Selasa, 13 November 2012

kawin bawah umur


Sebuah berita mengenai tewasnya seorang gadis cilik karena pendarahan akibat organ reproduksinya rusak setelah berhubungan intim dgn suami yang menikahinya di BAWAH UMUR itu, sampai sekarang masih terngiang di benak saya. Entah kenapa, saya merasa geram sekaligus prihatin oleh fenomena itu, yang mau tidak mau harus kita akui bahwa hal itu bukanlah sebuah kasus yang mudah untuk dijelaskan dan dicari solusinya.
Jika berbicara mengenai pernikahan, yang dianggap sah secara agama, sekalipun pernikahan itu di bawah umur, pasti banyak orang mengkaitkannya dengan ‘Syariah’. Ya…dalam hal ini tentu syariah Islam. Mereka mungkin bertanggap bahwa “Itu kan sah di mata agama.” Kenapa jarang saya mendengar orang berkata “itu kan sah di mata Allah.” Hehe, mungkin emang berbeda ya ‘agama’ dan ‘Tuhan’…

Mungkin juga ada yang bilang “Rasul saja menikahi Aisyah saat masih anak2.” Kenapa ya alas an pembenar yang mereka gunakan biasanya seperti itu, bukannya cari pembenaran dari akal atau pun hati nurani. Well, klo soal yang ini tergantung apa tolok ukur yang dipakai. Klo berbicara sama orang yang memakai SYAHWAT sebagai kacamata dunianya ya tentu tulisan berikut ini tidak nyambung buat mereka. Tapi gak ada batasan kok, siapa saja boleh membaca dan mengkomentari tulisan ini nanti, hanya saja saya lebih menghargai orang2 yangmau memakai AKAL SEHAT dan HATI NURANI nya sebagai tolok ukur dalam melihat semua kejadian di dunia kita ini.
Mengenai istilah “Dibawah Umur” itu saya rasa perlu sedikit dianalisa. Mungkin analisa saya tidak terlalu mendalam, sebab saya bukan seorang pakar. Tapi mari kita coba…
Batas umur yang dimaksud itu tampaknya bagi sebagian orang perlu untuk diberi batas yang jelas. Misalnya saja, ada yang memberi batasan usia bagi seseorang untuk dapat dikatakan ‘Dewasa’ yaitu usia 15 tahun bagi laki-laki dan 13 tahun bagi perempuan. Tentunya mereka punya dasar pemikirannya sendiri2. Ada juga yang membatasi dengan ‘keluarnya sperma’ bagi laki2 dan ‘haid’ bagi perempuan. Klo yang ini saya rasa dasar pemikirannya adalah, bahwa kedua hal itu menandakan ‘berfungsinya organ reproduksi’ pada masing2nya. Sehingga, hormon2 reproduksi yang juga menjadi aktif itu menimbulkan ‘kesan ketertarikan pada lawan jenis’ atau biasa disebut sebagai syahwat, birahi, insting, dll. Hal biologis ini klo tidak diatur dgn nilai2 yang baik, memang bisa mengarah pada hal2 yang buruk (mudharat). Maka dari itu, berkaitan dgn faktor biologis, saya pun setuju dgn batasan ini.
Tapi jika dikaikan dgn pernikahan, apakah kita hanya perlu menggunakan faktor biologis saja untuk menentukan batas umur seseorang agar dapat dikatakan “Layak Kawin” (maaf itu istilah dari saya sendiri). Saya rasa, sebagai manusia—yang selain makhluk individu, juga makhluk sosial—kita perlu memperhatikan banyak hal2 lainnya. Batas umur seseorang yang dapat dikatakan Layak Kawin mesti kita ukur dari beberapa aspek lainnya.
Misalnya kesehatan reproduksi.
Seorang gadis kecil yang baru saja mengalami menstruasi memang sudah mempunyai potensi untuk hamil dan mengandung (walaupun tingkat efektifitasnya akan berbeda pada setiap perempuan, karena hal ini juga dipengaruhi hal2 lainnya spt psikologis, nutrisi dan gizi, dll). Tetapi kita ini manusia, bukan hewan, bukan pula “Mesin Beranak”. Perempuan di dunia ini bukan hanya berfungsi sbg BREEDER, mereka sbg manusia juga mempunyai potensi memberikan kontribusi yang lebih dari itu kepada masyarakat, termasuk keluarganya.
Untuk memaksimalkan potensi itu, seorang manusia (baik laki2 maupun permepuan) tentu membutuhkan pendidikan yang baik, kesehatan yang menunjang dan berbagai macam hal lainnya.
Berkaitan dgn kesehatan reproduksi, setiap perempuan berhak untuk mengetahui masalah kesehatan organ reproduksinya. Bagaimana cara menjaga kesehatan reproduksinya, apa organ2nya, apa penyakit2 berbahaya yang potensial serta penyebabnya, serta bagaimana cara pencegahannya. Selain itu, berkaitan dengan HAK, setiap perempuan berhak untuk menentukan ia mau melahirkan atau tidak, memberi jarak kelahiran bagi anak2nya, dll.
Tapi, seberapa banyakkah perempuan yang bisa dengan mudah mengakses informasi mengenai semua itu? Hal ini mungkin bukan berarti bahwa ada pihak yang dgn sengaja menghalang2i perempuan memperoleh informasi mengenai kepentingannya, tapi banyak perempuan yang tidak/belum memiliki kesadaran seberapa penting bagi dirinya untuk memperoleh informasi itu.
Anggap saja seperti ini… ada seseorang yang mempunyai rumah dgn taman yang luas, di taman itu ada begitu banyak bunga Rosella. Setiap hari ia merawat bunga2 itu. Ia sangat senang memiliki banyak bunga di tamannya, sebab bunga2 itu indah dipandang. Ia sama sekali tidak tau bahwa bunga Rosella memiliki khasiat yang sangat baik bagi kesehatan tubuh. Suatu hari, tetangganya memberitahunya bahwa bunga Rosella yang ia miliki di tamannya itu bisa dimanfaatkan bagi kesehatan tubuh. Mulai saat itu barulah ia sadar bahwa selama ini ia tidak memanfaatkan sebuah potensi yang—padahal—selama ini berada tepat di depan matanya. Dari analogi tersebut, dapat dipetik pelajaran bahwa penting sekali untuk membangun ‘kesadaran’ bagi kita semua, sehingga dgn sendirinya orang yang sudah memiliki kesadaran akan berupaya melakukan hal2 yang baik bagi dirinya, hal2 yang merupakan Haknya, dll.
Hal lainnya adalah Hak Asasi Manusia.
Telah saya bahaw sedikit di atas, bahwa setiap perempuan berhak untuk menentukan apakah ia mau hamil dan melahirkan atau tidak, ia uga berhak menentukan jarak kelahiran anak2nya, serta menentukan pilihan mengenai penggunaan alat kontrasepsi.
Tetapi jika melihat konteks, hal semacam ini tentu tidak dapat serta merta kita berlakukan bagi semua lapisan masyarakat. Kita memang mesti melihat realita yang ada. Tapi kasus tewasnya gadis cilik itu merupakan puncak kesedihan saya terhadap fenomena nikah muda yang masih juga sering terjadi di Indonesia, terlebih lagi, banyak yang melegalkannya atas dasar agama.
Perempuan merupakan manusia yang juga mempunyai hak untuk dicerdaskan, disadarkan bahwa hidupnya bukan hanya untuk menjadi istri seseorang, tetapi menjadi bagian dari umat manusia. Perempuan mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri, untuk memiliki kehidupan sosial bersama teman-teman dan rekan-rekannya. Mengemban pendidikan, bekerja dan berpenghasilan, atau segala hal independent lainnya.
Pada dasarnya, pernikahan bukanlah sesuatu hal yang mutlak akan menghalangi perempuan memperoleh hak-haknya. Tidak semua pernikahan seperti itu, memang, masih banyak orang yang bisa terus sekolah walaupun sudah menikah, masih bisa bekerja, mengembangkan diri, bersosialisasi, berorganisasi dan memberikan kontribusi pada sekitarnya. Ini tentu baik sekali jika pernikahan bukanlah hal yang menghalangi.
Tapi, coba saja kita bayangkan jika anak berusia 13 tahun menikah, dalam keadaan yang mungkin belum memiliki pengetahuan seksual yang cukup (apalagi kesehatan reproduksi) ia mesti hamil, melahirkan, merawat anak, melayani suami, mengurus rumahtangga. Bukankah itu sosok istri yang ideal bagi mereka? Entah ukuran apa yang mereka gunakan ini.
Kembali pada batas umur, kesiapan seseorang untuk melakukan pernikahan tentu berbeda-beda, bahkan ada orang yang sampai umur 30 tahun masihjuga belum siap menikah. Hal ini bisa saja disebabkan faktor psikologis, ekonomi, dll. Jadi batas umur untuk dikatakan layak nikah tidak seharusnya ditentukan dgn saklek.
Kini kita beralih pada Faktor ekonomi.
Terutama di daerah dan desa2, seperti masih banyak orang tua yang menikahkan anak gadisnya Karena faktor ekonomi. Hal ini menunjukkan pada kita semua bahwa kemiskinan dan kebodohan masih merupakan masalah utama di negeri ini yang imbasnya dapat merambat ke berbagai aspek kehidupan. Kita memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orang tua2 semacam ini. Bukan salah mereka utnuk menjadi orang miskin. Bukan juga salah mereka tidak memiliki kesadaran. Tapi tidakkah hal ini menggerus perasaan setiap orang…
Masalah yang sistematis semacam itu, tidak akan cukup dibahas di halaman blog yang sempit ini, mungkin nanti pembaca akan bosan duluan…jadi tidak perlu saya teruskan.
Kini saya beralih pada peran Negara dalam mengatur masalah pernikahan dini atau dibawah umur. Sebiah instrumen hukum yang digunakan pemerintah dalam mengatur mengenai perkawinan (pernikahan) adalah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam UU itu telah disebutkan bahwa usia minimal untuk melakukan perkawinan adalah 21 tahun. Dalam kondisi tertentu, bagi yang belum berusia 21 tahun tapi mau melangsungkan perkawinan, mesti meminta izin dari orang tua/walinya terlebih dahulu, dan dibolehkan menikah dgn persyaratan tertentu, salah satunya adalah usia. Bagi laki2 minimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Ketentuan ini terdapat pada pasal 6 dan pasal 7 dari UU tersebut.
Menurut Anda, perbedaan batas umur itu disebabkan apa?
Selanjutnya, mengenai pencatatan pernikahan. Dalam pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Saya yakin hal ini sudah dipahami banyk orang bahwa, perkawinin yang sah menurut UU ini adalah yang dicatatkan tentunya, sehingga perkawinan2 yang dilakukan sekalipun menurut aturan agamanya masing2 sah, tetapi jika tidak dicatatkan, maka tidaklah sah di hadapan Negara (bagi orang Islam biasa disebut nikah siri). Hal ini berkaitan dengan administrasi.
Mengenai pentingnya dan manfaat pencatatan pernikahan tidak akan saya bahas di sini, tetapi berkaitan dengan fenomena nikah siri, saya hanya ingin menyampaikan secuil pendapat saya saja.
Sampai saat ini, Negara belum bisa mengatur ranah “agama” dalam kaitannya dengan nikah siri, sebab Indonesia ini bukan Negara agama, Indonesia adalah Negara sekuler. Sehingga tidak mempu menjamah wilayah itu dengan instrument hukum spt Undang-Undang. Sejak berlakunya UU perkawinan, masih banyak juga masyarakat yang melakukan nikah siri. Ada yang dikarenakan perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama, ada juga yang iseng karena mau poligami, ada juga yang karena faktor ekonomi, ada juga yang karena mau melegalkan perselingkuhan, ada yang karena kemiskinan dan kebodohan.
Berkaitan dengan nikah dibawah umur, misalnya ada seorang laki2 yang menikahi gadis berumur 13 tahun, mungkinkah ia menikahi gadis itu secara sah? Tidak mungkin kan/ maka apalagi kalo bukan nikah siri. Sedangkan nikah siri adalah hal yang belum bisa terjamah oleh Negara, sebab itu masuk ke dalam ranah kehidupan beragama. (Nampak sedikit ironis saat saya mengetik kata ‘beragama’).
Well… berhubung banyaknya penyalahgunaan ketentuan nikah siri yang terjadi di masyarakat kita, dan korbannya terutama kaum perempuan, maka baru2 ini, ada upaya pemerintah untuk mengatur pernikahan siri (termasuk resiko pernikahan di bawah umur, nikah kontrak dan poligami) yaitu dalam prolegnas (program legislasi nasional). Di sana pemerintah menggodok sebuah RUU yang mengatur masalah perkawinan, yang salah satunya mengatur ttg nikah siri. Pemerintah memang tidak bisa mengeluarkan atura2 tertentu yang secara langsung mengatur agama masyarakat, baik itu Islam, Kristen, hindu, Buddha. Tapi saya melihat keseriusan upaya ini karena pemerintah tetap berupaya menekan resiko kerugian nikah siri dan nikah di bawah umur, dgn menyandang kepentingan administratif. Saya harap peraturan ini dapat dimatangkan sebaik-baiknya sebelum akhirnya disahkan. Agar peraturan yang dimaksudkan mengatur kepentingan segenap warga Negara dapat mencapai tujuannya.
Tulisan saya diatas memang belum cukup, saya masih belum membahas kaitannya dgn UU HAM dan UU Perlindungan Anak, tapi insyallah akan saya tulis pada halaman lainnya.
Tagged As:
No related posts.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar