Jumat, 09 November 2012

Hukum Menikahi Perempuan Di Bawah Umur


Hukum Menikahi Perempuan Di Bawah Umur
Pandangan Ulama’
Menikahi atau menikahkan perempuan di bawah umum, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam sah. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian, penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”[1]
Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Q.s. at-Thalaq [65]: 04)
Allah menetapkan perempuan dengan predikat: wa al-la’i lam yahidhna (yang belum haid) dengan ‘iddah selama 3 bulan, sementara ‘iddah 3 bulan tersebut hanya berlaku bagi perempuan yang ditalak atau difasakh, maka ayat ini menjadi dalalah iltizam, bahwa perempuan yang disebutkan tadi sebelumnya telah dinikah, kemudian ditalak atau difasakh.[2]
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah —radhiya-Llahu ‘anha— dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih) [3]
Selain redaksi di atas, juga terdapat riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, dari ‘Urwah dari Aisyah, yang menyatakan:
تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ (متفق عليه)
“Nabi menikahi beliau (Aisyah) ketika beliau berumur tujuh tahun. Penikahan beliau dengan Nabi diumumkan ketika beliau berumur sembilan tahun, ketika beliau masih menggendong mainannya. Nabi meninggalkan beliau (wafat), ketika beliau berusia delapan belas tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih) [4]
Ibn Hazm, mengutip pendapat Abu Muhammad, bahwa argumentasi yang digunakan untuk melegalkan tindakan orang tua menikahkan anak perempuannya di bawah umur adalah tindakan Abu Bakar —radhiya-Llahu ‘anhu— menikahkan Aisyah ra. dengan Nabi saw. ketika beliau Aisyah berusia enam tahun. Ini merupakan riwayat yang populer, dan tidak perlu dikemukakan lagi isnad-nya.[5]
Namun, Ibn Hazm juga mengutip pendapat Ibn Syubramah, yang menyatakan, bahwa tidak boleh menikahkan anak di bawah umur sampai akil baligh, dan menegaskan bahwa pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu merupakan kekhususan bagi Nabi, tidak untuk yang lain.[6] Pendapat ini telah digugurkan dengan sejumlah fakta pernikahan para sahabat dengan perempuan di bawah umum, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khatthab ketika menikahi Ummu Kaltsum, putri ‘Ali bin Abi Thalib, dan Qudamah bin Math’ghun yang menikahi putri Zubair.[7]
Seputar Hadits Pernikahan ‘Aisyah
Hadits tersebut, selain dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, juga dikeluarkan oleh an-Nasai. Bedanya, an-Nasai tidak hanya menuturkan melulu melalui jalur Hisyam dari ayahnya, ‘Urwah, tetapi juga jalur Abu ‘Ubaidah dan al-Aswad.[8] Jika menganalisis lafadz kedua hadits di atas memang ada perbedaan; Lafadz pertama menyatakan, Nabi menikahi Aisyah ketika berumur enam tahun. Sedangkan lafadz kedua, menyatakan, bahwa Nabi menikahi Aisyah ketika berumur tujuh tahun. Hanya saja, dalam menentukan mana yang lebih kuat; apakah penuturan Aisyah sendiri, atau kesimpulan perawi? Tentu, yang paling kuat adalah penuturan pelaku langsung. Sebab ini bukan kesimpulan perawi, tetapi penuturan langsung pelakunya, yang mengalami sendiri peristiwa tersebut. Karena itu, riwayat yang menyatakan, bahwa Aisyah dinikahi oleh Nabi dalam usia enam tahunlah yang paling kuat. Ini dari segi matan (redaksi) hadits.
Adapun dari segi sanad, kedua hadits di atas adalah sama-sama merupakan hadits sahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jika dilihat dari segi sanad, kedua hadits tersebut bisa masuk dalam katagori hadits mu’an’an, yang dalam lazimnya kaidah periwayatan hadits termasuk dalam kelompok hadits dhaif. Namun, khusus kasus hadits mu’an’an dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, dikecualikan dari kaidah tersebut. Dengan kata lain, hadits mu’an’an dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim tetap dianggap oleh para ahli hadits sebagai hadits sahih. Selain itu juga harus dicatat, bahwa kaidah atau teori hadits itu baru muncul belakangan, jauh setelah munculnya Shahih al-Bukhari dan Muslim. Karena itu, hadits pernikahan Aisyah dengan Nabi saw. tersebut jelas merupakan hadits sahih, yang kesahihannya tidak patut diperdebatkan lagi. Selain itu, makna hadits tersebut juga tidak bertentangan dengan nas yang qath’i, seperti al-Qur’an, surat at-Thalaq: 4, justru saling menguatkan.
Status Perawi Hadits Aisyah
Mengenai status Hisyam (w 145 H), yang konon baru meriwayatkan hadits ini di usianya ketujuhpuluh tahun, dan itu pun dituturkan pada saat di Irak, maka harus diteliti:
Pertama, dalam konteks ada’ (penyampaian) riwayat, tidak ada larangan seseorang menyampaikan riwayat di usia senja. Tentu dengan catatan, bahwa faktor ingatan (dhabt)-nya tidak ada masalah. Dalam kasus periwayatan Hisyam di Irak, yang dipersoalkan oleh ahli hadits adalah ketidakkonsistenan Hisyam dalam menyampaikan model periwayatan.[9] Beliau kadang mengatakan: haddatsani abi, yang berarti Hisyam mendengar langsung dari ayahnya, dalam posisi beliau sudah mempersiapkan materi hadits dan menghapalnya. Kadang beliau mengatakan: akhbarani abi, yang berari hadits tersebut dibacakan oleh ayahnya. Kadang beliau mengatakan: yaqulu li abi, yang berarti beliau mendengarkan hadits tersebut dari ayahnya, tanpa persiapan dan hapalan sebelumnya.[10] Namun, secara umum Hisyam, sebagaimana penuturan Ibn Hibban, dalam kitabnya, ats-Tsiqat, adalah orang yang terpercaya (mutqin), wara’, mulia (fadhil) dan hafidh.[11]
Kedua, tidak ada bukti satu pun yang bisa memastikan, bahwa hadits Aisyah tersebut dituturkan oleh Hisyam di usianya yang senja, atau ketika beliau pindah ke Irak. Karena itu, catatan Ya’kub bin Syibah, tentang kondisi Hisyam di Irak: “Hisyam adalah tsiqah, yang tidak ada penolakan sedikit pun terhadap riwayat yang datang darinya, kecuali setelah dia menetap di Irak.”[12] tidak bisa digunakan untuk mejustifikasi, bahwa hadits pernikahan Aisyah tersebut tidak kredibel. Sebab, semua ahli hadits dan biografi perawi sepakat, bahwa hadits Hisyam tetap kredibel, terutama hadits yang terdapat dalam kitab Shahih. Salah satunya, bisa kita lihat pernyataan Ibn Kharrasy: “Hisyam adalah orang yang jujur (shaduq), dimana haditsnya banyak masuk di dalam kitab Shahih.”[13] Jika kesimpulan hadits pernikahan Aisyah tersebut ditarik pada posisi Hisyam setelah pindah ke Irak dan di usianya yang senja, maka penarikan kesimpulan seperti ini tidak didasarkan pada fakta, melainkan hanya asumsi. Karenanya, kesimpulan hadits tersebut tidak kredibel, karena faktor Hisyam, ini merupakan kesimpulan logika mantik. Inilah sebenarnya yang terjadi. Karena itu, cara berfikir seperti ini sangat fatal.
Berapa Umur Aisyah ketika Menikah?
Dalam konteks ini memang ada dua riwayat; penuturan Aisyah sendiri, yang menyatakan dinikahi oleh Nabi ketika berusia enam tahun, dan penuturan ‘Urwah, yang menyatakan tujuh tahun. Dalam konteks matan, sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka penuturan Aisyah tentu lebih kuat, ketimbang penuturan tidak langsung yang disampaikan oleh ‘Urwan. Selain itu, perbedaan seperti ini tidak terlalu urgen, mengingat selisih waktu sering kali terjadi, karena beda pijakan dalam perhitungannya. Namun demikian, dua riwayat ini juga bisa dikompromikan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Hajar, sehingga bisa disimpulkan, bahwa Aisyah telah berusia enam tahun, memasuki tahun ketujuh.[14]
Namun, ada kesimpulan lain yang dikembangkan, seolah-olah Aisyah berusia tujuhbelas, delapanbelas atau sembilanbelas tahun. Kesimpulan seperti ini tentu tidak mempunyai pijakan faktual, selain asumsi mantik. Sebagai contoh, pernyataan at-Thabari: “Semua anak Abu Bakar dilahirkan pada masa Jalihiyah dari dua isterinya.”[15] Dengan asumsi ini, maka Aisyah pun diklaim telah lahir pada masa pra Islam. Padahal, menurut riwayat yang sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Hajar, dalam al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Aisyah dilahirkan pada tahun keempat atau kelima bi’tsah.[16] Menarik Aisyah dalam katagori “semua anak” Abu Bakar jelas bertentangan dengan fakta, bahwa Aisyah tidak sama dengan anak-anak Abu Bakar yang lain, dimana Aisyah dilahirkan setelah bi’tsah, sementara yang lain sebelumnya.
Kesimpulan-kesimpulan mantik seperti ini sebenarnya tidak sulit dipatahkan, ketika kesimpulan ini terbukti bertentangan dengan riwayat yang sahih. Bukan sebaliknya, riwayat yang sahih justru diruntuhkan dengan menggunakan kesimpulan-kesimpulan yang dibangun melalui logika mantik. Wallahu a’lam.


[1] Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, t.t., Yordania, juz II, hal. 1600.
[2] Lihat, ibid, juz II, hal. 1600-1601.
[3] Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 3681; Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 1422. Lihat, Ibn Qudamah, ibid, juz II, hal. 1600.
[4] Lihat, Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 4739; Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 2549.
[5] Ibn Hazm, al-Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa al-Atsar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, t.t., hal. 1600.
[6] Lihat, Ibid, hal. 1600.
[7] Lihat, Ibn Qudamah, ibid, juz II, hal. 1600.
[8] Lihat, Ibn Qudamah, ibid, juz II, hal. 1600.
[9] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Maktabah Syamilah, t.t., juz XI, hal. 45.
[10] Mahmud at-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 133.
[11] Ibn Hajar, ibid, juz XI, hal. 46.
[12] Ibid, hal. 45.
[13] Ibid, hal. 45.
[14] Ibn Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1995, juz VIII, hal. 232.
[15] At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz , hal. .
[16] Ibn Hajar, Ibid, juz VIII, hal. 232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar