode Tafsir
Tematik" dalam buku ini.
105
'Aisyah 'Abdurrahman, op cit., h. 61-62.
106
Al-'Aqqad, op cit., h. 182.
107
Muhammad Husain Al-Thabathaba'iy, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah,
cet. III, 1397 H.K., jilid I, h. 6.
Metode Tafsir Tematik
Disepakati oleh para ulama, kecuali beberapa
gelintir di antara mereka, bahwa mukjizat utama Al-Quran yang diperhadapkan
kepada masyarakat yang ditemui Rasul adalah dari segi bahasa dan sastranya yang
mengungguli sastra bahasa yang dikenal masyarakat Arab ketika itu. Hal ini
mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap metode penafsiran Al-Quran. Jika
kita telusuri tafsir-tafsir Al-Quran sejak masa Muhammad bin Jarir Al-Thabari
(251-310 H) sampai kepada masa Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), kita akan
menemui ciri utama yang menghimpun kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis
redaksi. Agaknya hal ini merupakan salah satu usaha untuk meletakkan
dasar-dasar ilmiah bagi pemahaman umat Islam terhadap kemukjizatan tersebut,
setelah ketinggian nilai sastranya tidak lagi dipahami secara instink-fitri
(alamiah) oleh orang-orang Arab sekalipun. Ini akhirnya menimbulkan pendapat
bahwa redaksi Al-Quran bukanlah sesuatu yang luar biasa, seperti teori
Al-Shirfah108
yang dikemukakan oleh Al-Nazam (w. 835 H). Tetapi harus diakui bahwa
usaha-usaha ulama untuk menafsirkan Al-Quran dengan metode analisis-redaksi
tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang kemudian dikembangkan Abu Bakar
Al-Baqillani (w. 403 H) dalam rangka kemukjizatannya, juga tidak dapat bertahan
lama setelah semakin mundurnya penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang
Arab sendiri.
Beberapa Problem Tafsir
Setelah Tafsir Al-Thabari, dapat dikatakan bahwa
kitab-kitab tafsir sesudahnya memiliki corak tertentu yang dirasakan bahwa
penulisnya "memaksakan sesuatu terhadap Al-Quran".109
Kalau hal tersebut bukan suatu paham akidah, fiqih, atau tasawuf, maka paling
tidak salah satu aliran kaidah bahasa. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada
Tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya
Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi (w. 1270 H), atau
Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745 H), dan sebagainya. Cara-cara yang
mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran, yang tadinya dipahami
secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini
dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang
mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta
menalarkan akal.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir
sejak masa kodifikasi Tafsir, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh
Al-Farra' (w. 207 H), sampai tahun 1960 adalah menafsirkan Al-Quran ayat demi
ayat sesuai dengan susunannya dalam mush-haf. Bentuk demikian menjadikan
petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada
pembacanya secara menyeluruh. Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H/1210 M) misalnya,
walaupun menyadari betapa pentingnya korelasi antara ayat, dan dia mengajak
para mufasir untuk mencurahkan perhatian kepada hal itu, namun dia sendiri
dalam kedua kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena
perhatiannya tercurah kepada pembahasan-pembahasan filsafat (teologi) dan ilmu
falak.
Pembahasan masalah seperti ini mencapai puncaknya
di bawah usaha Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'i (809-885 H). Tetapi korelasi di sini
ternyata menyangkut sistematika penyusunan ayat dan surat
Al-Quran sesuai dengan urutan-urutannya dalam mush-haf, bukan dari segi
korelasi ayat-ayatnya yang membahas masalah-masalah yang sama dan terkadang
bagian-bagiannya terpencar dalam sekian surat.
Di lain segi, maksud pembahasan Al-Biqa'i ini adalah untuk menjelaskan
kemukjizatan Al-Quran dari segi sistematika penyusunan ayat-ayat dan
surat-suratnya, serta sebab pemilihan suatu redaksi terhadap redaksi lainnya,110
bukan untuk menggambarkan segi-segi petunjuk Al-Quran yang dapat dipetik dan
dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Syathibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat
mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu
dengan lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan
pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan
pula akhir surat,
atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat
yang diturunkan itu.
"Tidak dibenarkan seseorang hanya
memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia
bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosakata menurut tinjauan
etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya,
maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga
akhir," demikian kata Al-Syathibi.111
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud
Syaltut, menerbitkan Tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau
menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau
bagian suatu surat,
dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat
dipetik darinya. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat
telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi perwujudan ide itu
dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut. Metode ini, walaupun
telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama, masih menjadikan
pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah, karena tidak
kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surat yang
terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat seseorang tentang
sesuatu masalah ditentukan oleh banyak faktor. Nah, kalau kita mengesampingkan
sementara pendapat yang keliru yang tidak kurang ditemui dalam sekian banyak
kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya telah mendapat semacam pengkultusan,
dan kita melihat pendapat-pendapat lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat
yang dapat diterima "pada masanya". Tetapi karena faktor yang
dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah "out of date",
dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya, penafsiran tentang datarnya bumi,
berdasarkan firman Allah pada surat
Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi kita
bulat; atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari
tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh.
Sementara itu, berbarengan dengan perkembangan
masyarakat, berbagai problem dan pandangan baru timbul dan perlu ditanggapi
secara serius, yang tentunya berbeda dengan problem yang dihadapi oleh
masyarakat sebelum kita. Problem dan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh
Muhammad Rasyid Ridha agaknya sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini,
atau paling tidak sudah tidak menduduki prioritas pertama dalam perhatian atau
kepentingan masyarakat sekarang.
Dapat dibayangkan bagaimana kiranya jika yang
disodorkan kepada masyarakat umum adalah masalah-masalah yang menjadi
pembahasan ulama Tafsir pada masa sebelum Rasyid Ridha. Tidak syak lagi bahwa
manusia yang dibentuk pikirannya dengan uraian-uraian tersebut adalah
manusia-manusia abad lalu yang "terlambat lahir".
Metode Mawdhu'iy
Dari sini pula para ahli keislaman mengarahkan
pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan
jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk Al-Quran, sambil memperhatikan
hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia, baik yang positif maupun yang
negatif, sehingga bermunculanlah banyak karya ilmiah yang berbicara tentang
satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran, misalnya Al-Insan fi Al-Quran,
dan Al-Mar'ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran
karya Al-Maududi, dan sebagainya.
Namun karya-karya ilmiah tersebut disusun bukan
sebagai pembahasan Tafsir. Di sini ulama Tafsir kemudian mendapat inspirasi
baru, dari bermunculan karya-karya Tafsir yang menetapkan satu topik tertentu,
dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang
berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya,
sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut
menurut pandangan Al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh
Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar sampai tahun 1981.
Beberapa dosen Tafsir di universitas tersebut
telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut.
Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah
fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i li Al-Ayat Al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan
memilih banyak topik yang dibicarakan Al-Quran.
Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya
secara mawdhu'i (tematik) itu, Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari
seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan
memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian
ayat-ayat yang turun pada periode Makkah sambil membedakannya dengan periode
Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung
beberapa kelemahan.
Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy,
yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan
buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci
langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy.
Langkah-langkah tersebut adalah:
(a) Menetapkan masalah yang akan
dibahas (topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa
turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam
surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang
sempurna (outline);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang
relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara
keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang
sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus),
mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.112
Penulis mempunyai beberapa catatan dalam rangka
pengembangan metode tafsir Mawdhu'iy dan langkah-langkah yang diusulkan di
atas. Antara lain:
(1) Penetapan masalah yang dibahas
Walaupun metode ini dapat menampung semua
persoalan yang diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau tidak, namun untuk
menghindari kesan keterikatan yang dihasilkan oleh metode tahliliy akibat
pembahasan-pembahasannya terlalu bersifat sangat teoretis, maka akan lebih baik
bila permasalahan yang dibahas itu diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh
masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka.
Ini berarti, mufasir Mawdhu'iy diharapkan agar
terlebih dahulu mempelajari problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan
pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban Al-Quran, misalnya petunjuk
Al-Quran menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan sebagainya.
Dengan demikian, corak dan metode penafsiran semacam ini memberi jawaban
terhadap problem masyarakat tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi
jawaban terhadap mereka yang hidup sesudah generasinya, atau yang tinggal di
luar wilayahnya.
(2) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa
turunnya
Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui
perkembangan petunjuk Al-Quran menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi
mereka yang berpendapat ada nasikh dan mansukh dalam Al-Quran. Bagi mereka yang
bermaksud menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan
adalah runtutan kronologis peristiwa.
(3) Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan
Al-Quran
Walaupun metode ini tidak mengharuskan uraian
tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak
dini sang mufasir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada
penggunaan Al-Quran sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari
tafsir bi al-ma'tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode
mawdhu'iy.
Pengamatan terhadap pengertian kosakata, demikian
juga pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain
kepada bentuk dan timbangan kata yang digunakan, subjek dan objeknya, serta
konteks pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan i'rab, misalnya, mempunyai
makna tersendiri. Bentuk ism memberi kesan kemantapan, fi'l mengandung arti
pergerakan, bentuk rafa' menunjukkan subjek atau upaya, nashb yang menjadi
objek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi kesan
keterkaitan dalam keikutan.113
Untuk menetapkan masalah yang akan dibahas,
beberapa kitab dapat menjadi rujukan, antara lain Tafshil Ayat Al-Qur'an karya
sekelompok orientalis dan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Demikian pula Kitab Al-Hayat karya Muhammad Reza
Hakimi dan kawan-kawan, atau juga dapat ditempuh dengan menggunakan Al-Mu'jam
Al-Mufahras Ii Alfazh Al-Qur'an karya Muhammad Fuad 'Abdul Baqiy, dengan
memperhatikan kosakata dan sinonimnya yang berhubungan dengan suatu masalah
yang dibahas itu.
(4) Azbab al-Nuzul
Perlu digarisbawahi bahwa, walaupun dalam
langkah-langkah tersebut tidak dikemukakan menyangkut sebab nuzul, namun
tentunya hal ini tidak dapat diabaikan, karena sebab nuzul mempunyai peranan
yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Hanya saja hal ini tidak
dicantumkan di sana
karena ia tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan
ketika memahami arti ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat
yang biasanya dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode
analisis, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak
mempengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan.
Dapat digarisbawahi pula bahwa langkah-langkah
yang dijelaskan di atas menempatkan penyusunan "pembahasan dalam satu
kerangka yang sempurna" pada tahap yang kelima agar kerangka tersebut
tersusun atas dasar bahan-bahan yang telah diperoleh dari langkah-langkah
sebelumnya. Hal ini untuk menghindari sedapat mungkin pra-konsepsi yang mungkin
dapat mempengaruhi mufasir dalam penafsirannya.
Dengan tersusunnya langkah-langkah tersebut,
bahkan dengan penerapan yang dicontohkan oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan: (a) pemeliharaan anak yatim dalam
Al-Quran; (b) arti ummiyatAl-Arab (kebuta-hurufan orang Arab) dalam Al-Quran;
(c) etika meminta izin dalam Al-Quran; dan (d) menundukkan mata dan memelihara
alat kelamin dalam Al-Quran, maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir
mawdhu'iy. Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam
Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta
hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara
satu dengan lainnya, sehingga kesemua persoalan tersebut kait-mengait bagaikan
satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syaltut dalam kitab
Tafsirnya.
Kedua, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang
membahas masalah tertentu dari berbagai surat
Al-Quran, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut,
sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.
Keistimewaan Metode Mawdhu'iy
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain, (a)
menghindari problem atau kelemahan metode lain yang digambarkan dalam uraian di
atas; (b) menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara
terbaik dalam menafsirkan Al-Quran; (c) kesimpulan yang dihasilkan mudah
dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran
tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.
Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran
bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat
Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban jawabannya. Ia
dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir
dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran. Selain itu, (d) metode ini
memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat
Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Analisis
Yang dimaksud dengan metode analisis adalah
"penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Quran dari sekian banyak
seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai
urutannya di dalam mush-haf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab
nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufasir itu".
Metode tersebut jelas berbeda dengan metode
Mawdhu'iy yang telah digambarkan langkah-langkahnya di atas. Perbedaan itu
antara lain, pertama, mufasir mawdhu'iy, dalam penafsirannya, tidak terikat
dengan susunan. ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa
turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedang mufasir analisis memperhatikan
susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.
Kedua, mufasir Mawdhu'i tidak membahas segala
segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan
dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.114
Sementara para mufasir analisis berusaha untuk berbicara menyangkut segala
sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufasir Mawdhu'i,
dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah
ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan
oleh pokok bahasannya. Mufasir analisis berbuat sebaliknya.
Ketiga, mufasir mawdhu'i berusaha untuk
menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Mufasir
analisis biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri
sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang
ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Komparasi
Yang dimaksud dengan metode komparasi adalah
"membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang
memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga
sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat
Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang tampaknya bertentangan, serta
membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan
antara ayat dengan ayat seperti dikemukakan di atas, sang mufasir biasanya
hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang
dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri,
seperti misalnya perbedaan antara:
[tulisan Arab]
dalam surat
Al-An'am ayat 151, dan
[tulisan Arab]
dalam surat
Al-Isra' ayat 31, atau perbedaan antara:
[tulisan Arab]
dalam surat
Al-A'raf ayat 12, dengan
[tulisan Arab]
dalam surat
Shad ayat 75.
Demikian juga antara Al-Anfal ayat 10 dengan Ali
Imran ayat 126.
Mufasir yang menempuh metode ini, sepert misalnya
Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta'wil, tidak
mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat
yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan
redaksional. Sementara dalam metode Mawdhu'i, seorang mufasir, disamping
menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga
mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama
berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
Di sini kita melihat bahwa jangkauan bahasan
metode komparasi lebih sempit dari metode Mawdhu'i, karena yang pertama hanya terbatas
dalam perbedaan redaksi semata-mata. Membandingkan ayat dengan hadis, yang
kelihatannya bertentangan, dilakukan juga oleh ulama hadis, khususnya dalam
bidang yang dinamakan mukhtalif al-hadits. Sikap ulama dalam hal ini
berbeda-beda. Abu Hanifah dan penganut mazhabnya menolak sejak dini hadis yang
bertentangan atau tidak sejalan dengan ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam Malik
dan penganut mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan ayat,
apabila ada qarinah (pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengalaman penduduk
Madinah atau ijma' ulama. Lainnya, Imam Syafi'i, berupaya untuk mengkompromikan
ayat dan hadis tersebut, khususnya jika sanad hadis tersebut sahih.
Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama
tafsir menyangkut ayat Al-Quran, ada beberapa hal yang perlu mendapat sorotan:
(1) Kondisi sosial politik pada
masa seorang mufasir hidup;
(2) Kecenderungannya dan latar belakang
pendidikannya;
(3) Pendapat yang dikemukakannya --apakah
pendapat pribadi, ataupun pengembangan pendapat sebelumnya, atau juga
pengulangannya;
(4) Setelah menjelaskan hal-hal di atas,
pembanding melakukan analisis untuk mengemukakan penilaiannya tentang pendapat
tersebut --baik menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat mufasir yang
diperbandingkannya.
Penutup
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu
digarisbawahi beberapa masalah, agar seorang yang bermaksud menempuh metode
Mawdhu'i atau membaca penafsiran yang menempuh metode tersebut tidak terjerumus
kedalam kesalahan atau kesalahpahaman.
Hal-hal tersebut adalah:
(1) Metode Mawdhu'i pada
hakikatnya tidak atau belum mengemukakan seluruh kandungan ayat Al-Quran yang
ditafsirkannya itu. Harus diingat bahwa pembahasan yang diuraikan atau
ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh mufasirnya, sehingga
dengan demikian mufasir pun harus selalu mengingat hal ini agar ia tidak
dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam
ayat-ayat tersebut yang tidak sejalan dengan pokok bahasannya.
(2) Mufasir yang menggunakan metode ini hendaknya
memperhatikan dengan seksama urutan ayat-ayat dari segi masa turunnya, atau
perincian khususnya. Karena kalau tidak, ia dapat terjerumus ke dalam
kesalahan-kesalahan baik di bidang hukum maupun dalam perincian kasus atau
peristiwa.
(3) Mufasir juga hendaknya memperhatikan benar
seluruh ayat yang berkaitan dengan pokok bahasan yang telah ditetapkannya itu.
Sebab kalau tidak, pembahasan yang dikemukakannya tidak akan tuntas, atau
paling tidak, jawaban Al-Quran yang dikemukakan menjadi terbatas.
Catatan kaki
108
Teori ini menyatakan bahwa orang-orang Arab sebenarnya mampu untuk menyusun
kalimat-kalimat semacam Al-Quran. Tetapi, hal tersebut tidak terlaksana, karena
Allah SWT melakukan campur tangan, dengan jalan mencabut pengetahuan dan rasa
bahasa yang mereka miliki, atau dengan jalan melemahkan semangat dan keinginan
mereka untuk menandingi Al-Quran.
109
Lihat Pengantar Muhammad Al-Bahiy, dalam Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya
Mahmud Syaltut, Dar Al-Qalam, Mesir, cet. II, tt, h. 7.
110
Bukunya, berjudut Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, telah dicetak
di Bombay, India, sebanyak 13 jilid sampai
dengan surah Al-Furqan. Sisanya masih berbentuk manuskrip yang antara lain
terdapat di perpustakaan Universitas Al-Azhar, Mesir.
111
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rufah, Beirut, 1975, jilid III, h. 144.
112
'Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah
Al-'Arabiyah, Kairo, cetakan II, 1977, h. 62.
113
Lihat lebih jauh Hassan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy,
Madbuliy, Mesir, 1989, h. 105.
114
Ayat 90 surah Al-Maidah, misalnya, yang berbicara tentang minuman keras, perjudian,
dan berhala-berhala sesembahan, keseluruhannya menjadi bahasan penafsir
"analisis". Tetapi penafsir maudhu'iy, hanya membahas pokok
bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang dipilihnya tentang "minuman
keras", maka ia tidak akan menyinggung persoalan judi dan berhala-berhala.
Hubungan Hadis dan Al-Quran
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama
--seperti definisi Al-Sunnah-- sebagai "Segala sesuatu yang dinisbahkan
kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat
fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya."
Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan
Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup
pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal
ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh
ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang
tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum
yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa
perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran
dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa
al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama
mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan
perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja
penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau
walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam
Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan
terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan
perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang
ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua
di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat
kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap
mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah
mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam
QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan
tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya
hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian
Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat
perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara
penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu
Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar
menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi
wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena
sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat
dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut
adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran
menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya
disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang
sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu,
diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis
teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan
hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan
tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy
al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi
menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan
tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat
serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar,
dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah
mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan
pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam
Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada
dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan
oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar
menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran,
sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir
dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah
hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan
dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi
sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk
ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk
kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa
yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit,
apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad
Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber
dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan
bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan
nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah
penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan
persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu
diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang
terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar
sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina
Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan
hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu.
Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan
dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka
menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan
oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan
pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu
ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis.
Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan
pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadits dapat saja diamalkan,
walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang
menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang
sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut
kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu
seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan
lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir
Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang
sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat.
Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan
Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan
Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti
perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis
yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat
dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga
ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang
diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan
(hadis).
Pemahaman atas Makna Hadis
Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti
ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima
berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak
sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui
bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis,
sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem
menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna
sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks
tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra
bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian
persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam
kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut
suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga
sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan
sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang
membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan
dalam konteks tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya,
Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan
tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang
jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi
yang jelas pun berbeda. Ada
yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam
perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah
kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi
yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah
tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda,
"Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual,
sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat
itu. Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka
melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi,
dalam kasus terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang
menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami
teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i
berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw.,
harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk
hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah.
Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi
teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i,
dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum.
Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam,115
hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks
Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang
mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena
bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat
Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan
wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat
(lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan
tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau
sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan
dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak
demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul al-ma'na, dapat dijangkau oleh
nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan
perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu,
menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan
mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima
atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap
teks-teks hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas,
periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu
Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis,
dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah
dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah
atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian,
beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan
nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada
penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat
dikemukakan tentang hadis.
Catatan kaki
115
Ketetapan hukum selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya). Bila motifnya ada,
hukumnya bertahan; dan bila motif nya gugur, hukumnya pun gugur.
Fungsi dan Posisi Sunah Dalam Tafsir
Wa anzalna ilayka al-dzikra litubayyina li al-nas
ma nuzzila ilayhim (Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka) (QS 16:46).
Wama anzalna 'alayka al-kitab illa litubayyina
lahum alladzina ikhtalafu fihi wa hudan wa rahmatan liqawmin yu'minun (Dan kami
tidaklah menurunkan kepadamu Al-Kitab [Al-Quran] ini kecuali agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan untuk menjadi
petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman) (QS (QS 16:64).
Uraian yang singkat ini bukan merupakan
pembahasan yang menyeluruh tentang Al-Sunnah, baik dari segi kedudukan dan
fungsinya terhadap Al-Quran, maupun dari segi sejarah perkembangan dan metode
penelitiannya. Uraian ini hanya merupakan gambaran umum tentang beberapa
masalah yang telah menimbulkan kesalahpahaman.
Al-Quran Al-Karim telah diyakini kebenarannya
oleh kaum Muslim: surat demi surat, ayat demi ayat, kata demi kata, bahkan
huruf demi huruf. Semuanya telah disampaikan secara utuh kepada Nabi Muhammad
saw., yang kemudian memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menuliskan,
menghapalkan dan mempelajarinya.
Beberapa saat setelah Nabi wafat, para sahabat
mengumpulkan naskah-naskah Al-Quran yang ditulis itu, kemudian menyalin dan
menyebarluaskannya ke seluruh penjuru dunia Islam. Hingga kini, apa yang mereka
lakukan itu diterima dan dipelihara oleh generasi demi generasi. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa apa yang dibaca dalam mushaf dewasa ini tidak
berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Nabi Muhammad saw., dan
para pengikutnya lima belas abad yang lalu.
Nabi Muhammad ditugaskan untuk menjelaskan
kandungan ayat-ayatnya. Hal ini terbukti, antara lain, dalam ayat-ayat yang
dikutip di awal uraian ini. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan Nabi
Muhammad saw. tidak dapat dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat Al-Quran.
Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk
menjelaskan Al-Quran (QS 4:105). Penjelasan beliau dapat dipastikan
kebenarannya. Tidak seorang Muslim pun yang dapat menggantikan penjelasan Rasul
dengan penjelasan manusia lain, apa pun kedudukannya.
Penjelasan-penjelasan atas arti dan maksud ayat
Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. bermacam-macam bentuknya. Ia
dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir (pembenaran berupa
diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain).116
Nabi Muhammad saw. telah diberi oleh Allah SWT --melalui Al-Quran-- hak dan
wewenang tersebut. Segala ketetapannya harus diikuti. Tingkah lakunya merupakan
panutan terbaik bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di
hari kiamat. (QS 33: 21).
Perintah untuk taat (athi'u) telah disebut dalam
Al-Quran sebanyak sembilan belas kali. Terkadang, perintah tersebut digabungkan
antara taat kepada Allah dengan, sekaligus, kepada Rasul: Athi'u Allah wa
al-rasul (QS 3:32, 132; 8:1, 46; dan sebagainya). Tetapi juga, terkadang antara
keduanya dipisah dengan kata "athi'u": Athi 'u Allah wa athi'u
al-rasul (QS 4:59; 24:54; 4:23; dan sebagainya).
Penggabungan dan pemisahan di atas bukanlah tidak
mempunyai arti; ia mengisyaratkan bahwa perintah-perintah Nabi Muhammad saw.,
harus diikuti, baik yang bersumber langsung dari Allah (Al-Quran) --sebagaimana
ayat yang menggambarkan ketaatan kepada Allah dan Rasul di atas-- maupun
perintah-perintahnya berupa kebijaksanaan --seperti ayat-ayat kelompok kedua di
atas.
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran menegaskan bahwa
hendaknya dilaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasul dan meninggalkan apa
yang dilarangnya (QS 59:7). Dan bahwa barangsiapa taat kepada Rasul maka ia
telah taat kepada Allah (QS 4:80), sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa
Muhammad saw. tiada lain adalah seorang Rasul (QS 3:144).
Al-Quran juga mengancam orang-orang yang
menentang perintahnya (QS 24:62). Bahkan, ia menyatakan bahwa mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima sepenuhnya (QS 4:65).
Dari beberapa ayat di atas, jelaslah bahwa mereka
yang menduga bahwa Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai wewenang dalam urusan
agama, adalah keliru. Ayat laysa laka min al-amri syai'un (QS 3:128),
diterjemahkan oleh sementara orang dengan tidak ada wewenang bagimu tentang
urusan (agama) sedikit pun. Ini tidaklah benar, karena yang dimaksud dengan
"urusan" dalam ayat ini adalah urusan diterima atau ditolaknya tobat
orang-orang tertentu, sebagaimana bunyi lanjutan ayat tersebut.117
Sementara orang ada yang meragukan otentisitas
penjelasan-penjelasan Nabi yang merupakan bagian dari Sunnah (hadits). Hal ini
disebabkan, antara lain, karena mereka menduga bahwa hadis-hadis baru ditulis
pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Dugaan yang sangat
keliru ini timbul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadis
yang, secara resmi, diperintahkan langsung oleh penguasa untuk disebarluaskan
ke seluruh pelosok, dengan penulisan hadis yang dilakukan atas prakarsa
perorangan yang telah dimulai sejak masa Rasulullah saw.
Penulisan bentuk kedua ini sedemikian banyaknya,
sehingga banyak pula dikenal naskah-naskah hadis, antara lain:
1. Al-Shahifah Al-Shahihah (Shahifah Humam), yang
berisikan hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya, Humam
bin Munabbih. Naskah ini telah ditemukan oleh Prof. Dr. Hamidullah dalam bentuk
manuskrip, masing-masing di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syria).
2. Al-Shahifah Al-Shadziqah, yang ditulis
langsung oleh sahabat 'Abdullah bin Amir bin 'Ash --seorang sahabat yang, oleh
Abu Hurairah, dinilai banyak mengetahui hadis-- dan sahabat yang mendapat izin
langsung untuk menulis apa saja yang didengar dari Rasul, baik di saat Nabi
ridha maupun marah.
3. Shahifah Sumarah Ibn Jundub, yang beredar di
kalangan ulama yang --oleh Ibn Sirin-- dinilai banyak mengandung ilmu
pengetahuan.
4. Shafifah Jabir bin 'Abdullah, seorang sahabat
yang, antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji dan khutbah Rasul yang
disampaikan pada Haji Wada', dan lain-lain.118
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa
hadis-hadis Rasulullah saw., telah ditulis atas prakarsa para sahabat dan
tabi'in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi diperintahkan oleh 'Umar
bin 'Abdul 'Aziz.
Selanjutnya, ada pula yang meragukan penulisan
hadis (pada masa Rasul) yang disebabkan kekeliruan mereka dalam memahami
riwayat (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) yang menyatakan bahwa para
ulama menghapal sekian ratus ribu hadis. Mereka menduga bahwa jumlah yang
ratusan ribu itu adalah jumlah matan (teks redaksi hadis), sehingga --dengan
demikian-- mereka menganggap mustahil penulisannya secara keseluruhan sejak
awal sejarah Islam. Mereka tidak menyadari bahwa jumlah hadis, yang dinyatakan
ratusan ribu tersebut, bukanlah matan-nya, tetapi jalur-jalur (thuruq) hadis.
Karena satu matan hadis dapat memiliki puluhan jalur.119
Ada pula yang menduga bahwa hadis-hadis Nabi yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis telah dinukilkan oleh para pengarangnya
melalui "penghapal-penghapal hadis", yang hanya mampu menghapal
tetapi tidak memiliki kemampuan ilmiah. Dugaan ini timbul karena kedangkalan
pengetahuan mereka tentang ilmu hadis. Jika mereka mengetahui dan menyadari
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghapal hadis (antara lain,
seperti tepercaya, kuat ingatan, identitasnya dikenal sebagai orang yang
berkecimpung dalam bidang ilmiah, dan sebagainya), maka mereka pasti menolak
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dinilai majhul al-hal aw
al-'ayn (tidak dikenal kemampuan ilmiahnya atau juga identitas pribadinya).
Ada pula yang menduga bahwa para ahli hadis hanya
sekadar melakukan kritik sanad (kritik ekstern), bukan kritik matan (kritik
intern). Dugaan ini juga keliru, karena dua dari lima syarat penilaian hadis
shahih (yaitu tidak syadz dan tidak mengandung 'illah) justru menyangkut teks
(matan) hadis-hadis tersebut. Sedang tiga syarat lainnya, walaupun sepintas
lalu berkaitan dengan sanad hadis, bertujuan untuk memberikan keyakinan akan
kebenaran hadis-hadis tersebut.120
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa di satu pihak,
kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah perkembangan hadis
timbul akibat dangkalnya pengetahuan (agama). Dan di pihak lain, ia terjadi
akibat pendangkalan agama yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (khususnya para
orientalis yang tidak bertanggung jawab) yang mengatasnamakan penelitian ilmiah
untuk tujuan-tujuan tertentu.
Catatan kaki
116
Lihat lebih lanjut Muhammad Idris Al-Syafi'iy, Al-Risalah, Al-Halabiy, Kairo,
1969, h. 18, dan seterusnya; Al-Baghdadi, Al-'Uddah fi Ushul Al-Din, Jilid I,
Mesir, Al-Risalah, 1980, h. 112-13.
117
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai asbab al-nuzul ayat
tersebut. Lihat Al-Bukhari, Al-Syaib, Jilid V, Kairo, tt., h. 247.
118
Lihat lebih lanjut Subhi Al-Shalih, 'Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut,
Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, 1977, cet. IX, h. 23, dan seterusnya; Muhammad Ajjaj
Al-Khatib, Al-Sunnah qabla Al-Tadwin Wahdah, Kairo, 1963, cet. I, h. 346, dan
seterusnya.
119
Apabila dihimpun seluruh matan hadis dari seluruh kitab-kitab hadis yang
mu'tabar, maka jumlahnya tidak lebih dari 50.000 matan hadis, termasuk di
dalamnya hadis-hadis shahih, hasan dan dhaif. Dalam hal ini, ahli hadis,
Al-Hakim, dinilai berlebihan ketika menyatakan bahwa jumlah hadis shahih tidak
lebih dari 10.000 hadis. Lihat 'Abdul Halim Mahmud, Al-Sunnah fi Makanatiha wa
fi Tarikhiha, Kairo, Al-Maktabah Al-Tsaqafiyah, 1967, h. 59. Walaupun demikian,
harus diakui bahwa sebagian besar hadis Nabi direkam bukan dalam bentuk
tulisan, tetapi hapalan.
120
Tiga syarat lainnya adalah: Pertama, perawi hadis tersebut tepercaya dari segi
pandangan agama, tidak berbohong. Kedua, kuat hapalannya. Dan ketiga, bersambung
sanadnya dalam pengertian bahwa rentetan para perawinya pernah saling bertemu
atau diduga pernah bertemu.
Ayat-ayat Kawniyyah dalam Al-Quran
Al-Quran Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat
itu,121
menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam
raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut
ayat-ayat kawniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan
hal-hal di atas.122
Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.
Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat
tersebut, bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan, atau
bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Quran
memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay'i (QS 16:89), bukan
maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam
Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi
dan ukhrawi.123
Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika
berpendapat bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang
dan akan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran". Dasar pendapatnya ini
antara lain adalah ayat yang berbunyi, Pengetahuan
Tuhan kami mencakup segala sesuatu (QS 7:89). Dan
bila aku sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku (QS 26:80). Tuhan tidak
mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya. Dari ayat
ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga
mengandung misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali
dalam Jawahir Al-Qur'an.124
Di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal yang pada hakikatnya
tidak selalu seiring. Bukankah tidak semua apa yang diketahui dan diucapkan?!
Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan?
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan
Al-Ghazali, juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para
sahabat tentu lebih mengetahui tentang kandungan Al-Quran" --tetapi dalam
kenyataan tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat seperti di atas.
"Kita," kata Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami
Al-Quran kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan
pengetahuan mereka."125
Ulama ini seakan-akan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk memikirkan
ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para sahabat, tetapi juga kepada
generasi-generasi sesudahnya yang tentunya harus berpikir sesuai dengan
perkembangan pemikiran pada masanya masing-masing.
Al-Quran dan Alam Raya
Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Quran
berbicara tentang alam dan fenomenanya. Paling sedikit ada tiga hal yang dapat
dikemukakan menyangkut hal tersebut:
(1) Al-Quran memerintahkan atau
menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam
rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta
untuk --mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan Allah
SWT.
Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa
manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang
mengatur fenomena alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan
merupakan tujuan puncak (ultimate goal).
(2) Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum
yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta
diatur dengan sangat teliti.
Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari
ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini
tersirat bahwa:
(a) Alam raya atau
elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan atau dikultuskan.
(b) Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan
tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam
raya dan fenomenanya (hukum-hukum alam).
(3) Redaksi ayat-ayat kawniyyah bersifat ringkas,
teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat
tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
pengetahuan masing-masing penafsir.
Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu
digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya,
diperhatikan dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang
mengambil corak ilmiah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah
(1) Setiap Muslim, bahkan setiap
orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci yang
dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk
menafsirkan atau menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi
seperangkat syarat-syarat tertentu.
(2) Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus
ditujukan untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul saw. dan
tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia
hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta dituntut
menggunakan akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau
disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat
latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi sosial, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka adalah wajar apabila
pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam satu
generasi atau tidak, berbeda-beda pula.
(3) Berpikir secara kontemporer sesuai dengan
perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Quran tidak
berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah
penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam
bidang ini.
(4) Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam
memahami dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan seseorang
menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran. Seorang mufasir mungkin sekali
terjerumus kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kawniyyah tanpa
memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan
pokok-pokok bahasan ayat yang lain.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di
atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir --khususnya dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan penafsiran ilmiah-- untuk menyadari
sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus
bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.
Pendapat Para Ulama tentang Penafsiran Ilmiah
Disepakati oleh semua pihak bahwa
penemuan-penemuan ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat
ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula yang masih sangat
relatif atau diperselisihkan sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya.
Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara
spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan penafsiran
ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sifatnya belum mapan.126
Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang apa yang
terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja menafsirkannya dengan penafsiran
yang kemudian ternyata bertentangan dengan penemuan para ilmuwan."127
Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban menjelaskan Al-Quran
secara ilmiah dan biarlah generasi berikut membuka tabir kesalahan kita dan
mengumumkannya."128
Abbas Mahmud Al-Aqqad memberikan jalan tengah.
Seseorang hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam pendapat-pendapatnya,
apalagi dalam perincian penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh
redaksi ayat-ayat Al-Quran. Dalam hal ini, AlAqqad memberikan contoh menyangkut
ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara ilmuwan Muslim dipahami sebagai
berbicara tentang kejadian alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu
gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan.
Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana
terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan Al-Quran
menyangkut pendapatnya, karena Al-Quran tidak menguraikannya.129
Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala
sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang mengatasnamakan
Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup
oleh kandungan redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa ia
mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang dibenarkannya itu,
sedangkan hal tersebut belum tentu demikian.
Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di
atas, bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka ini menghalangi
pemahaman suatu ayat berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak! Sebab,
menurut Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti 'tujuh
langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata surya --sesuai dengan
perkembangan pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad
yang baik sebagai pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk
mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang demikian itu terhadap
orang lain."130
Bint Al-Syathi' dalam bukunya, Al-Qur'an wa
Al-Qadhaya Al-Washirah, secara tegas membedakan antara pemahaman dan
penafsiran.131
Sedangkan Al-Thabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer, lebih senang
menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran secara ilmiah dengan nama tathbiq
(penerapan).132
Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan untuk menghindari
jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila di kemudian hari terbukti teori atau
penemuan ilmiah tersebut keliru.
Segi Bahasa Al-Quran dan Korelasi Antar Ayatnya
Seperti yang telah dikemukakan di atas, para
mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
--khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah-- seseorang dituntut untuk
memperhatikan segi-segi bahasa Al-Quran serta korelasi antar ayat.
Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml
(yang berbunyi, Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu
sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan),
ini menginformasikan pergerakan gunung-gunung, atau peredaran bumi, terlebih
dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Apakah ia
berbicara tentang keadaan gunung dalam kehidupan duniawi kita dewasa ini atau
keadaannya kelak di hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan
ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya, tetapi pada
korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan
dengan kandungan ayat kemudian.
Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada
sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Quran
terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan.
Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim
Departemen Agama dengan, "Dan Kami telah meniupkan
angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit
..."133
Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf fa; juga menambahkan kata
tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga terjemahan tersebut
menginformasikan bahwa angin berfungsi mengawinkan tumbuh-tumbuhan.
Hemat penulis, terjemahan dan pandangan di atas
tidak didukung oleh fa anzalna min al-sama' ma'a
yang seharusnya diterjemahkan dengan maka kami turunkan
hujan. Huruf fa' yang berarti "maka" menunjukkan adanya kaitan
sebab dan akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau perurutan logis
antara keduanya sehingga tidak tepat huruf tersebut diterjemahkan dengan dan
sebagaimana tidak tepat penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan
tersebut. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menterjemahkan lawaqiha
dengan meniupkan juga kurang tepat.
Kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata
tersebut digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi. Sehingga, atas
dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat tersebut sebagai informasi tentang
fungsi angin dalam menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna
dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43: Tidakkah
kamu lihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celah-celahnya ...134
Memang, seperti yang dikemukakan di atas,
sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa Al-Quran, serta kedangkalan
pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat. Karena itu, walaupun sudah
terlambat, kita masih tetap menganjurkan kerja sama antardisiplin ilmu demi
mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat Al-Quran dan demi
membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut benar-benar bersumber dari Allah Yang
Maha Mengetahui lagi Mahaesa itu.
Catatan kaki
121
Jumlah ini adalah yang populer di samping jumlah 6.666 ayat. Tetapi, masih ada
pendapat-pendapat lain. Lebih jauh dapat dilihat dalam Al-Zarkasyi, Al-Burhan
fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo 1957, jilid I, h. 249.
122
Lihat, antara lain, Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an, Kairo,
1350 H, jilid I, h. 3.
123
Lihat Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, Dar Al-Qalam, Mesir, Cetakan
II, t.t., h. 13, dan seterusnya.
124
Al-Ghazali, Jawahir Al-Qur'an, Percetakan Kurdistan, Mesir, Cetakan I, t.t., h.
31.
125
Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Mesir, t.t., jilid 1, h.
46.
126
Muhammad Ridha Al-Hakimi, Al-Qur'an Yasbiqu Al-'Ilm Al-Hadits, Dar Al-Qabas, Kuwait, 1977, h. 71.
127
Abdul Muta'al Muhammad Al-Jabri, Syathahat Mushthafa Mahmud, Dar Al-I'thisham,
Kairo, 1976, h. 12.
128
Muhammad Ridha Al-Hakimi, loc cit.
129
Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Hilal, Kairo, t.t.,
h. 182.
130
Ibid.
131
Bint Al-Syathi', Al-Quran wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah, Dar Al-Ilmu li
Al-Malayin, Beirut,
1982, h. 313.
132
Muhammad Husain Al-Thabathaba'i, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah,
Teheran, 1397 H., cet. III, jilid I, h. 6.
133
Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Depag, Al-Qur'an dan Terjemahannya,
Percetakan PT. Seraya Santra, 1989.
134
Hanafi Ahmad, Al-Tafsir Al-'Ilmiy lil Ayat Al-Kawniyyah, Dar Al-Ma'arif Mesir,
1960, h. 363, dan seterusnya.
Konsep Qath'iy dan Zhanniy
Istilah qath'iy dan zhanniy --sebagaimana lazim
diketahui-- masing-masing terdiri atas dua bagian, yaitu yang menyangkut
al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna). Tidak terdapat
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumber Al-Quran.
Semua bersepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-ayat Al-Quran yang terhimpun
dalam mushaf dan dibaca oleh kaum Muslim di seluruh penjuru dunia dewasa ini
adalah sama tanpa sedikit perbedaan pun dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad
saw. dari Allah SWT melalui malaikat Jibril a.s.
Al-Quran jelas qath'iy al-tsubut. Hakikatnya
merupakan salah satu dari apa yang dikenal dengan istilah ma'lum min al-din bi al-dharurah.135
Karena itu, di sini tidak akan dibicarakan masalah qathi'y dari segi al-tsubut
atau kebenaran sumber tersebut. Yang menjadi persoalan adalah bagian kedua,
yakni yang menyangkut kandungan makna redaksi ayat-ayat Al-Quran.
Sebelum menguraikan masalah di atas, terlebih
dahulu perlu digarisbawahi bahwa masalah ini tidak menjadi salah satu pokok
bahasan ulama-ulama tafsir. Secara mudah hal tersebut dapat dibuktikan dengan
membuka lembaran kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an. Lihat misalnya Al-Burhan karangan
Al-Zarkasyi, atau Al-Itqan oleh Al-Sayuthi. Keduanya tidak membahas persoalan
tersebut. Ini, antara lain, disebabkan ulama-ulama tafsir menekankan bahwa
Al-Quran hammalat li al-wujuh.136
Sehingga, dari segi penggalian makna, mereka mengenal ungkapan: "Seorang
tidak dinamai mufasir kecuali jika ia mampu memberi interpretasi beragam
terhadap ayat-ayat Al-Quran."
Sikap ini tentunya tidak sejalan dengan konsep
qath'iy at-dalalah yang hakikatnya, menurut 'Abdul Wahhab Khallaf, adalah:
"Yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya (teks);
tidak mengandung kemungkinan ta'wil serta tidak ada tempat atau peluang untuk
memahami makna selain makna tersebut darinya (teks tersebut)."137
Mohammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer
kelahiran Aljazair, menulis tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut:
"Kitab Suci itu mengandung kemungkinan makna yang tak terbatas. Ia
menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat yang dasariah,
eksistensi yang absolut. Ia, dengan demikian, selalu terbuka, tak pernah tetap
dan tertutup hanya pada satu penafsir.an makna."138
Pendapat di atas sejalan dengan tulisan 'Abdullah
Darraz, salah seorang ulama besar Al-Azhar yang antara lain mengedit,
menjelaskan dan mengkritik kitab Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Al-Syathibi.
Syaikh Darraz menulis: "Apabila Anda membaca Al-Quran, maknanya akan jelas
di hadapan Anda. Tetapi bila Anda membaca sekali lagi, maka Anda akan menemukan
pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya,
sampai-sampai Anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti
bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar ... (Ayat-ayat Al-Quran)
bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang
terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan
orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang Anda
lihat."139
Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa setiap
nash atau redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi pengucapnya,
redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni arti yang dimaksudkan
olehnya. Inilah yang disebut dalalah haqiqiyyah. Tetapi, bagi para pendengar
atau pembaca, dalalah-nya bersifat relatif. Mereka tidak dapat memastikan
maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash atau redaksi tersebut
dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat. Yang kedua ini
dinamai dalalah nishbiyyah.
Atas dasar titik pandang yang demikian inilah
agaknya mengapa pembahasan mengenai qath'iy al-dalalah tidak diuraikan secara
khusus dalam kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an. Persoalan ini dibahas oleh
ulama-ulama ushul al-fiqh. Para pakar disiplin ilmu ini pada umumnya menjadikan
masalah-masalah ushul al-fiqh sebagai masalah yang pasti atau qath'iy.140
Perlu juga dicatat bahwa walaupun masalah yang dibicarakan di atas tidak
menjadi pokok bahasan ulama tafsir, namun mereka menekankan perlunya seorang
mufasir untuk mengetahui ushul al-fiqh, khususnya dalam rangka menggali
ayat-ayat hukum.
Hakikat Qath'iy dan Zhanniy
Tetapi, apakah yang dinamai qath'iy dan apa atau
bagaimana proses yang dilaluinya sehingga suatu ayat dinilai qath'iy
al-dalalah? Di atas telah dinukil pendapat 'Abdul Wahhab Khallaf yang
kelihatannya merupakan pendapat yang populer tentang difinisi qath'iy
al-dalalah.
Definisi serupa dikemukakan juga oleh Syaikh Abu
Al-'Ainain Badran Abu Al-'Ainain: "Sesuatu yang menunjuk kepada hukum dan
tidak mengandung kemungkinan (makna) selainnya."141
Sementara itu, Al-Syathibi, dalam Al-Muwafaqat,
menulis demikian: "Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam
dalil-dalil syara' yang sesuai dengan penggunaan (istilah) yang populer."142
Yang dimaksudkan adalah istilah yang dinukil di atas, atau yang semakna
dengannya seperti dijelaskan oleh 'Ali 'Abdul Wahhab. Mereka merumuskan
"definisi populer" tersebut dengan "tidak adanya kemungkinan
untuk memahami dari suatu lafal kecuali maknanya yang dasar itu."143
"Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang
pasti dalam dalil-dalil syara'", (jika berdiri sendiri) ini, menurut
Al-Syathibi, karena apabila dalil-dalil syara' tersebut bersifat ahad, maka
jelas ia tidak dapat memberi kepastian. Bukankah ahad sifatnya zhanniy?
Sedangkan bila dalil tersebut bersifat mutawatir lafalnya, maka untuk menarik
makna yang pasti dibutuhkan premis-premis (muqaddimat) yang tentunya harus
bersifat pasti (qath'iy) pula. Dalam hal ini, premis-premis tersebut harus
bersifat mutawatir. Ini tidak mudah ditemukan, karena kenyataan membuktikan
bahwa premis-premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat ahad
dalam arti zhanniy (tidak pasti). Sesuatu yang bersandar kepada zhanniy, tentu
tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang zhanniy pula.
Muqaddimat yang dimaksud Al-Syathibi di atas
adalah apa yang dikenal dengan al-ihtimalat al-'asyrah,144
yakni: (1) riwayat-riwayat kebahasaan; (2) riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan gramatika (nahw); (3) riwayat-riwayat yang berkaitan dengan perubahan
kata (sharaf); (4) redaksi yang dimaksud bukan kata bertimbal (ambigu, musytarak);
atau (5) redaksi yang dimaksud bukan kata metaforis (majaz); (6) tidak
mengandung peralihan makna; atau (7) sisipan (idhmar); atau (8)
"pendahuluan dan pengakhiran" (taqdim wa ta'khir); atau (9)
pembatalan hukum (naskh); dan (10) tidak mengandung penolakan yang logis (adam
al-mu'aridh al-'aqliy).
Tiga yang pertama kesemuanya bersifat zhanniy,
karena riwayat-riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya ahad. Tujuh
sisanya hanya dapat diketahui melalui al-istiqra' al-tam (metode induktif yang
sempurna), dan hal ini mustahil. Yang dapat dilakukan hanyalah al-istiqra'
al-naqish (metode induktif yang tidak sempurna), dan ini tidak menghasilkan
kepastian. Dengan kata lain, yang dihasilkan adalah sesuatu yang bersifat
zhanniy.
Yang Qath'iy dalam Al-Quran
Apakah pendapat Al-Syathibi di atas mengantarkan
kita untuk berkesimpulan bahwa tidak ada yang qath'iy dalam Al-Quran? Memang
demikian jika ditinjau dari sudut ayat-ayat tersebut secara berdiri sendiri.
Tetapi lebih jauh ia menjelaskan bagaimana proses yang dilalui oleh suatu hukum
yang diangkat dari nash sehingga ia pada akhirnya dinamai qath'iy.
Menurut Al-Syathibi lebih jauh, "kepastian
makna" (qath'iyyah al-dalalah) suatu nash muncul dari sekumpulan dalil
zhanniy yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya
makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu memberi
"kekuatan" tersendiri. Ini pada akhirnya berbeda dari keadaan
masing-masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan
tersebut menjadikannya tidak bersifat zhanniy lagi. Ia telah meningkat menjadi
semacam mutawatir ma'nawiy, dan dengan demikian dinamailah ia sebagai qath'iy
al-dalalah.145
Jika perhatian hanya ditujukan kepada nash
Al-Quran yang berbunyi aqimu al-shalah misalnya, maka nash ini tidak pasti
menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab,
banyak ayat Al-Quran yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan
sebagai perintah wajib. Kepastian tersebut datang dari pemahaman terhadap
nash-nash lain yang, walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda,
disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama. Dalam contoh di atas,
ditemukan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain hal-hal
berikut:
(a) Pujian kepada orang-orang
yang shalat;
(b) Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau
meninggalkannya;
(c) Perintah kepada mukallaf untuk
melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang, dalam
keadaan berdiri atau --bila uzur-- duduk atau berbaring atau bahkan dengan
isyarat sekalipun;
(d) Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara
turun-temurun dari Nabi saw., sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang
tidak pernah meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna
tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat, melahirkan pendapat bahwa
penggalan ayat aqimu al-shalah secara pasti atau qath'iy mengandung makna
wajibnya shalat. Juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang
dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimu
al-shalat, menjadi aksioma. Di sini berlaku ma'lum min al-din bi al-dharurah.
Biasanya, ulama-ulama ushul al-fiqh menunjuk
kepada ijma' untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath'iy. Sebab, jika mereka
menunjuk kepada nash (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat
terbuka peluang --bagi mereka yang tidak mengetahui ijma' itu-- untuk
mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain.
Nah, guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma'.
Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis
mutawatir dapat menjadi qath'iy dan zhanniy pada saat yang sama. Firman Allah
yang berbunyi Wa imsahu bi ru'usikum adalah qath'iy al-dalalah menyangkut
wajibnya membasuh kepala dalam ber-wudhu : Tetapi ia zhanniy al-dalalah dalam
hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. Keqath'iy-an dan ke-zhanniy-an
tersebut disebabkan karena seluruh ulama ber-ijma' (sepakat) menyatakan
kewajiban membasuh kepala dalam berwudhu' berdasarkan berbagai argumentasi.
Namun, mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba' pada lafal bi
ru'usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath'iy bi i'tibar
wa zhanniy bi i'tibar akhar.146
Di satu sisi ia menunjuk kepada makna yang pasti, dan di sisi lain ia memberi
berbagai alternatif makna.
Catatan Akhir
Dari sini jelas bahwa masalah qath'iy dan zhanniy
bermuara kepada sejumlah argumentasi yang maknanya disepakati oleh ulama
(mujma' 'alayh), sehingga tidak mungkin lagi timbul makna yang lain darinya
kecuali makna yang telah disepakati itu. Bukankah ia telah disepakati bersama?
Dalam hal kesepakatan tersebut, kita perlu
mencatat beberapa butir masalah:
a. Walaupun para ulama berbeda
pendapat tentang kedudukan ijma' sebagai dalil, namun agaknya tidak diragukan
bahwa para pendahulu (salaf) yang hidup pada abad-abad pertama tentu mempunyai
banyak alasan untuk sepakat menetapkan arti suatu ayat sehingga pada akhirnya
ia menjadi qath'iy al-dalalah. "Mengabaikan persepakatan mereka dapat
menimbulkan kebingunan dan kesimpangsiuran di kalangan umat," tulis Yusuf
Qardhawi.147
b. Harus disadari bahwa di dalam banyak kitab
seringkali ditemukan pernyataan-pernyataan ijma' menyangkut berbagai masalah
--aqidah atau syari ah. Namun, pada hakikatnya, masalah tersebut tidak memiliki
ciri ijma'. Mahmud Syaltut, mengutip tulisan Imam Syafi'i dalam Al-Risalah,
menulis demikian: "Saya tidak berkata, dan tidak pula seseorang dari
kalangan yang berilmu, bahwa 'Ini mujma' 'alayh' (disepakati), sampai suatu
saat Anda tidak bertemu dengan seorang alim pun kecuali semuanya berpendapat
sedemikian, yang disampaikan (sumbernya) adalah orang-orang sebelumnya
--seperti bahwa shalat zhuhur adalah empat rakaat, bahwa khamr haram, dan yang
semacamnya."148
c. Tidak semua alim atau pakar dapat dijadikan
rujukan dalam menetapkan kesepakatan (ijma') tersebut. Ibrahim bin 'Umar
Al-Biqa'iy (809-885 H) misalnya,149
tidak mengakui Fakhruddin Al-Raziy sebagai salah seorang yang dapat diterima
otoritasnya dalam menetapkan "kesepakatan". Ia menulis demikian:
"Tidak dirujuk untuk mengetahui ijma' kecuali para pakar yang mendalami
riwayat-riwayat."150
d. Umat Islam, termasuk sebagian ulamanya, kerap
kali beranggapan bahwa suatu masalah telah menjadi kesepakatan para ulama.
Padahal sesungguhnya hal tersebut baru merupakan kesepakatan antar ulama
mazhabnya. Hal ini sekali lagi berarti bahwa yang disepakati ke-qath'iy-annya
haruslah diteliti dengan cermat.
Demikianlah beberapa pokok pikiran menyangkut
masalah qath'iy. Adapun persoalan zhanniy, agaknya sudah menjadi jelas dengan
memahami istilah qath'iy yang diuraikan di atas.
Catatan kaki
135
Sesuatu yang sudah sangat jelas, aksiomatik, dalam ajaran agama.
136
Al-Quran (mampu) mengandung banyak interpretasi.
137
'Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Al-Dar Al-Kuwaitiyyah, Kuwait, 1968,
cetakan Vlll, h. 35.
138
Lihat makalah Martin van Bruinessen, "Mohammad Arkoun tentang
Al-Qur'an," disampaikan dalam diskusi Yayasan EMPATI. Pada h. 2, ia
mengutip Mohammad Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter (ed.),
The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press 1988,
h. 182-183.
139
'Abdullah Darraz, Annaba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1966, h. 111.
140
Abu Ishaq Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'ah, disunting oleh
Syaikh'Abdullah Darraz, Al-Maktabah Al-Tijariyyah Al-Kubra, Mesir, tanpa tahun,
Jilid 1, h. 29.
141
Abu Al-'Ainain Badran Abu Al-'Ainain, Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy, tanpa tahun, h.
63.
142
Al-Syathibi, op cit., h. 35.
143
Ali 'Abduttawab dan Thaha 'Abdullah Addasuqy, Mabahits fi Tarikh Al-Fiqh
Al-Islamiy, Lajnah Al-Bayan Al-'Arabiy, Mesir, 1962, h. 50.
144
Sepuluh kemungkinan.
145
Lebih jauh lihat Al-Syathibi, op cit., h. 96-37
146
Dari satu sisi qath'iy dan sisi lain zhanniy.
147
Yusuf Al-Qardhawiy, Fiqh Al-Zakah, Muassasat Al-Risalah, Beirut, Cet. IV, jilid
I, h. 25.
148
Mahmud Syaltut, Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, Dar Al-Qalam, Mesir, 1966, Cet.
III, h. 72.
149
Ibrahim bin Umar Al-Biqa'iy adalah salah seorang pakar tafsir yang karyanya,
Nazhm Al-Dhurar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, dinilai sebagai ensiklopedi
dalam bidang sistematika runtutan ayat-ayat Al-Quran.
150
Lihat Ibrahim bin Umar Al-Biqa'iy, Nazhm Al-Dhurar, manuskrip di Perpustakaan
Al-Azhar, Kairo, Mesir, no. 590-Tafsir, Jilid II, h. 197.
Soal Nasikh dan Mansukh
Seandainya
(Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di
dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS 4:82).
Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip
yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama
berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu
menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan
tentang nasikh dan mansukh.
Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai
bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52,
dan 45:29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti,
antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain,
pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan,
dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Sebelum menguraikan arti nasikh dan mansukh dari
segi terminologi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak
ditemukannya ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat
Al-Quran. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai --memiliki
gejala kontradiksi, mereka mengkompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh
oleh satu pihak tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus,
atau tak berlaku lagi, den ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun
kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi
sosial.151
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya
mereka sependapat bahwa tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat Al-Quran. Karena
disepakati bahwa syarat kontradiksi, antara lain, adalah persamaan subjek,
objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
Arti Naskh
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi
naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh
sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum
yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum
yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yang belum bersyarat.152
Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan
bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah
menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi
lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah
di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin
berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam
merupakan bagian dari pengertian naskh.153
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh
para ulama yang datang kemudian (muta'akhirin). Menurut mereka naskh terbatas
pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang
adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan
oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk
hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan).
Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah
butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama
yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan
alasan-alasan berdasarkan 'aql dan naql (Al-Quran).
Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan
orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran
Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang
termaktub dalam Taurat, menyatakan: "Tidak ada alasan yang menunjukkan
kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia
(Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang
diinginkanNya."154
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan
menyatakan bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk
kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu
dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu
karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut
berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh
(dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan
demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya
untuk hamba-hamba Allah."155
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan
obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai
dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan
oleh dokter.156
Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari
pernyataan AlMaraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan
hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau
mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya.
Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak
mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan
pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat
di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum,
antara lain atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas.
Tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan
hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.
Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat
Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;
Kami
tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya
kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah
Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Menurut mereka, "ayat" yang di naskh
itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran
ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian
terminologi tersebut dengan menyatakan bahwa "ayat" yang dimaksud
adalah mukjizat para nabi.157
Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:
Apabila
Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang
diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh
dalam Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan
satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu
mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan
dan permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan
memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah
firman Allah QS 41:42, Tidak datang kepadanya
(Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.
Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim
Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh
"pembatalan", dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai
pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para
pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang
pembatalan tetapi "kebatilan" yang berarti lawan dari kebenaran.
Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan
penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu
bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu
yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya
adalah hak dan benar, bukan batil.158
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa
argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah
dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian
masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru
dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang
dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan
perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan
sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.159
Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran
dari saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat
Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu
telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat
yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari
semakin berkurang.
Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha
rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan
meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama
muta'akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh
para ulama mutaqaddim.
Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan
pemikiran Muhammad 'Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai
titik tolak.
Muhammad 'Abduh --walaupun tidak mendukung
pengertian kata "ayat" dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai
"ayat-ayat hukum dalam Al-Quran", dengan alasan bahwa penutup ayat
tersebut menyatakan "Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu"
yang menurutnya mengisyaratkan bahwa "ayat" yang dimaksud adalah
mukjizat-- tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata "Ilmu
Tuhan", "diturunkan", "tuduhan kebohongan", adalah
isyarat yang menunjukkan bahwa kata "ayat" dalam surat Al-Nahl ayat
101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.160
Apa yang dikemukakan oleh 'Abduh di atas lebih
dikuatkan lagi dengan adanya kata "Ruh Al-Quds" yakni Jibril yang
mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan
memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya.
Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang cara mengucapkan ta'awwudz (a'udzu billah)
apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara
tentang "pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai
ayat-ayat Al-Quran)". Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa
yang membawanya "turun" serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).
Kembali kepada 'Abduh, di sana terlihat bahwa dia
menolak adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil
(pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).
Dengan demikian kita cenderung memahami
pengertian naskh dengan "pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke
wadah yang lain" (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti
bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada
hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang
berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap
dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka
semula.
Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah
Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh
mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa
Islam.
Siapa yang Berwenang Melakukan Naskh?
Pertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan
kepada mereka yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam pengertian
yang dikemukakan oleh para ulama muta'akhir maupun dalam pengertian yang kita
kemukakan di atas.
Pengarang buku Manahil Al-'Irfan mengemukakan
bahwa Para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw. me-naskh
ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis
berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang
me-naskh ayat atau tidak?161
Menurutnya, Al-Syafi'i, Ahmad (dalam satu riwayat
yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak --walaupun secara
teoretis-- dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para
pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy'ariah
maupun Mu'tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan
adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada
tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas,
namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan
bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat
mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian, mereka
berselisih tentang cakupan kata "wahyu Ilahi" tersebut, apakah Sunnah
termasuk wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat
mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi:
"Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap
mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti
pula."162
Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal
yang belum pasti.
Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat
berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada
pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah "apakah ada
Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?"
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan
mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun
dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini
berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang
demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan
teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat --kalau hal tersebut dinamai
naskh-- bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis "La washiyyata
li warits" (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan),
yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat "kewajiban
berwasiat" (QS 2:180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya
berbunyi: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada
setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat
kepada penerima warisan.
Kata-kata "sesungguhnya Allah telah
memberikan" dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu,
hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut,
bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah
"pergantian" seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini
terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak
alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran
menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi
sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum
yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan
berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di
antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan
memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, "apabila Kami
mengganti suatu ayat ...", kata "kami" di sini menurut hemat
penulis, sebagaimana halnya secara umum kata "Kami" yang menjadi
pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan
selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada
masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli)
untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan
oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.
Catatan kaki
151
Lihat antara lain Al-Fairuzzabadiy dalam Al-Qamus Al-Muhith, Al-Halabiy, Mesir,
cet. II, 1952, Jilid I, h. 281. Lihat juga Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum
Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, cet. I, jilid III, h. 28.
152
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'at, Dar Al-Ma'arif, Beirut, 1975, jilid III, h. 108.
153
Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir
1980, Jilid II, h. 254.
154
Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura,
t.t.h., jilid I, h. 151.
155
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghiy, Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid I,
h. 187.
156
Ibid.
157
Lihat antara lain Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar,
Mesir, 1367 H, cet. III, jilid 1, h. 415-416.
158
Lihat 'Abdul Azim Al-Zarqani, op cit., h. 208.
159
Ibid., h. 209.
160
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, op cit., h. 237.
161
'Abdul Azim Al-Zarqani, op cit., h. 237.
162
Al-Syatibi, op cit., h. 105.
Pokok-Pokok Bahasan Tafsir
Problematik Tafsir
Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral
dalam studi-studi keislaman. Di samping berfungsi sebagai huda (petunjuk), Al-Quran
juga berfungsi sebagai furqan (pembeda). Ia menjadi tolok ukur dan pembeda
antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap
berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Keberadaan Al-Quran di tengah-tengah umat Islam,
ditambah dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan
mukjizat-mukjizatnya, telah melahirkan sekian banyak disiplin ilmu keislaman
dan metode-metode penelitian. Ini dimulai dengan disusunnya kaidah-kaidah ilmu
nahwu oleh Abu Al-Aswad Al-Dualiy, atas petunjuk 'Ali ibn Abi Thalib (w. 661
M), sampai dengan lahirnya ushul al fiqh oleh Imam Al-Syafi'i (767-820 M),
bahkan hingga kini, dengan lahirnya berbagai metode penafsiran Al-Quran (yang
terakhir adalah metode mawdhuiy atau tawhidiy).
Di sisi lain, terdapat kaum terpelajar Muslim
yang mempelajari berbagai disiplin ilmu. Ini antara lain didorong keinginan
untuk memahami petunjuk; informasi dan mukjizat Al-Quran. Karena Al-Quran
berbicara tentang berbagai aspek kehidupan serta mengemukakan beraneka ragam
masalah, yang merupakan pokok-pokok bahasan berbagai disiplin ilmu, maka
kandungannya tidak dapat dipahami secara baik dan benar tanpa mengetahui
hasil-hasil penelitian dan studi pada bidang-bidang yang dipaparkan oleh
Al-Quran.
Syaikh Muhammad 'Abduh menegaskan --sebagaimana
ditulis oleh muridnya, Rasyid Ridha-- dalam Muqaddimah Tafsir Al-Manar:
"Saya tidak mengetahui bagaimana seseorang dapat menafsirkan firman Allah
SWT, yang berbunyi 'Kana al-nas ummah wahidah' (QS 2:213), kalau dia tidak mengetahui
keadaan umat manusia dan sejarahnya (sejarah dan sosiologi)." Tentunya
pernyataan ini berlaku pula dalam hubungannya dengan ayat yang berbicara
tentang astronomi, embriologi, ekonomi, dan sebagainya.
Begitu juga dengan pembuktian tentang mukjizat
Al-Quran. Dalam hal ini, sungguh tepat penegasan Malik bin Nabi, pemikir Muslim
kontemporer asal Aljazair itu, bahwa "Tidak seorang Muslim pun dewasa ini
--lebih-lebih yang bukan dari negara-negara berbahasa Arab-- yang dapat
memahami kemukjizatan Al-Quran dengan membandingkan satu ayat dengan sepenggal
kalimat berbentuk prosa atau puisi pra-Islam."
Penegasan tersebut berarti tidak seorang pun
dewasa ini yang dapat merasakan secara sempurna keindahan bahasa Al-Quran
--yang merupakan salah satu mukjizatnya-- sejak lunturnya kemampuan dan rasa
kebahasaan orang-orang Arab sendiri. Dan karena itu, kata Malik lebih jauh,
harus diupayakan untuk mencari pembuktian lain yang sesuai. Untuk maksud
tersebut, ia telah mencoba dalam bukunya, Le Phenomena Quranic, melalui pendekatan
sejarah agama.
Apa yang dilukiskan di atas menjadi salah satu
bukti betapa pentingnya. studi tentang Al-Quran. Akhirnya, walaupun bukan yang
terakhir, kenyataan menunjukkan bahwa seluruh kelompok dan atau aliran yang
berpredikat Islam, selalu merujuk kepada Al-Quran (dan hadis), baik ketika
menarik ide-ide maupun ketika mempertahankannya. Semua itu membuktikan bahwa
Al-Quran menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman.
Baiklah kita mengemukakan satu contoh. Dewasa ini
tidak seorang pakar atau ulama pun menolak ide dasar pendapat yang menyatakan
bahwa metode ma'tsur, yakni memahami atau menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat
yang lain atau dengan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. dan pendapat para sahabat
sebagai metode tafsir terbaik. Masalahnya, yang dikandung oleh pendapat di atas
tidak luput dari kekurangan yang masih memerlukan pemikiran yang serius.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat muncul,
sehubungan dengan metode tafsir ini, antara lain adalah: Siapa yang berwewenang
menetapkan bahwa ayat A ditafsirkan oleh ayat B? Apakah hanya Rasulullah saw.
sendiri, atau para sahabat, bahkan atau juga ulama-ulama sesudahnya, misalnya
Al-Thabari dan Ibnu Katsir? Apa kriteria yang harus dikandung oleh
masing-masing ayat untuk maksud tersebut? Dan banyak pertanyaan lain.
Kesemuanya masih memerlukan jawaban atau penjelasan yang konkret, karena
--kalau tidak-- dapat saja terjadi penafsiran ulama yang menggunakan ayat
Al-Quran menempati posisi yang lebih tinggi daripada penafsiran Rasul saw. Ini
menjadi masalah, sebab, bukankah para ulama terdahulu menyatakan bahwa
peringkat tertinggi dari penafsiran adalah penafsiran ayat dengan ayat, baru
kemudian disusul dengan penafsiran Rasulullah saw. (hadis), dan terakhir adalah
penafsiran para sahabat? Ini merupakan salah satu contoh permasalahan masa
lampau yang perlu diselesaikan.
Dewasa ini, cukup banyak tantangan yang dihadapi
masyarakat Islam, bahkan umat manusia, yang menanti petunjuk pemecahannya. Ini
harus diantisipasi. Sebab, bukankah kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah
berfungsi "memberi jalan keluar bagi perselisihan
dan problem-problem masyarakat" (QS 2:213)? Umat Islam, melalui
para pakarnya, dituntut untuk memfungsikan Al-Quran sebagaimana ditunjuk di
atas; dan hal ini tidak mungkin dapat terlaksana tanpa pemahaman secara baik
atas petunjuk-petunjuk kitab suci itu.
Pengertian dan Tujuan Pengajaran Tafsir
Berbagai definisi yang berbeda dikemukakan oleh
para ahli tentang tafsir. Perbedaan tersebut pada dasarnya timbul akibat
perbedaan mereka tentang ada tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan
patokan dalam memahami firman-firman Allah dalam Al-Quran. Satu pihak
beranggapan bahwa kemampuan menjelaskan atau memahami firman-firman Allah itu
bukanlah berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang bersumber dari ilmu-ilmu
bantu, tetapi harus digali langsung dari Al-Quran berdasarkan petunjuk-petunjuk
Nabi saw., dan sahabat-sahabat beliau. Pihak ini mendefinisikan tafsir sebagai
"penjelasan tentang firman-firman Allah; atau apa yang menjelaskan arti
dan maksud lafal-lafal Al-Quran". Bagi mereka, tafsir bukan suatu cabang
ilmu.
Pihak lainnya yang berpendapat bahwa terdapat
kaidah-kaidah tafsir, mengemukakan definisi yang dapat disimpulkan dalam
formulasi berikut bahwa tafsir adalah "suatu ilmu yang membahas tentang
maksud firman-firman Allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia".
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
perbedaan pendapat tersebut. Namun, yang jelas, pendapat pihak pertama
memperberat tugas-tugas mufasir dalam menjelaskan atau menemukan
tuntunan-tuntunan Al-Quran yang bersifat dinamis, disamping mempersulit
seseorang yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran dalam waktu
yang relatif singkat. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa definisi kedua
lebih populer dan luas diterima oleh para pakar Al-Quran daripada definisi
pertama.
Diakui oleh semua pihak bahwa materi-materi
Tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup
berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan. "Al-Shina'ah thawilah wa
al-'umr, gashir, " demikian kata Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum
Al-Qur'an.163
Di sisi lain, perkembangan ilmu ini dan
keanekaragaman disiplinnya, menuntut para ahli agar bersikap sangat selektif
dalam memilih matakuliah-matakuliah yang ditampung dalam satu kurikulum, suatu
hal yang sering mengakibatkan pengasuh matakuliah tertentu merasa dirugikan
atau disepelekan oleh penyusun kurikulum tersebut.
Kenyataan di atas mengantarkan kita untuk
menekankan perlunya menetapkan terlebih dahulu tujuan pengajaran tafsir di
IAIN.
Tujuan yang dimaksud di atas bukannya tujuan
akhir yang ideal dari suatu pendidikan yang kemudian diturunkan menjadi tujuan
kurikuler sampai kepada tujuan instruksional, tetapi terbatas hanya pada bidang
kognitif tanpa mempermasalahkan segi afektif dan psikomotorik kehidupan peserta
didik.
Hemat penulis, pengajaran tafsir di perguruan
tinggi seyogianya tidak ditekankan pada pemahaman kandungan makna suatu ayat,
atau pemberian ide tentang suatu masalah dalam bidang disiplin ilmu, tetapi
melampaui hal tersebut, yaitu dengan memberi mereka kunci-kunci yang kelak
dapat mengantarkannya untuk memahami Al-Quran serta kandungannya secara
mandiri.
Jika itu yang menjadi tujuan pengajaran tafsir,
maka materi ayat-ayat yang dipilih, atau masalah-masalah ilmu tafsir yang
diajarkan, (mesti) tidak lagi menitikberatkan pada kandungan arti suatu ayat
atau masalah tertentu, satu hal yang selama ini telah mengakibatkan
tumpang-tindihnya permasalahan tersebut dengan disiplin ilmu lain yang juga
memilih masalah yang sama. Pemilihan hendaknya lebih banyak didasarkan pada
cakupan kunci-kunci pemahaman yang dapat mengantarkan peserta didik kepada
tujuan yang dimaksud.
Pokok Bahasan Tafsir
Kalau kita menoleh kepada materi Ilmu Tafsir atau
'Ulum Al-Qur'an sebagaimana dipaparkan oleh Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan, maka
akan ditemukan 47 pokok bahasan, tidak termasuk di dalamnya materi tafsir dan
pengenalan terhadap kitab-kitab tafsir, yang sebagian uraian tentangnya,
sebagaimana diakui oleh Al-Zarkasyi sendiri, belum memadai.
Hemat penulis, secara garis besar, terdapat
sekian banyak pokok bahasan tafsir yang harus diketahui oleh seluruh mahasiswa
IAIN, apa pun nama komponen matakuliahnya. Pokok bahasan itu antara lain:
1. Pengenalan terhadap Al-Quran
Pokok bahasan ini hendaknya mencakup: (a)
persoalan wahyu, pembuktian adanya serta macam-macamnya; (b) Al-Quran dan
kedudukannya dalam syariat (agama) Islam; (c) garis-garis besar kandungannya
(dengan penekanan bahwa Al-Quran tidak mencakup seluruh persoalan ilmu maupun
agama); (d) Al-Quran sebagai petunjuk dan mukjizat; (e) otentisitas Al-Quran
(tinjauan historis); (f) batas-batas keterlibatan peranan Nabi Muhammad dalam
Al-Quran; dan (g) sistematika perurutan ayat dan surat-suratnya.
Dengan mengetahui masalah-masalah di atas,
peserta didik diharapkan dapat mengenal Al-Quran secara sederhana tetapi utuh.
2. Pengenalan terhadap Beberapa Pokok Bahasan Ilmu Tafsir
Pokok bahasan ini mencakup: (a) arti tafsir dan
ta'wil; (b) tafsir, sejarah dan kepentingannya; (c) asbab al-nuzul; (d)
al-munasabat (korelasi antar ayat); (e) al-muhkam dan al-mutasyabih; (f)
sebab-sebab kekeliruan dalam menafsirkan Al-Quran; (g) corak dan aliran-aliran
tafsir yang populer; dan (h) sebab-sebab perbedaan corak penafsiran.
Dengan mengetahui masalah-masalah di atas,
peserta didik diharapkan dapat mengetahui, secara umum, permasalahan tafsir,
kesukaran dan kemudahannya, serta syarat-syarat yang dibutuhkan untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan di atas,
pemilihan materi pengajaran hendaknya lebih ditekankan pada cakupan materi
tersebut pada kunci-kunci yang dapat mengantarkannya secara mandiri untuk
memahami kandungan Al-Quran. Atas dasar pertimbangan tersebut, dapat kiranya
dikemukakan di sini beberapa pokok bahasan yang dapat menunjang tercapainya
tujuan yang dimaksud. Materi-materi yang disebutkan berikut dapat dibagi sesuai
dengan alokasi waktu yang tersedia.
Materi 'Ulum Al-Quran
Materi-materi 'ulum Al-Qur'an dapat dibagi dalam
empat komponen: (1) pengenalan terhadap Al-Quran; (2) kaidah-kaidah tafsir; (3)
metode-metode tafsir; dan (4) kitab-kitab tafsir dan para mufasir.
Pengenalan terhadap Al-Quran
Komponen ini mencakup, (a) sejarah Al-Quran, (b)
rasm Al-Quran, (c) i'jaz Al-Quran, (d) munasabat Al-Quran, (e) qishash
Al-Quran, (f) jadal Al-Quran, (g) aqsam Al-Quran, (h) amtsal Al-Quran, (i)
naskh dan mansukh, (j) muhkam dan mutasyabih, dan (k) al-qira'ah.
Kaidah-kaidah Tafsir
Komponen ini mencakup: (a) ketentuan-ketentuan
yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran, (b) sistematika yang
hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran, dan (c) patokan-patokan khusus
yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti
bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran.
Sebagai contoh dapat dikemukakan kaidah-kaidah berikut: (1) kaidah ism dan
fi'il, (2) kaidah ta'rif dan tankir, (3) kaidah istifham dan macam-macamnya,
(4) ma'ani al-huruf seperti 'asa, la'alla, in, idza, dan lain-lain, (5) kaidah
su'al dan jawab, (6) kaidah pengulangan, (7) kaidah perintah sesudah larangan,
(8) kaidah penyebutan nama dalam kisab, (9) kaidah penggunaan kata dan uslub
Al-Quran, dan lain-lain.
Metode-metode Tafsir
Komponen ini mencakup metode-metode tafsir yang
dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim dengan ketiga coraknya: al-ra'yu,
al-ma'tsur, dan al-isyari, disertai penjelasan tentang syarat-syarat
diterimanya suatu penafsiran serta metode pengembangannya; dan mencakup juga metode-metode
mutaakhir dengan keempat macamnya: tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan mawdhu'iy.
Kitab-kitab Tafsir dan Para Mufasir
Komponen ini mencakup pembahasan tentang
kitab-kitab tafsir baik yang lama maupun yang baru, yang berbahasa Arab,
Inggris, atau Indonesia, dengan mempelajari biografi, latar belakang, dan
kecenderungan pengarangnya, metode dan prinsip-prinsip yang digunakan, serta
keistimewaan dan kelemahannya.
Pemilihan kitab atau pengarang disesuaikan dengan
berbagai corak atau aliran tafsir yang selama ini dikenal, seperti corak
fiqhiy, shufiy, 'ilmiy, bayan, falsafiy, adabiy, ijtima'iy, dan lain-lain.
Materi Tafsir
Sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi
ayat-ayat di samping berdasarkan kandungannya, juga, dan yang terutama,
peranannya dalam menunjang pemahaman materi-materi 'ulum Al-Quran, baik untuk
pemahaman lebih dalam tentang Al-Quran, maupun contoh-contoh penerapan
kaidah-kaidah tafsir dan metode-metodenya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan materi ayat-ayat
berikut, yang mendukung berbagai materi 'ulum Al-Quran: (1) Kisah: Al-Kahfi
ayat 9-26 (ashhab al-kahfi), 83-101 (Dzu Al-Qarnain); Al-Qalam ayat 18-33
(ashhab Al-Jannah); (2) Jidal: Saba' ayat 24-7; Al-Hajj ayat 8-10 (etika
berdiskusi); (3) Amtsal: Al-Nur ayat 45; Al-Baqarah ayat 261-5; (4) Aqsam:
Al-'Ashr dan Al-Dhuha, (5) pengulangan ism: Al-Insyirah ayat 5-6; (6)
Al-Nakirah fi Siyaq Al-Nafi: Yunus ayat 107; dan lain-lain.
Catatan kaki
163
Badruddin Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Quran, Al-Halabi, Mesir, 1957,
Jilid 1, h. 12. Artinya, "ilmu pengetahuan amat luas, sedangkan usia itu
pendek".
Penafsiran "Khalifah" dengan Metoda Tematik
Ada dua bentuk metode penafsiran tematik:
(1) Penafsiran satu surah dalam
Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau tema
sentral surah tersebut, kemudian menghubungkan ayat-ayat yang beraneka ragam
itu satu dengan lain dengan tema sentral tersebut.
Metode ini diterapkan pertama kali oleh
Al-Syathibi dan dan dikembangkan juga antara lain oleh Mahmud Syaltut.
(2) Menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas
masalah tertentu dari berbagai surah Al-Quran (sedapat mungkin diurut sesuai
dengan masa turunnya, apalagi jika yang dibahas adalah masalah hukum) sambil
memperhatikan sebab nuzul, munasabah masing-masing ayat, kemudian menjelaskan
pengertian ayat-ayat tersebut yang mempunyai kaitan dengan tema atau
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penafsiran dalam satu kesatuan
pembahasan sampai ditemukan jawaban-jawaban Al-Quran menyangkut tema
(persoalan) yang dibahas.
Dalam hal menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan satu tema, beberapa ulama menekankan bahwa tidak selalu keseluruhan ayat
yang berbicara tentang tema tertentu harus dikumpulkan. Boleh saja --kata
mereka-- ayat-ayat yang diduga keras telah dapat diwakili oleh ayat-ayat lain,
tidak lagi diangkat.
Tulisan ini akan mencoba melihat beberapa aspek
dari ayat-ayat yang berbicara tentang khalifah dengan menggunakan metode
tematik dalam bentuknya yang kedua di atas. Namun, tidak dengan mengangkat
seluruh ayat-ayat yang berbicara tentang persoalan ini dalam berbagai
redaksinya, karena hal tersebut memerlukan penelitian yang sangat rumit dan
waktu yang cukup lama.
Arti Kata Khalifah
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua
kali dalam Al-Quran, yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26.
Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh
Al-Quran, yaitu:
(a) Khalaif yang terulang
sebanyak empat kali, yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir
39.
(b) Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada
surah-surah. Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62.
Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata
khulafa' yang pada mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata
khalifah seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang
menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang
digantikannya).
Al-Raghib Al-Isfahani, dalam Mufradat fi Gharib
Al-Qur'an, menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan
sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun
sesudahnya. Lebih lanjut, Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut
dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan
orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada
yang menggantikan.
Tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa
perbedaan bentuk-bentuk kata di atas (khalifah, khalaif, khulafa')
masing-masing mempunyai konteks makna tersendiri, yang sedikit atau banyak
berbeda degan yang lain.
Kalau kita bermaksud merujuk kepada Al-Quran
untuk mengetahui kandungan makna kata khalifah (karena ayat Al-Quran berfungsi
pula sebagai penjelas terhadap ayat-ayat lainnya), maka dari kata khalifah yang
hanya terulang dua kali itu serta konteks-konteks pembicaraannya, kita dapat
menarik beberapa kesimpulan makna --khususnya dengan memperhatikan ayat-ayat
surah Shad yang menguraikan sebagian dari sejarah kehidupan Nabi Daud.
Nabi Daud a.s. sebagaimana diceritakan oleh
Al-Quran, berhasil membunuh jalut:
Dan Daud
membunuh jalut. Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta
mengajarkannya apa yang Dia kehendaki ...
Jika demikian, kekhalifahan yang dianugerahkan
kepada Daud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini
diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan
ilmu pengetahuan.
Makna "pengelolaan wilayah tertentu",
atau katakanlah bahwa pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik,
dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa : (Perhatikan
ketiga ayat yang ditunjuk di atas). Ini, berbeda dengan kata khala'if, yang
tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita
dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai
oleh Al-Quran khala'if; tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Tidak
digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa
kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa
bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang
politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau
diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau diktator.
Kalau kita kembali kepada ayat Al-Baqarah 30,
yang menggunakan kata khalifah untuk Adam as., maka ditemukan
persamaan-persamaan dengan ayat yang membicarakan Daud a.s., baik persamaan
dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian.
Adam juga dinamai khalifah. Beliau, sebagaimana
Daud, juga diberi pengetahuan --Wa 'allama Adam al-asma'
kullaha-- yang kekhalifahan keduanya berkaitan dengan Al-Ardha:
Inni
ja'il fi al-ardhi khalifah (Adam) dan Ya Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi
al-ardh (Daud).
Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh Al-Quran
sebagai pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca masing-masing QS 2: 36,
37, dan QS 38:22-25).
Sampai di sini, kita dapat mengambil kesimpulan
sementara, yaitu:
(1) Kata khalifah digunakan oleh
Al-Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun
terbatas. Dalam hal ini Daud (947-1000 S.M.) mengelola wilayah Palestina,
sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi
keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
(2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan
secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa
nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti
hawa nafsu. (Baca QS 20:16, dan QS 38:261.
Arti Kekhalifahan di Bumi
Muhammad Baqir Al-Shadr, dalam bukunya, Al-Sunan
Al-Tarikhiyah fi Al-Qur'an, yang antara lain mengupas ayat 30 Surah Al-Baqarah
dengan menggunakan metode tematik, mengemukakan bahwa kekhalifahan mempunyai
tiga unsur yang saling kait-berkait. Kemudian, ditambahkannya unsur keempat
yang berada di luar, namun amat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan
Al-Quran.
Ketiga unsur pertama adalah:
- Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalifah.
- Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat Al-Baqarah sebagai ardh.
- Hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia.
Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara
tersurat dalam ayat di atas, tersirat karena penunjukan sebagai khalifah tidak
akan ada artinya jika tidak disertai dengan penugasan atau istikhlaf.
Itulah ketiga unsur yang saling kait-berkait, sedangkan
unsur keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan oleh ayat tersebut
dengan kata inni jail/inna ja'alnaka khalifat yaitu yang memberi penugasan,
yakni Allah SWT. Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang
ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.
Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan
Adam sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal inni
(sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti akan mengangkat.
Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna
(sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (Kami
telah menjadikan kamu).
Kalau kita dapat menerima kaidah yang menyatakan
bahwa penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung makna
keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka
ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat
keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat (pengikut-pengikutnya).
Adapun Adam, maka di sini wajar apabila pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk
tunggal, bukan saja disebabkan karena ketika itu kekhalifahan yang dimaksud
baru berupa rencana (Aku akan mengangkat) tetapi juga karena ketika peristiwa
ini terjadi tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan
tersebut.
Ini berarti bahwa Daud --dan semua khalifah--
yang terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk
memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu termasuk
pula sebagai mustakhlif.
Tidak dikuatirkan adanya perlakuan
sewenang-wenang dari khalifah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-benar
menyadari arti kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para
khalifah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.
Memang, dalam sejarah, terdapat khalifah-khalifah
yang berlaku sewenang-wenang dengan alasan bahwa ia adalah wakil Tuhan di bumi.
Namun, di sini ia sangat keliru dalam memahami dan mempraktekkan kekhalifahan
itu.
Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan
manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara Penakluk dan yang
ditaklukkan, atau antara Tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam
ketundukan kepada Allah SWT. Karena, kalaupun manusia mampu mengelola
(menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi
akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.
Ini tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada
surah Ibrahim ayat 32 dan Al-Zukhruf ayat 13.
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut
adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai
dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu
harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan
situasi lingkungannya.
Dalam ayat 32 surah Al-Zukhruf ditegaskan bahwa,
Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain (agar mereka dapat saling mempergunakan). Dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Adalah keliru, menurut hemat penulis, memahami
arti sukhriya sebagai menundukkan. Tetapi, hubungan satu sama lain adalah
hubungan al-taskhir, dalam arti semua dalam kedudukan yang sama dan yang
membedakan mereka hanyalah partisipasi dan kemampuan masing-masing. Adalah
logis apabila yang "kuat" lebih mampu untuk memperoleh bagian yang
melebihi perolehan yang lemah.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa keistimewaan
tidak dimonopoli oleh suatu lapisan atau bahwa ada lapisan masyarakat yang
ditundukkan oleh lapisan yang lain. Karena, jika demikian maknanya, maka ayat
tersebut di atas tidak akan menyatakan agar mereka dapat saling mempergunakan.
Ayat di atas menggunakan kata sukhriya bukannya
sikhriya, seperti antara lain dalam surah Al-Mu'minun yang menggambarkan ejekan
dan tekanan yang dilakukan oleh satu kelompok kuat terhadap kelompok lain yang
dinamai oleh Al-Quran mustadh'afin. Ayat yang menjelaskan hubungan interaksi
yang diridhai Allah adalah ayat yang menggunakan kata sukhriya.
Al-Baydhawi menafsirkan ayat Al-Zukhruf di atas
dengan menyatakan bahwa "Sebagian manusia menjadikan sebagian yang lain
secara timbal-balik sebagai sarana guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka."
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan
interaksi antar sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang
menjadi tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan hubungan inilah yang
menghasilkan etika itsar, sehingga etika agama tidak mengenal prinsip
"Anda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang
lain", tetapi memperkenalkan "Mereka mendahulukan pihak lain atas
diri mereka walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan." (QS 59:9)
Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya
kemampuan (kekuatan) yang dapat membedakan seseorang dari yang lain, dan dari
keistimewaan inilah segala sifat terpuji dapat lahir.
Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau
sikap terpuji, karena ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang dalam
menanggung beban atau menahan gejolak keinginan negatif. Keberanian merupakan
kekuatan karena pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Dan kasih
sayang dan uluran tangan adalah juga kekuatan; bukankah ia ditujukan kepada
orang-orang yang membutuhkan dan lemah?
Demikianlah segala macam sikap terpuji atau etika
agama.
Benar bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan
alam raya dan semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan semakin banyak yang
dapat diperolehnya melalui alam itu. Namun, bila hubungan itu sampai disitu,
pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan manusia
atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang diletakkan dalam
rangkaian wahyu pertama.
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan
manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam,
pasti akan semakin banyak yang dapat diman faatkan dari alam raya ini. Karena,
ketika itu mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama dan Tuhan di atas
mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain melalui surah Al-Jin ayat
16:
Dan
bahwasanya, jika mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (petunjuk petunjuk
Ilahi), niscaya pasti Kami akan memberi mereka air segar (rezeki yang
melimpah).
Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan
(kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang dikemukakan
Al-Quran sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi kekhalifahan, yang sekaligus
menjadi etika pembangunan.
Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan
perkembangan masyarakat, demikian kandungan ayat di atas. Perkembangan inilah
yang merupakan arah yang dituju oleh masyarakat religius yang Islami
sebagaimana digambarkan oleh Al-Quran pada akhir surah Al-Fath, yang
mengibaratkan masyarakat Islam yang ideal:
...
sebagai tanaman yang tumbuh berkembang sehingga mengeluarkan tunasnya dan tunas
itu menjadikan tanaman tersebut kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas
pokoknya . . . (QS 48:29)
Keharmonisan tidak mungkin tercipta kecuali jika
dilandasi oleh rasa aman. Karena itu pula, setiap aktivitas istikhlaf
(pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama apabila rasa aman
dan sejahtera menghiasi setiap anggota masyarakat. Dengan kata lain,
pembangunan yang dihiasi oleh etika agama adalah "yang mengantar manusia
menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut".
Kalau hal ini dikaitkan dengan kisah kejadian
manusia, maka dapat pula dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan dalam
pandangan agama adalah pada saat manusia berhasil mewujudkan bayang-bayang
surga di persada bumi ini.
Adam dan Hawa sebelum diperintahkan turun ke
bumi, hidup dalam ketenteraman dan kesejahteraan. Tersedia bagi mereka sandang,
pangan, dan papan; dan ketika itu mereka diperingatkan agar jangan sampai
terusir dari surga karena akibatnya mereka akan bersusah payah memperolehnya
(QS 20:117-119). Mereka juga diharapkan agar mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi,
karena dengan demikian mereka tidak akan merasa takut atau merasa sedih.
Agama tidak mendefinisikan perkembangan
masyarakat dan tujuan pembangunan sebagai pertambahan barang atau kecepatan
pelayanan. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda:
Barangsiapa
yang tidak berpendapat bahwa Tuhan memiliki anugerah untuknya selain dari
makanan, minuman dan kendaraan, maka sesungguhnya ia telah membatasi usahanya
dan mempercepat kehadiran ajalnya.
Arah yang dituju oleh istikhlaf adalah kebebasan
manusia dari rasa takut, baik dalam kehidupan dunia ini atau yang berkaitan
dengan persoalan sandang, pangan dan papan, maupun ketakutan-ketakutan lainnya
yang berkaitan dengan masa depannya yang dekat atau yang jauh di akhirat kelak.
Ayat-ayat yang berbicara tentang la khawf 'alayhim wa la hum yahzanun tidak
harus selalu dikaitkan dengan ketakutan dan kesedihan di akhirat, tetapi dapat
pula mencakup ketakutan dan kesedihan dalam kehidupan dunia ini.
Untuk mencapai rasa aman tersebut, ada sekian
banyak sikap yang dituntut oleh agama dari para pemeluknya. Prof. Mubyarto
mengemukakan lima hal pokok untuk mencapai hal tersebut:
- Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan ia harus bebas dari ancaman dan bahaya pemerkosaan.
- Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan tenaganya.
- Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai dengan cita-citanya.
- Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya.
- Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi objek penentuan orang lain.
Di sisi lain harus pula diingat bahwa kekhalifahan
seperti telah dikemukakan di atas mengandung arti bimbingan agar setiap makhluk
mencapai tujuan penciptaannya.
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa unsur keempat
yang disebut di atas, digambarkan oleh Al-Quran dalam dua bentuk:
(1) Penganugerahan dari Allah (Inni jail fi al-ardh khalifah).
(2) Penawaran dari-Nya yang disambut dengan
penerimaan dari manusia, sebagaimana yang tergambar dalam surah Al-Ahzab ayat
72:
Sesungguhnya
kami menawarkan al-amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka semua
enggan dan kuatir, lalu (Kami tawarkan kepada manusia) maka mereka pun
menerimanya, sesungguhnya mereka sangat aniaya lagi bodoh.
Tentu yang dimaksud dengan kecaman di atas adalah
sebagian manusia, dan dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa dalam tugas
kekhalifahan ada yang berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal. Kesimpulan
ini diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah atas
pertanyaan malaikat:
Apakah
engkau akan menjadikan di sana (bumi) siapa yang merusak dan menumpahkan darah
sedang kami bertasbih dan memuji engkau? Tuhan berfirman (menjawab): "Aku
tahu apa yang kalian tidak ketahui." (QS 2:30).
Dari sini kita dapat beralih untuk melihat lebih
jauh apa saja sifat-sifat khalifah yang terpuji dan apa pula ruang lingkup tugas-tugas
mereka.
Sifat-sifat Terpuji Seorang Khalifah
Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa
kata Imam mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja -katanya lebih
lanjut-- kata Imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata
yang mengandung arti "depan" yang berbeda dengan khalifah yang
terambil dari kata "belakang".
Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi
tentang sifat-sifat terpuji dari seorang khalifah dengan menelusuri ayat-ayat
yang menggunakan kata Imam.
Dalam Al-Quran, kata Imam terulang sebanyak tujuh
kali dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu pada arti
"sesuatu yang dituju dan atau diteladani" Arti-arti tersebut adalah:
(a) Pemimpin dalam kebajikan,
yaitu pada Al-Baqarah ayat 124 dan Al-Furqan ayat 74.
(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada Al-Isra'
ayat 71.
(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yasin ayat 12.
(d) Taurat, yaitu pada Hud ayat 17 dan Al-Ahqaf
ayat 12.
(e) Jalan yang jelas, yaitu pada Al-Hijr ayat 79.
Dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua
ayat yang dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang dicari jawabannya
ini, yaitu ayat Al-Baqarah 124 yang berbunyi: [tulisan Arab] dan ayat Al-Furqan
74, yang berbunyi: [tulisan Arab].
Ayat yang terakhir ini, sebagaimana terlihat,
hanya mengandung permohonan untuk dijadikan Imam (teladan) bagi orang-orang
yang bertakwa sehingga tinggal ayat Al-Baqarah yang diharapkan dapat memberikan
informasi.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim a.s. dijanjikan
Allah untuk dijadikan Imam (Inni ja'iluka li al-nas
Imama), dan ketika beliau bermohon agar kehormatan ini diperoleh pula
oleh anak cucunya, Allah SWT menggarisbawahi suatu syarat, yaitu la yanalu 'ahdiya al-zhalimin (Janji-Ku ini tidak
diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan
demikian, dari ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat adil, baik
terhadap diri, keluarga, manusia dan lingkungan, maupun terhadap Allah.
Perlu sekali lagi diingatkan bahwa para khalifah
yang disebut namanya dalam Al-Quran (Adam dan Daud a.s.) keduanya pernah
melakukan penganiayaan, baik terhadap diri maupun terhadap orang lain. Namun,
mereka berdua bertobat dan mendapat pengampunan.
Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer
(baca antara lain QS 7:23), sedangkan "penganiayaan" yang dilakukan
oleh Daud dapat terlihat pada kisah dua orang yang bertikai dan datang
kepadanya meminta putusan (QS 38:22, dan seterusnya).
Menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang
bertikai itu berkata kepada Daud:
Berilah
keputusan antara kami dengan hak/adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran
dan tunjukilah kami ke jalan lurus.
Dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang
pada hakikatnya tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan untuk
memperingatkan Daud), terlihat betapa Tuhan menekankan pentingnya keadilan
sampai-sampai permintaan untuk memberi putusan yang hak diikuti lagi dengan
peringatan agar tidak menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya mengandung
makna yang sama dengan permintaan pertama --bahkan walaupun Daud telah bertobat
dan diterima tobatnya (QS 38:24-25). Namun, perintah untuk berlaku adil yang
dikaitkan dengan tidak mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:
Wahai
Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara
manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu ... (QS 38:26)
Memberi keputusan yang adil saja dan tidak
mengikuti hawa nafsu, belum memadai bagi seorang khalifah. Tetapi, ia harus
mampu pula untuk merealisasikan kandungan permintaan kedua orang yang
berselisih itu, yakni Wa ihdina ila sawa' al-shirath.
Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya
dengan sifat-sifat terpuji seorang khalifah, baru akan menjadi jelas bila
dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang Imam/a'immah, dalam kaitannya
dengan pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dalam kebaikan. Untuk maksud
tersebut, terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk
melihat ayat-ayat yang dimaksud.
Kata a'immah terdapat dalam lima ayat Al-Quran.
Dua di antaranya dalam konteks pembicaraan tentang pemimpin-pemimpin yang
diteladani orang-orang kafir, yakni Al-Taubah ayat 9, dan Al-Qashash ayat 4.
Sedangkan tiga lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji, yaitu
Al-Anbiya' ayat 73, Al-Qashash ayat 5, dan Al-Sajdah ayat 24.
Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa
QS 28:5 tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan ini
berbeda dengan kedua ayat lainnya yang saling melengkapi.
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang
diinformasikan oleh gabungan kedua ayat tersebut, yaitu:
- Yahduna bi amrina.
- Wa awhayna dayhim fi'la al-khayrat.
- 'Abidin (termasuk Iqam Al-Shalat dan Ita'Al-Zakat).
- Yuqinun.
- Shabaru.
Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan
dan ketabahan), dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan Wa jaalnahum
aimmat lamma shabaru. Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang
khalifah, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat
pada diri mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam kenyataan.
Di atas telah dijanjikan untuk membicarakan arti
wa ihdina ila sawa al-shirath (QS 38:26), yang merupakan salah satu sikap yang
dituntut dari seorang khalifah, setelah memperhatikan kandungan ayat-ayat yang
berbicara tentang a'immat. Dalam surah Shad tersebut, redaksinya berbunyi Wa ihdina ila ..., sedang dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang a'immat yang dikutip di atas, redaksinya berbunyi Yahduna bi
amrina. Salah satu perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdi. Yang pertama
menggunakan huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila. Al-Raghib Al-Isfahani
menjelaskan bahwa kata hidayat apabila menggunakan ila, maka ia berarti sekadar
memberi petunjuk; sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi, yakni
"memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa yang
dikehendaki oleh yang diberi petunjuk". Ini berarti bahwa seorang khalifah
minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya dan yang lebih
terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang kebahagiaan.
Atau, dengan kata lain, seorang khalifah tidak sekadar menunjukkan tetapi mampu
pula memberi contoh sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah
mendarah daging dalam diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka memiliki
akhlak luhur sebagaimana yang dapat dipahami dari sifat kedua yang disebutkan
di atas, yakni Wa awhayna ilayhim fi'la al-khayrat.
Jika seorang berkata, "Yu'jibuni an
taqum", maka ini berarti bahwa lawan bicaranya ketika itu belum berdiri
dan ia akan senang melihatnya berdiri. Pengertian ini dipahami dari adanya
huruf an pada susunan redaksi tersebut. Sedangkan bila dikatakan,
"Yu'jibuni qiyamuka", maka redaksi yang tidak menggunakan an ini
mengandung arti bahwa lawan bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan
kepadanya kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian Abdul-Qadir
Al-Jurjani yang disederhanakan dari Dala'il Al-Ijaz.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang
telah membudaya pada dirinya.
Yuqinun dan 'abidin merupakan dua sifat yang
berbeda. Yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di dalam dada
mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata mereka. Kedua sifat
ini sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu untuk diuraikan lebih jauh.
Ruang Lingkup Tugas-tugas Khalifah
Di atas telah diuraikan bahwa seorang khalifah
adalah siapa yang diberi kekuasaan mengelola suatu wilayah, baik besar atau
kecil. Cukup banyak ayat yang menggambarkan tugas-tugas seorang khalifah.
Namun, ada suatu ayat yang bersifat umum dan dianggap dapat mewakili sebagian
besar ayat lain yang berbicara tentang hal di atas, yaitu:
Orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang munkar ... (QS 22:41)
Mendirikan shalat merupakan gambaran dari
hubungan yang baik dengan Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan gambaran
dari keharmonisan hubungan dengan sesama manusia. Ma'ruf adalah suatu istilah
yang berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal dan
budaya, dan sebaliknya dari munkar.
Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi
kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk
menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan
masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara.
Riba Menurut Al-Quran
Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan
atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim
berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab
atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh
Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika
membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya,
tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati
mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah
praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun
menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian
pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan
diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru
transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan
oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu
sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan
kejelasan masalah riba ini.164
Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang
turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya.
Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan
kamu."165
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang
diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a.,
"meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".166
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang
ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang
pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat
pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah,
merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku,
terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang
Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana
menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal
dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut
dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti
bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul
Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya
sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan
kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual
beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh
dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan
(kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Riba yang Dimaksud Al-Quran
Kata riba dari segi bahasa berarti
"kelebihan". Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti
"kelebihan" tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas
cukup beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan
menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba" (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut
tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya,
dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang
sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali
'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah"
(turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah
"Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama
yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan
sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads
harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat
Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa
ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam
rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,167
yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu
orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,168
berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang
dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat
Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka
diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang
memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi,
sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi
yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan
Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi169
dan Al-Shabuni,170
tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan
tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan
adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat
tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara
eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan
pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya
(Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut
di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang
mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan
turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya
satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh
ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh
ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan
tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan
terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas
kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam
memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena
sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161 merupakan kecaman kepada
orang-orang Yahudi yang melakukan praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan
ayat 130 surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas
terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara adh'afan
mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun
tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278,
serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum 39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat
pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak
berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurthubi171
dan Ibn Al-'Arabi172
menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn
Katsir menamainya riba mubah.173
Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa
tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah"
yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat
Al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam
Al-Burhan174
menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada
surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam
surat-surat lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha
menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran
bermula dari ayat Ali' Imran 131.175
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang
riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan
ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan
memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah;
(b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa
la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut,
diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran.
Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut
haram".
Pelbagai Pandangan di Seputar Arti Adh'afan Mudha'afah
Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak
(plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan
sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan
mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabraniy dalam
Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada
pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya
Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa
"riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan).
Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan
berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila
kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila
tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua
usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur
setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya
pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki
tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan
seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut.
Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk
menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi
100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya
400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.176
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang
oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa
seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata
kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan
pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.177
Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada
masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran)
sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang
bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah
utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.178
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya
dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 surat Ali 'Imran.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang
dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan
oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan
oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya
masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951)
berkomentar dalam Tafsirnya:
"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang
dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau
berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy
(berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari
penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi
pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah
lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa
berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi
pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi,
sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka
memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah
yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat
bahwa nash Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu).179
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada
riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan
ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari
jumlah kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami
masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa
"riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi
tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda;
(2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang
dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah
penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh
redaksi syah.
Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan
di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, Al-Thabari menyimpulkan bahwa riba
adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan
pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut Al-Thabari,
seseorang yang mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan
harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau
penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.180
Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh
Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.181
'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota
Dewan Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan
bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki
harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan
kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan
penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan
(peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak
rela."182
Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan
mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan
ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekadar penambahan. Kini
kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang
berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti
"berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan
bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak berlipat ganda, maka
ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan
merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan
pada masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka lebih lanjut,
penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.
Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu
diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata
kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah
merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang
diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.
Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah
firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba.
Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah
(definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?
Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga
alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini merujuk kepada
kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.183
Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk
ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila
ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua
(yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada Ali 'Imran 130
dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal
ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan
riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat
berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada
ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat Al-Baqarah yang tidak
bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada
Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir
adalah riba yang berlipat ganda itu.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa
pembicaraan Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan
pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau
penindasan).
Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas
tentang arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam
Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh sementara ulama --antara lain
dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat
diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi
yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan
bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang
keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak
dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis, kesimpulan Rasyid
Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat
yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut.
Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
(a) Al-'Abbas (paman Nabi) dan
seorang dari keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara
riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam
(dan diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta
benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (Al-Baqarah 278 untuk melarang
mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktekkan ala
jahiliyah itu.184
(b) Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif
yang melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat
dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota
Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat
mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan mereka
beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat
tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.185
Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan
riwayat-riwayat lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti:
"Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih
dari modal kamu..."186
Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang
ditemukan dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni
"Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan
pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba
dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang
dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah).
Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran
adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan
dengan riba al-nasiah.
Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini
berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat
"berlipatganda" menjadi tidak diharamkan Al-Quran?
Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata
kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS
2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah
modal-modal mereka. jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal
tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada
masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian
kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik
berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran dengan turunnya ayat
tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi
sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.
Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan
persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat
atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada
akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu
digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama
seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang diisyaratkan oleh
penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat
tentang praktek riba pada masa turunnya Al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan
di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan
penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat
uluran tangan. Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat Al-Baqarah
279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian
tentang riba dengan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan
bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian
parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau
paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada ayat 280
ditegaskan bahwa, Dan jika orang yang berutang itu
dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka
berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau
semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan
bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan
penganiayaan bagi si peminjam.
Kesimpulan
Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi
adalah bahwa riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut
bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan
sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek
Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat
Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta
dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada
Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan
unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua.
Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang
meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum
qadha'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang).
Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia
pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya
utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim.187
Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan
bahwa kullu qardin jarra manfa'atan fahuwa haram (setiap piutang yang menarik
atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh
para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.188
Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah
ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, setelah.
menjelaskan arti riba yang dimaksud Al-Quran:
"Tidak pula termasuk dalam pengertian riba,
jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk
diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar
tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik
harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa
(sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha
kecuali penganiayaan dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan
hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian
dalam pandangan seorang yang berakal atau berlaku adil."189
Catatan kaki
164
Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari
sebelum Rasulullah saw. wafat.
165
Lihat Ibn Hazm, Al-Muhalla, Percetakan Al-Munir, Mesir, 1350 H, Jilid VH1, h.
477.
166
Ibid.
167
Lihat Jalaluddin Al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Percetakan Al-Azhar,
Mesir, 1318, H, Jilid I, h. 27.
168
Abdullah Al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Al-'Alamiy, Beirut, 1969, h. 60.
169
Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir,
1946, jilid III, h. 59 dst.
170
Muhammad 'Ali Al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Beirut, 1971,
jilid I, h. 389.
171
Muhammad bin Ahmad Al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Dar
Al-Kitab, Kairo, 1967, jilid XIV, h. 36.
172
Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn Al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq
Muhammad Ali Al-Bajawi, 'Isa Al-Halabiy, 1957, Jilid III, h. 1479.
173
Isma'il Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Perc. Sulaiman Mar'iy, Singapura,
t.t., jilid III, h. 434.
174
Lihat Badruddin Al-Zarkasyiy, Al-Burhan 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu
Al-Fadhil, Isa Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid I., h. 409.
175
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1376 H., jilid
III, h. 113.
176
Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Isa
Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90.
177
Ibid, Jilid III, h. 101.
178
Ibid.
179
Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, op. cit., Jilid IV, h. 65.
180
Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 101.
181
Rasyid Ridha, op. cit., Jilid II, h. 113-114.
182
Abdul Mun'im Al-Nandr, Al-Ijtihad, Dar Al-Suruq, Kairo, 1986, h. 351.
183
Rasyid Ridha, loc. cit.
184
Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 106-107.
185
Ibid.
186
Ibid.
187
Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir,
1952, Jilid V, h. 245.
188
Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Alssalam, Mushthafa
Al-Halabiy, Mesir, 1950, Jilid III, h. 53.
189
Rasyid Ridha, loc. cit.
Kedudukan Perempuan dalam Islam
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok
dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan
perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi
dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai
pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Wahai
seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki
dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa (QS 49: 13).
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam
tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam
pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar
Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan
pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan
menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh
perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik
dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja
kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan."190
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin
tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan
antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah
menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki.
Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk
memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu,
hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini
(lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual
dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan
menyaksikan."191
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan
serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah
kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam)
diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu.
Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas
yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi (1)
asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berbagai bidang.
Asal Kejadian Perempuan
Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki?
Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah
satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh
setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya
manusia dari surga?
Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan
pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan
yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas
dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas
dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':
Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.
Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan
yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal
dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan
mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai
shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
Saling
pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan
dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi
dari sahabat Abu Hurairah).
Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang
dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang
kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan
lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya
dari hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar,
menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam
Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada
pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas
dalam benak seorang Muslim."192
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam
pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para
lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter,
dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka
tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka
berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk
yang bengkok.
Memahami hadis di atas seperti yang telah
dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi
kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan bahwa:
Sesungguhnya
Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan
perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup
anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini
dipertegas oleh ayat 195 surah Ali'Imran yang menyatakan: Sebagian kamu adalah
bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat
manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki
dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua
jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi
asal kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
Sesungguhnya
Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun
perempuan (QS 3:195).
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada
perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu,
dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi
bersedih bila memperoleh anak perempuan:
Dan
apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan,
hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya
berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS
16:58-59).
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka
usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan
lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa
godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga
kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta
ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan
keduanya tanpa perbedaan, seperti:
Maka
setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).
Lalu keduanya
digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan
yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu
justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin
terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:
Kemudian
setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam,
maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan
punah?" (QS 20:120).
Demikian terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan
perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang
salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
Hak-hak Perempuan
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam
berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada
ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau
kemanusiaan.
Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk
kepada hak-hak perempuan:
Bagi
lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan
hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang
dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh
para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah
yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya'
bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf,
mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai
gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam
berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan
yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja
sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh
"menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau
perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan
demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti
perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi
saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.193
Keikutsertaan perempuan bersama dengan lelaki
dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula
dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhamad saw.:
Barangsiapa
yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak
termasuk golongan mereka.
Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak
sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan
seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala
bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.194
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya
(lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka
yang selalu melakukannya.
Urusan
mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama
untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu
prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk
kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan
bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap
lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu
ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan
dalam bidang kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam bidang politik. Bahkan
sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam
berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.
Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan
pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya),
sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay'at
para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan
atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan
begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan
pandangan suami dan ayah mereka sendiri.195
Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang
menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa' ayat 34, Lelaki-lelaki
adalah pemimpin perempuan-perempuan... sebagai bukti tidak bolehnya
perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata mereka-- kepemimpinan
berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada
di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang
dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang
diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu.
Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang
kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang
kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam
berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak
pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di
antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani
misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan
keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu
aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah
r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu
menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah
soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan
nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak
sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau
bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan
dalam politik praktis sekalipun.
Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan
perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para
wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya,
baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun
swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam
suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta
dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap
diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan
menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk
bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka
membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh
perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat
secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki.
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah,
Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang
terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam
kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti
Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab
Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi
saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai
perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain,
Shafiyah bin Huyay196
--istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan
sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang
pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses.
Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan
yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang
jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan,
di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga
jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya:
Apabila
Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda
inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak.
(Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif
bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena
suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga
ini.197
Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar
r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.198
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi
pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan
dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas,
perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan
kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan
pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini, antara lain, beliau
bersabda:
Sebaik-baik
"permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah
memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi'
Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata:
"Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan
lelaki."
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan
yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana
telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat
melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu
membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk
bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh
sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan
Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat
dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut
persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti
Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap orang yang memiliki hak untuk
melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau
menerima perwakilan dari orang lain". Atas dasar kaidah itu, Dr.
Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan
sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa
perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.199
Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw.
yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan
kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah
membaca atau belajar,
Bacalah
demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan
para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki
pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk
menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar:
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan
Muslimah).
Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar
kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu
pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab,
yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan
pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui
rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan.
Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi
juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu
al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang
sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Maka
Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada
Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut
alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat
ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai
dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak
tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam
pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal
secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai
pernyataan Nabi Muhammad saw.:
Ambillah
setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain
bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr
Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i200
(tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di
seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang
menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri
Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan
Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi.201
Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban
belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial
yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial
rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak
belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib,
sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu
Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang
perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki
kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai
ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.202
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa
awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam
tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya,
sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita
ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin
ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis:
"Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya
amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal
yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang
merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan
waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal
keagamaan."203
Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban
perempuan dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan
menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan
akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw.,
adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga
kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan,
maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan
kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak
mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain:
Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian
kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari
apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa
yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Catatan kaki
190
Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, Kairo, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, 1964, h. 138.
191
Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil
Azhar, 1959, h. 193
192
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H jilid IV,
h. 330.
193
Amin Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam
Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad, t.t., h. 13.
194
Ibid.
195
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama'
Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986, h. 60.
196
Ibrahim bin Ali Al-wazir, Dr., 'Ala Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis 'Asyar, Kairo,
Dar Al-Syuruq 1979, h. 76.
197
Lihat biografi para sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma' Al-Shahabat,
karya Ibnu Hajar, jilid IV.
198
Muhammad Al-Ghazali, op.cit., h. 134.
199
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 71.
200
Ibid., h. 77.
201
Abdul Wahid Wafi, Prof. Dr., Al-Musawat fi Al-Islam, Kairo, Dar Al-Ma'arif,
1965, h. 47.
202
Ibid.
203
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 79.
Laylat Al-Qadr
Surah Al-Qadr adalah surah ke-97 menurut
urutannya di dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama
Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan,
sebagian diantara mereka, menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi
Muhammad saw. berhijrah ke Madinah.
Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran
dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan
keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan
(demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain
adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya --yakni surah Al-Qadr
ini-- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih
sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak
keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Laylat Al-Qadr -- satu malam yang
oleh Al-Quran dinamai "lebih baik daripada seribu bulan".
Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia
terjadi sekali saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad
yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaimana
kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya?
Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti
membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan sebagainya)?
Masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan
malam Al-Qadr itu.
Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap
Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran, bahwa "Ada suatu malam yang
bernama Laylat Al-Qadr" (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah "malam
yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan
penuh kebijaksanaan" (QS 44:3).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan,
karena Kitab Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan
Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah
malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan
oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr.
Tiga belas kali kalimat ma
adraka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan
tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Al-Haqqah .. 'illiyyun,
dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh
akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari ketiga
belas kali ma adraka itu terdapat tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka
ma laylat al-qadr.
Kalau dilihat pemakaian Al-Quran tentang hal-hal
yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat
dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal
ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan
antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh Al-Quran
dalam tiga ayat.
Wa ma
yudrika la 'alla al-sa'ata takunu qariba (Al-Ahzab: 63)
Wa ma yudrika la'alla
al-sa'ata qarib ... (Al-Syura:17)
Wa ma yudrika la allahu
yazzakka (Abasa: 3).
Dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika
adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang
berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.
Secara gamblang, Al-Quran --demikian pula
Al-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari
kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa ma
yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui
walaupun oleh Nabi saw. sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa
pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw.,
sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau.
Itu semua berarti bahwa persoalan Laylat Al-Qadr
harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah
dapat diperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana
tentang malam itu? Apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai
demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk
tiga arti:
- Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44:3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
- Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
- Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).
Ketiga arti tersebut, pada hakikatnya, dapat
menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila
dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu
malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan? Namun demikian,
sebelum melanjutkan pembahasan tentang hakikat dan hikmah Laylat Al-Qadr,
terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya, apakah setiap
tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang
lalu.
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa
wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Laylat Al-Qadr, tetapi karena umat
sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu
setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka atas dasar logika itu, ada yang
berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang
diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya
Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham
di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah
tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama
dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang
menunjukkan bahwa Laylat Al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadha.n. Bahkan,
Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia
itu secara khusus pada malam-malam gazal setelah berlalu dua puluh hari
Ramadhan.
Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang
lalu terjadi pada malam Laylat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam
mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan
hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor
intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan
penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzal
al-mala'ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti
kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap
orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit
umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu --hemat penulis--
keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang
terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa
kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan
riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan
seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu
pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan
menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu
dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak
mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang
berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi
itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang
yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak
sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan
Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian
jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh
malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang
berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran
dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan
itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf
(berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan
Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai
bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam
kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan
sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan
adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan
di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan
membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak
di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di
atas!).
Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan
pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh
memberikan ilustrasi berikut:
"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam
jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali
merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam
pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini
menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu
mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat,
sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab
adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Nah, turunnya malaikat,
pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya
berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu
terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan
salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat
Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian
kelak."
Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw.,
menganjurkan sambil mengamalkan i 'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan
penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktivitas kebajikan
bermula. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang diri dan
masyarakatnya. Juga, di masjid, seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk
yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan
pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan
untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang
dapat memperkaya iman dan ketakwaan.
Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui
Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang
diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya,
turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga
terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan
hidup umat manusia.
Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr
itu yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf.
Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja
--bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi
oleh niat yang suci-- namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari
dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung
sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan
hayati maknanya adalah: Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirah
hasanah wa qina 'adzab al-nar (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan
dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk
memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa
mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti
upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan
dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga
hari kemudian kelak.
Kalau yang demikian itu diraih oleh manusia, maka
jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Karena itu, tidak
heran jika kita mendengar jawaban Rasul saw. yang menunjuk kepada doa tersebut,
ketika istri beliau 'A'isyah menanyakan doa apa yang harus dibaca jika ia
merasakan kehadiran Laylat-Al-Qadr?
Makna Isra' dan Mi'raj
Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt
Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta
kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar
sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini
membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan
mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa
terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan
diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan,
yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan
tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin
lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan
gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin
beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi,
karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh
pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika.
Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk
memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar
AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang
memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini
berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai
kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan
Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian
Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema
ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika
dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya
yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas
pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk
umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas,
Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat
dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar
pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya,
yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan
awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana
kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah
perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut
sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan
tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil,
maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin
ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau
menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam
Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204
Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti
dikatakan oleh Al-Biqai'i.205
Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang
dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak
keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan
betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga
tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk
lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat
halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya
terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat
bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup
pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan
seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban
dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu"
yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan
hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat
mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga
tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini
telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban
ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa
Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang
menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin,
menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan
indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang
baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan
pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah
berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh
sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan
kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan
Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan
datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan
tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin,
adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak
terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak
membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam
surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami
kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya
"kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu
digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak
mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda
padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun
membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan
para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya,
ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang
dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang
Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga
menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut
yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut
Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului
atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah
yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan
filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun
kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya.
"Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah
penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata
David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah
penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir.
"Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D,
tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C
adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang
penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum
alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages"
(ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce,
ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah
mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam.
Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi
diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang
superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah
Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam
surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di
bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak
menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka
dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS
16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya,
manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan
peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa
(QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat
membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut
kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum
dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang
suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang
mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam
surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan
manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut.
Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan
apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui
(QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya,
ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah
kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran,
mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban
(QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang
keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20.
Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika
abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem
kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin
benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi
sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa
"pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97%
selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi
seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara
ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan
sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk
membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak
semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah
trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena
alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal,
peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya
tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh
eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia
tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa
Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah
demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah
sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra'
dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana
terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena
tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi
berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan
pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang
peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana
kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus
diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai
Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah
kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit
dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang
bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah
pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan
Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan
bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian,
Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan
menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau
surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan
ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat
beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam
surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan
membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk
melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang
merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada
hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya,
kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan
untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat
dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan
dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya
tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem.
Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya
diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha
Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila
dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam
raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena,
tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau
merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan
dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda
kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan
dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia,
karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar
pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang
arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya
dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian,
shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah
kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak
bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel
bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah
seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil
penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan,
menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang
pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX
ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan
penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa
Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu
kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat
tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu
atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka
dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang
ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan
Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan
makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam
kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap
mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya
(QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah
saudara-saudara setan" (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam
kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu
jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu
terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS
17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya
dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam
ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah
shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam
petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan
suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi
carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk
dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang
sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak
mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada
saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir,
atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa
demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan
menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian,
masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan
kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan
orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah
wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan
kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada
baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat
yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama
bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan
sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka
mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan
yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat
pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat
Al-Nahl, dan surat
Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj
ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang
adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta
ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus
mengabdi kepada-Nya.
Catatan kaki
204
Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.
205
Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa
Al-Suwar.
Selamat Natal Menurut Al-Qur'an
Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam
bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau
mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.
Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak
sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma
ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.
Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak
bicara.'"
"Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk.
Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina,"
demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di
gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya
menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang
bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah
yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta
mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa:
"Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku
pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari
ketika aku dibangkitkan hidup kembali."
Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34.
Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan
selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa
a.s.
Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah
Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam
yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga
Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya
kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus
percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba
dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam
untuk. mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh
nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir
(natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari
keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa
'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya
daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s."
Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?"
seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat
bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut
kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau
batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih
kurang pandangan satu pendapat.
Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih
yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah
disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang
tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti
untuk merujuk kepercayaan kita.
Isa a.s. datang mermbawa kasih, "Kasihilah seterumu dan
doakan yang menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa
rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit
merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena
itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.
Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan
Muhammad saw. diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: "Aku
manusia seperti kamu." Keduanya datang membebaskan manusia
dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan.
Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit
telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan
kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi
tidur." Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra
Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena
kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak
mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang."
Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah
dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah
Al-Quran.
Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan
Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa'
(Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut
Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya
mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat
dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang
dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan
selamat natal itu?
Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim
mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan
ritual . Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata
yang melarangnya.
Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat
dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan
dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa
pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama
kerukunan.
Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas,
dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan
dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu
kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai
dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak
disalahpahami. Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh
Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami
masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki
Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah
Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada
wahlyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun
bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat sang menggunakan
redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan
pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil
pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama
bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan,
tetapi "wujud Tuhan."
Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia
agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen
yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan
Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri
perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat
mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami
sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan
yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan
kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu,
sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat,
aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak
dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.
Adakah kacamata lain? Mungkin!
Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya
memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman,
agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang
dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada
seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya
atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat
Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan
situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan
kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain,
maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah
yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan
dan menghayati satu ayat Al-Quran?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan,
Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan
bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau
keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan
memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan
keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah
ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun
non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan
keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang
memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis
keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka
interaksi sosial.
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu,
bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai
akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang
membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana
dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal
tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah
berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian
umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas
dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita
dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh
umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat
kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan
ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah
kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari
kebangkitannya nanti.
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar