Pandangan
Ulama’
Menikahi
atau menikahkan perempuan di bawah umum, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam
pandangan Islam sah. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan
ulama’. Demikian, penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn
Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua
ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang
menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”[1]
Salah satu
argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ
مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي
لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ
يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.” (Q.s.
at-Thalaq [65]: 04)
Allah
menetapkan perempuan dengan predikat: wa al-la’i lam yahidhna (yang
belum haid) dengan ‘iddah selama 3 bulan, sementara ‘iddah 3
bulan tersebut hanya berlaku bagi perempuan yang ditalak atau difasakh, maka
ayat ini menjadi dalalah iltizam, bahwa perempuan yang disebutkan tadi
sebelumnya telah dinikah, kemudian ditalak atau difasakh.[2]
Selain
itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah —radhiya-Llahu ‘anha— dari
Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا
اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya
dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda
membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih) [3]
Selain
redaksi di atas, juga terdapat riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim, dari ‘Urwah dari Aisyah, yang menyatakan:
تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ
سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا
وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ (متفق عليه)
“Nabi
menikahi beliau (Aisyah) ketika beliau berumur tujuh tahun. Penikahan beliau
dengan Nabi diumumkan ketika beliau berumur sembilan tahun, ketika beliau masih
menggendong mainannya. Nabi meninggalkan beliau (wafat), ketika beliau berusia
delapan belas tahun.” (H.r.
Muttafaq ‘Alaih) [4]
Ibn Hazm,
mengutip pendapat Abu Muhammad, bahwa argumentasi yang digunakan untuk
melegalkan tindakan orang tua menikahkan anak perempuannya di bawah umur adalah
tindakan Abu Bakar —radhiya-Llahu ‘anhu— menikahkan Aisyah ra. dengan
Nabi saw. ketika beliau Aisyah berusia enam tahun. Ini merupakan riwayat yang
populer, dan tidak perlu dikemukakan lagi isnad-nya.[5]
Namun, Ibn
Hazm juga mengutip pendapat Ibn Syubramah, yang menyatakan, bahwa tidak boleh
menikahkan anak di bawah umur sampai akil baligh, dan menegaskan bahwa
pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu merupakan kekhususan bagi Nabi,
tidak untuk yang lain.[6] Pendapat ini
telah digugurkan dengan sejumlah fakta pernikahan para sahabat dengan perempuan
di bawah umum, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khatthab ketika
menikahi Ummu Kaltsum, putri ‘Ali bin Abi Thalib, dan Qudamah bin Math’ghun
yang menikahi putri Zubair.[7]
Seputar
Hadits Pernikahan ‘Aisyah
Hadits
tersebut, selain dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, juga dikeluarkan oleh
an-Nasai. Bedanya, an-Nasai tidak hanya menuturkan melulu melalui jalur Hisyam
dari ayahnya, ‘Urwah, tetapi juga jalur Abu ‘Ubaidah dan al-Aswad.[8]
Jika menganalisis lafadz kedua hadits di atas memang ada perbedaan; Lafadz
pertama menyatakan, Nabi menikahi Aisyah ketika berumur enam tahun. Sedangkan
lafadz kedua, menyatakan, bahwa Nabi menikahi Aisyah ketika berumur tujuh
tahun. Hanya saja, dalam menentukan mana yang lebih kuat; apakah penuturan
Aisyah sendiri, atau kesimpulan perawi? Tentu, yang paling kuat adalah
penuturan pelaku langsung. Sebab ini bukan kesimpulan perawi, tetapi penuturan
langsung pelakunya, yang mengalami sendiri peristiwa tersebut. Karena itu,
riwayat yang menyatakan, bahwa Aisyah dinikahi oleh Nabi dalam usia enam
tahunlah yang paling kuat. Ini dari segi matan (redaksi) hadits.
Adapun
dari segi sanad, kedua hadits di atas adalah sama-sama merupakan hadits
sahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jika dilihat dari segi sanad,
kedua hadits tersebut bisa masuk dalam katagori hadits mu’an’an, yang
dalam lazimnya kaidah periwayatan hadits termasuk dalam kelompok hadits dhaif.
Namun, khusus kasus hadits mu’an’an dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim,
dikecualikan dari kaidah tersebut. Dengan kata lain, hadits mu’an’an dalam
Shahih al-Bukhari dan Muslim tetap dianggap oleh para ahli hadits
sebagai hadits sahih. Selain itu juga harus dicatat, bahwa kaidah atau teori
hadits itu baru muncul belakangan, jauh setelah munculnya Shahih al-Bukhari dan
Muslim. Karena itu, hadits pernikahan Aisyah dengan Nabi saw. tersebut
jelas merupakan hadits sahih, yang kesahihannya tidak patut diperdebatkan lagi.
Selain itu, makna hadits tersebut juga tidak bertentangan dengan nas yang qath’i,
seperti al-Qur’an, surat at-Thalaq: 4, justru saling menguatkan.
Status
Perawi Hadits Aisyah
Mengenai
status Hisyam (w 145 H), yang konon baru meriwayatkan hadits ini di usianya
ketujuhpuluh tahun, dan itu pun dituturkan pada saat di Irak, maka harus
diteliti:
Pertama,
dalam konteks ada’ (penyampaian) riwayat, tidak ada larangan seseorang
menyampaikan riwayat di usia senja. Tentu dengan catatan, bahwa faktor ingatan
(dhabt)-nya tidak ada masalah. Dalam kasus periwayatan Hisyam di Irak,
yang dipersoalkan oleh ahli hadits adalah ketidakkonsistenan Hisyam dalam
menyampaikan model periwayatan.[9] Beliau kadang
mengatakan: haddatsani abi, yang berarti Hisyam mendengar langsung dari
ayahnya, dalam posisi beliau sudah mempersiapkan materi hadits dan
menghapalnya. Kadang beliau mengatakan: akhbarani abi, yang berari
hadits tersebut dibacakan oleh ayahnya. Kadang beliau mengatakan: yaqulu li
abi, yang berarti beliau mendengarkan hadits tersebut dari ayahnya, tanpa
persiapan dan hapalan sebelumnya.[10] Namun,
secara umum Hisyam, sebagaimana penuturan Ibn Hibban, dalam kitabnya, ats-Tsiqat,
adalah orang yang terpercaya (mutqin), wara’, mulia (fadhil) dan hafidh.[11]
Kedua,
tidak ada bukti satu pun yang bisa memastikan, bahwa hadits Aisyah tersebut
dituturkan oleh Hisyam di usianya yang senja, atau ketika beliau pindah ke
Irak. Karena itu, catatan Ya’kub bin Syibah, tentang kondisi Hisyam di Irak: “Hisyam
adalah tsiqah, yang tidak ada penolakan sedikit pun terhadap riwayat yang
datang darinya, kecuali setelah dia menetap di Irak.”[12] tidak
bisa digunakan untuk mejustifikasi, bahwa hadits pernikahan Aisyah tersebut
tidak kredibel. Sebab, semua ahli hadits dan biografi perawi sepakat, bahwa
hadits Hisyam tetap kredibel, terutama hadits yang terdapat dalam kitab Shahih.
Salah satunya, bisa kita lihat pernyataan Ibn Kharrasy: “Hisyam adalah orang
yang jujur (shaduq), dimana haditsnya banyak masuk di dalam kitab Shahih.”[13]
Jika kesimpulan hadits pernikahan Aisyah tersebut ditarik pada posisi
Hisyam setelah pindah ke Irak dan di usianya yang senja, maka penarikan
kesimpulan seperti ini tidak didasarkan pada fakta, melainkan hanya asumsi.
Karenanya, kesimpulan hadits tersebut tidak kredibel, karena faktor Hisyam, ini
merupakan kesimpulan logika mantik. Inilah sebenarnya yang terjadi. Karena itu,
cara berfikir seperti ini sangat fatal.
Berapa
Umur Aisyah ketika Menikah?
Dalam
konteks ini memang ada dua riwayat; penuturan Aisyah sendiri, yang menyatakan
dinikahi oleh Nabi ketika berusia enam tahun, dan penuturan ‘Urwah, yang
menyatakan tujuh tahun. Dalam konteks matan, sebagaimana yang
dikemukakan di atas, maka penuturan Aisyah tentu lebih kuat, ketimbang
penuturan tidak langsung yang disampaikan oleh ‘Urwan. Selain itu, perbedaan
seperti ini tidak terlalu urgen, mengingat selisih waktu sering kali terjadi,
karena beda pijakan dalam perhitungannya. Namun demikian, dua riwayat ini juga
bisa dikompromikan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Hajar, sehingga bisa disimpulkan,
bahwa Aisyah telah berusia enam tahun, memasuki tahun ketujuh.[14]
Namun, ada
kesimpulan lain yang dikembangkan, seolah-olah Aisyah berusia tujuhbelas,
delapanbelas atau sembilanbelas tahun. Kesimpulan seperti ini tentu tidak
mempunyai pijakan faktual, selain asumsi mantik. Sebagai contoh, pernyataan
at-Thabari: “Semua anak Abu Bakar dilahirkan pada masa Jalihiyah dari dua
isterinya.”[15] Dengan
asumsi ini, maka Aisyah pun diklaim telah lahir pada masa pra Islam. Padahal,
menurut riwayat yang sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Hajar, dalam al-Ishabah
fi Tamyiz as-Shahabah, Aisyah dilahirkan pada tahun keempat atau kelima bi’tsah.[16]
Menarik Aisyah dalam katagori “semua anak” Abu Bakar jelas bertentangan dengan
fakta, bahwa Aisyah tidak sama dengan anak-anak Abu Bakar yang lain, dimana
Aisyah dilahirkan setelah bi’tsah, sementara yang lain sebelumnya.
Kesimpulan-kesimpulan
mantik seperti ini sebenarnya tidak sulit dipatahkan, ketika kesimpulan ini
terbukti bertentangan dengan riwayat yang sahih. Bukan sebaliknya, riwayat yang
sahih justru diruntuhkan dengan menggunakan kesimpulan-kesimpulan yang dibangun
melalui logika mantik. Wallahu a’lam.
[3] Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 3681; Muslim,
Shahih Muslim, hadits no. 1422. Lihat, Ibn Qudamah, ibid, juz II,
hal. 1600.
[5] Ibn Hazm, al-Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa
al-Atsar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, t.t., hal. 1600.
[14] Ibn Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1995, juz VIII, hal. 232.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar