NILAI AGAMA SEBAGAI ACUAN MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
I’TIBAR KEHIDUPAN
1)
“Allah membuat perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya
aman dan tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah di semua penjuru, lalu
penduduknya mengingkari nikmat Allah, karena itu lalu Allah membiarkan mereka
merasakan pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat” (Q.S. An-Nahl:112).
2) “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik bagaikan pohon yang baik, akarnya kuat menghunjam ke bumi,
(ranting) dan dahannya menjulang ke angkasa; pohon itu terus berbuah setiap
saat (tiada henti) atas izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan seperti itu
agar manusia memperoleh peringatan” (QS
Ibrahim 24-26)
3)
Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Tuhan untuk
mengisahkan cerita dalam al-Qur’an tentang para rasul, seperti nabi Musa, Harun, Ismail, Nuh bahwa mereka
menyungkur bersujud dan menangis bila ditunjukkan ayat-ayat Allah. Selanjutnya
Allah memperingatkan:
“Maka datanglah sesudah mereka, generasi yang
jelek, menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, mereka itulah
yang jelas akan sesat. Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal
salih. Maka mereka itu akan masuk surge dan tidak mungkin dianiaya (dirugikan)
sedikitpun”. (Q.S. Maryam 59-60)
4)
Nabi
bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal
daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang
tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan
oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut
mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)
5)
“Sungguh
Allah tidak tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka memulai
melakukan perubahan dari dirinya sendiri” (Q.S.
Ar-Ra’d:11)
A.
PENDAHULUAN
(Latar belakang)
Kondisi Bangsa Dewasa ini (era
global)
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia tidak pernah berhenti dalam menyelenggaanrakan
program pendidikan dalam keadaan bagaimanapun juga. Namun hingga saat ini keadaan
bangsa kita masih mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan berkembangnya
prilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung
meluas, antara lain: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat; (2) penggunaan
bahasa dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku; (3) pengaruh
peer-group (geng) yang kuat
dalam tindak kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol, dan seks
bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya
etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8)
rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9) membudaya-nya
ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara
sesama
Berikut juga fenomena yang
tidak dapat dipungkiri, yakni:
(1). Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita
diserahkan kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan
sebagai pendidik;
(2). Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah
atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak
kondusif bagi pengembangan karakter.
(3). Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak
menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus,
ABS, budaya munafik, dll.
B.
APA KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER ITU ?
Hakekat Karakter
Menurut
Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran,
sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami
bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri,
atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan
keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang
selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang
mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas
bangsa.
Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani
yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau
tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan
bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur,
kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk.
Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang
tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat
kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang
berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah
moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan
akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang
telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan
lagi.
Dari pendapat di atas difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan
moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah
orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian,
pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat
atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang
positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh
Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung
’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai
unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria
utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi
besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam
membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan
bangsanya
Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan
merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni
sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan
sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar
kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal
paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan,
ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul,
dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan
daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan
mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949
pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban,
budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik
secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan
karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal
biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori
konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari
rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
Membangun
bangsa berkarakter
Karakter bangsa terbangun atau tidak
sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan
perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang
berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para
muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter. Demikian pula
sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum biala mereka
tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innalloha
laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).
Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:
1.
Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari
kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang
Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar
sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
2.
Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan
ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki
potensi. Kemanusiaan yang adil dan
beradap;
3.
Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu
mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan
Indonesia;
4.
Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan
adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5.
Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi
proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dr. Sukamto dalam diskusi yang diselenggarakan
Jum’at, 19 Juni 2009 mengemukakan bahwa untuk melakukan pendidikan karakter,
perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter.
Powerfull ideas ini meliputi: (1) God, the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya); (2) Knowing Yourself
(memahami diri sendiri); (3) Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral);
(4) Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami
dan dipahami); (5) A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing
Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All
Times & Places; (8) Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap
makhluq); (9) Making a Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the
Lead.
Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Dr Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran;
Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas;
Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin
diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang.
Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama) memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Karakter manusia “sempurna” sebagaimana ditampilkan oleh
para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami akhlak para nabi
(sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki karakter. Jadi
karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak niscaya yang
berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa alhamaha fujuroha wa taqwaha. Qod
aflaha man zakkahaa, wa qod khoba man dassaha)
Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama
dalam diri manusia harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati,
emosi, akal. (Nabi bersabda:
Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika
mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih
(baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut
juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah
al-qolb (hati). (Al-Hadist)
Beberapa
factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:
1.
Sadar
sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya,
alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai
transendensi.
2.
Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini
bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya
memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan
apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3.
Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka
membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4.
Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan
seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang
mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari
adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5.
Pembelajar
sejati: Untuk dapat
memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang
pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya
ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai
kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian
banyak perbedaan.
6.
Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai
humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa
memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan
adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai
bangsa.
7.
Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.
Catatan dalam membangun karakter bangsa sejak dini
1. Sistem pendidikan dini yang kita
berlakukan terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan
kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa).
Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak
kanan.
2. Mata pelajaran yang berkaitan dengan
pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada
prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar
“tahu”). Banyak kita temui murid nilai pelajaran agama tinggi, mungkin 8 atau
9, akan tetapi murid yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan, serta melibatkan aspek “knowledge, feeling,
loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan
seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot
akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.
3. Pada dasarnya, anak yang kualitas
karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya
rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami
kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri.
Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia
prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka
penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.
4. Selanjutnya
dalam rangka “Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama” perlu melalui
pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar
nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya;
(2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat
dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri,
Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8)
Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan.
C.
PERAN GURU
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER MURID
Berbagai penelitian empiric menunjukkan bahwa factor guru/dosen memainkan
peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter murid. Diperoleh data bahwa
ada kecenderungan makin tinggi level lembaga pendidikan formal makin rendah
peran dan kontribusi guru/pendidik dalam kesuksesan murid, misalnya PAUD/TK
sampai >90%, SD/MI sekitar 80-90%, SMP/MTS sekitar 70-80%, SMA/MA/SMK
sekitar 60-70%, Mahasiswa S1 sekitar 40-50%, S2 sekitar 20-30%, dan S3 sekitar
10%, atau mungkin bisa kurang.
GURU: Pendidik profesional memiliki tugas utama untuk: (1) mendidik, (2)
membimbing, (3) mengarahkan, (4)
melatih, (5) menilai, dan (6) mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
- PENUTUP
”Pilar akhlak (moral) yang dimiliki
(mengejewantah) dalam diri seseorang sehingga ia menjadi orang yang berkarakter
baik (good character) adalah jujur,
sabar, rendah hati, tanggung jawab dan rasa hormat, yang tercermin dalam
kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis.
Tanpa
nilai-nilai moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah
dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar
keimanan dan ketaqwaan. Ciri orang yang kuat imannya, antara lain: (1) secara
tulus dia patuh pada Tuhannya; (2) dia tertib dan disiplin melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara mahdhoh/ritual; (3) memahami dan
menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan yang toleran; (4)
memperbanyak kerjasama dalam bidang kehidupan social. Dll.
Jakarta, 12 April 2010
Qomari Anwar